Anda di halaman 1dari 10

Keperawatan Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana

Prinsip Utama Pertolongan Pada Korban

Ditunjukkan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Disusun oleh :

Sulistya Ningrum

20037

PRODI D-III KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN PELNI JAKARTA

Tahun Ajaran 2021-2022


American Heart Association Guedelines for Basic Life Support 2015

Henti jantung (cardiac arrest) merupakan kondisi kegawat daruratan medik yang harus
segera mendapatkan penanganan baik dari petugas medis maupun masyarakat sekitar kejadian.
Henti jantung sering terjadi saat pasien berada di luar lingkungan rumah sakit atau disebut juga
Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA). Menurut layanan gawat darurat medis, sekitar 420.000
orang Amerika mengalami serangan jantung saat mereka berada di rumah atau tempat umum
lainnya. Penelitian sebelumnya juga menemukan hal yang sama yaitu sekitar 360.000 orang
mengalami serangan jantung saat mereka berada di rumah atau tempat umum lainnya. Dari
jumlah tersebut, hanya 33% saja yang mendapatkan pertolongan pertama oleh masyarakat awam
terlatih (Go, et al, 2014 ; Sasson et al, 2013).

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan suatu tindakan darurat dan menjadi bagian
utama dalam melakukan bantuan hidup dasar (BHD). Selama ini RJP diberikan mengacu pada
algoritma standar yang ditetapkan oleh American Hearth Association (Resuscitation Council,
2015). RJP bertujuan untuk mengembalikan keadaan henti jantung dan atau henti nafas agar
kembali berfungsi optimal (Muttaqin, 2009).Selain resusitasi, aspek Bantuan Hidup Dasar
(BHD) lainnya yang penting diketahui oleh masyarakat awam adalah pengenalan tanda henti
jantung dan aktivasi sistem tanggap darurat.

Resusitasi Volume 161, April 2021, Halaman 152-219

Pedoman Dewan Resusitasi Eropa 2021: Henti jantung dalam keadaan khusus

Kegawatdaruratan dapat terjadi dimana saja, hal tersebut menjadi perhatian petugas
kesehatan tersebut, namun tidak menutup kemungkinan jika kegawatdaruratan yang terjadi di
rumah sakit dan sulit untuk jangkau petugas medis (Januarista, 2019). Kondisi kegawatdaruratan
yang dapat terjadi adalah serangan jantung yang menyebabkan keadaan henti jantung. Menurut
Perkeni diperkirakan di seluruh dunia bahwa penyakit jantung pada tahun 2020 menjadi
pembunuh pertama yaitu sebesar 36% dari seluruh kematian. pertama tersering yakni sebesar
36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker
(Firdaus, 2019).
Terlepas dari penyebab serangan jantung, yang paling penting intervensi bersifat universal
dan sesuai dengan rantai kelangsungan hidup.Ini termasuk pengenalan dini dan meminta
bantuan, manajemen pasien yang memburuk untuk mencegah serangan jantung, defibrilasi cepat
dan resusitasi cardiopulmonary (CPR) berkualitas tinggi dengan penghentian kompresi dada,
pengobatan penyebab reversibel,dan perawatan pasca resusitasi. Dalam kondisi tertentu,
bagaimanapun, dasar dan intervensi dukungan hidup lanjut mungkin memerlukan modifikasi.
IniPedoman resusitasi dalam keadaan khusus dibagi menjadi tiga bagian: penyebab khusus,
pengaturan khusus dan pasien khusus.

Bagian pertama mencakup pengobatan penyebab penyakit jantung yang berpotensi


reversibel penangkapan, yang ada perlakuan khusus, dan yang harus diidentifikasi atau
dikecualikan selama bantuan hidup lanjut (ALS).Bagian kedua mencakup serangan jantung
dalam pengaturan khusus,di mana pedoman universal harus dimodifikasi karena spesifik lokasi
atau penyebab spesifik lokasi dari serangan jantung.Bagian ketiga adalah difokuskan pada pasien
dengan kondisi tertentu, dan mereka dengan komorbiditas jangka panjang di mana pendekatan
yang dimodifikasi dan keputusan pengobatan mungkin diperlukan.

1. Serangan jantung dalam penerbangan.Bantuan profesional medis harus dicari (pengumuman


dalam penerbangan).Penolong harus berlutut di ruang kaki di depan kursi lorong untuk
melakukan kompresi dada jika pasien tidak dapat dipindahkan dalam beberapa detik ke area
dengan ruang lantai (dapur) yang memadai. Overhead-CPR adalah opsi yang
memungkinkan di lingkungan ruang terbatas. Manajemen jalan napas harus didasarkan pada
peralatan yang tersedia dan keahlian penolong.Jika rencana penerbangan di atas perairan
terbuka dengan kemungkinan ROSC yang tinggi selama resusitasi yang sedang berlangsung,
pertimbangkan pengalihan awal. Pertimbangkan risiko pengalihan jika ROSC tidak mungkin
terjadi dan berikan rekomendasi yang sesuai kepada awak pesawat.Jika CPR dihentikan
(tidak ada ROSC), pengalihan penerbangan biasanya tidak boleh dilakukan.
2. Layanan medis darurat helikopter (HEMS) dan ambulans udara evaluasi pasien sebelum
penerbangan yang tepat, pengenalan dini dan komunikasi dalam tim, defibrilasi dini, CPR
berkualitas tinggi dengan gangguan kompresi dada yang minimal, dan pengobatan penyebab
reversibel sebelum penerbangan adalah intervensi yang paling penting untuk pencegahan
CPR selama misi HEMS. Periksa status pasien dengan benar sebelum penerbangan. Kadang-
kadang transportasi darat mungkin menjadi alternatif yang cocok, terutama untuk pasien
dengan risiko tinggi serangan jantung.Periksa keamanan saluran udara dan koneksi
ventilator sebelum penerbangan. Untuk serangan jantung pada pasien tanpa ventilasi selama
penerbangan, pertimbangkan SGA untuk manajemen jalan napas awal.Pemantauan
oksimetri nadi (SpO2) dan suplementasi oksigen harus tersedia segera jika belum terpasang.
CPR harus dilakukan sesegera mungkin, CPR over-the-head (OTH-CPR) mungkin dapat
dilakukan tergantung pada jenis helikopter.Jika ukuran kabin tidak memungkinkan CPR
berkualitas tinggi, pertimbangkan untuk segera mendarat.Selalu pertimbangkan untuk
memasang perangkat CPR mekanis sebelum penerbangan. Pertimbangkan tiga guncangan
bertumpuk jika terjadi ritme yang dapat disetrum selama penerbangan.Defibrilasi selama
penerbangan aman.
3. Kapal pesiar gunakan semua sumber daya medis segera (pribadi, peralatan). Aktifkan
HEMS jika dekat dengan garis pantai.Pertimbangkan dukungan telemedicine awal.Siapkan
semua peralatan yang diperlukan untuk ALS di atas kapal. Jika jumlah profesional
perawatan kesehatan tidak mencukupi untuk merawat CA, hubungi staf medis lebih lanjut
melalui pengumuman di pesawat.

Prevalensi arahan lanjutan dan dampak pada dukungan hidup lanjut pada henti jantung
di luar rumah sakit Paul Prancis 2017

Sebanyak 2492 kasus OHCA ditangani oleh 5MICU selama 23 bulan penelitian. Setelah
pengecualian dari 59 (2%) pasien di bawah usia 18 tahun dan 448 (18%) pasien yang tidak jelas
apakah mereka memiliki arahan lanjutan atau tidak selama intervensi, data untuk pasien OHCA
1985 (1254 (63%) laki-laki; 731 (37%) perempuan) dianalisis. Usia rata-rata pasien adalah 68
[53-82] tahun. Seorang anggota keluarga yang disebut EMS di 1151 (60%) kasus. Henti jantung
terjadi di rumah sebanyak 1484 (75%) kasus, di tempat umum sebanyak 248 (13%) kasus, dan di
hadapan saksi sebanyak 1172 (59%) kasus. CPR segera oleh saksi dimulai pada 526 (27%)
kasus. Ada penyebab medis henti jantung pada 1746 (88%) kasus. Sisanya 239 (12%) kasus
karena trauma.

Median waktu tanpa aliran adalah 7 [0–13] menit. Denyut jantung awal yang tercatat
adalah asistol (n = 1681 (87%), aktivitas listrik tanpa nadi (n = 65 (3%)) atau gangguan irama
ventrikel (n = 62 (3%)). Tujuh persen sisanya memiliki sirkulasi spontan pada saat kedatangan
MICU. Bantuan hidup lanjutan diberikan kepada 976 (49%) pasien. Adrenalin disuntikkan ke
892 (91%) pasien dengan dosis total 7 [4-10] mg dalam waktu 5 [3-8] menit setelah kedatangan
MICU. Dukungan kehidupan lanjutan dilakukan di hadapan keluarga pada 251 (30%) pasien.
Kembalinya sirkulasi spontan diamati pada 222 (23%) pasien. Sebanyak 193 (20%) pasien
dibawa ke rumah sakit dan 45 (2,3%) kemudian dipulangkan.

Arahan lanjutan diakses hanya untuk 148 pasien (prevalensi 7,5% (95% CI 6,4-8,7)).
Ketersediaan petunjuk sebelumnya secara signifikan lebih sering untuk pasien yang lebih tua dan
wanita yang mengalami serangan jantung di rumah karena penyebab medis dan untuk siapa
anggota keluarga disebut EMS (Tabel 1). Keputusan untuk memberikan dukungan hidup lanjutan
diambil untuk 35 (24%) pasien dengan arahan lanjutan vs. 941 (51%) pasien tanpa (p <0,001).
Modalitas bantuan hidup lanjut tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok (Tabel 2).
Kembalinya sirkulasi spontan diamati pada lima (14%) pasien yang diresusitasi dengan arahan
dan 217 (23%) pasien tanpa (p = 0,3). Hasil untuk kedua kelompok dibandingkan pada Tabel 3.
Pasien dengan arahan sebelumnya secara signifikan lebih mungkin meninggal di tempat. Di
antara pasien dengan arahan sebelumnya, hanya satu yang dirawat di rumah sakit. Dia meninggal
dalam waktu 24 jam setelah masuk.

Jurnal Widya Laksana, Vol. 8, No. 1, Januari 2019

Pendampingan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Pada Siswa SMA Wisata Darma Di
Desa Lembongan

Pertolongan pertama (first aid) adalah penanganan atau perawatan awal dari terjadinya
suatu penyakit atau kecelakaan. Hal ini dapat biasanya dilakukan oleh orang yang bukan ahli
dalam menangani kejadian sakit atau cedera, sampai menunggu pengobatan definitif dapat
diakses. Kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan dapat terjadi dimana saja dan kapan
saja. Kejadian ini dapat berupa suatu insiden kecil atau suatu bencana yang melibatkanpenderita
dalam jumlah besar. Orang pertama yang akan memberikan pertolongan adalah mereka yang
berada ditempat kejadian. Mereka yang berupaya memberikan pertolongan ini memiliki berbagai
tingkat pengetahuan mulai dari yang tidak mempunyai pengetahuan pertolongan pertama dan
tidak terlatih sampai yang sudah berpengalaman dan terlatih. Ada waktu antara pertolongan di
lokasi kecelakaan sampai korban dapat memperoleh pertolongan oleh tenaga medis di fasilitas
kesehatan, sehingga masa tenggang inilah yang harus diisi oleh orang pertama yang terdekat
dengan korban yang telah memiliki keterampilan pertolongan pertama. Pertolongan yang
diberikan harus menjadi satu kesatuan pertolongan korban dari lapangan sampai perawatan
lanjutan di rumah sakit (Armstrong et al, 2002). Cedera dan kesakitan dalam bekerja dapat
membunuh lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya diseluruh dunia. Setiap orang yang sudah
pernah menerima pelatihan tentang pertolongan pertama berharap ilmu yang sudah diterima
tidak pernah diaplikasikan. Akan tetapi pertolongan pertama yang efektif pada kejadian
kesakitan yang mendadak dapat membuat perbedaan yang signifikan antara hidup dan mati,
penyembuhan cepat dan penyembuhan lama, kecacatan permanen dan sementara (Dean and
Mulligan, 2009). Prinsip-prinsip P3K adalah tindakan yang dilakukan segera, mempertahankan
hidup korban, mengurangi penderitaan, mencegah pengotoran luka dan penderitaan lanjutan serta
merujuk korban ke tempat pelayanan kesehatan terdekat. Prinsip-prinsip P3K ini sangat dianggap
perlu bagi semua lapisan masyarakat, karena dengan P3K kita dapat membantu orang atau
korban sampai benar-benar mendapat perawatan medis professional. P3K bisa dilakukan oleh
baik itu masyarakat umum ataupun siswa, sampai pertolongan medis professional tiba untuk
menangani korban (Saubers,Nadine, 2008). Beberapa pengetahuan dan keterampilan yang
diberikan pada saat pelatihan P3K adalah bagaimana kita menangani korban dengan cedera
kepala, penanganan korban kecelakaan, memindahkan korban dengan cara yang baik dan benar,
penanganan penyakit jantung, penanganan luka bakar, penanganan fraktur tulang, penanganan
tenggelam,sampai tentang penanganan jalan nafas.

Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada Cedera Fraktur Ekstrimitas Rumah Sakit


Umum Pusat Sanglah Denpasar 2019

Fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya gangguan integritas dari tulang,
termasuk cedera pada sumsum tulang, periosteum, dan jaringan yang ada di sekitarnya. Untuk
mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan anamnesis baik dari pasien maupun
pengantar pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme cedera, apakah pasien mengalami
cedera atau fraktur sebelumnya. Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu look, feel, move. Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas tubuh,
hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Palpasi dilakukan untuk menilai area rasa sakit, efusi,
maupun krepitasi. Penilaian move dilakukan untuk mengetahui rom (range of motion).
Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas termasuk warna,
suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya < 3 detik) dan pulse oximetry.
Sebagai pemeriksaan untuk membantu menegakkan diagnosis digunakan pemeriksaan radiologi/
x ray. Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two, yaitu :
dua sudut pandang, dua sendi, dua ekstrimitas, dan dua waktu. Tujuan utama dalam penanganan
awal fraktur adalah untuk mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah
mempertahankan baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas s eperti semula. Adapun beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang
meliputi airway, breathing, circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera
iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.
Pada survey primer, yang harus diamankan terlebih dahulu saat menerima pasien adalah abcde
(airway, breathing, circulation, disability, dan exposure). Saat abc sudah aman, maka dapat
diberikan penanganan awal imobilisasi bagi ekstrimitas yang dicurigai fraktur, biasanya
digunakan bidai sebagai imobilisasi awal yang sederhana.setelah survey primer, dilakukan
survey 17 sekunder yaitu riwayat ample, pemeriksaan fisik lengkap, pemeriksaan radiologi,
irigasi luka, dan pemberian analgetik dan antibiotik. Terdapat beberapa kondisi
kegawatdaruratan yang disebabkan oleh fraktur ekstrimitas yang dapat mengancam nyawa, yakni
cedera vaskuler (arteri besar), crush syndrome, dan sindrom kompartemen. Kondisi ini harus
dikenali dan diberikan penanganan secara cepat dan tepat untuk menjaga prognosis pasien tetap
baik secara vital maupun fungsional.
Kesimpulan :

Prinsip dasar penanganan gawat darurat Dalam menangani kasus gawatdaruratan,


penentuan masalah utama (diagnosis) dan tindakan pertolongan harus dilakukan dengan cepat,
tepat, dan tenang (tidak panik), walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarannya
mungkin dalam kepanikan.

Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba aktivitas pompa jantung efektif yang
mengakibatkan penghentian sirkulasi. Dengan berhentinya sirkulasi akan menyebabkan kematian
dalam waktu yang singkat. Kematian biologis dimana kerusakan otak tidak dapat diperbaiki lagi
hanya terjadi kurang lebih 4 menit setelah tanda-tanda kematian klinis.Kematian klinis ditandai
dengan hilangnya nadi karotis dan femoralis, terhentinya denyut jantung dan atau pernafasan
serta terjadinya penurunan/hilangnya kesadaran.

prinsip-prinsip penanganan kegawat-daruratan pada kasus henti jantung :

1. Pastikan tempat tersebut aman untuk melakukan pertolongan


2. menelepon ambulance
3. Chestcompressions (C) melakukan ResusitasiJantung Paru (RJP)
4. Airway (A) Buka Jalan Nafas
5. Breathing (B) Periksa Pernafasan

Terdapat perubahan sistematika dari A-B-C (Airway-Breathing-Chestcompressions)


menjadi C-A-B (Chestcompressions-Airway-Breathing), kecuali pada neonatus. Alasan
perubahan adalah pada sistematika A – B – C, seringkalichestcompression tertunda karena
proses Airway. Dengan mengganti langkah C – A – B maka kompresi dada akan dilakukan lebih
awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kompresi dada secara
ideal dilakukan sekitar 18 detik).

Pertolongan pertama (first aid) adalah penanganan atau perawatan awal dari terjadinya
suatu penyakit atau kecelakaan. Orang pertama yang akan memberikan pertolongan adalah
mereka yang berada ditempat kejadian. Mereka yang berupaya memberikan pertolongan ini
memiliki berbagai tingkat pengetahuan mulai dari yang tidak mempunyai pengetahuan
pertolongan pertama dan tidak terlatih sampai yang sudah berpengalaman dan terlatih. Ada
waktu antara pertolongan di lokasi kecelakaan sampai korban dapat memperoleh pertolongan
oleh tenaga medis di fasilitas kesehatan, sehingga masa tenggang inilah yang harus diisi oleh
orang pertama yang terdekat dengan korban yang telah memiliki keterampilan pertolongan
pertama.

Prinsip-prinsip P3K adalah tindakan yang dilakukan segera:

1. mempertahankan hidup korban


2. mengurangi penderitaan
3. mencegah pengotoran luka dan penderitaan lanjutan serta
4. merujuk korban ke tempat pelayanan kesehatan terdekat

Fraktur adalah patah tulang yang bisa disebabkan karena pukulan, gerakan memutar atau
kontraksi otot yang sangat kuat atau karena penyakit tulang seperti metastase tumor dan
osteoporosis. Komplikasi fraktur dapat menyebabkan ancaman bagi bagian fraktur atau bahkan
membahayakan jiwa. Pemeriksaan pada kasus kegawatdaruratan fraktur dilakukan dengan
metode DCAP-BTLS. Fraktur femur dan fraktur pelvis adalah 2 macam fraktur yang paling
sering menyebabkan perdarahan banyak meskipun dalam keadaan tertutup. Pembidaian adalah
penanganan fraktur yang utama untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut pada daerah
fraktur.

prinsip-prinsip penanganan kegawat-daruratan pada kasus fraktur:

1. Imobilisasi bagian tubuh yang mengalami fraktur sebelum korban dipindah


2. Jika pasien harus dipindah sebelum dipasang splint (bidai), tahan bagian atas dan
bawah daerah fraktur untuk mencegah gerakan rotasi atau anguler
3. Pembidaian dilakukan secara adekuat terutama pada sendi-sendi disekitar fraktur
4. Pada tungkai kaki, kaki yang sehat dapat digunakan sebagai bidai
5. Pada ekstremitas atas, lengan dipasang plester elastik ke dada atau lengan bawah
dipasang sling
6. Status neurovaskuler bagian bawah fraktur dikaji untuk menentukan adekuasi perfusi
jaringan perifer dan fungsi saraf
Refrensi :

https://eccguidelines.heart.org/wp-content/uploads/2015/10/2015-AHA-Guidelines-Highlights-
English.

https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2021.02.012

http://dx.doi.org/10.1016/j.resuscitation.2017.03.015

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JPKM/article/download/16681/9991
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6300/4790

Anda mungkin juga menyukai