Anda di halaman 1dari 33

RESUME FIQH MUAMALAH DAN JINAYAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Fiqh Muamalah dan Jinayah Pada semester III
(tiga) Program study Pendidikan Agama Islam
Tahun Akademik 2021/2022

NAMA : RIZKY AKBAR JULIANTO


PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER : III (TIGA)/ B
MATA KULIAH : FIQIH MUAMALAH JINAYAH
DOSEN PENGAMPU : ANDI SURYA FATAH, M.Pd

PENDAHULUAN
Hukum Islam diturunkan oleh Allah Swt bertujuan untuk mencegah
kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka,
mengarahkan kepada kebenaran, keadilan dan kebijakan serta menerangkan
jalan yang harus dilaluinya. Dalam hal ini bertumpu pada lima prioritas utama
yang disebut sebagai maqâsid asy-syarî’ah yakni memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta benda dengan berlandaskan Alquran yang bersifat
universal dan dinamis. Dengan kata lain tujuan disyariatkannya Islam adalah
untuk kemaslahatan hidup manusia baik rohani maupun jasmani, individual
maupun kelompok.

Di antara hukum tersebut adalah hukum tentang perkawinan, kewarisan,


dan perniagaan. Masing-masing hukum yang telah Allah turunkan memiliki
maksud dan tujuan yang berbeda, salah satu contoh dalam hukum perkawinan
para ulama menyebutkan bahwa langgengnya kehidupan dalam ikatan
perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam.
Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan dan penyerahan diri seorang hamba
saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini berarti bahwa manusia dalam
berhadapan dengan Tuhannya (Allah) haruslah merasa kerdil, bersikap
mengakui kelemahan dan membenarkan kekuasaan Allah swt.

1
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku
manusia dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa
atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan
sebagainya.Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya
merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu
tempat pada suatu masa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui
wahyunya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad
sebagai rasulnya melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab
hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan
hukum yang lain.

Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan


oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dalam bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan
benda serta alam sekitarnya.Kemampuan akal dan budi manusia yang berwujud
dalam ilmu pengetahuan tidaklah sebanding dengan ilmu dan kemampuan Allah
swt. Kemampuan manusia bersifat kerdil dan sangat terbatas, semisal hanya
terbatas pada kemampuan menganalisis, menyusun kembali bahan-bahan
alamiah yang telah ada untuk diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, tetapi tidak mampu menciptakan dalam arti mengadakan
dari yang tidak ada menjadi ada (invention).

HUKUM ISLAM

Bagi setiap Muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya harus
sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai realitas dari keimanan kepada-Nya.
Kehendak atau titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia, di
kalangan ahli ushul di sebut “hukum syara‟”, sedangkan bagi kalangan ahli
fiqh, “hukum syara‟” adalah pengaruh titah Allah terhadap perbuatan manusia
tersebut.

2
Seluruh kehendak Allah tentang perbuatan manusia itu pada dasarnya
terdapat dalam al-Qur‟an dan penjelasan-Nya dalam sunnah Nabi. Tidak ada
yang luput satu pun dari al-Qur‟an. Namun al-Qur‟an itu bukanlah kitab hukum
dalam pengertian ahli fiqh karena di dalamnya hanya terkandung titah dalam
bentuk suruhan dan larangan atau ungkapan lain yang bersamaan dengan itu;
dengan istilah lain, al-Qur‟an itu mengandung norma hukum.1
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam
pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan
atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan diteguhkan oleh penguasa.

A. Sumber-Sumber Hukum Islam

Kehadiran hukum islam ternyata memiliki maksud dan tujuan. Salah


satunya untuk menyatukan perbedaan. Mengingat banyak interpretasi tentang
ajaran islam. Interpretasi yang timbul inilah yang memicu terjadi perbedaan
pendapat, konflik, pemahaman radikal dan sifat keegoisan masing-masing
golongan. Maka dari itu, hukum islam hadir sebagai penengah. Kenapa
penengah? Karena hukum islam disusun berdasarkan pada sumber hukum islam,
Adapun sumber hukum islam yang digunakan, mengacu sebagai berikut :
1. Al-Qur’an

Sumber hukum islam yang paling dasar adalah Al Qur’an. Sebagai kitab suci
umat muslim, tentu saja Al Qur’an sebagai tiang dan penegak. DImana Al Qur’an
pesan langsung Dari Allah SWT yang diturunkan lewat Malaikat Jibril. Kemudian
Jibril menyampaikan langsung kepada Nabi Muhammad. Muatan Al Qur’an berisi
tentang anjuran, ketentuan, larangan, perintah, hikmah dan masih banyak lagi.
Bahkan, di dalam Al Quran juga disampaikan bagaimana masyarakat yang
berakhlak, dan bagaimana seharusnya manusia yang berakhlak.
2. Hadits

1
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h.1

3
Hadits sabagai sumber islam yang tidak kalah penting. Kenapa hadis
digunakan untuk hukum islam? Karena Hadis merupakan pesan, nasihat, perilaku
atau perkatan Rasulullah SAW. segala sabda, perbuatan, persetujuan dan
ketetapan dari Rasulullah SAW, akan dijadikan sebagai ketetapan hukum
islam.Hadits mengandung aturan-aturan yang terperinci dan segala aturan secara
umum. Muatan hadits masih penjelasan dari Al-Qur’an. Perluasan atau makna di
dalam masyarakat umum, hadits yang mengalami perluasan makna lebih akrab
disebut dengan sunnah.2
3. Ijma’
Mungkin ada yang asing dengan sumber hukum islam yang ketiga, iaitu
ijma’. Ijma’ dibentuk berdasarkan pada kesepakatan seluruh ulama mujtahid.
Ulama yang di maksud di sini adalah ulama setelah sepeninggalan Rasulullah
SAW. Kesepakatan dari para ulama, Ijma’ tetap dapat dipertanggungjawabkan
di masa sahabat, tabiin dan tabi’ut tabiin.
Kesepakatan para ulama ini dibuat karena penyebaran Islam sudah semakin
meluas tersebar kesegala penjuru.Tersebarnya ajaran islam inilah pasti ada
perbedaan antara penyebar satu dengan yang lainnya. nah, kehadiran ijma’
diharapkan menjadi pemersatu perbedaan yang ada.
4. Qiyas
Qiyas sepertinya tidak banyak orang yang tahu. Sekalipun ada yang tahu,
masih ada perbedaan keyakinan, bahwa qiyas ini tidak termasuk dalam sumber
hukum islam. Meskipun demikian, para ulama sudah sepakat Qiyas sebagai
sumber hukum islam. Qiyas dalah sumber hukum yang menjadi penengah apabila
ada suatu permasalahan. Apabila ditemukan permasalahan yang tidak ditemukan
solusi di Al-Quran, Hadits, Ijma’ maka dapat ditemukan dalam qiyas.
Qiyas adalah menjelaskan sesuatu yang tidak disebutkan dalam tiga hal tadi
(Al-quran, hadits dan Ijma’) dengan cara membandingkan atau menganalogikan
menggunakan nalar dan logika 3

2
Kutbuddin Aibak, “Otoritas dalam hukum Islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl)”,
Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014), hal. 94. Kutbuddin Aibak, “Membaca
Kembali Eksistensi Hukum Islam dalam Keragaman Hidup dan Kehidupan”, dalam Ahkam: Jurnal
hukum Islam, volume 5 No. 2 November 2017, h. 322.

4
Keempat sumber hukum islam di atas menunjukkan bahwa hukum islam tidak
sekedar hukum biasa. Karena dasarnya mengacu pada 4 hal yang sangat
fundamental.
Bahkan, ada beberapa pendapat lain, selain mengacu pada 4 sumber hukum di atas,
masih ada lagi sumber hukum islam, yaitu ada :
a. Istihsan,
b. Istishab
c. Saddudz-dzari’ah atau tindakan preventif
d. urf atau adat
e. dan Qaul sahabat Nabi SAW.

B. Ruang Lingkup Hukum Islam


Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata
dengan hukum publik. Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam atau
bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukumIslam. Hukum Islam
berbeda dengan hukum barat yang membagi hukum menjadi hukum privat
(perdata) dan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut hukum Islam pada
hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi
perdatanya. Ruang lingkup hukum Islam diklasifikasi ke dalam dua kelompok
besar, yaitu: (1) hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, contohnya
iman, sholat, zakat, puasa dan haji, dan (2) hukum yang berkaitan dengan
persoalan kemasyarakatan. Itulah sebabnya dalam hukum islam yang berkaitan
dengan kemasyarakatan misalnya: (1) Munakahat (2) Wirasah (3) Muamalat
dalam arti khusus (4) Jinayat (5) Al-ahkam al-sultoniyyah (6) Siyar (7)
Mukhasamat.
Para ulama membagi ruang lingkup Hukum Islam (fiqh) menjadi dua yaitu
1. Ahkam Al-Ibadat
Ahkam al-Ibadat, yyaitu ketentuan-ketentuan atau hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya. Ahkam Al-Ibadat ini dibedakan kepada
Ibadat Mahdlah dan Ibadat Ghair Mahdlah.
2.Ahkam Al-Mu‟amalat

5
Ahkam Al-Mu‟amalat, yaitu ketentuan-ketentuan atau hukum yang
mengatur hubungan antar manusia (makhluk), yang terdiri dari: Ahkam
Al-Ahwal Al-Syahsiyat (Hukum orang dan keluarga), yaitu hukum tentang
orang (subyek umum) dan hukum keluarga, seperti hukum perkawinan;
Ahkam Al-Madaniyat (Hukum Benda), yaitu hukum yang mengatur
masalah yang berkaitan dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, penyelesaian harta warisan atau hukum warisan;
Al-Ahkam Al-Jinayat (Hukum Pidana Islam), yaitu hukum yang berhubungan
dengan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana (delict, jarimah) dan
ancaman atau sanksi hukuman bagi yang melanggarnya (uqubat);
Al-Ahkam Al-Qadla wa Al-Marafa‟at (Hukum acara), yaitu hukum yang
berkaitan dengan acara di peradilan (hukum formil), umpama aturan yang
berkaitan dengan alat-alat butti, seperti saksi, pengakuan dan sumpah.
Ahkam Al-Dusturiyah (Hukum Tata Negara dan Perundang- undangan), yaitu
hukum yang berkaitan dengan masalah politik, seperti mengenai pengaturan
dasar dan system Negara.

Pada umumnya hukum Islam dibagi atas dua macam oleh para fuqaha
Yang bersifat perintah, larangan, atau pilihan. Golongan ini bernama Hukum
Taklifi yang terbagi atas lima yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram.
Yang bersifat menunjukkan keadaan-keadaan tertentu yang dikualifikasi sebagai
sebab atau syarat atau halangan bagi berlakunya hukum. Golongan ini bernama
Hukum Wadhi‟i.
Adapun hukum Wadhi‟I terdapat tiga macam:
Terdapat sebab, sebab adalah sesuatu yang tampak jelas dan tertentu menjadi
tanda/pangkal adanya hukum, terdiri dari:
Sebab yang bukan hasil perbuatan manusia, misalnya peristiwa meninggalnya
seseorang yang mengakibatkan harta peninggalnya beralih kepada ahli
warisnya.
Sebab yang lahir dari perbuatan manusia, misalnya karena adanya akad nikah
menjadi sebab adanya hubungan seks antara seorang pria dengan seorang
wanita.

6
Tentang syarat, syarat adalah sesuatu yang padanya bergantung adanya sesuatu
hukum yang berlaku, terdiri dari:
Syarat yang menyempurnakan sebab, misalnya jatuh tempo pembayaran zakat
menjadi syarat untuk mengeluarkan zakat atas harta benda yang sudah mencapai
jumlah tertentu untuk dikenakan zakat.
Syarat yang menyempurnakan sebab, misalnya berwudhu dan menghadap kiblat
adalah menyempurnakan hakikat shalat.

Halangan (maani), maani adalah sesuatu yang karena adanya menghalangi


berlakunya ketentuan hukum, terdiri dari :
Maani yang mempengaruhi sebab, misalnya ahli waris membunuh pewaris
sehingga terhalang untuk menerima warisan.
Maani yang mempengaruhi akibat, misalnya ayah yang membunuh anaknya
sendiri seharusnya dikenakan hukuman qisas, tetapi karena statusnya sebagai
bapak menghalangi dijatuhkannya hukuman qisas.

C. Tujuan Hukum Islam

Kalau kita pelajari dengan seksama ketetapan Allah SWT dan ketentuan
Rasul-Nya yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan kitab-kitab hadits yang
sahih, kita segera dapat mengetahui tujuan hukum Islam. Secara umum sering
dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat
dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup
dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan
hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan social.
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga
untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq ash-Shabiti
merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta, yang (kemudian) disepakati oleh ilmuan hukum Islam itu
di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid
al-syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam).
Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya
adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama

7
Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup
setiap Muslim serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang muslim,
terdapat juga syari‟at yang merupakan jalan hidup seorang muslim baik dalam
berhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengn manusia lain
dan benda dalam masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib
melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan
setiap orang untuk beribadah menurut keyakinan (agamanya).

8
FIQIH MUAMALAH DAN JINAYAH
Pengertian Fiqih Muamalah

Fiqih Muamalah terdiri dari dua unsur kata, yaitu kata fiqih dan muamalah. Dalam
etimologi Islam, kata Fiqih berasal dari akar kata Faqqiha Yafkahu Fiqhan yang
berarti mengetahui, memahami, dan mendalami sesuatu secara mutlak. Apabila
kata Fiqih ini dikaitkan dengan agama Islam, maka maksudnya adalah memahami
aturan-aturan Islam (Syariat) secara totalitas. Sementara kata Muamalah secara
bahasa merupakan bentuk ketiga (mashdar) yang terpetik dari kata Amala-Yu
Amilu-Mu Amalatan yang berarti saling bertindak, berbuat, beramal dan
bertransaksi.

Sedangkan menurut istilah, muamalah bissa ditinjau dari dua segi, yakni dalam
arti general dan dalam arti spesifik. Secara general muamalah adalah aturan atau
hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi
dalam pergaulan sosial. Sementara secara spesifik adalah aturan atau hukum Allah
yang wajib ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia terkait cara
memperoleh dan mengembangkan harta benda.Jika kata Fiqih dan muamalah di
gabung, maka dapat di definisikan sebagai sebuah bidang ilmu fiqih yang secara
khusus mengkaji tentang peraturan-peraturan Allah yang harus ditaati dalam
bersosial dan bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Utamanya
bidang ekonomi melalui dalil-dalil yang termaktub dalam al-quran, al-hadist dan
al-itihad. Misalnya Jual beli, Khiyar, Syirkah, dan berbagai jenis muamalah
lainnya.

Fiqh Muamalah menurut para ahli dalam arti luas:

a. Menurut Ad-Dimyati, fiqh muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan


duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.

b. Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan hukum


mengenai kegiatan perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman,
ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat pengadilan, bahkan soal
distribusi harta waris.

9
c. Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum
mengenai hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan
bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama lain.

d. H. Lammens, S.J., guru besar bidang bahasa Arab di Universitas Joseph, Beirut
sebagaimana dikutip dalm buku Pengantar Fiqh Mu’amalah karya Masduha
Abdurrahman, memaknai fiqh sama dengan syari’ah. Fiqh, secara bahasa menurut
Lammens adalah wisdom (hukum). Dalam pemahamannya, fiqh adalah rerum
divinarum atque humanarum notitia (pengetahuan dan batasan-batasan lembaga
dan hukum baik dimensi ketuhanan maupun dimensi manusia).

e. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqh dengan pengetahuan


tentanghukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diusahakan dari
dalil-dalil yang terinci atau kumpulan hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.

2. Pengertian Fiqh Jinayah

Fiqh Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu Fiqh dan Jinayah. Pengertian fiqh secara
istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khollaf, fiqh adalah ilmu tentang
hukum-hukum syara’ praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Adapun
jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah merupakan bentuk verbal noun
(mashdar) dari kata Jana-Yajni-Jinayatanyang berarti berbuat dosa (jarimah) atau
salah biasa diartikan perbuatan jalan yang dilakukan manusia di ancam di dunia
maupun di akhirat.

10
Tujuan Fiqh Muamalah dan Jinayah
Setiap ilmu pengetahuan yang telah menjadi sebuah teori, disiplin ilmu dan
landasan hukum, pasti memiliki tujuan yang menjadi target pemahaman yang
akan diperoleh setelah mempelajarinya. Begitu pula dengan fiqh muamalah juga
memiliki tujuan-tujuan yang konkrit. Setidaknya, di antara tujuan tersebut antara
lain.

a. Untuk mengetahui dan memahami secara detail dan komperenshif terkait


ketentuan dan tata cara pelaksanaan masing-masing jenis muamalah, baik secara
teoritis maupun praktis sebagaimana telah tercantum dalam sumber hukum Islam,
sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata sebagaimana mestinya, baik
dalam kehidupan pribadi, sosial, beragama maupun bernegara.

b. Untuk memperjelas akan eksistensi dan substansi dari Maqasid Al Syari’ah,


juga sering disebut dengan Adl-dlaruri al khamzah (5 tujuan pokok syariat),
meliputi : menjaga atau melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Khusunya persoalan yang berkaitan dengan harta, sehingga melalui fiqih
muamalah setiap manusia bisa mengetahui tata cara dalam memperoleh dan
mengembangkan harta bendanya sesuai aturan syariat Islam.

c. Untuk memahamkan setiap muslim atau umat manusia akan urgensi mematuhi
syariat Islam, agar mereka dapat bertindak sesuai ketentuan syariat Islam dalam
menjalani kehidupan, baik berupa larangan, perintah, hak maupun kewajiban, baik
individu maupun kolektif, baik vertical atau horizontal.Sedangkan kegunaan
mempelajari fiqih muamalah, antara lain, demi :

1. Terciptanya agama yang lurus, negara yang makmur dan masyarakat yang
madani dengan pelaksanaan muamalah yang sesuai dengan konsepsi syariat Islam

2. Terpeliharanya hak-hak Allah dan hak – hak manusia dari berbagai bentuk
pelanggaran dan kemaksiatan

11
3. Terbentuknya insan-insan yang agamis, bermoral, bermartabat, dan taat hukum
agama, negara dan norma masyarakat. Sehingga dapat terwujud stabilitas,
keamanan, responsibilitas, kemakmuran, kemajuan dan kemaslahatan di segala
bidang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dan kegunaan
mempelajari fiqih muamalah tidak lain adalah untuk menciptakan, memelihara
serta melindungi hak Allah dan hak manusia yang telah ditetapkan oleh syariat
Islam. Sebagai manivestasi dan aktualisasi dari esensi agama itu sendiri (Islam,
Iman dan Ihsan) agar senantiasa dilaksanakan dan dipergunakan sebagai mestinya.

2. Tujuan Fiqih Jinayah

Syari’at islam diturunkan oleh Allah swt, untuk kemaslahatan manusia, para ahli
hukum islam mengklarifikasi tujuan luas dari syari’ah, sebagai berikut:

a. Menjamin keamanan Al Maqshad Al Syari’ah Al Khamsah (lima tujuan


Syariah) yang bersifat primer (daruriyyat), yaitu:

1. Hifzh Al Din (memelihara agama);

2. Hifzh Al Nafs (memelihara jiwa);

3. Hifzh Al Mal (memelihara harta);

4. Hifzh Al Nasl (memelihara keturunan);

5. Hifzh Al Aqli (memelihara akal pikiran).

b. Menjamin keperluan-keperluan yang bersifat sekunder (hajiyat) yaitu


keperluan-keperluan yang dapat menyingkirkan kesulitan-kesulitan masyarakat
dan dapat membuat hidup lebih mudah,

c. Membuat perbaikan-perbaikan, yaitu mengarahkan manusia kepada


urusan-urusan hidup yang lebih baik (tahsinat).Menurut pendapat lain, tujuan
pokok dalam penjatuhan hukum dalam syari’at islam adalah pencegaha atau
preventif (ar-radu wa zajru) dan pengajaran serta pendidikan atau represif (al-Islah
wa tahdzib). Artinya pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain
untuk tidak melakukan kejahatan serupa.

12
Oleh karena pemidanaan adalah pencegahan, maka besarnya hukum harus
sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau
lebih dari batas yang diperlukan, dan demikian terdapat prinsip keadilan dalam
menjatuhkan hukuman. Bila demikian keadaannya, maka hukuman dapat
berbeda-beda terutama hukuman ta’dzir, menurut perbuatannya. Selain
pencegahan, syari’at islam juga bertujuan untuk memberikan perhatiannya kepada
diri pembuat, bahkan memberikan pelajaran dan mengusahakan yang terbaik bagi
pembuat Jarimah. Disamping untuk diri pembuat, penjatuhan pidana juga
bertujuan untuk membentuk masyarakat yang baik.

Unsur-Unsur Fiqih Muamalah dan Jinayah

1. Unsur Fiqih Muamalah

Secara umum, Muamalah memliki dua prinsip:

pertama, kebolehan dalam melakukan aspek Muamalah, (seperti jual beli, sewa
menyewa ataupun yang lainnya). Dalam kaidah fiqh disebutkan:

“Prinsip dasar muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya
(Djazuli, 2011:130)”.

Kedua, Muamalah dilakukan atas pertimbagan membawa kebaikan (maslahat)


bagi manusia untuk menolak segala yang merusak. Hal ini sejalan dengan
makasid Syariah bahwa tujuan diturunkannya Syariah untuk menjaga lima hal
mendasar pada manusia. Hakikat kemaslahatan dalam islam adalah segala bentuk
kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material
dan spiritual, serta individual dan kolektif. Sesuatu dipandang islam mengandung
maslahat jika memenuhi dua unsur, yakni kepatuhan Syariah dan bermanfaat serta
membawa kebaikan bagi semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan
muharrat dan merugikan pada salah satu aspek.

Ketiga, muamalah dilaksanakan dnegna memelihara nilai keseimbangan


(tawadzun). Konsep ini dalam Syariah meliputi berbagai segi, antara lain:
keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual, pemanfaatan serta
pelestarian sumber daya.

13
Keempat, muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan
menghindari unsur-unsur kedzaliman dan unsur penindasan tidak
dibenarkan.Adapun beberapa hal yang termasuk ke dalam Fiqih Muamalah,
adalah sebagai berikut:

a. Jual beli (al-Bai’ al-Tijarah) merupakan tindakan atau transaksi yang telah
disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam islam

b. Gadai (al-Rahn) yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta
dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan
mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.

c. Jaminan dan tanggungan (Kafalan dan Dhaman) diartikan menanggung atau


penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari
seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan
berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut
dalam menghadapi penagih (utang). Sedangkan dhaman berarti menanggung
hutang orang yang berhutang.

d. Pemindahan hutang (Hiwalah) berarti pengalihan, pemindahan. Pemindahan


hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak
kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada
pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama. Baik
pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun
tidak.

e. Jatuh bangkrut (Taflis)adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh


kekayaannya habis.

f. Perseroan atau perkongsian (al-Syirkah) dibangun atas prinsip perwakilan dan


kepercayaan, karena masing-masing pihak yang telah menanamkan modalnya
dalam bentuk saham kepada perseroan, berarti telah memberikan kepercayaan
kepada perseroan untuk mengelola saham tersebut.

g. Masalah-masalah seperti bunga bank, asuransi, kredit, dan masalahmasalah


baru lainnya.Dalam mengatur hubungan antar manusia dengan manusia lain yang

14
sasarannya adalah harta benda fiqh muamalah mempunyai unsur untuk dijadikan
acuan dan pedoman untuk mengatur kegiatan muamalah. Unsurtersebut adalah
sebagai berikut:

a. Muamalah adalah Urusan Duniawi maksudnya adalah urusan muamalah


berbeda dengan ibadah di mana dalam ibadah semua perbuatan dilarang
kecuali yang diperintahkan sedangkan dalam muamalah semua boleh
dilakukan kecuali yang dilarang, oleh karena itu semua bentuk transaksi dan
akad muamalah boleh dilakukan oleh manusia asal tidak bertentangan dengan
ketentuan syara’.

b. Mumalah Harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua Belah


Pihak artinya dasar dari bermuamalah adalah kerelaan dari kedua belah pihak
bagaimana pun bentuk akad dan transaksi muamalah selama kedua belah
pihak rela dan sepakat serta tidak melanggar ketentuaan syara’ itu
diperbolehkan.

c. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum maksudnya dalam bermuamalah


setiap daerah atau kelompok mempunyai kebiasaan yang dilakukan secara
turun temurun dan bertahun-tahun yang selanjutnya menjadi adat kebiasaan
dalam bermuamalah jika adat dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan
syara’ dan diakui oleh masyarakat maka hal itu sah dijadikan sebagai dasar
hukum.

d. Tidak Boleh Merugikan Orang Lain dan Diri Sendiri maksudnya tujuan
bermuamalah adalah mencari keuntungan yang tidak merugikan orang lain,
maka dari itu dalam bermuamalah haruslah sama-sama menguntungkan
kedua belah pihak yang terlibat.

2. Unsur Fiqih Jinayah

Larangan atas perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari


ketentuan-ketentuan (nash) Syara’. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat
dikategorikan sebagai jinayah jika diancam hukuman. Karena larangan berasal

15
dari syara’, maka hanya ditunjukan kepada orang-orang yang berakal sehat.
Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat

menerima panggilan dan mampu memahami pembebanan dari syara’. Perbuatan


yang merugikan dilakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak dapat
dikategorikan sebagai jinayah, karena mereka tidak dapat memahami pembebanan
(taklif).

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah, yaitu
sebagai berikut :

a. Adanya nash yang melarang perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman
atas perbuatannya. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur formal (Al rukn Al
Syar’i)

b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan


perbuatang yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur
ini dikenal dengan istilah unsur material (Al Rukn Al Madi)

c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima atau memahami taklif,
artinya pelaku kejahatan adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas
kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan isitlah unsur moral (Al
Rukn Al Adadi) Semua perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika
memiliki ketiga unsur tersebut. Tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu perbuatan
tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.

16
BAB AKAD
A. Akad Dalam Hukum Islam
Pengertian dan Dasar Hukum Akad Dalam Islam
Pengertian akad berasal dari bahasa Arab al-aqd yang berarti perikatan,
perjanjian, persetujuan dan pemufakatan. Kata ini juga bisa di artikan tali yang
mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih
sunnah, kata akad di artikan dengan hubungan ( ) 쳌䁓m dan .(Ϛ˴ϔ˶ ) kesepakatan
Secara istilah fiqih, akad di definisikan dengan pertalian ijab (pernyataan
penerimaan ikatan) daa kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan. Pencantuman
kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh
perikatan yang di lakukan oleh dua pihak atau lebih tidak di anggap sah apabila
tidak sejalan dengan kehendak syara‟. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan
transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun
pencantuman kata-kata “berpengaruh kepada objek perikatan” maksudnya adalah
terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada
pihak lain (yang menyatakan qabul).4 Hasbi Ash-Shiddieqy mengutip definisi
yang di kemukakan oleh Al-Sanhury, akad ialah “perikatan ijab qabul yang di
benarkan syara‟ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak”. Adapula yang
mendefinisikan, akad ialah “ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak
atau kedua belah pihak”. 5Berdasarkan pengertian tersebut dapat di simpulkan
bahwa akad adalah “pertalian ijab (ungkapan tawaran di satu pihak yang
mengadakan kontrak) dengan qabul (ungkapan penerimaan oleh pihak pihak lain)
yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.
Dasar hukum di lakukannya akad dalam Al-qur`an adalah surah Al-Maidah ayat 1
sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.

4
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Kencana, 2010) hal 51
5
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), hal 15.

17
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
(Q.S Al-Maidah : 1)6.
Berdasarkan ayat tersebut dapat di pahami bahwa melakukan isi perjanjian atau
akad itu hukumnya wajib.
B. Rukun dan Syarat Akad
a. Rukun-Rukun Akad Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut
1. Aqid-Aqid adalah orang yang berakad (subjek akad).Terkadang
masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari
beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya
masing-masing pihak satu orang berbeda dengan ahli waris sepakat untuk
memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa
orang.
2. Ma‟qud „Alaih Ma‟qud „alaih adalah benda-benda yang akan di akadkan
(objek akad), seperti benda-benda yang di jual dalam akad jual beli, dalam
akad hibah atau pemberian, gadai, dan utang.
3. Maudhu‟ al-„Aqid Maudhu‟ al-„Aqid adalah tujuan atau maksud
mengadakan akad.Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok
akad.Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan
barang dari penjual kepada pembeli dengan di beri ganti.
4. Shighat al-„Aqid Sighat al-„Aqid yaitu ijab qabul. Ijab adalah ungkapan
yang pertama kali di lontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan
melakukan akad, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk
menerimanya. Pengertian ijab qabul dalam pengalaman dewasa ini ialah
bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam
membeli sesuatu 20 terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang
menunjukkan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad, misalnya yang
berlangganan majalah, pembeli mengirim uang melalui pos wesel dan
pembeli menerima majalah tersebut dari kantor pos.7
Dalam ijab qabul terdapat beberapa syarat yang harus di penuhi, ulama fiqh
menuliskannya sebagai sebagai berikut :

6
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2002), hal 141.
7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogayakarta : Pustaka Kencana, 2010), hal 51

18
a. Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak,misalnya : aku
serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau pemberian”.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul
c. Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak,
tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduanya.
Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan,
tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam atau di takut-takuti oleh orang lain
karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.
Beberapa cara yang diungkapkan dari para ulama fiqh dalam berakad,yaitu
a. Dengan cara tulisan atu kitabah, misalnya dua aqid berjauhan
tempatnya maka ijab qabul boleh dengan kitabah atau tulisan.
b. Isyarat, bagi orang tertentu akad atau ijab qabul tidak dapat di
laksanakan dengan tulisan maupun lisan, misalnya pada orang bisu
yang tidak bisa baca maupun tulis, maka orang tersebut akad
dengan isyarat.
c. Perbuatan, cara lain untuk membentuk akad selain dengan cara
perbuatan. Misalnya seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang
tertentu, kemudian penjual menyerahkan barang yang di belinya.
d.Lisan al-Hal. Menurut sebagian ulama, apabila seseorang
meniggalkan barang-barang di hadapan orang lain, kemudian dia
pergi dan orang yang di tinggali barang-barang itu berdiam diri saja,
hal itu di pandang telah ada akad ida‟ (titipan).
Ijab qobul akan dinyatakan batal apabila :
a. Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qabul
dari si pembeli
b. Adanya penolak ijab qabul dari si pembeli,
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada
kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad.
Ijab dan qabul di anggap batal
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang kesepakatannya sebelum
terjadi kesepakatan,

19
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabul atau
kesepakatan.
b. Syarat-syarat akad
Syarat-syarat dalam akad8 adalah sebagai berikut
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah
akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti pengampuan, dan
karena boros.
b. Yang di jadikan objek akad dapat menerima hukumnya
c. Akad itu di izinkan oleh syara‟, di lakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan „aqid yang
memiliki barang
d. Janganlah akad itu akad yang di larang oleh syara‟, seperti jual beli
mulasamah. Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah
bila rahn (gadai) di anggap sebagai imbalan amanah (kepercayaan)
e. Ijab itu berjalan terus, tidak di cabut sebelum terjadi qabul. Maka
apabila orang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka
batallah ijabnya
f. Ijab dan qabul harus bersambung, sehingga bila seseorang yang
berijab telah berpisah.
Prinsip-prinsip akad
Hukum Islam telah menetapkan beberapa prinsip akad yang
berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang di laksanakan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Berikut ini prinsip-psrinsip
akad dalam Islam9
a. Prinsip kebebasan berkontrak.
b.Prinsip perjanjian itu mengikat.
c. Prinsip kesepakatan bersama.
d.Prinsip ibadah.
e. Prinsip keadilan dan kesemimbangan prestasi.
f. Prinsip kejujuran (amanah).

8
Abdul Rahman Ghazaly, Op.,Cit, hal 55
9
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta : UII Pres, 1982), hal 65

20
A. Macam-macam akad
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat di bagi dan di lihat
dari beberapa segi. Jika di lihat dari ke absahannya menurut syara‟, akad di
bagi menjadi dua10, yaitu sebagai berikut
a. Akad Shahih
Akad shahih adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya.Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya
seluruh akibat hukum yang di timbulkan akad itu dan mengikat pada
pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafiyah membagi akad shahih
menjadi dua macam11 yaitu
1. Akad nafiz (sempurna untuk di laksanakan), adalah akad yang di
langsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya
2. Akad mawquf, adalah akad yang di lakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang di
langsungkan oleh anak kecil yang mumayyiz.
b. Akad tidak Shahih
Akad yang tidak shahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Akad yang
tidak shahih di bagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut :
1. Akad Bathil Akad bathil adalah akad yang tidak memenuhi salah
satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara‟.Misalnya,
objek jual beli itu tidak jelas.Atau terdapat unsur tipuan, seperti
menjual ikan dalam lautan, atau salah satu pihak yang berakad
tidak cakap bertindak hukum. 25
2. Akad Fasid Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya di
syariatkan, akan tetapi sifat yang di akadkan itu tidak jelas.
Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak di tunjukkan
10
Loc., Cit.,hal 55-56.
11
Abdul Aziz Muhammad Assam, Op.,Cit, hal 20

21
tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan di jual, atau tidak di sebut
brand kendaraan yang di jual, sehingga menimbulkan perselisihan
antara penjual dan pembeli. Ulama fiqh menyatakan bahwa akad
bathil dan akad fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak
sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun.
Berakhirnya akad
Akad berakhir di sebabkan oleh beberapa hal, di antaranya
sebagai berikut12
a. Berakhirnya masa berlaku akad tersebut, apabila akad tersebut tidak
mempunyai tenggang waktu.
b. Di batalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad tersbeut
sifatnya tidak mengikat.
c. Dalam akad sifatnya mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir
jika :
1) Jual beli yang di lakukan fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan
salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi
2) Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat
3) Akad tersebut tidak di lakukan oleh salah satu pihak secara
sempurna
4) Salah satu pihak yang melakukan akad meninggal dunia.
Hikmah akad
Akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu
mempunyai hikmah, diantara hikmah di adakannya akad adalah
sebagai berikut13
a. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam
bertransaksi atau memiliki sesuatu
b. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian,
karena telah di atur secara syar‟i
c. Akad merupakan “payung hukum” di dalam kepemilikian sesuatu,
sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinnya.

12
Abdul Rahman Ghazaly, Op.,Cit, hal. 58-59
13
Ibid., hal 59

22
WADI’AH, KHIYAR,KAFALAH DAN SYIRKAH

A.Akad Wadiah
Pengertian Wadiah
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan
prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.14
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip
al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.15
Dalam bahasa Indonesia wadi’ah berarti “titipan”. Akad wadi’ah merupakan
suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesame manusia.
Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan,
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan
yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”. Menurut ulama Mahzab
Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab Hanbali (jumhur ulama), mendefinisikan
wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu. Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab
Hanbali (jumhur ulama), mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang
lain.
untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Al-Wadi’ah atau
dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu
pihak kepada pihak lain, baik perseorangan maupun badan hukum yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja apabila si penitip menghendaki.
Landasan Hukum
AL Qur’an QS An Nissa’ : 58
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan

14
Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema
Insani, h. 85, 2001
15
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007

23
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Fatwa MUI ini berdasarkan fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000: Tabungan
Pertama:
1. Tabungan ada dua jenis: Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah,
yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
2. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip
mudharabah dan wadi’a.
Kedua: ketentuan umum tabungan berdasarkan mudharabah16
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik
dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak
lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga: ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:
a. Bersifat simpanan.
b. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Rukun Akad Wadi’ah dan Syarat-Syaratnya

16
Fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000: tentang Tabungan

24
a. Rukun Akad Wadi’ah
Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafi adalah ijab dan
qabul, yaitu penitip berkata kepada orang lainsedangkan Menurut jumhur ulama,
rukun akad wadi’ah ada
emapat yaitu dua orang yang melakukan akad orang yang titip dan orang yang
dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah (ijab qabul).Qabul dari orang yang
dititipi bisa berupa lafal misalnya, saya menerimanya. Bisa juga suatu tindakan
yang menujukan hal itu, seprti ada orang meletakan harta di tempat orang lain,
lalu orang itu diam saja, maka diamnya orang kedua tersebut menempati posisi
qabul, sebagaimana dalam jual beli muathah.17
b. Syarat-syarat Akad Wadi’ah
Dalam akad wadi’ah memiliki dua syarat, yaitu:
1) Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Lebih dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijabdan
qabultermasuk rukun. Sekedar izin dari pemilik untuk menjaga hartanya
itu tidaklah cukup. Untuk itu, harus terdapat kesepakatan antara
kehendaknya dan kehendak penjaga untuk menjaga harta akad akan
terjadi.
2) Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad
yang berkaitan dengan harta. Jika seseorang yang balig dan berakal
menerima titipan dari anak 4 Wahbahkecil atau orang gila maka dia harus
menjamin barangtersebut meskipun bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya.18
Menurut para ulama hanafi. Dua orang yang melakukan akad wadi’ah
disyaratkan harus berakal, sehingga tidak sah penitipan anak kecil yang tidak
berakal dan orang gila. Sebagaimana tidak sah juga menerima titipan dari orang
gila dan anak kecil yang tidak berakal. Tidak disyaratkan sifat bilang dalam hal ini,
sehingga sah penitipan dari anak kecil yang dibolehkan untuk berjualan, karena
penitipan ini termasukyang diperlukan oleh seorang penjual. Sebagaimana sah

17
Wahbah az-Zuhaili,FiqihI slam5,Jakarta:Gema Isnani, h.557, 2011.
18
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Jakarta: Penerbit Lentera, h. 616,
2009.

25
juga penitipan kepada anak kecil yang telah diperbolehkan melakukan jual beli,
karena ia termasuk yang biasa melakukan penjagaan.
Adapun anak kecil yang mahjur dihalangi untuk membelanjakan harta, maka
tidak sah menerima titipan darinya, karena umumnya anak kecil tersebut tidak
mampu menjaga harta. Menurut jumhur ulama, dalam akad wadi’ah disyaratkan
pula hal-hal yang disyaratkan dalam makalah, seprti balig, berakal, dan bisa
mengatur pembelanjaan harta. Dalam akad wadi’ah sesuatu yang dititipkan
disyaratkan dapat diterima, sehingga jika seorang menitipkan budak yang sedang
melarikan diri untuk burung yang sedang terbang di udara atau harta yang jatuh
didalam laut maka orang yang dititipi tidak wajib memberikan gnati jika terjadi
hal-hal yang tidak dinginkan pada titipan itu.
Macam-macam Wadiah
Macam-macam wadi’ah dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Wadi’ah Yad amanah merupakan titipan murni, yakni pihak yang dititipi
tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipi tidak boleh
memanfaatkan dana atau barang yang dititipkan berhak meminta biaya penitipan.
Sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh, baik nilai maupun fisik
barang. Jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima
titipan dibebani tanggungjawab.
b. Wadi’ah Yad Dhamanah titipan yang penerima titipan diperbolehkan
memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan tersebut. Dari
keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan barang titipan ini dapat diberikan
sebagian kepada pihak yang menitipkan dengan syarat tidak diperjanjikan
sebelumnya.
3. Penghimpunan Dana Prinsip Wadi’ah
Penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank konvensional
adalah dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang lazim disebut dengan dana
puhak ketiga. Dalam bank syariah, penghimpunan dana masyarakat dilakukan
tidak membedakan nama produk, tetapimelihat pada prinsip wadi’ah dan prinsip
mundharabah.Wadi’ah menurut wirisi (2005) adalah titipan nasabah yang harus
dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabha yang bersangkutan
menghendaki. Bank bertanggung jawab atas pengambilan titipan. Wadi’ah

26
yad-dhamanah dan wadi’ah had amanah.Wadi’ah yad-dhamanah adalah titipan
yang selama belum dikembalikan kepada penitipndapat dimanfaatkan oleh
penerima titipan. Apabila hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan maka
seluruhnya menjadi hak penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan
tersebut sampai diambil kembali oleh penitip.19
Produk-produk Tabungan BPRS Galamitra Abadi
Definisi Tabungan
Tabungan adalah simpanan yang penarikanya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,
bilyet giro, dan atau alat lainya yang dipersamakan dengan itu. Nasabah-nasabah
jika hendak mengambil simpananya dapat datang langsung ke bank dengan
membawa buku tabungan, slip penarikan, atau memlalui fasilitas ATM.
Pengertian yang hamper sama dijumpai dalam pasal 1 angka 21 undang-undang
Nomer 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyebutkan bahwa
tabungan adalah simpanana berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana
berdasarkanakad mundharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah yang penarikanya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan
ketentuan tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet
giro, dan atau alat lainya yang dipersamakan dengan itu.
Dalam hal ini terdapat dua prinsip perjanjian Islam yang sesuai
diimplementasikan dalam produk perbankan berupa tabungan, yaitu wadi’ah dan
mundharabah. Hampir sama dengan giro, pilihan terhadap produk ini tergantung
motif dari nasabah. Jika motifnya hanya menyampaikan saja maka bisa dipakai
produk tabungan wadi’ah, sedangkan untuk memenuhi nasabah yang bermotif
investasi atau mencari keuntungan maka tabungan mundharabah yang sesuai.
Secara teknis mundharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh 100% modal,
sedangkan pihak lainya menjadi pengelola dana (mundharib) dalam
sesuatu kegiatan produktif.
Dengan demikian secara singkat dapat dilakukan bahwa dalam perbankan
syariah memiliki dua macam produk tabungan, yaitu tabungan wadi’ah dan
19
Osmad Muthaher, Akutansi Perbankan Syari’ah, Yogyakarta: Graha Ilmu, h. 39,
2012.

27
tabungan mundharabah. Perbankan utama dengan tabungan diperbankan
konvesional adalah tidak kenalnya suku Bungan tertentuyang diperjanjiakan.
Yang ada adalah nisbah atau presentase bagi hasil pada tabungan mundharabah
dan bonus pada tabungan wadi’ah.20
Produk-produk di BPRS Galamitra Abadi Purwodadi adalah sebagai berikut:
a. Tabungan Wadi’ah Abadi
Tabungan dalam bentuk simpanan dengan prinsip Wadiah Yad Dhomanah
yang dapat disetor dan diambil kapan saja dengan mendapatkan hasil yang
menguntungkan dari hasil usaha BPRS Ben Salamah Abadi. Dengan setoran awal
Rp. 10.000,- (sepuluh riburupiah).
b. Tabungan Pendidikan Abadi
Tabungan untuk rencana pendidikan putra-putri anda dengan prinsip
mudharabah mutlaqoh. Setoran pertama minimal Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah).
c. Tabungan Qurban Barokah
Tabungan untuk rencana ibadah qurban anda dengan prinsip mudharabah
mutlaqoh. Setoran pertama minimal Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
d. Deposito Mudharabah Abadi
Tabungan dalam bentuk simpanan atau investasi dengan prinsip
Mudharabah Mutlaqoh yang memberikan bagi hasil yang menarik dan
menguntungkan. Jangka waktu penempatan dan nisbah bagi hasilnya adalah
sebagai berikut:

Jangka waktu Nasabah Bank

20
Abdul Ghoufur Anshori, Perbankan Syariah Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada Universitiy
Press, h. 92-93, 2007.

28
Khiyar
Pengertian Khiyar
Dalam perspektif Islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus
diletakkan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam,
yakni Al-Qur‟an dan Hadis. Karena itu, sistem nilai yang Islami yang mendasari
perilaku perdagangan merupakan masalah penting untuk diungkapkan. Dari
perspektif Islam tersebut, perdagangan ternyata memiliki dua dimensi, yakni
dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Perdagangan yang dijalankan berlandaskan
nilai-nilai Islam dalam penelaahan ini dipahami sebagai yang berdimensi ukhrawi,
dan demikian sebaliknya berdimensi duniawi apabila suatu aktivitas perdagangan
terlepas dari nilai-nilai Islam yang dimaksud.21
Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara
satu dengan yang lainnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menguasai seluruh
apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang
diharapkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain.
Untuk itu Allah memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengadakan
penukaran perdagangan dan semua yang kiranya dapat bermanfaat dengan
carajual beli dan semua cara hubungan yang lain. Sehingga hidup manusia dapat
berdiri dengan baik dan proses hidup ini berjalan dengan baik dan produktif pula.
Nabi Muhammad SAW diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki
aneka macam perdagangan dan pertukaran. Oleh karena itu, sebagian yang
mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi sepanjang tidak bertentangan dengan
syari‟at yang dibawanya. Sedang sebagian yang lain dilarang yang kiranya tidak
sesuai dengan tujuan dan jiwa syari‟at. Larangan ini berkisar dalam beberapa
sebab, diantaranya:
a. Karena ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
b. Karena ada unsur-unsur penipuan
c. Karena ada unsur-unsur pemaksaan.22
Kafalah
Konsep Kafalah

21
Jusmaliani dkk, Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hlm.14.
22
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wa Haram fil Islam, Terj. Mu‟ammal Hamidy,
“Halal dan Haram Dalam Islam”, Jakarta: Bina Ilmu, 1993, hlm. 348.

29
Selain khiyar, penulis juga akan membahas mengenai kafalah, tetapi sebelum
menjelaskan kafalah lebih jauh penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang
pengertian kafalah. Secara umum kafalah merupakan bagian pembahasan hukum
Islam (fiqh) yang sudah disoroti para ulama terdahulu (salaf).
Secara lughowi / etimologis kafalah adalah :
ླྀ쳌˴ϰླྀ Roླྀ R ླྀ
Artinya : “Kafalah menurut bahasa ialah menggabungkan.”23
Di dalam al-Qur‟an terdapat kata “kafalah” yang berarti pemeliharaan
sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang


baik, dan mendidiknya denganpendidikan yang baik dan Allah menjadikan
Zakariya pemeliharanya. (9QS. Ali Imron: 37)24

Adapun pengertian al-Kafalah menurut istilah hukum Islam (syara‟),


secara umum adalah penggabungan tanggungan yang satu kepada yang lain
tentang hak yang saling menuntut.

Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada


pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban dari pihak kedua atau yang
ditanggung (makful anhu) terkait tuntutan yang berhubungan dengan jiwa, hutang,
barang, atau pekerjaan apabila pihak yang ditanggung cedera janji atau
wanprestasi dimana pemberi jaminan bertanggung-jawab atas pembayaran
kembali suatu hutang menjadi hak penerima jaminan.

Pengertian Syirkah

Pengertian Syirkah

23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz III, Kutubul Arabiyah, Dar al-Kutub, t.ch., hlm. 283
24
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Surabaya : Mahkota, Edisi Revisi, 1989, hlm.

30
Syirkah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk
suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.

1. Macam-macam syirkah

Syirkah ada dua jenis:

a.Syirkah Amlaak

Syirkah amlaak yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan,


barang bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih
yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang
lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak
mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin
rekannya.

Contohnya: si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil


oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang
keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua
berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.

b. Syirkah Uquud

Syirkah uquud yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu
dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya.
Bentuk syirkahseperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini.

Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak


menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini,
seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya.
Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

Adapun syirkah Uquud dibagi menjadi 5, yaitu:

31
a. Syirkah al-'Inaan, Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan
harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan
dibagi di antara mereka, atau salah seorang sebagai pengelola dan
mendapat jatah keuntungan lebih banyak daripada rekannya.

Contohnya: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat


menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan
meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan
keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini,
disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqd); sedangkan barang ('urdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
(syark) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%,
maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.

32
33

Anda mungkin juga menyukai