Anda di halaman 1dari 2

Konsep umum, istilah dan sejarah reforma agraria.

Agraria sering ditafsirkan sebatas pertanian bahkan lebih sempit lagi tanah pertanian;
salah tafsir (fallacy) mana kemudian berkembang menjadi salah-kaprah sejak
pemerintah Orde Baru berkuasa di Indonesia.  Secara etimologi (ilmu asal usul kata)
istilah agraria berasal dari bahasa Latin “ager” (lapangan, pedusunan, wilayah, tanah
negara).  Mirip dengan kata itu adalah “agger” (tanggul penahan, pematang, tanggul
sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, bukit). Dari pengertian itu jelas bahwa istilah
“agraria” mencakupi  bukan saja tanah atau pertanian melainkan juga hal-hal yang lebih
luas (pedusunan, wilayah, bukit) dimana terdapat tanaman, air, sungai, hewan, mineral
dan bahan tambang (mine) dan komunitas manusia.  Semua arti tersebut di atas
mengesankan bahwa tekanannya memang pada tanah;  justru karena tanah mewadahi
semuanya.
Yunani. Sejarah reforma agraria (land reform) menurut kesepakatan para ahli sejarah
berawal pada zaman Yunani kuna semasa pemerintahan Solon 594 th SM.  Undang2
Solon ini dinamai seisachtheia (artinya harafiahnya: mengocok beban). Yang dimaksud
beban itu meliputi pelbagai hubungan yang tidak serasi (baca: tidak adil) antara
pemerintah dengan para penguasa wilayah, antara para penguasa wilayah dengan
para pengguna bagian-bagian dari wilayah, antara para pengguna tanah dengan para
pekerja (penggarap) tanah, antara pemilik ternak dengan para pekerja (penggembala)
dan sebagainya.  Hubungan yang tidak serasi (baca: tidak adil) itu meliputi soal-soal
terkait pembagian keuntungan hasil kerja, pajak, perburuhan dan lain-lainnya.
Romawi.  Semasa Romawi belum berkembang seluruh wilayah negara tersebut
dianggap sebagai milik umum (public property) yang tak terbagi-bagi dimana setiap
warga negara Roma berhak yang sama mengambil manfaat dari tanah.  Dalam
perkembangannya orang-orang  keturunan para pendiri negara  (patricia, bangsawan)
mempertahankan hak turun-temurun atas wilayah-wilayah tertentu yang sejak dulu
telah dimanfaatkan oleh leluhur mereka.
Leges Agrariae 489 SM. Republik Romawi berkembang antara lain melalui penaklukan-
penaklukan atas wilayah-wilayah sekitarnya sehingga wilayah negara ini semakin hari
semakin meluas. Sebagai akibat penaklukan wilayah-wilayah tetangga itu muncullah
klas sosial baru, yakni para warga negara baru yang bukan orang asli Romawi (disebut
plebian).  Kaum plebian ini pun membutuhkan sumber kehidupan baru terutama tanah.
Guna menjawab kebutuhan kaum plebian atas tanah inilah Spurius Cassius, seorang
anggota konsul pada masa itu, memprakarsai lahirnya undang-undang agraria (Leges
Agrariae) pertama kalinya di republik Romawi 489 thn SM.  Sebagian besar kaum
patricia menentang keras undang-undang ini.
Undang-undang Licinius 367 SM. Kurang lebih dua puluh tahun kemudian lahirlah
undang-undang agraria baru yang diprakarsai oleh Licinius Stolo. Dibutuhkan
perdebatan selama lima tahun sebelum undang-undang baru ini disahkan.  Intinya,
undang-undang baru ini menetapkan bahwa setiap warga negara Romawi memperoleh
hak memanfaatkan sebagian dari wilayah negara seluas tidak lebih dari lima ratus
iugera.  Hamparan tanah seluas itu tentu bukan berupa satuan usaha tani belaka
melainkan bisa terdiri atas hutan perburuan, padang penggembalaan ternak dan
sebagainya.  Pelaksanaan undang-undang Licinius inipun tidak berlangsung mulus oleh
berbagai sebab, antara lain karena peperangan dengan Yunani dan Prancis. 
Kesempatan ini digunakan oleh kaum patricia, orang-orang kaya, militer dan para
veteran perang untuk menguasai tanah-tanah luas melebihi batas lima ratus iugera
yang dibolehkan oleh undang-undang.  Terjadilah proses akumulasi penguasaan
wilayah oleh kelompok-kelompok elite; hal ini berlangsung selama hampir dua abad.
Pembaruan Tiberius 167 SM. Sesudah hampir dua ratus tahun lamanya undang-
undang Licinius seakan-akan masuk dalam peti es, Tiberius Gracchus, seorang
anggota parlemen pada masa itu berhasil memperjuangkan lahirnya undang-undang
agraria baru yang bertujuan menyelaraskan kembali ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang sebelumnya, yakni diteguhkannya batas maksimum lima ratus iugera. 
Selain itu ditambahkan bahwa setiap anak lelaki dewasa dalam keluarga diperbolehkan
menguasai dua ratus lima puluh iugera sepanjang total penguasaan dalam satu
keluarga tidak melebihi seribu iugera.  Undang-undang baru inipun tidak terlaksana,
bahkan Tiberius dibunuh.  Sepuluh tahun kemudian adiknya, Gaius Gracchus,
berusaha melanjutkan langkah pembaruan sang kakak, namun diapun dibunuh juga.
 

Anda mungkin juga menyukai