Anda di halaman 1dari 44

Struktur dan Pelapisan Sosial

Sosiologi Agraria dan Pemberdayaan Masyarakat - Dwi Wulan Pujiriyani


20 Oktober 2021
 Apa pengalaman yang diperoleh setelah membaca tulisan tersebut?

 Apa yang paling menarik dan apa yang paling tidak menarik dari tulisan tersebut?

 Data mana yang menurut kalian meragukan?

 Apakah tulisan tersebut menunjukan sebuah contoh analisis sosiologis?


Orang Samin (Sedulur Sikep) dan Tanahnya
Komunitas Js– Desa W

Hlm 85 - “Yang masih


mengelola, yang mau mencangkul,
yang mencabuti bibit padi, orang yang
usianya 40 tahun ke atas. Yang usia 40
ke bawah...bisa dihitung. Anak muda
lebih suka merantau. Tradisi di
pertanian sudah berbayar semua” (Al,
pamong desa, 31 tahun)

Hlm 115 - “Kalau saya nggak


ke Korea, nasib saya mungkin seperti
teman-teman saya yang tidak pernah
berangkat ke sana. Kerjanya orang sini
itu kerja kasar. Orang sini yang mau
keluar daerah, biasanya sukses. Kalau
pulang bawanya mobil bagus,
bawanya pajero” (Nz, 44 tahun)
Desa Baturejo dan Desa Wotan

Karakteristik Kategori Karakteristik Kategori


Tipologi Mata pencaharian Desa primer; Desa Tipologi Mata pencaharian di Desa tersier; Desa
Desa pertanian ≥55%; dengan golongan Desa luar pertanian 56%; dengan golongan
Tamatan SD 44%; tingkat pendidikan Tamatan SD ke atas tingkat pendidikan
Nilai IDM <0,5989 sedang; Desa Tertinggal 44,69%; Nilai IDM sedang; Desa
(Desa Pra-Madya) >0,5989 Berkembang (Desa
madya)
Jumlah 6492 jiwa Desa Menengah Jumlah 7662 jiwa Desa Menengah
Penduduk (5000-10.000 jiwa) penduduk (5000-10.000 jiwa)

Kepadatan 640 jiwa/km² Melampaui batas Kepadatan 339 jiwa/km² (130 Masih berada
penduduk (247 jiwa/mil²) kepadatan tertinggi penduduk jiwa/mil²) dibawah batas
menurut untuk tanah pertanian menurut tipe kepadatan untuk desa
tipe (64-192 jiwa/mil²) ekonomi permulaan industri
ekonomi dan perdagangan
(192-256 jiwa/mil²)
Kepadatan Agraris dan Daya Dukung Lahan Pertanian di
Desa Baturejo (Komunitas Sedulur Sikep)
Karakteristik Kategori
1323 Kepadatan 532 jiwa/km² Cukup tinggi
3735
Desa Baturejo Agraris
5058
Luas minimum Hanya 1,3% Sebagian besar
950
standar hidup petani petani tidak
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 yang memadai memiliki tanah memiliki luas
untuk ukuran di atas 1 ha lahan
Jumlah buruh tani (jiwa) lokal minimum
Jumlah petani sendiri (jiwa) (1,5 ha) untuk standar
Jumlah Petani (jiwa) hidup memadai

Luas Lahan Pertanian (ha)

80 50
60 40
40 30
20
20 10
0 0
0,26- 0,26-
<0,2 0,51- >1 <0,26 0,5-1 >1
0,50 0,5
6 ha 1 ha ha ha ha ha
ha ha
Presentase Presentase
Pemilikan 73,01 20,06 5,6 1,31 Penguasaan 42,3 32,69 13,46 11,53
Lahan Lahan
Dimensi Ketersediaan Lahan
 Strategi Ekspansi  Strategi Populasi

Generasi 1

Jumlah Anak
1 anak 2 anak
Generasi 2
3 anak Lebih dari (>)3 anak

Generasi 3
12%
E
16% 44%

28%

I= 4 hektar; II =2,5 hektar;


III = 0,85 hektar

I= - ; II= 2 ha; III = 0,35 ha


Dimensi Akses Lahan Pertanian

Strategi
Strategi Resiprositas
Penguasaan Strategi
Lahan Kolektivitas

Tabungan Membagikan
bahan hasil panen
bangunan
Tabungan Menolak
kerabat/tabun combine
g harverster
an bakul
Dimensi Orientasi Penggunaan Lahan
Strategi
Strategi Strategi
agroekolog
otonomi kelangkaan
i

Lanskap
produktif
Lanskap Deaktivasi Lanskap
konsumtif (tidak digunakan) ekstraktif
Garapan
(lahan
pertanian) Tanah Sungai
Pekarangan

Balongan
(rawa)
Dimensi Stabilitas Komunitas

Regenerasi petani

Strategi teritorial

Pewarisan lahan
pertanian
Memahami Konsep Stuktur
 Struktur (susunan) – cara sesuatu disusun atau dibangun
 Stuktur sosial – konsep perumusan asas-asas hubungan antar individu dalam kehidupan
masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu.

 Struktur sosial dipilah menjadi dua:


1. Struktur sosial vertikal (stratifikasi sosial/pelapisan sosial)
Menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis,
berjenjang. Dalam dimensi struktur ini, kita melihat adanya kelompok masyarakat yang
berkedudukan tinggi (lapisan atas), sedang (lapisan menengah) dan rendah (lapisan
bawah).
2. Struktur sosial horizontal (diferensiasi sosial)
Menggambarkan kelompok-kelompok sosial yang tidak dilihat dari tinggi rendahnya
kedudukan kelompok, melainkan lebih tertuju pada variasi atau kekayaan pengelompokan
yang ada dalam suatu masyarakat (heterogenitas sosial masyarakat).
Struktur Biososial
 Stratifikasi sosial yang ditentukan oleh faktor biologis – jenis kelamin, usia.
 Pada masyarakat yang bersahaja – tingkat food gathering economics (berburu dan
meramu) sampai pada ketika mereka mengalami era pertanian (tradisional),
masyarakat manusia masih mengandalkan kekuatan fisik dan pengalaman.
 Kaum laki-laki tergolong lebih kuat dibanding dengan wanita. Kaum laki-laki lebih
berperanan dan dominan dalam kehidupan kelompoknya.
 Dalam etnologi terdapat konsep potlatch – prinsip bahwa siapa yang berada di pihak
memberi akan berkedudukan lebih tinggi dibanding dengan pihak yang menerima
pemberian.
 Oleh karena peranannya yang besar dan berada dalam kedudukan memberi, kaum
laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita.
 Keunggulan fisik, jumlah perempuan yang lebih sedikit, angka kematian laki-laki yang
tinggi menyebabkan semakin ‘mahalnya’ kaum laki-laki sehingga menempatkan
mereka pada kedudukan sosial yang tinggi.
Struktur Sosial Horizontal
 Pluralitas subjek sebagai determinan dari tingkat diferensiasi atau heterogenitas
masyarakat.
 Semakin tinggi pluralitas, semakin tinggi pula heterogenitas sosial masyarakat
 Pengelompokan sosial (social grouping) – (didalamnya terbangun solidaritas atau we
feeling group)
 Dasar-dasar dari pengelompokan sosial semacam in diantaranya:
kekerabatan/hubungan darah (conjugal family/nuclear family, extended family),
kesamaan dalam agama dan kepercayaan, kesamaan dalam bahasa dan adat
setempat, kebersamaan dalam kepentingan okupasi, kebersamaan dalam
kepentingan ekonomi, pemilikan dan penggunaan tanah bersama, sama-sama
menjadi bawahan dari tuan tanah.
 Contoh: komunitas
Pelapisan sosial dalam historis
masyarakat petani Jawa
 Kepemilikan tanah menciptakan stratifikasi yang sangat tajam (antara
petani – penggarap)- sikep maupun numpang- dengan para priyayi-
pemegang tanah pelungguh/apanage)
 Tingkat kesejahteraan yang rendah
 Petani yang siap diperintah (sendiko-dawuh)
 Tidak memiliki motivasi untuk maju
 Terdapat dua kategori sosial yang berbeda (si pemegang tanah luas/tuan
tanah) terpisah dari kehidupan petani-penggarap (buruh)
 Misalnya: tuan tanah absentee yang hidup di kota dan kenyataan bahwa
mereka sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan produksi.
Pelapisan Sosial pada Masyarakat Jawa Mengacu pada
Sutarjo Kartohadikoesoemo

 1. warga baku – warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah
pekarangan (orang baku, sikep, gogol kenceng, kuli/wong kenceng)
 2. a. warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan
 (lindung, angguran kampung, kuli, sikep buri/sikep nomor dua, wong setengah kenceng)
 b. warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain (wong
dempel, menumpang, numpang karang)

 3. a. warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain, orang-orang tua,
penganten baru, orang baru (rangkepan, kumpulan, nusup, kempitan)
 b. pemuda yang belum kawin (joko, sinoman)
Pelapisan Sosial Masyarakat Jawa Mengacu
pada Koentjaraningrat

1. Keturunan cikal bakal desa dan pemilik tanah


2. Pemilik tanah di luar golongan cikal bakal
desa dan pemilik tanah (kuli)
3. Yang tidak memiliki tanah
Pelapisan Sosial pada Masyarakat Jawa
Mengacu pada M Jaspan

1. Kuli kenceng (mereka yang memiliki tanah


pekarangan dan sawah)
2. Kuli gundul (mereka yang hanya memiliki
sawah)
3. Kuli karangkopek (mereka yang memiliki
pekarangan saja
4. Indung tlosor (mereka yang memiliki rumah
saja di atas tanah orang lain
Pelapisan Sosial pada Masyarakat Jawa
mengacu pada ter Haar

 1. Golongan pribumi pemilik tanah (sikep, kuli, baku atau gogol)


 2. Golongan yang hanya memiliki rumah dan pekarangan saja atau tanah
pertanian saja (indung atau lindung)
 3. Golongan yang hanya memiliki rumah saja di atas tanah pekarangan
orang lain dan mencari nafkah sendiri (numpang)
Pelapisan Sosial pada Masyarakat Jawa
mengacu pada Frans Husken

 1. Golongan kelas atas (para anggota pemerintahan desa, yang selain


memiliki tanah sendiri juga mendapat tanah bengkok yang cukup luas,
juga berkuasa mengerahkan tenaga kerja pancen (orang-orang kuat)
untuk mengerjakan tanah mereka
 2. Golongan petani kelas menengah atau ‘orang kuat desa’ yang
mendapatkan pembagian tanah desa, tetapi dibebani bermacam-
macam kerja rodi dan kerja pancen
 3. Golongan besar para tunakisma yang sebagian besar hidupnya terikat
pada keluarga-keluarga petani penguasa tanah
Struktur sosial berdasarkan pemilikan
tanah
 Hubungan antar manusia yang berdimensi vertikal berdampak pada
terciptanya orang-orang dengan kepribadian ‘mudah diperintah’.
 Stratifikasi sosial bukan indikator kemajuan
 Konsep stratifikasi sosial menjadi indicator kemajuan apabila jarak sosial
antara lapisan tidak terlalu jauh dan tajam serta memungkinkan terjadinya
mobilitas vertikal secara mudah
 Pemilikan tanah yang sempit tidak memberikan akses bagi pemiliknya
untuk meningkatkan status
 Misal: modernisasi pertanian mengakibatkan terciptanya polarisasi atau
kesenjangan diantara petani kaya dan petani miskin
Apa itu struktur agraria
 Struktur Agraria merupakan sebaran atau distribusi tentang pemilikan (penguasaan
formal) dan penguasaan efektif (garapan/operasional) atas sumber-sumber agraria,
juga sebaran alokai dan peruntukannya (Wiradi, 2009).
 Faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria:
1. Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian (pembangunan real estate, pabrik,
areal perdagangan, dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas)
2. Faktor sosial budaya (aturan warisan)
3.Kerusakan lingkungan (adanya musim kemarau yang panjang yang mengakibatkan
kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan pestisida ataupun pupuk
yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian)
4. Kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian (harga pupuk yang tinggi, harga
gabah yang rendah, dan masalah pengaturan harga beras).
MENGAPA DALAM MASYARAKAT TERJADI PELAPISAN-
PELAPISAN?

Kehidupan manusia dilekati nilai


Manusia memilikinya karena mereka penyandang nilai
Keberadaan ‘nilai’ selalu mengandung kelangkaan, tidak mudah
didapat, dan oleh karenanya memberikan harga pada
penyandangnya
Siapa yang memperoleh lebih banyak ‘hal yang bernilai’ semakin
terpandang dan tinggi kedudukannya
APA SAJA YANG DIPANDANG BERNILAI DALAM
MASYARAKAT?

Harta/kekayaan
Jenis mata pencaharian
Pengetahuan/pendidikan
Keturunan
Unsur biologis (dalam masyarakat bersahaja)
Lahan pertanian (seberapa besar pemilikan atau penguasaan seseorang terhadap
lahan pertanian akan menentukan seberapa tinggi kedudukan mereka dalam
masyarakat)
Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga seperti misalnya (tanah, uang, ternak
dan sebagainya) dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap oleh masyarakat
berkedudukan di lapisan atas, mereka yang sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki
sesuatu yang berharga itu dalam masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah
FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PELAPISAN SOSIAL PADA MASYARAKAT DESA (SMITH &
ZOPT)

1. Luas pemilikan tanah dan


sejauh mana pemilikan itu
terkonsentrasi di tangan 2. Pertautan antara sektor 3. Bentuk-bentuk pemilikan atau
sejumlah kecil orang atau pertanian dan sektor industri penguasaan tanah
sebaliknya merata pada warga
desa

4. Frekuensi perpindahan petani


dari lahan pertanian satu ke 5. Komposisi rasial penduduk
lahan pertanian yang lain
1. LUAS PEMILIKAN TANAH DAN SEJAUH MANA PEMILIKAN ITU
TERKONSENTRASI DI TANGAN SEJUMLAH KECIL ORANG ATAU
SEBALIKNYA MERATA PADA WARGA DESA

Tipe 1 Tipe 2

Pemilikan tanah (yang


sangat luas) berada pada
Pemilikan tanah secara
satu atau sejumlah kecil
umum rata-rata, perbedaan
orang (tuan tanah),
kepemilikan kalau pun ada
sedangkan yang lain
bersifat gradual
berada dalam kedudukan
sebagai petani penggarap

Lapisan menengah tidak


Piramida sosial
eksis, struktur sosial
mencerminkan tangga-
tertutup untuk mobilitas
tangga sosial yang tidak
vertikal, sekali menjadi
cukup tajam,
petani penggarap tidak
dimungkinkan untuk
ada harapan untuk menjadi
terjadi mobilitas vertikal
tuan tanah
2. PERTAUTAN ANTARA SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI

Apabila suatu desa tergantung sepenuhnya terhadap sektor pertanian, maka faktor tanah
sangat menentukan system stratifikasi sosial masyarakatnya.
Apabila desa memiliki akses terhadap industri lapangan pekerjaan yang memberikan
alternatif bagi mereka, maka stratifikasi sosial tidak lagi didasarkan atas luas sempitnya
pemilikan tanah, melainkan juga oleh kedudukan sosial-ekonomis mereka sebagai pekerja
industri atau jenis pekerjaan lainnya.
Industri atau lapangan kerja lain di luar sektor pertanian yang memberikan alternatif bagi
masyarakat desa akan mengaburkan pola stratifikasi sosial yang berdasarkan atas
pemilikan tanah.
3. BENTUK-BENTUK HAK MILIK ATAS TANAH

Hak milik atas tanah di sini berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah
yakni hak yang sah untuk menggunakannya, mengolahnya, menjualnya dan memanfaatkan
bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah itu. Termasuk juga didalamnya hak guna atas
tanah (memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menyakap dan
lainnya).
Stratifikasi sosial dapat dilihat dari perbedaan tinggi-rendahnya kedudukan sosial seorang
buruh tani, penyakap, penyewa, pemilik-penggarap, penyewa-penggarap, setengah pemilik,
pemilik sepenuhnya, para manajer dan lainnya dalam pelapisan sosial masyarakat tani.
Dalam konteks ini, seorang petani penyewa sekalipun luas lahan yang dikuasai (disewa)nya
lebih luas daripada yang dimiliki oleh seorang petani pemilik, namun status sosialnya masih
lebih rendah disbanding petani petani pemilik itu.
4. FREKUENSI PERPINDAHAN PETANI DARI LAHAN PERTANIAN SATU
KE LAHAN PERTANIAN YANG LAIN

Seorang petani penggarap (bukan tanah miliknya) atau petani penyewa yang mapan dapat
memiliki kedudukan yang (hampir) sama dengan pemilik tanah (luas)
Namun petani penggarap atau penyewa yang sering berpindah-pindah memiliki
kedudukan yang lebih rendah, karena hanya dianggap sebagai petani penggarap sambilan
(sementara)
Konsep ini hanya tepat digunakan pada desa dengan pemilikan lahan pertanian yang luas,
tetapi jumlah tenaga kerja (penggarap) belum banyak.
Untuk daerah-daerah yang lahan pertaniannya sempit, tetapi jumlah tenaga kerja melimpah,
apabila tidak ada kesempatan untuk pindah, maka kedudukan petani akan semakin merosot
(menjadi petani gurem atau buruh tani)
5. KOMPOSISI RASIAL

Konteks khusus pada masyarakat di Amerika yang merupakan masyarakat pendatang dari
Eropa dan berbagai benua lainnya.
Kelompok ras tertentu akan cenderung bersifat eksklusif terhadap yang lain
Stratifikasi sosial cenderung akan terjadi dalam masing-masing kelompok rasial
CONTOH PELAPISAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
AGRARIS
1. Menguasai SDA dengan mekanisme pemilikan tetap

2. Menguasai SDA dengan mekanisme pemilikan tetap + pemilikan


sementara (sewa, gadai, bagi hasil)
Petani Pemilik

3. Menguasai SDA dengan mekanisme pemilikan tetap+pemilikan


Petani Pemilik + Penggarap sementara+ mengusahakan lahan milik orang lain+menjadi buruh tani

Petani Pemilik+Penggarap+Buruh
Tani 4. Menguasai SDA dengan mekanisme pemilikan tetap + menjadi buruh
tani
Petani Pemilik+Buruh tani

5. Menguasai SDA melalui mekanisme pemilikan sementara (tunakisma


Petani Penggarap tidak mutlak/penguasa efektif)

Petani Penggarap+Buruh Tani 6.Menguasai SDA melalui mekanisme pemilikan sementara +menjadi
buruh tani (tukanisma tidak mutlak)
Buruh Tani

7. Tidak menguasai SDA (tunakisma mutlak) – selain buruh tanni juga


menjadi buruh non pertanian/mengambil hasil hutan
Tugas untuk Minggu Depan

 Menghitung kepadatan fisiologis dan kepadatan agraris di daerah masing-masing


 Membuat genealogi pemilikan lahan melalui silsilah kekerabatan tiga generasi ke
atas dengan luas tanah yang dimiliki oleh keluarga inti dari ego

Anda mungkin juga menyukai