Anda di halaman 1dari 4

Dosen Pengampu :

 Widyastuti, S.Psi. M.Psi, Psikolog


 Kurniati Zainuddin, S.Psi. M.A
 Faradillah Firdaus, S.Psi. M.A

ASESMEN DAN INTERVENSI DALAM


PSIKOLOGI PERDAMAIAN

Disusun Oleh :
Yusuf Muhammad Nur (1971040005)
Kelas A

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
1. Bagaimana hubungan antara budaya dan peacemaking?
Hubungan antara budaya dan peacemaking berkaitan erat contoh kasus
pada unsur budaya menurut Koentrajaraningrat (2009) “ Sistem Religi” adalah
“Pernyataan Menag Yaqut (Kementrian Agama) Bandingkan Suara Azan dan
Gonggongan Anjing” Yaqut menjelaskan sebuah ilustrasi seandainya dalam
kompleks yang setiap warganya memelihara anjing. Warga tadi disebut pasti
tidak nyaman jika peliharaan tadi menggonggong secara bersamaan.
"Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini, kalau hidup dalam satu
kompleks itu misalnya, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua,
misalnya, menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu atau
tidak," ujar Yaqut di Balai Serindit, Komplek Gubernuran dalam kegiatan
bertajuk Temu Tokoh Agama se-Provinsi Riau Bersama Menteri Agama,
Rabu siang, 23 Februari 2022.
"Artinya apa, bahwa suara-suara ini apa pun itu suara, ini harus kita atur
supaya tidak menjadi gangguan," tambah dia. Karena pernyatannya tersebut,
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Thobib Al
Asyhar pun meminta pernyataan Menag Yaqut saat bertemu dengan tokoh
agama di Pekanbaru itu jangan disalahartikan.
"Menag sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan suara
anjing. Tapi Menag sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan
kebisingan pengeras suara," ujar Thobib dalam keterangannya di Jakarta,
Kamis (24/2/2022). (Liputan6.com)
Pada kasus ini hubungan budaya dan peacemaking diperlukan agar
memediasi atau bernegosiasi kembali agar tidak terjadi kesalahpahaman
diantara belahpihak.
2. Apakah budaya memfasilitasi perdamaian atau menjadi alasan munculnya
konflik?
Budaya ada untuk memuaskan kebutuhan masyarakat. Budaya
memberikan petunjuk dan pedoman dalam menyelesaikan masalah dengan
menyediakan metode “tried and true” dalam memuaskan kebutuhan fisiologis,
personal dan social. Misalnya, budaya memberikan peraturan dan standar
mengenai kapan waktu berkunjung dan tata cara berkunjung.
Budaya merupakan sarana untuk mencapai perdamaian dengan cara mengenali
dan menghormati budaya tersebut, sebagaimana yang diutarakan oleh Dr.
Bukhari Daud, M.Ed., pada seminar di Domus Academica Auditorium, Univ
Oslo, Norwegia. Atau dengan cara mempelajari dan mengamalkannya dengan
baik. Para ahli Antropologi telah menemukan tiga cara yang berbeda dari
cultural learning :
1. Formal learning; orang dewasa dan teman bermain yang lebih tua
mengajarkan anggota keluarga yang lebih muda tentang bagaimana
tata cara berperilaku yang baik.
2. Informal learning; seorang anak akan belajar dengan meniru perilaku
keluarga, teman atau pahlawan yang ditonton di TV atau film
3. Technical learning; sekolah mengajarkan apa yang harus dilakukan,
kenapa hal itu dilakukan, dan bagaimana cara melakukannya.
Rumah tangga sebagai bagian terkecil dalam masyarakat adalah
merupakan lingkungan social yang sangat menentukan tumbuhnya potensi
damai ataupun konflik. Apabila dalam sebuah rumah tangga menerapkan
system pendidikana yang otoriter maka akan terbentuk manusia yang memiliki
keperibadian labil, misalnya egois, meremehkan orang lain, saling membenci
dan lain-lain yang diwujudkan melalui berbagai perilaku yang berpotensi
konflik. Sebaliknya, jika system pendidikan yang diterapkan bersifat
demokrasi dan penuh kasih maka akan terbentuk manusia yang
berkeperibadian dan berperilaku yang bijak yang berpotensi damai.
Albert Einstein mengatakan, damai bukanlah sekedar absennya perang,
melainkan adanya keadilan, hukum, dan ketertiban, pendek kata adanya
pemerintahan yang efektif. Dilihat dari perspektif perdamaian yang sejati
dimana indicator umumnya keadilan sosial, kemiskinan dan kesenjangan
sosial menjadi faktor utama pendorong konflik dan tidak adanya perdamaian.
Damai bukanlah semata-mata ketiadaan perang. Damai yang sejati adalah
damai yang dinamis, partisipatif dan berjangka panjang. Ia dapat terwujud
manakala nilai-nilai kemanusiaan (budaya) universal yang telah mengakar dan
menjalar di segala lini kehidupan praktis; keluarga, sekolah, komunitas,
masyarakat dan Negara.
Budaya sebagai aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan
strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang
dimiliki oleh manusia akan sangat berperan dan berpengaruh dalam mengelola
pergeseran fikiran di antara keragaman budaya masyarakat yang ada dalam
menciptakan perdamaian abadi dengan menanamkan pada benak masyarakat –
terutama kaum muda – nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap orang
lain, menghilangkan kecurigaan dan permusuhan. Dengan kata lain,
membudayakan budaya yang ada menuju budaya damai dan saling percaya
serta merubah pola pikir dan pola tindak yang diharapkan datang dari segenap
elemen masyarakat. (Referensi: Pemerintah Kabupaten Patih
https://www.patikab.go.id/v2/id/2010/10/01/pengaruh-budaya-terhadap-
perdamaian/ )

Anda mungkin juga menyukai