Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HADIS DARI SISI KUALITASNYA


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : ULUMUL HADIS
Dosen pengampu : Dr. Maimuna Toatubun

Disusun oleh :Kelompok 7


1. Nindi wael (210102011)
2. Signal Talip lipogena (210102019)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur (alhamdulillah wa syukur lillah) dipersembahkan ke hadirat Allah
SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah ini dapat terselesaikan dan telah
rampung.Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan shabatnya, dengan harapan semoga umatnya dapat mengikuti akhlak dan budi pekerti
yang mulia shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan shabatnya, dengan harapan semoga umatnya dapat mengikuti akhlak dan budi
pekerti yang mulia.
Makalah ini berjudul “Hadits Ditnjau dari Segi Kulaitasnya” dan disusun dalam
rangka memenuhi tugas Ulumul Hadits. Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan
ucapan terima kasih kepada Bapak Mukhsan S.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah
Ulumul Hadits yang senantiasa membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami. Kami
juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah memberikan semangat dan ide yang luar
biasa dalam mendukung penyelesaian makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan dan masih jauh dari kata
sempurna dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran kepada pembaca yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca guna memperkaya ilmu
pengetahuan tentang materi yang kami sampaikan dalam makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………..…….. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………….…………. ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………….……………… 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….………… 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………….….…….. 1
C. Tujuan Makalah……………………………………………………….………. 2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………. 3
A. Pembagian Hadits Ditinjau dari segi Kualitasnya………..……... 3
B. Hadits Shahih……………………………………..…………..……….……..... 3
C. Hadits Hasan……………………………………………..……………………... 6
D. Hadits Dha’if…………………………………….. ……………….…….………. 8
BAB III PENUTUP…………………………………………………………….. 10
A. Kesimpulan……………………………………………………………….……… 10
B. Saran……………………………………………………………………………….. 10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….…... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadist merupakan sumber ajaran agama islam, disamping Al-qur’an. Bila dilihat dari segi
periwatannya jelas berbeda antara Al-qur’an dengan hadist. Untuk Al-qur’an semua
periwayatan berlangsung secara mutawatir, sedangkan periwayatan hadist sebagian
berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahead. Berawal dari hal
tersebut sehingga timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadist sekaligus
sebagai sumber perdebatan, Yang akibatnya bukan kesepakatanyang didapatkan tetapi
sebaliknya justru perpecahan.
Kemudian berawal dari sebuah pertanyaan, “apakah hadis ini atau hadist itu dapat
dijadikan hujjah atau tidak?” salah satu kelompok dengan kuat mempertahankan pendapatnya
sementara kelompok lain dengan gigih bersikap serupa.
Mayoritas ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering dijumpai
tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu adanya pencarian
jati diri hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup. .
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk memuat pembagian hadist yang
selama ini beredar terutama hadist dari segi kuantitas dan kualitas sanadnya, mudah-mudahan
dapat mengurangi tingkat kekeliruan dalam memahami hadist, baik dari segi kuantitas dan
kualitas sanadnya. Penulis menyadari didalam makalah sangat jauh dari kesempurnaan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sekalian sangat diharapkan sebagai kontribusi
merevisi makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini dirumuskan masalah berikut ini:

1.      Bagaimana pembagain hadits dari segi kualitasnya?


2.      Apa yang dimaksud dengan hadits Shahih?
3.      Apa yang dimaksud dengan hadits Hasan?
4.      Apa yang dimaksud dengan hadits Dha’if?
C.     Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah;
1.      Memberikan wawasan baru terhadap penulis khususnya dan pembaca mengenai Hadits
ditinjau dari segi kualitasnya.

2.      Makalah ini ditulis guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitasnya

Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan-nya, atau berdasarkan kepada kuat dan lemahnya,


Hadits terbagi menjadi 2 golongan, yaitu: Hadits Maqbul & Hadits Mardud.

Yang dimaksud dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk diterima
sebagai dalil dalam perumusan hukum  atau untuk beramal dengannya. Hadits Maqbul ini terdiri dari
Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan Hadits Mardud adalah Hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits Mardud dinamai juga dengan Hadits Dha’if.

B. Hadits Shohih
1. Pengertian Hadits Shahih

Kata “Shahih” menurut bahasa berarti: sehat, selamat, sah dan sempurna. Ulama biasa
menyebut kata shahih sebagai lawan dari kata “saqim” yang bermakna sakit. Makna hadits shahih
secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit.
Sedangkan menurut istilah yaitu “ Hadis yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawi yang adil,
sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat (cacat),  dan tidak syadz (janggal).”
Demikian pengertian hadis shahih menurut pendapat muhadditsin

2. Syarat-syarat Hadis Shahih

Dari pengertian di atas bahwa suatu hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi lima syarat,
yaitu:

a. Bersambung sanadnya, maksudnya tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima
langsung dari guru yang memberinya dan tidak terdapat rawi yang gugur.
b. Perawinya adil, terdapat beberapa kriteria yaitu beragama Islam, dewasa, sehat
jasmanai dan rohani, mukallaf, memelihara muru’ahnya, dan tidak mengikuti salah satu
pendapat mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
c. Perawinya dhabith, maksudnya kuatnya daya ingat perawi hadis terhadap hadis yang
didengar maupun menyampaikannya sebagaimana mestinya, kapan saja ketika
diperlukan. Para muhadditsin membaginya menjadi dua bagian, yaitu:
 Dhabith shadr atau dhabith fu’ad yaitu terpeliharanya semua hadis dalam
hafalan, mulai dari ia menerima sampai meriwayatkannya kepada orang lain
dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja, dimana saja ia
kehendaki.
  Dhabith kitab yaitu terpeliharanya ingatan itu melalui tulisan-tulisan atau
catatan-catatan yang dimilikinya. Ia ingat betul hadis-hadis yang telah ditulis
sejak ia mendengarnya, meriwayatkannya kepada orang lain yang benar. Jika
ditemukan adanya kesalahan tulisan dalam kitab, ia mengetahui
kesalahannya.

d. Tanpa syadz (janggal) yaitu hadis yang sanad dan matannya tidak bertentangan dengan
hadis lain yang lebih tsiqqah.
e. Tanpa ‘illat (cacat) maksudnya hadis yang secara lahiriyyah tidak cacat, tetapi apabila
diteliti cacat itu ada sehingga keberadaannya dapat mencacatkan keshahihannya.

3. Macam-macam Hadis Shahih

Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu:

a.       Hadis Shahih Li Dzatihi

      Hadis shahih li dzatihi adalah  hadis yang didalamnya telah terpenuhi syarat-syarat hadis maqbul
atau yang memenuhi syarat-syarat diatas secara sempurna. Akan tetapi jika kualitas daya ingat
perawi kurang sempurna, maka hadis shahih li dzatihi akan turun menjadi hadis hasan lidzatihi, akan
tetapi jika kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan adanya hadis lain yang kualitas daya ingatnya
lebih kuat maka naiklah hadis hasan li dzatihi menjadi hadis shahih lighairihi.

b.      Hadis Shahih Li Ghairihi

      Hadis shahih li ghairihi adalah hadis yang keshahihannya dibantu oleh adanya hadis lain. Pada
mulanya hadis ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang kurang dhabith, sehingga dinilai
tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis shahih. Tetapi setelah diketahiu ada hadis
lain dengan kandungan matan yang sama dengan kualitas shahih maka hadis tersebut naik menjadi
hadis shahih, kata lain hadis shahih li ghairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena hadis ada
hadis shahih dengan matan yang sama maka hadis hasan tersebut naik menjadi hadis shahih. Contoh
hadis hasan menjadi shahih li ghirihi:

)‫ ( رواه الرتمذي‬.‫ل َ ْواَل َأ ْن َأ ُش َّق عَىَل ُأ َّميِت اَل َ َم ْرهُت َ ْم اِب ِ ّلس َو ِاك ِع ْندَ لُك ِ ّ َصاَل ٍة‬
Kalau tidak memberatkan ummatku, sungguh aku akan menyuruh mereka siwak (sikat gigi)
setiap hendak shalat. (HR TIRMIDZI)

Dalam redaksi yang sama persis, hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmizi juga Imam
Bukhari. Hadis yang melalui jalur Imam Tirmidzi melalui rawi Muhammad bin Amir yang terkenal
sebagai orang yang jujur namun dinilai kurang dhabit, maka hadis tersebut adalah  hasan li dzatihi.
Akan tetapi ada hadis lain dengan redaksi dan makna yang sama melalui jalur Bukhari yang shahih,
maka hadis yang melalui jalur Tirmidzi naik menjadi hadis Shahih li ghairihi.

4.  Kehujjahan Hadis Shahih

Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hokum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli
fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
Sekalipun demikian, kesepakatan tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan penetapan status halal dan haram, bukan yang berhubungan dengan keyakinan
atau aqidah, sebab masalh keyakinan atau aqidah harus ditetapkan dengan dasar Al-Qur’an dan
hadis mutawwatir bukan dengan hadis ahadi, sedangkan hadis shahih termasuk kedalam salah satu
macam hadis ahadi jika dilihat dari sisi kualitasnya.

Dari faktor itulah, maka stratifikasi hadis shahih tergantung pada sejauh mana kedhabitan dan
keadilan para perawinya, semakin dhabit dan adil maka semakin tinggi pula strata kualitas hadis
yang diriwayatkan.

C. Hadits Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan

Secara bahasa Hasan artinya sesuatu yang disenangi dan dicondongi


oleh nafsu. Sedangkan secara istilah menurut Ibnu Hajar al-Asqalani adalah:

“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya,
tidak mengandung ‘illat (cacat), dan tidak mengandung kejanggalan (syadz)”.

Para ulama sepakat bahwa istilah hadis hasan diperkenalkan pertama kali oleh Tirmidzi, karena
sebelum beliau pembagian hadis hanya ada shahih dan saqim atau maqbul dan mardud.

2.Macam-macam Hadis Hasan

Sebagaimana hadis shahih, demikian pula hadis hasan juga dibagi menjadi 2, yaitu:

a.       Hadis hasan li dzatihi

Hadis yang memenuhi lima unsur persyaratan hadis shahih, tetapi salah satu rawi ditengarai
kurang kuat hafalannya.

Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, hadis hasan li dzatihi ialah hadis yang bersambung sanadnya
dengan penukilan perawi yang ‘adil dan ringan kedhabitannya dan yang semisalnya atau dari perawi
yang lebih tinggi darinya sampai akhirnya berhentinya sanad dan bukan hadis yang syadz, juga bukan
mu’allal (yang bercacat).

b.      Hadis hasan li ghairihz

Yaitu hadis dha’if yang karena didukung oleh hadis lain yang shahih dengan matan yang sama,
sehingga naik menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis yang naik peringkatnya menjadi hadis hasan
hanyalah hadis dha’if yang tidak terlalu dha’if. Adapun hadis yang sangat lemah tidak dapan menjadi
hadis hasan meskipun terdapat hadis hadis dengan matan yang sama berkualitas shahih.

Contoh hadis dha’if yang menjadi hadis hasan li ghairihi:


ُ ‫َح َّدثَنَا ُعثْ َمان ْب ِن الهَ ْيمَت ِ َح ّدثَنَا َع ُوف َع ْن َأيِب َر َجا ٍء َع ْن مِع ْ َر ٍان ْب ِن ُح َسنْي ٍ َع ِن النَّىِب َصىَّل‬
‫هللا‬
‫ َاطلَ ْع ُت ىِف الْ َجنَّ ِة فَ َرَأيْ َت َأ ْكرَث َ َأ ْه ِلهَا الْ ُف َق َرا ُء َو َاطلَ ْع ُت يِف النَّ ِار فَ َرَأيْ ُت َأ ْكرَث َ أ ْه ِلهَا‬: ‫عَلَ ْي ِه َو َسمَل ِ قَا َل‬
)‫ ( رواه البخارى‬.‫ال ِن ّ َسا ُء‬
Aku pergi ke surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah orang faqir dan aku pergi ke
neraka kudapati sebagian besar penghuninya
adalah wanita. (HR BUKHARI)
 

Hadis yang diriwayatkan melalui jalur Bukhari menjadi dha’if karena adanya Usman bin Haitam
yang dinilai lemah, namun menjadi hasan li ghairihi karena adanya jalur lain melalui Tirmizi yang
bernilai hasan.

3.        Kehujjahan Hadits Hasan

Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits
hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama
yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan
li ghairihi.

Maka dari itu, para ahli hukum banyak beramal menggunakan dasar dari hadits hasan, sekalipun
mereka tetap berpegang pada persyaratan keafsahan hasan li ghairihi sebagai hujjah, yaitu:

a.         Meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada.

b.         Hadits tersebut tertutup oleh banyaknya periwayatan hadits lain, baik redaksinya sama atau hamper
sama.

Hadis Dha’if
1.      Pengertian  Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah, kebalikannya adalah  (‫ )ﻗﻮﻯ‬yang berarti kuat. Maka
sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, sakit, tidak kuat. Sedangkan pengertian
hadis dha’if secara therminologi menurut an-Nawawi dan al-Qasimi adalah:

        ‫َما ل َ ْم يُ ْو َجدْ ِف ْي ِه رُش ُ ْو ُط ا ِلص َّح ِة َواَل رُش ُ ْو ُط الْ َح َس ِن‬


Hadis dha’if adlah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-
syarat hadis hasan.

Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja
dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi
yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan
status semua hadis dha’if adalah mardud

(tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

2.      Klasifikasi Hadis Dha’if

Hadis dhaif berdasarkan tingkat kedha’ifannya dibagi menjadi dua, yaitu:

a.       Dhaif muhtamal, yaitu yang bias ditahan (diterima) atau ringan, bukan dha’if yang berat. Hal ini
ketika ada hadis semisal yang membantu tertutupnya kedha’ifan hadis tersebut dan terangkat
menjadi hadis hasan li ghairihi.

b.      Dha’if syadid, yaitu dha’if yang sangat berat. Hal ini ketika ada hadis yang semisalnya tertapi
tetap tidak tertutup kedha’ifan hadis tersebut dan tidak terangkat derajatnya.

BAB III

PENUTUP
 Kesimpulan
Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hokum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli
fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.

Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan
sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang
memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li
ghairihi.

Jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka
hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat
maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud
(tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

 Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa
menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran
khususnya dari Dosen Pembimbing Bapak Mukhsan S.Pd.I yang bersifat membantu dan membangun
agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Zein, Muhammad Ma’shum.2007.Ulumul Hadits & Musthalah Hadits.Jakarta:Darul Hikmah

Yuslem, Nawir.2001.Ulumul Hadis.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya


TIM MGMP PROVINSI YOGYAKARTA.2011.Ilmu Hadits.Yogyakarta:Kementrian  Agama Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai