Anda di halaman 1dari 154

BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Paparan Data

Paparan data merupakan hasil observasi dan rekaman proses yang terjadi

selama penelitian berlangsung diuraikan secara menyeluruh.

1. Kondisi Geografis Desa Penelitian

a. Sejarah Singkat Desa Ngadisari

Asal kata Ngadisari berasal dari kata “Ngadi“ yang artinya berguna atau

bagus sedangkan “Sari“ artinya bunga atau inti yang penting. Arti kata seutuhnya

menjadi bunga yang bagus dengan inti yang penting. Harapan pendiri desa untuk

menjadikan Desa Ngadisari sebagai desa yang indah seperti bunga dan menjadi

percontohan bagi desa lain di sekitarnya. Harapan tersebut saat ini mulai menjadi

nyata karena Desa Ngadisari mendapatkan juara I lomba gotong royong terbaik

tingkat Jawa Timur tahun 2013 dan juara I lomba desa pelaksana gotong royong

terbaik nasional tahun 2013 mewakili Provinsi Jawa Timur.

Sebelum menjadi sebuah desa, daerah ini merupakan hutan cemara yang

kemudian lahannya dibuka untuk dijadikan tempat tinggal baru namun tidak

meninggalkan fungsi hutan sebagai daerah penyeimbang ekosistem. Dalam proses

pelaksanaan pembukaan lahan dilakukan oleh Kepala Desa Wonosari yang

bernama Bapak Rasji dengan masyarakat yang datang dari Pedukuhan Pomahan.

Sesudahnya pembukaan lahan, maka secara administrasi digabungkan wilayah-

wilayah pedukuhan menjadi satu desa yang dinamakan Desa Ngadisari hingga

saat ini. Mayoritas penduduk Ngadisari menganut agama Hindu dan Islam sebagai

minoritas. Sebagai masyarakat yang mempunyai nilai-nilai kearifan lokal dan nilai

63
adat yang tinggi, masyarakat Desa Ngadisari dalam menjalankan kehidupannya

penuh dengan toleransi, keharmonisan dan rasa saling mempunyai antara satu

dengan yang lain.

b. Letak Desa Ngadisari

Secara geografis Desa Ngadisari terletak pada posisi 70 54’ 57,8’’ Lintang

Selatan (LS) dan 1220 59’ 01,4’’ Bujur Timur (BU). Desa Ngadisari terletak di

Kecamatan Sukapura yang merupakan desa terakhir dan tertinggi di Kabupaten

Probolinggo dengan ketinggian 1.800 mdpl. Berikut ini adalah peta lokasi

penelitian;

Gambar 3.1 Peta Lokasi Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo
(Dokumen Pribadi, 2017).

Desa Ngadisari berbatasan dengan Desa Wonotoro dan Jetak Kecamatan

Ngadisari Kabupaten Probolinggo di utara, Desa Ngadas Kecamatan

Poncokusumo Kabupaten Malang di selatan, Desa Wonokitri, Kedawung dan

Wonokoyo Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan di barat. Orbitasi (jarak dari

64
pusat pemerintahan) Desa Ngadisari dengan pusat Kecamatan Sukapura 15 Km

dengan waktu tempuh 30 menit dan pusat Kabupaten Probolinggo 80 Km dengan

waktu tempuh 2 jam dan jarak ke pusat Provinsi Jawa Timur 118 Km dengan

waktu tempuh 35 jam.

Secara Administratif Desa Ngadisari memiliki luas wilayah administratif

seluas 775,3 Ha dengan mayoritas penggunaan lahan sebagai lahan kering atau

ladang atau tegalan (Monografi Desa Ngadisari, 2016). Jumlah Rukun Tetangga

(RT) 21 unit yang tersebar di 3 dusun, yakni Dusun Cemoro Lawang, Dusun

Ngadisari dan Dusun Wonasari. Desa ini menjadi desa terakhir dan pintu masuk

utama ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang

menjadi 10 destinasi pariwisata unggulan Republik Indonesia saat ini.

c. Komposisi Penduduk Desa Ngadisari

Jumlah penduduk Desa Ngadisari 1534 jiwa dengan jumlah laki-laki 735

jiwa dan jumlah perempuan 795 jiwa dengan total 511 Kepala Keluarga (KK).

Penduduk usia non produktif yakni usia 0 – 14 dan usia 65 tahun ke atas sebesar

25 persen, sedangkan usia produktif umur 14 tahun hingga 65 tahun sebesar 75

persen. Demikian maka dapat dihitung rasio ketergantungan (dependency ratio)

masyarakat Desa Ngadisari sebesar 33,5 persen yang artinya setiap 100 orang

yang berusia produktif mempunyai tanggungan sebanyak 33 orang yang tidak

produktif.

Data ini dapat dijadikan acuan dalam pembangunan Desa Ngadisari karena

semakin tingginya dependency ratio maka semakin tinggi beban yang harus

ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk yang

belum produktif maupun yang tidak produktif lagi, begitu juga sebaliknya jika

65
angka dependency ratio kecil. Berikut ini data jumlah penduduk laki-laki dan

perempuan berdasarkan kelompok umur;

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Ngadisari


Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah Persentase
(tahun) (%)
0–4 36 32 68 4,43
5–9 40 50 90 5,87
10 – 14 65 47 112 7,30
15 – 19 47 58 105 6,84
20 – 24 68 45 113 7,37
25 – 29 64 80 144 9,39
30 – 34 61 59 120 7,82
35 – 39 59 84 143 9,32
40 – 44 61 59 120 7,82
45 – 49 61 69 130 8,47
50 – 54 58 65 123 8,02
55 – 59 43 43 86 5,61
60 – 64 39 26 65 4,24
65 – 69 20 19 39 2,54
70 – 74 8 24 32 2,09
75+ 13 31 44 2,87
Jumlah 735 795 1534 100,00
Sumber : Monografi Desa Ngadisari (2016)

d. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Ngadisari

Mata pencaharian masyarakat Desa Ngadisari sesuai dengan data monografi

desa terdapat 17 jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat. Mayoritas

masyarakat Desa Ngadisari bekerja sebagai petani lahan kering. Berdasarkan

monografi Desa Ngadisari 2016 jenis pekerjaan dan jumlah yang bekerja sebagai

berikut;

Tabel 3.2 Jenis Pekerjaan dan Jumlah Penduduk yang Bekerja di Desa Ngadisari
N Jenis Pekerjaan Jumlah Persen
No (Jiwa) tase
(%)
1. Petani 1114 88,8
2. Buruh Tani 37 3,0
3. Pegawai Negeri Sipil 13 1,0
4. Pemilik Losmen 23 1,8
5. Pemilik Toko 15 1,2
6. Tukang Kayu 14 1,1
7. Tukang Bangunan 10 0,8
8. Jasa Hotel 6 0,5
9. Penjahit 3 0,2
10. Pemilik Kios 3 0,2

66
11. Pemilik Depot / Warung 5 0,4
12. Industri / Kerajinan 2 0,2
13. Pemilik Wartel 1 0,1
14. Sopir 2 0,2
15. TNI / POLRI 1 0,1
16. Pedagang 2 0,2
17. Tukang Cukur 3 0,2
Jumlah 1254 100,0
Sumber: Monografi Desa Ngadisari (2016)

Data di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian mayoritas masyarakat

Desa Ngadisari sebagai petani dengan persentase 88,8 persen dan mata

pencaharian kedua terbanyak sebagai buruh tani. Data ini menunjukkan bahwa

masyarakat masih mengandalkan dan memanfaatkan potensi lahan yang subur di

Desa Ngadisari sebagai pertanian. Selain dibidang pertanian masyarakat juga

bekerja dibidang jasa seperti membuka losmen, hotel, warung, toko, restoran dan

berdagang. Jenis pekerjaan ini banyak muncul akibat dari perkembangan

pariwisata Gunung Bromo yang semakin baik.

e. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Ngadisari

Pendidikan merupakan modal penting dalam pembangunan SDM, dengan

adanya SDM yang baik akan mempercepat pembangunan yang ada di wilayahnya.

Pendidikan masyarakat Desa Ngadisari dapat dilihat di tabel bawah ini;

Tabel 3.3 Data Pendidikan Masayarkat Desa Ngadisari yang Ditamatkan


Jumlah Presentase
No Jenjang Pendidikan Penduduk yang (%)
menamatkan
1. PAUD 34 2,3
2. Taman Kanak-kanak (TK) 25 1,7
3. Sekolah Dasar (SD) 799 53,5
4. Sekolah Menengah Pertama 395
(SMP) 26,4
5. Sekolah Menengah Atas (SMA) 168 11,2
6. D-3 10 0,7
7. Sarjana Strata 1 58 3,9
8. Sarjana Strara 2 5 0,3
Jumlah 100,0
1494
Sumber: Data Monografi Desa Ngadisari (2016)

67
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa Ngadisari

hanya lulusan SD sebanyak 799 orang atau 53,5 persen dari semua yang

mengenyam pendidikan. Gambaran SDM yang seperti ini menjadi tantangan bagi

pemerintahan Desa Ngadisari untuk terus memperbaiki SDM Desa Ngadisari

dengan tujuan pembangunan desa yang lebih baik di masa depan. Berdasarkan

wawancara dengan Kepala Desa Ngadisari Sri Wahayu, saat ini pemerintah desa

sedang berupaya memperbaiki kondisi ini dengan mewajibkan sekolah hingga

jenjang SMA atau kesetaraan.

f. Bentang Lahan Desa Ngadisari

Kondisi topografi Desa Ngadisari yang merupakan wilayah lereng Gunung

Bromo memiliki topografi kasar dengan kemiringan 10 persen hingga 45 persen.

Kondisi topografi yang relatif kasar mempengaruhi masyarakat Desa Ngadisari

dalam sistem pertanian dengan menggunakan sistem terasering dan polikultur.

Kondisi topografi yang relatif kasar mempengaruhi masyarakat Desa Ngadisari

dalam sistem pertanian dengan menggunakan sistem terasering dan polikultur.

Pola pertanian ini banyak ditemui di lokasi penelitian, misalnya masyarakat Desa

Ngadisari menanam bawang prei di sela-sela tanaman kubis dan membuat aliran

air secara vertikal pada lahan pertaniaannya, hal ini untuk mengurangi

pembusukan pada sayuran, namun di sisi lain mempertinggi laju erosi.

Gambar 3.2 Bentang Lahan Desa Ngadisari (Dokumen Pribadi, 2017)

68
Desa Ngadisari memiliki landscape yang unik jika dibandingkan dengan

desa Suku Tengger lainnya. Dalam kondisi normal Gunung Bromo akan terlihat

cantik dari desa ini dengan panorama alam yang khas berupa kaldera yang datar

tertutup oleh pasir yang dipadukan dengan kerucut silinder Gunung Batok yang

berada di utaranya (Zaennudin, 2011). Adanya keunikan menjadi daya tarik bagi

para wisatawan lokal maupun mancanegara, sehingga pemerintah menetapkan

pintu utama masuk kawasan wisata Gunung Bromo di Desa Ngadisari.

Jenis tanah di Desa Ngadisari yakni tanah regosol yang berasal dari material

vulkanik Gunung Bromo. tanah regosol sangat cocok untuk pertanian karena

bersifat subur, kaya akan unsur hara dan material berupa pasir serta batu

bercampur dengan tanah liat sehingga cocok untuk sayur-sayuran (Statistik

Kecamatan Sukapura, 2016). Kondisi tanah yang subur didukung dengan curah

hujan yang rata-rata pertahun sebesar 3.577 mm dan suhu rata-rata 100 - 200 C,

menyimpan potensi dibidang pertanian yang besar jika mampu dioptimalkan oleh

masyarakat.

B. Paparan Data Hasil Penelitian

Paparan ini merupakan hasil dari wawancara peneliti dengan informan-

informan yang dianggap mengetahui data atau informasi yang diperlukan oleh

peneliti.

1. Konteks Sosial yang Melatarbelakangi Tindakan Subjek

Konteks sosial yang melatarbelakangi Suku Tengger Desa Ngadisari

Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo dalam upaya mencegah pernikahan

diusia muda atau dini. Konteks sosial yang ditemukan beragam namun pada

umumnya dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak dari pernikahan,

69
selain itu adanya makna tertentu dari masyarakat terhadap pernikahan, karena

pernikahan hal yang sakral bagi kehidupan masyarakat Suku Tengger Ngadisari.

a. Konteks sosial subjek penelitian

Konteks sosial yang melatarbelakangi tindakan subjek penelitian,

memberikan ragam subjek dalam memaknai konsep Catur Guru dan tindakan

pernikahan usia muda. Maka dari itu diperlukan informasi yang mendalam tentang

konteks sosial dari subjek penelitian, seperti yang dipaparkan di bawah ini.

1) Sri Wahayu (54 Tahun)

Sri Wahayu merupakan kepada Desa Ngadisari periode tahun 2015 hingga

2021. Sri Wahayu bekerja sebagai kepala desa mulai tahun 2015 setelah menjadi

pengganti suami yang sudah habis masa jabatannya dua periode sebelumnya sebagai

kepala desa. Sri Wahayu orang yang sangat dipercaya masyarakat Desa Ngadisari

sehingga diamanahkan menjabat sebagai kepala desa atau yang biasanya masyarakat

Tengger menyebutnya bu tinggi (ibu kepala desa). Sri Wahayu merupakan sosok

yang amanah, ramah, jujur, baik hati dan peduli dengan sesama menurut masyarakat

sekitar.

Gambar 3.3 Peneliti dengan Informan Ibu Sri Wahayu (Dokumen Pribadi, 2017)

70
Gambar 3.4 Peneliti Sharing dengan Bapak Supoyo (Dokumen Pribadi, 2017)

Kasus pernikahan usia muda di Desa Ngadisari untuk saat ini sudah tidak ada.

Ada upaya dari pemerintah desa menerapkan aturan desa sesuai dengan Undang-

undang tentang pernikahan tahun 1974 nomor 1 sejak tahun 15 tahun lalu. Peraturan

tesebut diprakarsai oleh Supoyo suami Sri Wahayu ketika menjabat sebagai kepala

desa. Sri Wahayu mengatakan;

”.... Pernikahan dini di desa kami sudah tidak ada, karena sejak
bapak menjabat 15 tahun lalu undang-undang tentang pernikahan
tahun 1974 nomor 1 sudah dijalankan oleh bapak, di mana untuk
laki-laki mimimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun baru boleh
menikah. Selain itu bapak juga sudah membuat peraturan desa, jika
ingin menikah harus lulus jenjang SMA terlebih dahulu. Semua ini
demi kebaikan bersama di masa depan, jadi kualitas masyarakat
menjadi baik dan pernikahan dini bisa dikurangin ....” (Wawancara
tanggal 18 Maret 2017).

Sejak diterapkan peraturan desa (perdes) yang mengatur tentang syarat

menikah harus lulus jenjang SMA, secara tidak langsung memberikan pengaruh

positif terhadap pengurangan jumlah kasus pernikahan usia muda yang ada di Desa

Ngadisari.

71
“ .... sejak adanya peraturan tersebut, harus lulus jenjang SMA
terlebih dahulu keadaan masyarakat akan pentingnya pendidikan
membaik mas, kalau dulu tahun 1970-an sampai 1980-an
pernikahan di usia muda banyak mas, saat ini turun sekali hingga
kira-kira dalam satu tahun kurang dari 3 orang, itupun kalau bukan
karena kecelakaan (hamil di luar nikah) ...” (Wawancara tanggal
18 Maret 2017).

Penuturan dari Sri Wahayu saat ini hanya sedikit kasus pernikahan usia muda

di Desa Ngadisari kalau tidak karena hamil di luar pernikahan mungkin tidak ada lagi

kasus pernikahan usia muda. Menurut Sri Wahayu pelaku hamil di luar nikah secara

tidak langsung akan mengalami putus sekolah, namun Sri Wahayu sebagai kepala

pemerintahan Desa Ngadisari sudah mengantisipasi hal ini melalui peraturan desa

lainnya yakni tetap mewajibkan pelaku untuk menyelesaikan jenjang SMA dengan

cara mengikuti paket kesetaraan atau biasa disebut paket C.

Bagi pelaku pernikahan usia muda, pemerintah desa tidak akan mengeluarkan

rekomendasi untuk menikah secara administrasi sebelum lulus SMA atau kesetaraan,

sehingga pernikahan tidak dapat tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Pelaku pernikahan dini tidak punya pilihan untuk mengikuti peraturan desa dengan

tujuan mendapatkan pengakuan secara administrasi sehingga memperoleh buku

nikah resmi dari pemerintah dan mendapatkan pengakuan secara adat atau yang

disebut Wiwaha Samkara. Sri Wahayu menjelaskan Wiwaha Samkara merupakan

pengakuan kepada pasangan yang dianggap sah untuk melanjutkan hidup sebagai

suami istri secara duniawi maupun spiritual, pengakuan itu secara adat bukan

administrasi.

” .... bagi anak yang hamil di luar nikah, pemerintah desa


memanggil orangtua untuk membuat surat pernyataan tertulis
wajib mengikuti pendidikan kesetaraan melalui kejar paket C dan
pemerintah desa melalui Kesra (Kaur Kesejahteraan) tidak
mengeluarkan surat rekomendasi sebelum pelaku pernikahan dini
mematuhi peraturan desa untuk mengikuti pendidikan kesetaraan,

72
selain itu secara adat akan mendapatkan wiwaha samkara ...”
(Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Upaya pemerintah desa untuk mencegah pernikahan dini dengan cara

sosialisasi. Sri Wayahu selalu berkoordinasi dengan jajaran pemerintahan desa untuk

terus mengingatkan dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak

dari pernikahan dini. Sri Wahayu melakukan sosialisasi dengan partisipasi semua

jajaran pemerintahan desa dan ketua Rukun Tetangga (RT). Sosialisasi dan

koordinasi yang dilakukan Sri Wahayu di sela-sela agenda rapat rutin di rumah Sri

Wayahu. Selain sosialisasi dengan jajaran pemerintahan, Sri Wahayu juga

melakukan koordinasi dengan kepala sekolah dan guru-guru di sekolah formal dan

non formal yang ada di Desa Ngadisari dengan tujuan agar lembaga sekolah ikut

mendukung program-program yang sudah dibuat oleh desa.

“ .... pencegahan kasus pernikahan dini di sini mas, dimulai


dari upaya pemerintah desa dalam menyadarkan pengetahuan
masyarakat mas, saya selaku kepala desa selalu melakukan
sosialisasi rutin dengan jajaran pemerintahan desa melibatkan RT
dari tiga dusun, sosialisasi saya adakan di rumah saya dengan
mengundang mereka semua. Selain membicarakan program
pembangunan desa, saya juga membahas mengenai perbaikan
sumber daya manusia, khususnya mengatasi pernikahan dini.
Setelah melakukan koordinasi dengan jajaran pemerintahan desa,
saya juga melakukan koordinasi setiap tahunnya dengan intasi
pendidikan yang ada di sini agar terus mendukung program dari
pemerintah desa, selain itu juga untuk ikut menyadarkan
masyarakat di sini mas agar pengetahuannya lebih terbuka”
(Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Upaya lain yang dilakukan Sri Wahayu sebagai kepala desa untuk mencegah

pernikahan dini dengan menjalankan program KPR (Kesehatan Remaja Putri) 3

bulan sekali. Program ini menjadi program ibu-ibu PKK, dengan adanya program ini

remaja putri Desa Ngadisari dapat diberikan kesempatan memeriksakan kesehatan,

baik secara kesehatan secara umum maupun kesehatan rahim. Sri Wahayu dengan

73
ibu-ibu PKK menjadwalkan program ini setiap tiga bulan sekali yang dilaksanakan di

balai desa. Jadwal program KPR sudah diatur oleh Sri Wahayu dan ibu PPK, Setiap

tanggal 5 untuk masyarakat Dusun Wanasari, tanggal 10 Dusun Ngadisari dan

tanggal 20 Cemoro Lawang di bulan yang sudah ditentukan.

”.... Program KPR (Kesehatan Remaja Perempuan) difasilitasi


oleh pemerintah desa, program ini dilakukan setiap tiga bulan
sekali bertempat di balai desa mas, dan sudah terjadwal, untuk
tanggal 5 Dusun Wanasari, tanggal 10 Ngadisari dan tanggal 20
Cemoro Lawang. Dalam program ini setiap remaja putri bisa
melakukan cek kesehatan umum dan cek kesehatan rahim. Program
ini bekerja sama dengan ibu-ibu PKK desa. Selain untuk remaja
putri, kegiatan ini juga untuk lansia dan balita mas, semua bisa
periksa dan difasilitasi oleh desa” (Wawancara tanggal 18 Maret
2017).

Sri Wayahu saat ini bersemangat dalam usaha memperbaiki keadaan desa,

semangat ini melanjutkan suaminya bapak Supoyo yang sudah mengawali di masa

lalu. Latar belakang mengapa Sri Wahayi begitu bersemangat karena Sri Wahayu

tidak menginginkan Desa Ngadisari seperti di masa lalu, dimana pernikahan dini

masih banyak terjadi. Selain itu juga pada masa lalu, masyarakat kurang kesadaran

akan pendidikan sehingga masyarakat lebih memilih untuk menikah jika

dibandingkan harus sekolah.

Sri Wahayu menganut agama Hindu dan menjalankan adat Suku Tengger,

sehingga dalam kehidupannya berpegang pada ajaran Hindu dan adat yang berlaku.

Salah satu konsep hidup yang dipegang Sri Wahayu adalah Catur Guru. Catur Guru

bagi Sri Wahayu merupakan konsep hidup yang harus dipegang agar mencapai

keharmonisan hidup. Konsep Catur Guru mengajarkan Sri Wahayu untuk selalu

berbakti atau mengormati empat guru dalam kehidupan sehari-hari, empat guru

tersebut yakni, Guru Swadyaya atau Sang Hyang Widhi atau Tuhan, kedua Guru

74
Wisesa atau pemerintah, ketiga Guru Rupaka atau orangtua dan keempat Guru

Pangajian atau guru di sekolah.

Adanya konsep ini memudahkan Sri Wahayu sebagai Guru Wisesa

(pemeritah) dalam menjalankan program-program yang sudah dicanangkan.

Masyarakat secara sukarela dan partisipatif akan menurut dan menghormati apa yang

sudah diprogramkan oleh Guru Wisesa

”.... di masyarakat sini masih teguh memegang adat dan agama


mas, kalau dalam pernikahan kaitannya dengan konsep Catur Guru
secara adat jadi kita harus percaya dan mengormati pada Tuhan,
pemerintah, orangtua dan guru di sekolah. Sedangkan kalau secara
agama itu penerapan Catur Asrama, maksudnya Catur Asrama
jenjang kehidupan pada pengamal Hindu, jadi kalau ada 4 jenjang
Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta dan Bhiksuka. Di mana setiap
jenjang ada tujuannya masing-masih, misalkan dalam tahap
Brahmacari di mana masyarakat belum boleh menikah, harus
banyak cari ilmu untuk bekal masa depannya. Masyarakat sini
dalam pengalaman agama dan budaya atau adat selaras”
(Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Pernikahan dalam masyarakat Suku Tengger tidak dibatasi dengan siapa ingin

menikah. Sri Wahayu menjelaskan berbeda agama tidak apa-apa, hanya saja harus

tetap mengikuti ketentuan dan proses adat yang sudah berlaku. Jika salah satu calon

pengantin berasal dari luar desa dan beragama lain maka akan dilakukan

musyawarah dengan orangtua terlebih dahulu. Dalam musyawarah tersebut juga

disampaikan bahwa pernikahan di Desa Ngadisari harus mengikuti prosesi adat yang

berlaku. Jika kedua orangtua sudah setuju maka pernikahan akan dilaksanakan.

Proses pernikahan di Desa Ngadisari sebagai berikut, pertama orangtua calon

pengantin datang ke rumah Sri Wahayu selaku kepala desa untuk meminta hari baik

atau tanggal baik yang disesuaikan dengan kalender Tengger. Di masyarakat Suku

Tengger Ngadisari dalam satu bulan hanya boleh melakukan empat pernikahan di

mana setiap minggunya satu kali dengan durasi prosesi adat penikahan memakan

75
waktu 3 hari, jadi ada pembatasan pernikahan. Tidak bisa melakukan pernikahan

secara terburu-buru, sudah ada antriannya sesuai dengan kalender Tengger.

”.... bagi orangtua yang ingin menikahkan anaknya itu,


pertama harus datang ke kepala desa, tujuannya meminta hari baik
atau tanggal pelaksanaan pernikahannya. Nah nanti pak tinggi
memberikan tanggal sesuai dengan kalender Tengger dan urutan
pernikahannya. Karena kalau di sini mas, mau menikah harus antri
dulu, sesuai dengan aturan adat dalam satu bulan hanya 4
pernikahan yang boleh dilakukan, satu minggu satu kali dengan
waktu prosesi adat 3 hari. Jadi tidak bisa sembarangan menikah,
harus sesuai dengan adat ...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Banyak prosesi adat yang harus dijalankan dalam pernikahan dan ada

beberapa bulan yang menurut Sri Wahayu tidak boleh ada pernikahan. Pertama

wulan ke-pitu dan wulan ke-sanga. Pada saat wulan ke-pitu tidak boleh melakukan

pernikahan karena bulan itu masyarakat Suku Tengger menjalankan puasa mutih

dalam satu bulan dan kalau wulan ke-sanga menurut kepercayaan merupakan hari

kawin hewan. Begitu banyaknya prosesi adat dan lamanya waktu tunggu,

mengartikan bahwa prosesi pernikahan sebagai prosesi yang sakralnya bagi

masyarakat Suku Tengger.

Makna anak bagi Sri Wahayu adalah keberuntungan orangtua di masa depan,

namun bagi Sri Wahayu tidak ada anggapan banyak anak banyak rejeki. Jumlah anak

cukup dua karena punya anak saja sudah keberuntungan dalam kehidupan. Jumlah

anak dua juga untuk mendukung program Keluarga Berencana dari BKKBN dalam

mengatur jumlah penduduk Indonesia, agar tidaknya banyak jumlahnya tetapi baik

kualitasnya. Selain itu, karena untuk membesarkan dan mendidik anak memakan

biaya yang banyak, belum lagi nanti ada upacara-upacara yang dilakukan khusus

untuk anak.

76
Kesulitan awal ketika menerapkan peraturan wajib lulus SMA yakni

menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Seiring berjalannya waktu

dengan terus melakukan sosialisasi terkait peraturan desa dan terus menamkan Catur

Guru sebagai konsep yang harus dipegang serta memberikan kesempatan penyuluhan

kepada instansi terkait seperti BKKBN. Pemerintah desa tidak henti-hentinya untuk

terus melakukan yang terbaik untuk masa depan Desa Ngadisari.

2. Sri Andayati (52 Tahun)

Sri Andayati merupakan bendahara Desa Ngadisari dengan status aktif saat

ini. Sri Andayati merupakan lulusan sarjana Pendidikan Geografi tahun 1989’an

program kerja sama IKIP Malang dengan Pemerintah Kabupaten Probolinggo. Sri

Andayati mempunyai dua orang anak perempuan. Anak pertama lulusan sarjana

Administrasi Pemerintahan Universitas Muhammadiah Malang, salah satu

universitas swasta di Kota Malang dan sekarang bekerja di pemerintahan Desa

Ngadisari. Anak kedua saat ini masih menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas di

SMK Negeri 2 Kota Malang jurusan Tata Boga. Keluarga Sri Andayati sadar akan

pentingnya pendidikan, sehingga mendorong anak-anaknya untuk terus melanjutkan

pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Gambar 3.5 Peneliti dengan Informan Ibu Sri Andayati (Dokumen Pribadi, 2017)

77
Sri Andayati salah satu orang yang tidak setuju dengan adanya pernikahan

dini di Desa Ngadisari. Menurut cerita Sri Andayati, pernikahan dini sudah

melanggar undang-undang pernikahan dan sudah melanggar peraturan desa (perdes)

yang digagas oleh Supoyo. Peraturan desa yang mewajibkan lulus SMA sebelum

menikah harus dijalankan dengan tujuan menyukseskan program wajib belajar 12

tahun yang dicanangkan oleh pemerintah. Seperti dituturkan saat diwawancarai;

” .... Pernikahan dini itu kan pernikahan yang masih belum


cukup umur, sesuai undang - undang pernikahan minimal cewek
umurnya 17 tahun, sebelum umur 17 dianggap sebagai pernikahan
dini. Pemerintah Desa Ngadisari yang diprakarsai oleh Bapak
Supoyo sebelum lulus SMA tidak boleh menikah. Dalam rangka
menyukseskan pendidikan 12 tahun. Jadi dikatakan pendidikan
dasarkan kalau belum lulus SMA masih termasuk dalam
pendidikan dasar. Untuk menyukseskan hal itu Bapak Supoyo
mempunyai inisiatif kalau anak itu belum memiliki ijazah SMA
anak itu tidak boleh menikah ...” (Wawancara tanggal 18 Maret
2017).

Pernikahan dini juga menyebabkan pelaku putus sekololah. Untuk pelaku

pernikahan dini yang hamil di luar nikah menurut cerita Sri Andayati harus

mengikuti sekolah kesetaraan agar tetap mendapatkan ijazah atau yang sering disebut

dengan kejar paket C. Bagi pelaku yang putus sekolah dijenjang SMP harus

mengikuti pendidikan kesetaraan paket B, sedangkan dijenjang SMA harus

mengikuti pendidikan kesetaraan paket C. Sri Andayati menuturkan bahwa semua

pelaku harus mengikuti peraturan yang sudah dibuat desa, karena itu sebelum

menikah harus membuat surat pernyataan terlebih dahulu. Adanya aturan ini sudah

diketahui semua masyarakat seluruh desa, sehingga tanpa diberitahu lagi masyarakat

sudah mengerti dengan aturan ini.

Tahun ini desa akan memfasilitasi bagi masyarakat yang belum lulus jenjang

SMA. Sri Andayati dan pemerintah desa akan mendata dan mencarikan tutor untuk

78
menempuh program kesetaraan. Ada target yang sudah Sri Andayati dan pemerintah

desa, yaitu 20 peserta kejar paket, lebih sedikit memang jika dibandingkan dengan

tahun lalu yang jumlahnya 50 peserta.

Perangkat desa mendorong pelaku hamil di luar nikah untuk segera menikah

atau Walagara. Setelah melakukan Walagara pelaku harus melaksanakan upacara

bersih desa. Bagi pelaku hamil di luar nikah menurut Sri Andayati sudah dianggap

mengotori desa oleh masyarakat sehingga harus segera melakukan upacara Bersih

Desa yang dipimpin oleh dukun adat untuk segera menghilangkan malapetaka bagi

desa di kemudian hari.

“.... misalkan kecelakaan (hamil di luar nikah), ini barusan ya


ada anak masih SMP bahkan SMP mau ujian, nah itu upaya
perangkat desa ya langsung nikah terus bersih desa, terus kalo di
sini melakukan Walagara mas. Walagara itu meresmikan jadi ada
akad nikah kalau di Desa Ngadisari namanya kawin terus
Walagara, Walagara kalo disana mungkin temu manten tetapi
secara adat Tengger. Sesuai dengan perdes (peraturan desa) bagi
anak yang melakukan penikahan dini harus tetap kejar paket ....”
(Wawancara tanggal 18 Maret 2017).
”.... dari pihak keluarga, jadi pihak cewek yang melakukan
bersih desa. Jadi hamil duluan di luar nikah dianggap sudah
mengotori desa, dianggap seperti itu, jadi harus bersih desa.
Artinya untuk menghilangkan malapetaka gitu. Jadi di sini dituntut
untuk bersih desa. Yang mimpin ya pak dukun adat itu pak Sutomo.
Meskipun upacara pernikahan terus upacara walagaranya ya yang
mimpin ya pak Sutomo ...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Menurut cerita Sri Andayati pernikahan karena hamil di luar pernikahan,

pernikahan dilakukan di rumah begitu pula dengan upacara bersih desa dilakukan di

rumah pihak perempuan, bukan di balai desa. Dalam upacara bersih desa ada sajen-

sajen yang disediakan dan untuk doa-doa dipimpin oleh dukun adat. Pelaku

pernikahan dini yang disebabkan hamil di luar nikah dituntut segera menikah

maksimal satu minggu setelah ketahuan walau dalam keadaan hamil sekalipun.

79
Pelaku hamil di luar nikah tidak diperbolehkan menikah di balai desa dengan

mengundang orang banyak, karena hal tesebut dianggap aib keluarga.

Pelaku pernikahan dini dan hamil di luar nikah mendapatkan sanksi dari desa.

Pihak laki-laki mendapatkan sanksi berupa material batu sebanyak 15 kubik yang

dikumpulkan di balai desa dan dimasukkan ke dalam kas desa. Adanya sanksi

material ini untuk pembangunan desa dan memberikan efek jera kepada pelaku.

Sanksi material tidak harus batu tetapi bisa yang lain, misalkan semen, pasir dan lain-

lain.

”.... denda materi kalau yang dari pihak cowoknya diberi sanksi
membeli batu kali seberat 15 kubik untuk pembangunan desa.
Kalau yang perempuan tadi harus segera melakukan upacara
tadi...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2017).
Sri Andayati penganut ajaran Hindu, dalam kesehariannya tergambar

bagaimana seorang pengamal Hindu. Berkehidupan harmonis berdampingan dengan

alam, saling menghormati terhadap sesama dan saling mengasihi satu sama lainnya.

Salah satu konsep hidup yang selalu dipegang Sri Andayati dalam kehidupannya

adalah konsep Catur Guru. Konsep Catur Guru menurut cerita Sri Andayati

merupakan konsep yang selalu ditanamkan dan diwariskan oleh para leluhur

terdahulu dan kemudian saat ini terus ditekankan oleh kepala desa agar terus

dijadikan konsep hidup. Catur Guru yang pertama harus percaya dan patuh terhadap

Tuhan, kedua pemerintah, jadi apapun peraturan yang dibuat pemerintah harus

dipatuhi, ketiga patuh terhadap orangtua di rumah dan yang terakhir harus patuh

terhadap bapak ibu guru di sekolah.

”.... Catur Guru, yang pertama harus percaya dan patuh


terhadap Tuhan, kedua pemerintah jadi apapun yang peraturan
pemerintah harus dipatuhi, yang ketiga patuh terhadap orangtua
dan yang keempat harus patuh terhadap bapak ibu guru di sekolah.
Itu Catur Guru” (Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

80
“.... kalau terkait pernikahan Catur Guru yang paling berperan,
karena kita harus mengormati empat guru bekti dalam kehidupan
ini, tidak boleh menentang guru tersebut mas, karena Catur Guru
yang mengajarkan kita kepada kehidupan, Tuhan sebagai guru,
orangtua sebagai guru, pemerintah sebagai guru dan guru di
sekolah sebagai guru kehidupan. Sedangkan Brahmacari lebih
kepada ajaran agama yang mengajarkan bahwa menuntut ilmu
pada usia muda sangatlah dianjurkan, guna sebagai bekal
kehidupan” (Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Menurut Sri Andayati ada lagi konsep yang lain, yakni Catur Asrama. Catur

Asrama ini merupakan tahapan jenjang kehidupan seorang pengamal Hindu dalam

menjalani kehidupan. Salah satu tahapannya Brahmacari di mana kita harus selalu

mencari ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan dunia maupun akhirat. Adanya

Catur Guru dan tahapan Brahmacari Sri Andayati berharap dapat menjadi kontrol

sosial untuk masyarakat desa.

Sri Andayati mengatakan bahwa pemerintah selalu melakukan sosialisasi

melalui pak Supoyo dan ibu kepala desa dalam agenda rapat, musyawarah dan

kegiatan lain-lain. Sosialisasi ini berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat akan

pentingnya pendidikan.

”... kalau masyarakat sudah sadar akan pentingnya pendidikan,


banyak anak-anak yang keluar kota untuk kuliah berarti kesadaran
masyarakat akan pendidikan tinggi didorong dari sejak dini akan
pentingnya pendidikan nanti kamu jadi anak gini (sukses) selalu
diberi pengertian seperti ini ...” (Wawancara tanggal 18 Maret
2017).
“... Iya pada waktu ada rapat desa selalu memberikan
sosialisasi anak harus di sekolah minimal SMA untuk
mensukseskan peraturan wajib sekolah 12 tahun oleh pak Supoyo
... biasanya di sini ada namanya bulan ke-pitu (7) tidak ada orang
hajatan dan biasanya digunakan oleh pemerintah untuk melakukan
rapat RT setiap sore. Setiap RT diundang di rumah dalam rangka
sosialisasi tentang semuanya tidak hanya pendidikan ...”
(Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Sri Andayani juga bercerita kalau sosialisasi dilakukan dilembaga

pendidikan, dijenjang SD, SMP hingga SMA. Pemerintah desa memberikan pesan

81
kepada kepala sekolah untuk terus berperan aktif dalam program desa. Masih terkait

dengan pernikahan di Desa Ngadisari, tidak ada pembatasan dengan siapa ingin

melakukan pernikahan, semua sesuai dengan jodoh saja. Menurut Sri Andayati mau

menikah dengan orang luar Tengger juga tidak apa-apa, namun secara adat

pernikahan memang harus mengikuti adat Tengger. Sri Andayati mencontohkan

pihak perempuan dari Suku Tengger, sedangkan pihak laki-laki dari luar Suku

Tengger, si laki-laki harus mengikuti adat Tengger, selebihnya si cewek juga harus

mengikuti adat laki-laki terserah, agamanya juga terserah pengantin masyarakat

selalu toleransi, tapi kalau adat memang harus dilakukan.

“... tidak dibatasi sesuai dengan jodohnya. Banyak orang luar


menikah dengan orang Tengger. Cuman harus mengikuti adat
Tengger. Misalkan di sini ceweknya maka si cowok harus
mengikuti adat sini. Selebihnya si cewek mau mengikuti agama si
cowok terserah tetapi adatnya harus menggunakan adat Tengger
...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2017).

Makna seorang anak bagi Sri Andayati sebagai anugerah, titipan Tuhan yang

harus dijaga, diwarat, dibesarkan dan dididik sesuai dengan kemampuan orangtua.

Bagi Sri Andayati tidak ada nilai lebih jika dilihat dari jenis kelamin, laki perempuan

sama saja nilainya, dalam hal pembagian waris juga sama saja tidak ada yang

dibedakan sama rata. Orang tua terhadap anak, semua pasti dikasihi dan disayangi,

dirawat hingga menjadi orang yang berguna.

Jika anak Sri Andayati ingin melakukan pernikahan dini, Sri Andayati

memberi saran terhadap anaknya harus sekolah terlebih dahulu dan memiliki

pemikiran yang dewasa, sehingga dalam mengurus anak tidak merepotkan orangtua

lagi. Ketika anak Sri Andayani kecil, sudah dikasih pendidikan seksual sesuai dengan

umurnya, agar tidak disalah gunakan ketika sudah dewasa.

3) Sri Sugiarti (41 Tahun)

82
Sri Sugiarti bekerja sebagai petani dan menjabat sebagai sekretaris dalam

pemerintahan Desa Ngadisari. Sugiarti memiliki dua orang anak laki-laki yang

semuanya sedang dalam masa pendidikan, baik itu perguruan tinggi maupun Sekolah

Menengah Atas. Sugiarti sadar akan pentingnya pendidikan bagi perkembangan

masa depan anak-anaknya, sehingga menolak untuk menikahkan anaknya di usia

muda.

Gambar 3.6 Peneliti dengan Informan Ibu Sri Andayati (Dokumen Pribadi, 2017)

Pernikahan dini bagi Sugiarti merupakan pernikahan di bawah umur yang

akan menurunkan kualitas SDM Desa Ngadisari. Selain itu bagi Sugiarti pernikahan

dini juga menyebabkan risiko keretakan dalam rumah tangga, karena belum siapnya

mental anak. Pernikahan di Desa Ngadisari harus lulus SMA terlebih dahulu agar

tidak menyusahkan orangtua akibat ketidaksiapan dalam pernikahan.

”... Kalau pernikahan dini kan pernikahan di bawah umur mas


ya, tapi kalau di sini sudah tidak ada pernikahan dini. Jadi kalau di
sini ya itu harus lulus SMA baru boleh menikah soalnya kalau
pernikahan dini itu dilanjutkan akhirnya sumber manusia tidak bisa
bagus, akhirnya rumah tangganya tidak bisa utuh atau apa begitu,
namanya anak-anak. Kan itu menyangkut sumber daya manusianya
juga. Jadi memang aturan desa harus lulus SMA. Pemerintah sudah
ada aturannya kalau menikah harus umur 17 tahun kan gitu. Itu dari
negara juga kan pemerintah juga kan gitu. Sekarang desa

83
mendukung sekarang harus lulus SMA sudah matang kalau nikah,
kalau usia dini ya akhirnya orangtuanya yang susah ...”
(Wawancara tanggal 19 Maret 2017).

Adanya syarat harus lulus SMA bagi Sugiarti memperbaiki kualitas Sumber

Daya Manusia yang ada di Desa Ngadisari. Semenjak tahun 1980-an kasus

pernikahan dini di Desa Ngadisari sudah tidak ada penuturan Sugiarti. Dulu

Peraturan Desa kalau ingin menikah harus lulus SMP lalu dinaikkan lagi harus lulus

SMA. Peraturan desa ini keluar karena kesadaran orangtua terhadap pendidikan

anaknya.

”... kalau dulu mungkin banyak, kalau sekarang enggak.


Pokoknya seingat saya pernikahan dini sudah tidak ada. Dulu
aturannya lulus SMP lalu dinaikan lagi lulus SMA, kalau dulu-dulu
mungkin ada di sini, tapi kalau sekarang sudah tidak ada. mungkin
tahun-tahun 1970-an lah sampai 1980-an itu mungkin ada tapi
setelah ke atasnya sudah nggak ada ...” (Wawancara tanggal 19
Maret 2017).

Bagi Sugiarti pernikahan dini akan merepotkan “wong tuek” (orangtua),

apalagi kalau sudah hamil, risiko saat kehamilankan besar juga. Jadi sebaiknya kalau

ingin menikah harus siap dulu pemikirannya. Pemerintah desa juga sudah

menyiapkan peraturan terkait dengan pelaku hamil di luar nikah. Adanya keharusan

mengikuti kesetaraan kelulusan atau paket C bagi SMA. Sugiarti juga menjelaskan

secara adat bagi pelaku hamil di luar nikah harus melakukan upacara bersih desa

guna membersihkan desa yang sudah dikotori oleh pelaku hamil di luar nikah.

”.... kalau ada kecelakaan ya mas harus ikut paket secara


peraturan desa dan melakukan upacara bersih desa. Yang saya
maksud bersih desa itu proses pembersihan, dinikahkan tapikan
tidak punya surat nikah dulu pokoknya di desa ini sudah bersih
terus nikah tapi akta-aktanya kan tidak keluar mas, pemerintah juga
tidak mengeluarkan surat soalnyakan misalnya umur SMP kelas 2
itu tidak bisa, harus menunggu. Kalau di desa ya harus dinikahkan
upacara adat tapi suratnya belum keluar terus nanti kalau udah 17
tahun. Minimal harus punya KTP ya mas, tidak bisa ngurusin kalau
tidak ada KTP, kayak buku nikah, jadi itu diurus dulu nanti baru

84
setelah mereka yang itu, nanti kalau umurnya udah 17 baru
dibuatkan KTP baru diurusin surat-surat nikah itu. Tapi ya mereka
juga harus punya janji lulus SMA jadi walaupun mereka sudah
menikah mereka harus tetap sekolah mengejar paket C ...”
(Wawancara tanggal 19 Maret 2017).

Sanksi lain dari desa terhadap pelaku pernikahan dini, memberikan denda

materil untuk pihak laki-laki berupa batu kali yang akan dimasukkan ke kas desa,

sedangkan untuk perempuannya selamatan atau upacara bersih desa di rumah

dipimpin oleh dukun pandita (dukun adat) yang memberikan mantra pembersihan.

Sugiarti dan masyarakat Desa Ngadisari mempercayai pelaku hamil di luar nikah

sudah mengotori desa, maka harus segera membersihkan dan meminta maaf kepada

pedanyangan yang ada di desa selaku pelindung desa.

” .... Iya, jadi di sini ada pendayangan itu mas, pendayangan


itu maksudnya yang mengayomi desa itu jadi biar bersih, jadi kalau
kecelakaan itu dibilang kotoran ya mas ya, itu biar bersih. Kalau
sudah dibersihkan itu kan berarti pendanyangan itu sudah
mengetahui kalau anak ini mengandung itu sudah tau jadi tidak
mencari orang lain, maksudnya gini mas, kalau orang sini ya kalau
misal ada orang hamil duluan belum ketahuan kadang banyak yang
sakit kadang sampai berminggu-minggu sakitnya. Tapi bukan
hanya orang satu yang sakit itu ya banyak, kadang pilek kadang
sakit kepala kadang panas gitu kalau belum terjadi itu, sering
terjadi kaya gitu, maksudnya belum sering terjadi jadi kalau
misalkan belum ketahuan ya ada yang kaya gitu. Itu namanya
pedayangan yang mengayomi desa. Semuanya tiap desa mungkin
ada kaya gitu cuma beda-beda. Hal seperti itu memang menjadi
kepercayaan, tapi sekarang kalau misalkan menurut agama percaya
kaya gitu tabuh atau apa, tapi kenyataanya ya kalau tidak
melaksanakan kan kenyataanya kan kaya gitu apa lagi kan kalau
orang sini banyak tempat-tempat yang sakral apalagi di Bromo ...”
(Wawancara tanggal 19 Maret 2017).

Adat pernikahan Suku Tengger Desa Ngadisari, menurut cerita dari Sri

Sugiarti memegang prinsip Catur Guru. Ada empat guru yang harus dihormati,

yakni; Tuhan, pemerintah, orangtua dan guru di sekolah.

”.... kalau di pernikahan yang diterapkan itu mas Catur Guru,


yang pertama ada guru Tuhan itu mas, harus percaya dengan

85
adanya Tuhan, Catur Guru pemerintahan jadi kita harus percaya
sama pemerintah, kemudian Catur Guru bekti apa jadi percaya
kepada guru yang ngajar kita, dan yang terakhir itu guru percaya
kepada orangtua. Itu yang diterapkan dalam pernikahan itu Catur
Guru, ..... pada dasarnya pernikahan prinsipnya harus Catur Guru
itu. Jadi kan sudah apa namanya sudah percaya pada Tuhan, kepada
pemerintah, orangtua, guru di sekolah. Ya harus sopan, harus nurut
gitu lo mas, ya jadi itu yang diterapkan dalam Catur Guru di sini
....” (Wawancara tanggal 19 Maret 2017).

Konsep Catur Guru memang benar-benar dijalankan agar rumah tangga

dapat harmonis, langgeng dan dihargai oleh semua pihak.

”.... kalau berumah tangga akhirnya korat-karit (berantakan)


akhirnya mas, maksudnya kurang baik itu ya apa ya, Berantakan
gitu ya berantakan maksudnya sekarang misalnya tidak nurut sama
Tuhan, lah kita kan otomastis kita sebagai manusia kan harus
percaya adanya Tuhan, kalau misalkan tidak percaya adanya Tuhan
gimana nanti kalau terkena musibah ini musibah itu kan gitu. Misal
sekarang tidak percaya orangtua atau tidak nurut sama orangtua
dibilangin gini kamu malah gini itukan kualat. Kalau guru-guru kan
mendidik kita, kita kan mendapat pengetahuan dari guru, jadi di
sini apa ya mas ya sistemnya keluar itu karena kualat gitu loh mas
jadi tidak berani. Soalnya ada namanya kualat itu lo mas, jadi kalau
tidak nurut nanti kualat ya kualat benar. Jadi anak-anak yang nikah
benar-benar nurut gitu, jarang yang tidak nurut jadi kalau gak nurut
ya itu tadi akhirnya berantakan nanti akhirnya pisah. Tapi yang
paling utama itu ya orangtua itu mas kan orangtua yang deket,
kalau ke Tuhan tergantung kita sendiri, tergantung pribadi percaya
atau tidak tergantung dirinya sendiri. Kalau orang sini gitu ya
percaya leluhur, percaya Tuhan, ya semuanya itu dipercayai ....”
(Wawancara tanggal 19 Maret 2017).

Sri Sugiarti dalam mengajarkan konsep Catur Guru kepada anaknya dengan

cara menasihati agar selalu percaya kepada apa yang dimiliki. Harus selalu menurut

kepada orangtua sebagai bentuk bakti dan kasih sayang kepada orangtua. Ketika

seorang anak tidak memengang konsep itu dengan baik, menurut Sri Sugiarti maka

akan terkena kualat dari salah satu Catur Guru tersebut.

Pernikahan pada adat Suku Tengger tidak mengenal tunangan, melainkan

tetap ada proses lamaran. Proses lamaran berjalan sederhana, tidak membawa

86
seserahan seperti pada tradisi di tempat lain. Menurut Sri Sugiarti dalam wawancara

dengan peneliti seperti ini;

“Ada, ada cuma lamaran sini tidak kaya di bawah (desa


tentangga) kalau di bawah kan bawa apa-apa kalau di sini kan
lamaran sini sederhana, kalau misalnya kita ke rumahnya tidak
usah bawa apa-apa, tapi jika ingin memberi apa yang biasa di kasih
sama anaknya itu, jadi tidak harus cincin, kemudian harus apa ini
semuanya tidak jadi ditanya kamu mau apa, baru nanti dibawakan
gitu. Tidak mesti cincin kalau pengen kalung ya kalung, jadi di sini
tidak ada tunangan di sini” (Wawancara tanggal 19 Maret 2017).
Setelah terjadinya proses lamaran, orangtua dari calon pengantin datang ke

pak tinggi (kepala desa) untuk meminta hari baik pelaksanaan pernikahan.

“.... jadi setelah lamaran nanti di sini itu minta hari baik sama
petinggi (kepala desa) ya nanti sudah dilaksanakan. Di sini ya mas
kalau minta hari yang baik nanti kadang bisa sampai dua tahun
mas, jadi punya anak mau sunat ya, nanti anaknya TK harus ke
rumahnya pak tinggi (kepala desa) nanti minta hari yang baik”
(Wawancara tanggal 19 Maret 2017).
Jika Sri Sugiarti ingin menikahkan anaknya, Sri Sugiarti datang ke pak tinggi,

meminta bulan yang baik dan dapat tahun berapa. Jadi seperti orang mengambil

antrian di pak tinggi. Budaya di sini seperti itu, mementingkan tanggalnya terlebih

dahulu bukan biayanya dulu. Mengapa ada antrian menurut Sri Sugiarti karena kalau

sesuai dengan adat Tengger dalam satu minggu hanya boleh melaksanakan satu

resepsi pernikahan karena banyak sekali proses yang harus dilewati dan melibatkan

banyak orang serta pelaksanaan pernikahannya di balai desa dengan membayar

seiklasnya ke kas desa. Boleh juga kalau ingin sewa tarop (peralatan nikah) biayanya

lebih mahal mungkin bisa lebih dari 5 juta.

Nilai anak menurut Sri Sugiarti seperti permata, ketika tidak punya anak

akan terasa bingung karena tidak ada yang mengurus saat Sri Sugiarti tua. Jumlah

anak di Desa Ngadisari juga tidak banyak biasanya hanya dua orang saja.

87
”.... Kalau nilai seorang anak, kalau tidak punya anak
bingung dan ibaratkan seperti permata kalau tidak punya anak siapa
yang mengurus saat saya tua, jadi memang kalau anak di sini
seperti itu apalagi anak cowok benar-benar sebagai permata.
Biasanya ya kalau sini punya anak dua ya mas kalau orang sini
yang diminta tinggal bersama orangtuanya itu ya anak yang
cowoknya” (Wawancara tanggal 19 Maret 2017).
Bagi Sri Sugiarti mempunyai dua anak sudah sangat cukup, karena biaya

melahirkan di Desa Ngadisari bisa mencapai 25 juta. Begitu besarnya biaya

melahirkan dikarenaka adanya adat Tengger yang namanya kekerik atau selapan

(dalam bahasa Jawa). Adat kekerik bisa dibilang seperti selamatan di mana keluarga

yang melahirkan harus menyediakan sesaji dan tumpeng. Jumlah tumpeng dan ayam

panggangnya disesuaikan dengan jumlah buyut yang dimiliki, misalkan jika

mempunyai buyut 100 orang maka jumlah tumpeng dan ayam panggang jumlahnya

100 juga. Belum lagi untuk memberikan suguhan (hidangan) dan berkat kepada

tamu-tamu yang datang. Tamu yang datang jumlahnya tidak sedikit bisa mencapai

500 orang. Selain itu kalau anak Sri Sugiarti melahirkan dan ada yang memberikan

misalkan besar 10 kg dan gula 20 kg, suatu saat itu semua harus dibalas juga kepada

orang yang memberi. Ini sudah menjadi tradisi adat Suku Tengger.

”.... Kalau saya enggak, dua anak cukup karena biaya


melahirkan kadang bisa mencapai 25 juta kenapa kok sampai saya
gitu karena di sini ada adat kekerik, kalau di bawah selapan. Kalau
secara adat kekerik itu menurut adat harus menyediakan tumpeng
dan ayam panggang, jumlah tumpeng dan ayam panggannya
sejumlah buyut yang kita punya. Kalau buyutnya ada 100 ya harus
ayam panggang dan membuat tumpeng sebanyak 100. Biasanya
kalau ada keluarga yang melahirkan ya mas, di sini harus
menyediakan makanan dan berkat untuk orang-orang yang
berkunjung. Selain itu orang-orang biasanya juga bawa beras 10 kg
atau gula 20 kg dan suatu saat kita akan membalas itu semua kalau
orang yang memberikan itu melahirkan juga. Jumlah tamu juga
dalam sekali melahirkan bisa 500 orang mas, biasanya dalam kurun
waktu sekitar satu minggu, bayangkan saja kita harus menyediakan
makanan, berkat dan minuman dengan jumlah orang segitu mas.
Jadi bagi saya satu anak sudah cukup mas, karena biayanya besar
sekali” (Wawancara tanggal 19 Maret 2017)

88
Besarnya biaya melahirkan menjadi pertimbangan masyarakat untuk

mempunyai anak dengan jumlah banyak, termasuk dengan Sri Sugiarti. Bagi Sri

Sugiarti tidak berlaku di desanya banyak anak banyak rejeki. Selain itu juga karena

masyarakat juga sudah mengetahui kalau ada program Keluarga Berencana (KB) dari

pemerintah.

Sri Sugiarti juga menjelaskan kalau biaya menikah di adat Tengger juga

besar. Seorang yang mau menikah minimal harus mengorbankan seekor sapi

meskipun dari orang yang tidak mampu. Terlebih kalau orang yang melaksanakan

pernikahan adalah orang yang mampu bisa empat ekor sapi, belum lagi sewa tayub

(seni budaya) dan biaya resepsi, makanan dan minumannya, bisa mencapai 200 juta

sekali acara.

”.... tidak di sini tidak diharuskan, terserah tapi kalau


misalkan kalau pernikahan dilakukan di balai desa minimal pasti
mbeleh (motong) sapi meskipun dari orang yang tidak mampu.
Biasanya kalau orang yang tidak mampu hanya satu ekor sapi,
kalau orang yang punya (kaya) dan dia nanggap (sewa) tayub bisa
sampai tiga ekor sapi. Selamatan di balai desa loh mas, biayannya
bisa mencapai 200 juta rupiah, misalkan nanggap tayub, belum lagi
menyediakan bir, menyediakan makanan, undangan dan lain-lain.
Kalau orang sini maksimal mbeleh (motong) sapi empat ekor, lebih
dari itu tidak pernah ada ....” (Wawancara tanggal 19 Maret 2017).

Bagi Sri Sugiarti pernikahan sekali seumur hidup sedangkan melahirkan bisa

berkali-kali biaya bisa sangat besar. Berkaca dari hal tersebut Sri Sugiarti selalu

mewanti-wanti (menasihati) anak-anaknya jangan sampai salah pergaulan dan ikut

dengan perkembangan zaman yang negatif.

4) Sugiyono (57 Tahun)

Sugiyono merupakan sosok yang sederhana, ramah dan bersahaja dalam

kehidupan sehari-harinya. Sugiyono seperti kebanyakan masyarakat Ngadisari

89
lainnya, bekerja sebagai petani sayur sekaligus menjadi pemangku adat di dusun

Cemoro Lawang. Sugiyono bertugas merawat dan memelihara adat Suku Tengger

serta ikut melestarikan dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Selain itu Sugiyono

juga sebagai mediator setiap ada acara adat yang dilakukan baik itu di desa maupun

di desa Suku Tengger lainnya.

Gambar 3.7 Bapak Sugiyono Sedang Memimpin Doa di Pura

Proses pernikahan yang ada di Desa Ngadisari banyak sekali prosedur yang

harus dilewati. Berawal dari bertemunya laki-laki dan perempuan kemudian

melakukan lamaran, di mana lamaran dilakukan H-1 dari hari pernikahan. Sebelum

proses lamaran, calon pengantin hanya dianggap saling cinta dan saling mengetahui

satu sama lain.

”.... kalau lamaran yang di sini memang pada umumnya kalau


sudah mau H-1 itu baru dilaksanakan lamaran .... kalau jauh-jauh
hari itu hanya semacam cinta aja tapi dalam urusan soal cinta tetap
dari antara orangtua laki-laki dengan orangtua perempuan itu pun
harus saling mengetahui, harus benar-benar soalnya kan ini harus
ada pertanyaan, misalkan anak saya perempuan terus sudah dapat
jodohnya kan itu, anak laki ini harus kita tanya anaknya siapa,
takutnya nanti setelah orang itu berjodoh itu yang menentukan di
atas, tapi nanti takutnya itu, ada hubungan masih ada keturunan,
kan harus itu kita kan bertanya harus itu ya itu yang pertama yang
harus kita tanyakan jadi tanya sebelum proses itu memang

90
perbedaan antara perempuan dan laki-laki itu harus jelas, harus
jelas identitas maksudnya, jadi dengan artinya supaya diluruskan
kalau memang tidak ada hubungan antara orangtua laki dan
orangtua perempuan, mungkin hubungan saudara, saudara
keberapa soalnya ini turunan ketujuh masih berlaku di sini ....”
(Wawancara tanggal 25 Maret 2017).
Setelah proses saling kenal calon pengantin juga harus berembuk dengan

orangtua mengenai garis keturuan dari kedua mempelai, jika masih ada hubungan

darah atau turunan pitu penuturan Sugiyono pernikahan tidak boleh dilaksanakan.

” .... turunan ketujuh masih berlaku kalau orang sini makanya


tradisi itu masih dipegang oleh kita dari dulu, kita harus ada
prosedur itu. kalau memang itu memang tidak ada garis keturunan
dari kakek, nenek, canggah, wareng, yang dulunya sampai dengan
yang sekarang cucunya yang sekarang berarti sudah bersih kanan
kirinya tidak ada hubungan dengan keluarga gitu, nah alasanya itu
prosedurnya seperti itu artinya kalau misalkan sudah tidak ada
tersandung dengan hubungan dengan kekeluargaan maka ia
disilahkan karena sudah jodohnya kan itu baru seperti itu, itu yang
pertama. Kedua cara proses pelamaran kalau orang sini memang
juga ada pantangan tersendiri dan juga ada perhitungan hari kan
begitu, jadi kalau memang belum ada proses mau pernikahan itu
memang tidak diperbolehkan, artinya itu hubungan antara orangtua
laki-laki dengan perempuan ini jangan terlebih dahulu, artinya itu
sebetulnya ya sudah diterima cuma secara ngobrol dengan antara
lahir dan batinya ini itu yang artinya nanti ngomongnya kalau
sudah H-1 menetapkannya seperti itu, jadi hubungan tetap secara
hubungan tetap sebenarnya nanti takut di dalam salah satu entah itu
keluarga perempuan atau lakinya takut ada yang berhalangan
contohkanlah kematian kalau sudah ada suatu kematian berarti ini
sudah ada proses tidak diperbolehkan apalagi belum pernikahan,
kalau orang sini ya belum di upacarai ya itu tersandung ya artinya
ada halangan lah itu maksudnya ada seperti itu ....” (Wawancara
tanggal 25 Maret 2017).

Proses yang panjang ini menurut Sugiyono memang harus dilaksanakan,

karena sudah ketetapan dari nenek moyang, tidak boleh ditinggalkan dan harus terus

dijalankan untuk mencapai keluarga yang harmonis. Setelah proses pengecekan

keturuan Sugiyono bercerita bahwa calon pengantin juga harus melakukan rembukan

dengan pak tinggi (kepala desa) dan dukun adat guna menentukan hari baik

91
pelaksanaan pernikahan. Perhitungan hari baik ini dimaksudkan untuk mencari hari

weton yang baik untuk kedua belah pihak.

Kepercayaan Sugiyono dan masyarakat Desa Ngadisari lainnya tentang

pernikahan yakni pada proses lamaran. Dalam proses lamaran tidak boleh dilakukan

jauh-jauh hari. Proses lamaran harus dilakukan misalkan menikah besok sore hari

maka pagi harinya harus dilamar. Kepercayaan Sugiyono kalau dalam masa antara

lamaran dan pernikahan ada saudara yang meninggal maka pernikahan harus

dibatalkan, hal tersebut biasanya dianggap sebagai pantangan atau pertanda dari para

leluhur kalau pernikahan tidak boleh diteruskan.

Ketika semua proses tadi sudah dilakukan, maka upacara pernikahan baru bisa

dilaksanakan atau yang sering disebut dengan wiwaha samkara atau upacara

walagara. Upacara ini bertujuan untuk mengharmoniskan pengantin yang menikah.

”.... baru selesai itu semua bisa upacara pernikahan namanya


upacara walagara. Jadi yang disebut dengan wiwaha samkara itu
adalah upacara walagara itu. Di upacara walagara hubungannya
untuk mengharmoniskan antara laki dan perempuan dan disatukan
dengan alam semesta ini, itu yang disebut dengan upacara walagara
....” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).
Serangkaian proses itu semua dilakukan dengan sangat sakral, sehingga tidak bisa

dilakukan sembangan dan terburu-buru. Karena melibatkan leluhur dan masyarakat

luas.

Sejak tahun 2007 sudah dicanangkan syarat mutlak dari desa, kalau ingin

melakukan pernikahan harus lulus SMA terlebih dahulu. Bagi laki-laki umurnya

harus 19 tahun, sedangkan perempuan 17 tahun Sugiyono berkata sesuai dengan

undang-undang yang dibuat pemerintah. Kalau menikah sebelum lulus SMA harus

buat surat perjanjian atau surat penyataan untuk harus ikut paket B atau paket C.

”.... sejak tahun 2007 sudah dicanangkan memang syarat


mutlak bagi desa saya, makanya saat ini menjadi contoh bagi desa

92
lain, jika ingin tercatat di cacatan sipil harus lulus dari SMA baru
diperbolehkan untuk melakukan pernikahan. Laki perempuan,
kalau menurut aturan undang-undangnya kan antara 17 sama 19
tahun, laki yang 19 tahun perempuan yang 17 tahun, itu menurut
undang-undangnya seperti itu, di sini dipertegas lagi kalau belum
lulus SMA atau sederajat, minimal kita kalau tidak sampai di SMA
kejar paket C, jadi misalkan ada masalah kebobolan ya sudah hamil
dulu apalagi usianya masih diantrara usia masih SMP lulus SMA
masih belum tuntas ya itu memang ada proses ada proses perjanjian
masyarakat itu memang ada perjanjian di atas matrai dengan
pernyataan harus menyelesaikan dulu harus lewat paket B atau C
....” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).

Bagi pelaku hamil duluan dan melakukan pernikahan dini maka harus

melakukan upacara bersih desa, dalam rentang waktu satu minggu. Pengalaman

Sugiyono jika tidak segera melakukan bersih desa maka akan terjadi wabah penyakit

secara tiba-tiba. Hal tersebut sudah menjadi kepercayaan secara turun temurun dan

benar-benar terjadi sehingga harus segera diselesaikan. Bagi Sugiyono pelaku sudah

mengotori Desa Ngadisari.

”.... pelaku pernikahan dini dan hamil duluan harus bersih


desa dari awalnya sebelum upacara pernikahan harus bersih desa
dulu, jadi artinya itu yang pertama membersihkan diri sendiri
antara laki-laki dan perempuan, kedua membersihkan yang sebagai
kepada penunggu yang ada di desa, punden yang ada di desa, jadi
kita bersihkan terlebih dahulu, artinya mengenalkan telah ada
kejadian seperti ini supaya nanti tidak mengganggu semua
masyarakat Suku Tengger. Karena kasusnya begini memang tidak
bisa dielakkan kalau sudah ada yang hamil duluan itu sudah
menandakan banyak yang pilek, flu juga itu yang biasanya menjadi
tanda-tandanya ....” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).
Upacara bersih desa dipimpin oleh dukun adat dan dilakukan di rumah

perempuan, untuk pihak laki-laki hanya mengikuti proses bersih desa di rumah

perempuannya. Untuk proses upacara pernikahan pelaku pernikahan dini tidak

dilakukan di balai desa melainkan di rumah masing-masing, karena sifatnya

mendadak jadi tidak boleh mengundang orang banyak, paling tidak hanya saksi-saksi

yang memberikan doa restu pernikahan, begitu penurutan Sugiyono. Ada sanksi lain

93
yang harus dibayar oleh pihak laki-laki sesuai dengan peraturan desa, yakni batu 10

kubik dan 5 kubik dari perempuan. Batu tersebut digunakan untuk membangun desa

dan sanksi tersebut tidak dapat ditawar lagi karena sudah peraturan desa.

Peraturan yang sudah dibuat harus dihormati, sebagaimana dalam konsep

Catur Guru. Sugiyono harus menghormati adanya ajaran Tuhan, pemerintah, guru

dan orangtua, karena bagaimanapun asal kita dari orangtua. Sugiyono sebagai

masyarakat Tengger harus mendem jeru mikul duwur (menjaga nama baik keluarga).

Sugiyono memegang konsep Catur Guru dengan baik, kehidupan Sugiyono saat ini

harmonis, seimbang dan nyaman. Seperti wawancara berikut ini;

”.... memang itu yang dipegang kita harus saling harmonis,


konsep dasarnya emang harus harmonis, makanya seperti
pemerintah memang harus kita hormati, walaupun pemimpinnya
siapa saja di desa sama siapapun yang memimpin kita harus bekti,
makanya dinamakan Catur Guru bekti itu, sudah tidak bisa
ditinggalkan itu, jadi kalau keempatnya kita jalankan maka akan
seimbang, nyaman, artinya gini aja kita bisa jadi harmonis kan,
apapun yang menjadi perdes apapun yang menjadi aturan yang ada
di desa ya harus kita ikuti yang dari pemerintah juga harus kita ikuti
baru bisa kita harmonis, jadi gak saling tarik menarik, saling curiga
terhadap pemerintah, ya seharusnya kita akui kan itu sudah harus
kita hormati, makanya kita juga harus bekti kepada pemerintah,
bekti kepada orangtua, bekti kepada sang memberikan
penciptanya, bekti terhadap sesama kan gitu ....” (Wawancara
tanggal 25 Maret 2017).

Sugiyono juga menjelaskan dalam pengaturan pernikahan ada yang namanya

Brahmacari. Konsep ini menjelaskan pada masa muda harus banyak mencari ilmu,

bersenang-senang karena masa muda belum terikat. Pada masa ini belum boleh

menikah, diperbolehkan menikah kalau ilmunya sudah cukup dan sudah habis masa

bersenang-senangnya sehingga dalam pernikahan sudah adem ayem tentrem. Usia-

usia jenjang Brahmacari 0 sampai 17 tahun, ketika sudah 17 hingga 19 tahun

Sugiyono merasa sudah diperbolehkan menikah. seperti wawancara berikut;

94
”.... jenjang Brahmacari menuntut ilmu dulu, sebelum
menikah artinya kalau masih bujangan harus dipuaskan terlebih
dahulu makanya kita baru adem ayem tentrem sudah bisa
menemui titiknya, sedangkan lain kalau di usia bramacarinya
belum kita lengkapi belum kita penuhi akhirnya kan kita tergesa-
gesa sudah ingin menikah dan lain sebagainya akhirnya di dalam
masa-masa pertumbuhan ya kadang-kadang masih tergoncang,
pikiran masih ke mana-mana. Maka usia antara 17 sampai 19
tahun dirasa sudah cukup di dalam usia bramacari-nya seperti itu,
apalagi kalau kita sampai ke perguruan tinggi berartikan luas
ilmunya, pengalaman juga luas, kedewasaannya sudah matang
akhirnya kita membentuk rumah tangga kita juga sudah baik. Jadi
kalau karena sudah dijelaskan minimal harus lulus SMA itu
tujuannya seperti itu, sudah cukup umur dan berpikiran dewasa
....” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).

Makna anak bagi Sugiyono adalah penerus keturunan, baik itu laki-laki atau

perempuan sama saja tidak ada yang diistimewakan. Jika orangtua sebagai orangtua

tidak memiliki anak hidup Sugiyono tidak tentram karena di masa tua Sugiyono tidak

ada yang mengasuh. Jadi punya anak laki-laki atau perempuan tetap bangga karena

kelak kalau Sugiyono sudah tua ada yang mewarat dan itulah yang percaya Sugiyono

mikul duwur mendem jero. Selain anak akan berbakti kepada Sugiyono, membalas

belas kasih yang sudah diberikan dan hutang budi anak akan lunas. Sugiyono selalu

berpesan kepada anak-anaknya agar tidak melakukan pernikahan dini, karena dapat

membebani orangtua. Walaupun sebagai orangtua Sugiyono sayang terhadap anak,

tetapi Sugiyono tidak menginginkan anaknya melakukan hal tersebut.

Upaya dari Sugiyono juga selalu membimbing anaknya untuk selalu bergaul

yang baik, yang sesuai dengan adat dan agama. Sugiyono selalu menekankan pada

adat dan agama, itu menjadi kunci di tengah perkembangan jaman saat ini. Menurut

Sugiyono berbakti kepada orang tua itu kewajiban kalau ingin mulia masa depannya.

95
5) Biarto (79 tahun)

Biarto merupakan masyarakat biasa Desa Ngadisari, yang bekerja sebagai

petani sayur. Biarto memiliki satu orang istri dan dua orang anak laki-laki yang

sudah menikah. Biarto hidup sederhana sebagaimana masyarakat Tengger lainnya

yang bergantung terhadap hasil panenan setiap musimnya. Sebagai masyarakat

Tengger pada umumnya Biarto dalam kehidupannya berpegang kepada nilai-nilai

adat yang diturunkan dari para leluhur terdahulu. Bagi Biarto nilai-nilai yang sudah

diajarkan tidak boleh ditinggalkan dan harus terus diamalkan sehingga anak dan

keturunannya bisa mencontoh khususnya dalam hal pernikahan.

Biarto salah satu orang yang melakukan pernikahan dini di usia muda dan

istrinya belum lulus SD saat menikah. Biarto menikah karena lantaran sudah saling

cinta satu sama lainnya dan orangtua juga sudah saling mengenal. Pada saat itu

Biarto belum sadar akan pentingnya pendidikan bagi kehidupan di masa depan.

Biarto dan istri hanya lulusan sekolah dasar dan tidak melanjutkan pendidikan lagi

karena lebih memilih bekerja di sawah dengan orangtuanya.

Biarto bercerita kalau dulu pernikahan belum diatur seperti saat ini, namun

memang sudah adat yang mengatur bagaimana proses pernikahan bisa dilakukan.

Dahulu ketika Biarto ingin menikahi sang istri, Biarto datang ke pak tinggi (kepala

desa) dan dukun adat untuk meminta hari baik. Setelah itu Biarto juga berdoa kepada

para leluhur di Punden untuk memohon rumah tangga yang bahagia dan langgeng,

seperti penuturannya dalam wawancara berikut;

”.... saya dulu menikah ya menikah aja mas, pokoknya proses


adat saya lakukan semua, sudah beres. Setelah itu saya ke pak
tinggi dan pak dukun meminta hari baik dan menghitung weton itu
mas. Nanti pak dukun yang menentukan harinya. Setelah itu saya
berdoa ke para leluhur di punden dan ura mas supaya diberikan
kebahagian dan kelanggengan. Saya dulu belum tau pentingnya

96
sekolah, saya sekolah SD juga atas kemauan orangtua terus disuruh
sekolah lagi tetapi saya tidak mau, karena saya ingin bekerja saja
di sawah sama bapak ....” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).

Awalnya Biarto tidak mengetahui dampak dari pernikahan dini, karena Biarto

minim pengetahuan dan tidak ada yang memberitahu tentang hal tersebut. Biarto

hanya ingin segera menikah dan berumah tangga dengan istrinya yang disayanginya

pastinya karena restu dari orang tua. Setelah menikah Biarto mengalami masa sulit

dalam kehidupan ekonominya. Saat istri Biarto hamil, istrinya sering sakit panas,

muntah-muntah, sakit perut dan kram perut itu berlangsung sekitar satu bulan

sebelum melahirkan. Apa yang menyebabkan istrinya seperti itu Biarto tidak

mengetahuinya.

Setelah melahirkan kondisi ekonomi Biarto belum juga membaik karena istri

Biarto pada waktu itu tidak bisa memberikan ASI secara terus menerus karena

ASInya kadang keluar kadang tidak, hal ini membuat Biarto harus membuat tajin

atau membeli susu sapi di tetangga untuk minum anaknya.

”.... waktu istri saya hamil, rumah tangga saya mulai diuji mas,
terutama ekonomi saya. Istri saya sakit panas, muntah-muntah dan
perut sering kram jadi mau tidak mau saya periksakan ke tukang urut
kalau namanya sekarang mas. Terus saya juga bawa mantri (dokter)
ke bawah karena saya kasihan juga melihat dia kesakitan. Bolak
balik itu mas, jadi keluar uang banyak. Setelah melahirkan masih
dikasih ujian lagi saya mas, istri saya susunya (payudara) kadang
keluar ASI kadang tidak, jadi kalau pas tidak keluar ASI saya bikinin
tajin buat anak saya atau membeli susu sapi di tetangga, tapi
sekarang istri saya sehat ....” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).

Serangkaian peristiwa tersebut membuat Biarto berpikir, mengapa saat hamil

dan sampai melahirkan banyak cobaan yang dihadapi oleh keluarga kecilnya.

Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang akhirnya membuat Biarto tahu kalau

pernikahan dini bukan sesuatu yang baik, khususnya bagi pihak perempuannya.

97
Pihak perempuan bisa merasakan sakit seperti yang istrinya rasakan, hal itu bagi

Biarto sangat kasihan sekali, tersika dengan sakitnya berbulan-bulan.

Belajar dari pengalaman itu, Biarto akhirya tidak membolehkan anak-

anaknya melakukan pernikahan di usia muda. Selain karena keadaan ekonomi yang

belum tertata, secara kesehatan juga tidak baik. Anak-anak Biarto didorong untuk

terus semangat belajar di sekolah dulu sebelum menikah. Biarto berpikiran jika anak-

anaknya belajar akan mendapatkan ilmu sebagai bekal dimasa depan. Keadaan saat

ini berbeda dengan keadaan saat Biarto muda dulu.

Menurut Biarto desanya saat ini sangat serius dalam melakukan perbaikan-

perbaikan agar lebih baik, berikut penuturannya;

” .... wah, desa saya sekarang pemerintahannya serius sekali


dalam memperbaiki desa mas, semua diperbaiki, tidaknya jalan-
jalan, saluran air tetapi juga pengetahuan masyarakat sini. Semua
disuruh sekolah sampai SMA, supaya punya ilmu yang cukup
untuk masa depan. Saya setuju mas itu semua, itu program yang
bagus dan perlu didukung oleh masyarakat, kalau desa sini
memang guyub, gotong royongnya kuat mas ....” (Wawancara
tanggal 25 Maret 2017).

Biarto mengapresiasi pemerintah Desa Ngadisari yang terus memperbaiki

desa dan masyarakat melalui program yang dikeluarkan. 15 tahun belakangan,

program itu terus digencarkan, walau dulu awalnya tidak bisa langsung sukses

seperti saat ini, tapi syukurlah saat ini sudah sangat baik. Mengatur secara ketat

syarat pernikahan dan menguatkan adat Tengger bagi Biarto hal yang penting untuk

selalu jadi pegangan dalam kehidupan.

Menurut Biarto pemerintahan desa saat ini, selalu memberi pengetahuan

kepada masyarakat agar tidak melakukan pernikahan dini karena berdampak bagi

desa. Dalam acara adat atau acara desa pak tinggi selalu berpesan jangan menikah

dini dan menghimbau mari menghidupkan kembali Catur Guru agar identitas desa

98
Tengger tidak hilang. Catur Guru bagi Biarto memang harus dihormati, karena

beliau begitu berjasa bagi kehidupan, berbakti kepada Tuhan, pemerintah, orangtua

dan guru. Dalam pernikahan anak-anak Biarto Catur Guru sangat berperan, anak

Biarto selalu Biarto ingatkan harus nurut kepada pemerintahan desa, orangtua dan

guru di sekolah. Jangan sampai sebagai orang Tengger tidak mematuhi Catur Guru

bisa kualat hidup ini, tidak dilindungi oleh Sang Hyang Widi.

”.... mas, kalau pemerintah desa sekarang sudah sangat peduli


terhadap masyarakat. Selalu memberikan pengetahuan akhirnya
masyarakat sadar dan mengerti. Selain itu mas, pak tinggi kalau
waktu ada acara desa atau adat selalu berpesan tentang Catur Guru.
Memang benar itu mas, anak saya selalu saya beritahu tentang
Catur Guru agar masa depannya baik. Repot juga kalau sampai
sebagai orang Tengger tidak mau memegang adat Tengger lama-
lama hilang mas, .... bisa-bisa kami tidak dilindungin lagi sama
Sang Hyang Widi ....” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).

Catur Guru dapat menjadi pengingat bagi masyarakat Suku Tengger agar

selalu menghormati empat guru dalam kehidupan. Jadi perilaku orang Tengger tidak

seenaknya tapi sesuai dengan ketentuan yang sudah ada. Menurut Biarto zaman

Biarto muda Catur Guru belum diterapkan oleh masyarakat seperti saat ini, kalau

saat ini Catur Guru semakin kuat dipegang oleh masyarakat karena selalu diberikan

sosisalisasi terkait Catur Guru. Jadi Biarto muda kalau ingin menikah diskusi dengan

orangtua dan meminta hari ke pak tinggi (kepala desa) dan dukun adat. Kalau saat ini

memang syaratnya lebih ketat jika ingin menikah, maka pernikahan tidak boleh

dilaksanakan sembarangan. Di samping itu juga guru yang ada di sekolah berperan

untuk terus membuka wawasan bagi murid-muridnya.

Salah satu peraturan desa yang didukung oleh Biarto yakni tidak boleh

menikah saat belum lulus SMA. Menurut Biarto ini baik untuk pembangunan desa di

masa depan. Masa depan desa akan semakin baik kalau anak mudanya semua pada

99
sekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Tidak seperti zaman Biarto yang rata-rata

masyarakat hanya lulusan sekolah dasar (SD). Biarto juga berpendapat bahwa

pernikahan dini merugikan pihak perempuan karena belum siap secara kesehatan dan

mental. Seperti penuturan Biarto dalam wawancara berikut;

”.... pembangunan desa di masa depan bagus kalau


pendidikannya bagus juga mas, maksud saya itu bisa lulus SMA
bahkan perguruan tinggi di Malang atau Surabaya sana misalkan.
Tidak seperti zaman saya dulu, rata-rata loh hanya lulusan Sekolah
Dasar (SD) terus kerja ke sawah sama orangtua. Peraturan desa
yang dibuat sama pak Supoyo itu bagus mas, saya mendukung,
peraturan yang harus lulus SMA baru boleh menikah. Biar anak-
anak semakin besar dan semakin dewasa kalau berpikir, kasihan
mas kalau nikah muda-muda. Kasihan perempuannya,
kesehatannya enggak siap, terus nanti dia mikir terus pas jadi ibu
muda, pas ngurus anak, kan kasihan ....” (Wawancara tanggal 25
Maret 2017).

Makna anak bagi Biarto itu rejeki dari Tuhan yang tidak bisa diganti dengan

apapun. Biarto dalam mengasuh anak penuh dengan kasih sayang, menanamkan

nilai-nilai adat dan agama serta bertanggung jawab menjaga nama baik keluarga.

Bagi Biarto nama keluarga di masyarakat Suku Tengger wajib dijaga, ketika Biarto

membuat malu keluarga khususnya orangtua, sampai-sampai orangtua Biarto berdoa

jelek itu sudah seperti kutukan buat Biarto. Perkataan atau doa dari orangtua, Biarto

yakin sebagai doa yang cepat terkabul langsung didengar oleh Tuhan.

”.... anak saya itu mas, seperti rejeki yang diberi Tuhan kepada
saya, sudah tidak akan ternilai harganya. Saya mengasuh dia
dengan kasih sayang dan saya ajarkan nilai adat orang Tengger,
supaya dia tau leluhurnya dulu seperti itu loh. Jangan sampai
ditinggalkan. Dia juga saya ajarin bagaimana cara menjaga nama
baik keluarga, karena nama baik keluarga penting loh mas untuk
dijaga. Kalau misalkan saya sebagai anak mengecewakan orangtua
terus orangtua saya mendoakan saya jelek itu sudah mas, pasti
nasib saya malang mas, doa orangtua seperti sumpah gitu loh,
ampuh sekali mas” (Wawancara tanggal 25 Maret 2017).

100
Biarto menyatakan ini semua kembali lagi ke Catur Guru agar hidup ini

dapat tentram, diterima oleh masyarakat luas, rukun dengan tetangga dan dapat

menjalankan konsep Tri Hita Karana dengan baik. Biarto mengaku sebagai orang

yang tidak beruntung dalam kehidupannya karena merasa bersalah menikah terburu-

buru, sedikit pertimbangan dan sedikit persiapan, sehingga berpengaruh kepada

keadaan ekonomi keluarga hingga saat ini. Dari hal itulah Biarto tidak menginginkan

anak-anaknya seperti Biarto di masa dulu. Saat ini anak Biarto yang pertama keadaan

ekonominya sudah baik, karena mengenyam pendidikan kejuruan. Anak Biarto

bekerja sebagai supir jip yang membawa wisatawan ke Gunung Bromo, selain itu

anak Biarto juga mempunyai sawah sendiri buat dari kerja kerasnya di masa muda

sebelum menikah.

6) Mersaid (70 tahun)

Mersaid merupakan masyarakat Desa Ngadisari asli, dibesarkan di

lingkungan Suku Tengger yang memiliki nilai adat yang masih terjaga hingga saat

ini. Mersaid memiliki satu orang istri dan satu orang anak perempuan dengan usia 25

tahun. Usia Mersaid saat menikah berusia 18 tahun dan istrinya 15 tahun karena

sudah dorong untuk menikah oleh orangtua. Hingga umur pernikahan 6 tahun

Mersaid baru dikaruniai seorang putri dengan paras yang cantik. Sebenarnya istri

Mersaid pernah hamil dua kali namun selalu keguguran hingga kehamilan yang ke

tiga baru berhasil.

Mersaid pernah merasa sedih dan stress saat istrinya dua kali mengalami

keguguran. Saat itu Mersaid tidak mengetahui mengapa hal itu dapat terjadi ke

istrinya, sampai-sampai Mersaid pernah ingin menikah lagi demi mempunyai

keturunan. Namun orangtua Mersaid tidak memperbolehkan, Mersaid diharap

101
bersabar dan banyak berdoa dan sembayang di punden. Berikut penuturan Mersaid

dalam wawancara;

”.... saya pernah merasa sedih sekali dek saat istri saya
keguguran dua kali berturut-turut. Saat ini saya merasa stress sekali
dengan keadaan saya. Kalau orangtua saya saat itu mengijinkan
saya menikah lagi agar punya anak dek, saya menikah lagi kok, itu
yang ada di pikiran saya, tapi saya enggak bilang ingin menikah
lagi ke istri saya. Orangtua saya ngadem-ngadem saya dek, untuk
banyak berdoa dan sembayang biar saya enggak stress ....”
(Wawancara tanggal 30 Maret 2017).

Setelah Mersaid mempunyai anak, Mersaid pernah bertemu dengan

wisatawan Gunung Bromo yang bekerja sebagai dokter di Probolinggo. Mersaid

bertanya kepada dokter tersebut tentang kesehatan istrinya yang dua kali mengalami

keguguran karena Mersaid ingin mengetahui sebabnya keguguran. Dokter tersebut

akhirnya mampir ke rumah Mersaid dan menjelaskan kepada Mersaid kalau istri

Mersaid masih terlalu muda untuk mengandung janin, karena rahim istri Mersaid

belum terlalu kuat untuk tempat janin, begitu cerita Mersaid.

Mersaid mengaku sempat menyesal karena melakukan pernikahan di usia

yang sangat muda. Kalau tidak karena dorongan orangtuannya dulu, mungkin

Mersaid tidak melakukan pernikahan dini. Menurut Mersaid pada saat itu Mersaid

tidak memiliki pilihan lain, selain ingin membuat orangtua Mersaid senang dan

bahagia melihat anaknya menikah. Namun saat ini Mersaid menyadari kalau

pernikahan dini bukanlah hal baik jika dilakukan.

Bagi Mersaid mengatur ekonomi dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya

adalah pilihan yang tepat untuk remaja saat ini. Dari hal itu Mersaid terus memberi

masukan anaknya agar banyak mencari ilmu dulu di usia muda. Seperti yang sudah

diatur agama Hindu di dalam Catur Asrama, yakni tahap Brahmacari dulu ditata

102
dengan apik (baik) baru ke tahap selanjutnya yakni Grahasta. Mersaid sediki-sedikit

menerapkan apa yang Mersaid ketahui untuk kebaikan anaknya.

”.... saya pernah menyesal dek dengan keadaan yang saya


alami dulu itu, saya bodoh tidak punya pertimbangan jika ingin
nikah, saya cuma nurut bapak supaya bapak bahagia dan senang
kalau saya menikah. Saiki (sekarang) dek, saya loh mikir kalau
menata ekonomi dan ilmu itu penting. Makanya si nduk (anak
perempuan) saya kasih tahu terus biar enggak kayak saya susah
begini. Saya mencoba mengajarkan dia tentang adat dan agama
supaya masa depannya bagus gitu loh dek. Terus saya kasih tau
tentang Catur Asrama, jalarane’e urip’e (jalan hidup) penganut
Hindu ana tahapane (ada tahapannya), masih muda banyakin
ngilmu (ilmu) itu namanya Brahmacari dan bekerja keras ben apik
ekonomi’ne (agar ekonomiya baik) baru menikah atau ke tahap
Grahasta ....” (Wawancara tanggal 30 Maret 2017).

Pernikahan Mersaid juga mengajarkan konsep Catur Guru. Bagi Mersaid

Catur Guru adalah guru yang mengantarkan seseorang kepada kebahagian dan

kerahayuan dalam hidup. Mersaid merasa penghormatan kepada guru yang sudah

mendidik, memberi jalan terang dan kedamaian dalam hidup serta memberikan solusi

terbaik bagi kehidupan untuk mencapai keselarasan, keserasian dan keseimbangan.

Bagi Mersaid maha guru yang paling tinggi dan sejati adalah Sang Hyang Widi

atau Tuhan, karena semua kehidupan dariNya. Tanpa pertolongan Sang Hyang Widi

Mersaid sebagai manusia bukan apa-apa. Guru kedua bagi Mersaid adalah

pemerintah atau Guru Wisesa, karena dengan adanya program-program dari

pemerintah kehidupan Mersaid bisa lebih baik dan lebih berharga. Ketiga Guru

Pangajian, guru di sekolah yang memberikan Mersaid ilmu pengetahuan dengan

iklas bekerja walau gajinya hanya sedikit sekali demi pandainya anak-anak

masyarakat Ngadisari. Keempat guru orangtua atau Guru Rupaka, orangtua yang

melahirkan dan mendidik Mersaid menjadi orang yang berguna, selalu memberikan

wejangan (nasihat) yang terbaik untuk Mersaid. Mersaid harus mengabdi dan

103
menurut kepada orangtua, itulah yang Mersaid lakukan saat orangtua Mersaid

meminta Mersaid segera menikah.

Pernikahan banyak proses adat yang harus dilakukan dan syarat menikah juga

sudah dibuat oleh pak tinggi (kepala desa). Kalau anak saya ingin menikah Mersaid

harus lulus SMA dulu dan sekarang anak Mersaid sudah lulus SMA. Kalau sudah

lulus SMA anak Mersaid boleh menikah kalau sudah bertemu dengan jodohnya,

Mersaid akan ke pak tinggi (kepala desa) dan dukun adat untuk meminta hari baik

untuk melangsungkan pernikahan. Menurut Mersaid kalau ingin menikah saat ini ada

antriannya tidak bisa langsung dilaksanakan terburu-buru.

”.... kalau misalkan anak saya nikah, saya datang ke pak tinggi
dan pak Sutomo untuk minta hari baik dek, nanti kalau sudah
dikasih enak sudah, tinggal menunggu aja sambil persiapan biaya,
adat dan lain-lain pokoknya, sambil nunggu sambil persiapan.
Nikah di sini sekarang harus lulus SMA dulu dek, nggak bisa
kalau belum lulus SMA, enggak dibolehkan sama desa. Saya
pikir-pikir ini bagus juga buat pemuda desa, biar pada sekolah
dulu baru nikah, jangan kayak saya ....” (Wawancara tanggal 30
Maret 2017).

Banyaknya proses adat pernikahan membuat biaya pernikahan tidak murah

bagi Mersaid. Biaya pernikahan bisa menelan biaya kurang lebih 100 juta, karena

tamu undangan yang datang masyarakat se-desa Ngadisari dan kadang juga dari luar

Desa Ngadisari. Menurut Mersaid biaya membengkak digunakan untuk menyajikan

makanan dan minuman bagi tamu. Selain itu juga pada saat sewa tayub, kelihatannya

memang begitu saja, namun itu banyak pengeluarannya untuk pernikahan. Jadi

sebenarnya Mersaid juga sambil persiapan, baik persiapan biaya maupun persiapan

adat ketika masa tunggu sebelum pernikahan anaknya.

104
7) Satuman (73 tahun)

Satuman dibesarkan dari keluarga petani yang sederhana yang bekerja

sebagai petani sayur di Desa Ngadisari. Satuman merupakan sosok yang sangat

sederhana, kalem dan ramah dalam kehidupannya. Menurut Satuman, dulu

kehidupan orangtuanya sangat sederhana bahkan untuk menggerakkan perekonomian

keluarganya, orangtua Satuman bekerja menjadi buruh tani. Orangtua Satuman sudah

meninggal dunia, rumah yang Satuman tempati saat ini adalah rumah warisan dari

orangtua. Rumah Satuman masih menggunakan ubin dengan dinding tembok serta

perapian di dapur masih menggunakan kayu bakar dalam memasak.

Satuman menganut agama Hindu dan menjalankan adat Suku Tengger

sebagai pedoman dalam kehidupan sama seperti teman-teman sebaya lainnya yang

ada di Desanya. Mayoritas agama di Suku Tengger menurut Satuman memang

agama Hindu yang diturunkan secara turun temurun dari para leluhur. Agama dan

adat berjalan bersamaan, tidak ada yang ditinggalkan karena menurut Satuman itu

adalah ciri Suku Tengger Desa Ngadisari.

Keadaan ekonomi yang sulit, membuat Satuman tidak dapat menamatkan

jenjang Sekolah Dasar (SD) dan lebih memilih untuk membantu orangtua di ladang.

Ketika teman-teman Satuman pagi berangkat ke sekolah, Satuman berangkat ke

ladang dengan orangtua Satuman hingga sore hari. Menurut cerita Satuman orangtua

Satuman tidak mementingkan pendidikan dan lebih mementingkan bagaimana

bekerja di ladang mencari untuk mendapatkan uang.

Satuman menikah berumur 16 tahun, Satuman berkenalan dengan gadis

desanya dan kemudian menikahinya. Pada saat itu istri Satuman berumur 10 tahun

dan tidak sekolah seperti Satuman, karena orangtua Satuman setuju dengan

105
hubungan anaknya, maka Satuman disarankan agar segera ke pak tinggi untuk

mencari hari baik untuk menikah. setelah ke pak tinggi Satuman bertemu dengan

calon mertuanya untuk membicarakan silsilah keluarga apakah masih ada hubungan

darah atau keturunan atau tidak. Setelah proses itu dilakukan satu hari sebelum

menikah Satuman melamar calon istrinya. Sesuai adat Tengger proses pelamaran

tidak boleh jauh-jauh hari, satu hari sebelum menikah harus dilamar.

Pernikahan di usia muda bagi Satuman hal yang biasa saja, untuk apa sekolah

tinggi-tinggi kalau Satuman hanya bekerja di ladang. Seperti yang dalam wawancara

berikut;

“.... loh ngapain saya sekolah tinggi sampai SMA misalkan,


kalau saya tetap saya bekerjanya di ladang mas. Percuma mas,
mending saya nikah kerja dan bisa bahagia dengan istri dan
keluarga saya. Saya hanya ingin bantu bapak, dan bapak sering
bilang ke saya sudah ikut bapak ke ladang tidak usah sekolah, nanti
bapak kasih uang buat jajan sama temanmu, ya sudah saya ikut apa
yang bapak bilang ....” (Wawancara tanggal 30 Maret 2017).

Orangtua Satuman yang berpendapat kalau pendidikan tidaklah penting

akhirnya diwariskan dan dijalankan oleh Satuman sampai akhirnya Satuman menikah

muda dengan alasan pendidikan tidak penting baginya.

Pernikahan di Suku Tengger memang diatur, tidak sembarangan karena

leluhur Satuman sudah mengajarkan bagaimana tata cara menikah. Secara adat

semua harus diikuti tata caranya, walaupun salah satu mempelai dari luar Suku

Tengger. Satuman menjelaskan kalau saat ini pernikahan selain ada prosedur adat

ada juga prosedur dari desa yang sudah dibuat oleh Bapak Supoyo. Peraturan desa itu

menurut Satuman harus lulus SMA dulu kalau ingin menikah, jika tidak lulus SMA

tidak diperbolehkan menikah oleh pak tinggi (kepala desa). Menurut cerita Satuman

106
dulu saat masih muda belum ada peraturan harus lulus SMA, maka jika misalkan

Satuman ingin menikah silahkan saja, yang terpenting prosedur adat sudah dipenuhi.

Setelah Satuman menikah awal kehidupan rumah tangganya baik-baik saja,

sampai Satuman mempunyai satu orang anak. Setelah mempunyai satu orang anak,

Satuman dan istrinya sering berbeda pendapat dalam mengasuh anak, misalnya

karena hal sepele, ketika anak Satuman berumur 3 tahun diajak ke ladang oleh

Satuman, namun istri Satuman tidak suka karena masih terlalu kecil dan kasihan.

Sampai suatu hari istri Satuman marah dan pulang ke rumah orangtuannya karena

Satuman terlalu keras kepala. Selama satu minggu istri Satuman tidak mau tinggal di

rumah Satuman, namun akhirnya karena Satuman berjanji tidak akan seperti itu lagi

akhirnya istri Satuman mau memaafkan Satuman dan kembali tinggal satu rumah

lagi. Satuman menyadari kalau pertengkaran yang terjadi dengan istrinya karena

Satuman belum dewasa dan harus banyak masukan dari orangtua.

Satuman sebagai Suku Tengger menyakini kalau orangtua adalah bagian dari

Catur Guru Bekti. Orangtua harus dihormati karena perkataannya sebagai doa buat

Satuman. Pada saat Satuman bertengkar dengan istrinya, orangtua Satuman

mendudukan Satuman di ruang tamu, kemudian orangtua Satuman memberikan

nasihat sebagai laki-laki harus bertanggung jawab dan tidak boleh keras kepala

terhadap istri, segeralah meminta maaf dan mengajak istri Satuman kembali ke

rumah. Setelah dinasihati orangtua Satuman, pagi harinya Satuman ke rumah mertua

untuk memita maaf kemudian mengajak istri kembali ke rumah Satuman dan berjanji

tidak akan mengulanginya kembali.

Satuman menjelaskan Catur Guru kepada anak-analnya bahwa Catur Guru

tidak hanya orangtua di rumah saja. Ada ajaran Tuhan yang harus dijalankan,

107
pemerintah sebagai wakil masyarakat yang mengatur kehidupan sosial agar

masyarakat desa sejahtera dan guru yang ada di sekolah, yang sudah memberikan

ilmu pengetahuan kepada semua murid. Semua Catur Guru bagi Satuman sangat

mempengaruhi hidup masyarakat desa untuk mencapai ketenangan hidup. Satuman

menjalankan konsep ini karena orangtua Satuman sering mengajarkan, sebagai orang

Tengger konsep kehidupan yang harus dipegang salah satunya Catur Guru. Menurut

cerita Satuman kepala desa saat ini juga selalu memberikan pengetahuan tentang

pernikahan dini dan dampaknya. Sosialisasi ini terus dilakukan pemerintah desa

melalui acara-acara yang ada di desa, sehingga saat ini sudah tidak terjadi lagi

pernikahan dini di desa Satuman.

8) Lestari (58 tahun)

Lestari merupakan sosok perempuan asli Suku Tengger yang berwajah manis

dan berkulit sawo matang dengan tinggi rata-rata orang Indonesia 155 cm. Lestari

merupakan anak tunggal dari seorang petani sukses yang ada di Desa Ngadisari.

Kehidupan ekonomi Lestari serba berkecukupan. hal ini ditandai dengan rumah yang

tergolong megah jika dibandingkan dengan masyarakat Ngadisari pada umumnya.

Orangtua lestari merupakan petani sayur dan tengkulak yang sukses dengan

pendapatan sekali panen menurut lestari bisa mendapatkan 20 juta.

Lestari menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang Sekolah Menengah

Pertama (SMP). Menurut cerita Lestari lulus Sekolah Menengah Pertama sudah

cukup, karena lestari ingin cepat bekerja membantu orangtuanya. Lestari yang sudah

diajarkan cara mengatur uang dan berbisnis sayuran oleh orangtuannya menjadikan

ini sebagai motivasi untuk segera bekerja. Berikut wawancara lestari dengan peneliti;

”.... bapak mengajarkan saya mengatur uang mas dari saat


saya masih kecil, waktu saya SMP bapak mengajarkan saya untuk

108
belajar ke ibu cara mengatur uang. Jadi bagi saya lulus SMP aja
sudah cukup, saya ingin cepet-cepet kerja aja bantu bapak ibu. Saya
bangga mas, sama bapak, bapak itu pinter jualan mas, saya ingin
seperti bapak bisnis jualan sayur dan lebih sukses, pikiran saya
waktu kecil begitu mas ....” (Wawancara tanggal 30 Maret 2017).
Lestari menikah saat umur masih 16 tahun atau satu tahun setelah Lestari

lulus dari sekolah. Alasan Lestari menikah karena sudah saling cinta dengan

suaminya dan Lestari merasa sudah siap memiliki keluarga. Selain itu orangtua

Lestari tidak menginginkan kalau Lestari sampai hamil di luar nikah jadi segera

dinikahkan saja. Keinginan Lestari didukung dan direstui oleh orangtua Lestari untuk

segera menikah. Pernikahan dini bagi Lestari tidak masalah, kalau memang sudah

saling cinta dan tidak melanggar adat Suku Tengger. Sebelum menikah, Lestari harus

melakukan persiapan adat yang diawali dengan menelusuri garis keturuan antar

keluarga. Hal ini memang sudah menjadi adat Suku Tengger sebelum melakukan

pernikahan.

Pesta pernikahan yang dilakukan Lestari dilakukan di balai desa dengan

mengundang hampir semua masyarakat Desa Ngadisari. Pernikahan Lestari berjalan

lancar dan meriah, pada saat itu Lesatri memotong tiga ekor sapi dan menyewa tayub

untuk hiburan masyarakat. Bagi Lestari ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat

Desa Ngadisari dalam pesta pernikahan. Pesta pernikahan di masyarakat Desa

Ngadisari menurut Lestari kalau sekarang bisa menghabiskan biaya sampai 100 juta,

karena kebutuhan pokok saat ini mahal.

Kehidupan keluarga kecil lestari setelah menikah berjalan harmonis dan

penuh kasih sayang. Kalau ada permasalahan, Lestari selalu meminta pendapat orang

tau bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Lestari sadar kalau dalam awal

pernikahannya selalu bergantung kepada orangtua. Penuturan lestari saat ada

kesulitan keuangan dikeluarga kecilnya, selalu meminta uang pada bapak atau ibu.

109
Diakui oleh lestari setelah menikah memang ada perubahan keadaan, di mana lestari

harus lebih menahan pengeluaran keuangan dan mengatur keuangan lebih baik. Bagi

lestari ini hal yang wajar, karena suami lestari hanya sebagai seorang petani yang

lahannya tidak terlalu luas.

Lestari mempunyai dua orang anak, anak pertama laki-laki dan anak kedua

perempuan. Dalam hal mendidik anak lestari banyak belajar dari orangtua dan

tetangga. Lestari tidak malu bertanya tentang bagaimana mengurus anak agar

perkembangan baik di masa depan. Bagi Lestari anak adalah titipan Tuhan yang

tidak bisa dinilai dengan materi seberapapun banyaknya. Anak harus dijaga, dirawat

dan dididik agar kalau sudah dewasa berguna bagi desa dan negara. Dalam mendidik

anak, Lestari belajar menanamkan nilai adat dan agama, walaupun Lestari sendiri

tidak memiliki banyak pengetahuan adat dan agama. Adat dan agama bagi lestari

harus dijalankan secara bersamaan, karena itu bisa menjadi identitas Suku Tengger

Desa Ngadisari.

9) Sri Rahayu (57 Tahun)

Sri Rahayu merupakan Suku Tengger keturunan, bapak Sri Rahayu berasal

dari Kota Probolinggo, sedangkan ibu Sri Rahayu asli Suku Tengger. Kedua

orangtua Sri Rahayu bertemu saat bapak Sri Rahayu sedang menjadi buruh saat

panen sayur kol (kubis) di Desa Ngadisari. Saat itu ibu Sri Rahayu juga menjadi

buruh tanam yang bekerja ikut dengan pemilik lahan. Kedua orangtua Sri Rahayu

berkenalan saat di ladang, dari sinilah orangtua Sri Rahayu saling jatuh cinta dan

melangsungkan pernikahan. Saat menikah umur ibu Sri Rahayu 15 tahun sedangkan

bapak Sri Rahayu 18 tahun.

110
Sri Rahayu memiliki paras yang cantik dan kulit yang putih dengan tinggi

badan sekitar 160 cm. Sri Rahayu tidak dapat meneruskan sekolah dasar dikarenakan

orangtua tidak mendukung atau tidak ada motivasi dari orangtua. Saat Sri Rahayu

kecil, waktu bermain banyak digunakan untuk membantu orangtua di ladang.

Walaupun bukan ladang sendiri, Sri Rayahu tidak malu untuk ikut bekerja dengan

orang tau, karena kalau di rumah Sri Rahayu harus sendirian. Keadaan ekonomi

kurang baik pada saat itu selalu disyukuri oleh keluarga Sri Rahayu. Keadaan ini

membuat mental Sri Rahayu kuat, tidak pemalu, dan percaya diri. Berikut

wawancaranya;

”.... aku malah bersyukur mas, dengan keadaan yang dulu


seperti itu, aku sekarang loh tidak malu, tidak gengsi, aku nerima
apa adanya, kalau sekarang kan hidupku lumayan baik mas, dari
pada dulu susah terus. Banyak-banyak bersyukur aja mas, Sang
Hyang Widhi (Tuhan) pasti kasih baik ke aku, bapak dan ibu ....”
(Wawancara tanggal 30 Maret 2017).
Sri Rahayu remaja termasuk yang aktif dalam kegiatan adat dan agama Suku

Tengger yang ada di desa. Bapak Sri Rahayu pernah berkata kepada Sri Rahayu,

kalau kegiatan adat dan agama harus ikut karena itu memberikan bekal dan

keharmonisan untuk hidup kelak di masa depan. Selain itu bapak Sri Rahayu berkata

pada Sri Rayahu kalau ikut kegiatan adat dan agama nanti banyak dikenal sama

tetangga, jadi jika keluarga ada kesulitan pasti banyak yang menolong. Suku Tengger

memang terkenal dengan gorong royong dan kerukunannya begitu cerita Sri Rahayu

kepada peneliti.

Sri Rahayu menikah pada umur 14 tahun, pada saat itu Sri Rahayu menikah

karena dorongan dari orangtua terutama dari ibu Sri Rahayu. Ibu meminta Sri

Rahayu untuk segera menikah karena dulu ibu Sri Rahayu saat menikah berumur 14

tahun juga. Ibu memiliki pandangan kalau sudah menikah ekonomi akan lebih baik,

111
karena akan terbantu dengan kehadiran suami. Ibu Sri Rahayu juga selalu bilang

nanti Sri Rahayu juga akan banyak di dapur, kasur dan sumur jadi segera menikah

saja. Bapak Sri Rahayu mendukung saja dengan apa yang dikatakan oleh ibu Sri

Rahayu, untuk segera menikah.

Sri Rahayu menikah dengan laki-laki yang lebih tua dua tahun di atas Sri

Rahayu. Suami Sri Rahayu orang asli Desa Ngadisari yang saat itu bekerja sebagai

supir angkutan sayur ke Probolinggo. Sri Rahayu awalnya tidak mengenal suaminya,

pertama kali mengenal saat acara adat desa di mana Sri Rahayu sebagai salah satu

yang mengisi acara tersebut. Saat itu Sri Rahayu diajak berkenalan dengan suaminya

saat itu. Selang satu tahun setelah berkenalan, Sri Rahayu memutuskan untuk segera

menikah. Bapak dan ibu Sri Rahayu setuju jika Sri Rahayu menikah dengan calon

suaminya.

”.... aku dulu kan lagi ikut acara adat mas, di balai desa, aku
kebagian ngisi acaranya gitu mas. Nah pas lagi ngisi acara aku tiba-
tiba di deketin sama cowok mas, terus aku diajak kenal, aku liat dia
baik mas, setelah itu dia main ke rumah, aku tanya-tanya pas dia
main ke rumah, ternyata dia kerja sebagai supir angkut sayur ke
Probolinggo. Nah awalnya begitu, terus dia semakin jadi sering ke
rumah, bapak ibu setuju mas, kurang lebih satu tahun dia bilang
mau melamar, ingin serius gitu sama aku, aku bilang coba kamu
ngomong sama bapak sama ibu, eh dia ngomong benaran mas, ya
sudah aku dan dia menikah mas” (Wawancara tanggal 30 Maret
2017).
Setelah pernikahan, suami Sri Rahayu ikut bersama dengan Sri Rahayu

tinggal di rumah bersama orangtua Sri Rahayu. Keluarga kecil Sri Rahayu berjalan

baik-baik saja diawalnya, kurang lebih berjalan enam bulan, sikap suami Sri Rahayu

berubah. Awalnya Sri Rahayu berpikir positif dengan suaminya, namun ketika Sri

Rahayu mendengar berita dari tetangga kalau suami rahayu suka dengan wanita dari

Desa Jetak. Sri Rahayu tidak percaya begitu saja karena Sri Rahayu tidak mengetahui

langsung berita tersebut. Sri Rahayu juga tidak berpikiran dan tidak menyangka

112
kalau suaminya selingkuh dengan wanita di lain desa, padahal saat itu Sri Rahayu

sedang hamil 3 bulan.

Sri Rahayu mencoba mencari tahu kebenaran berita tersebut dari teman-

teman suaminya. Bapak dan ibu Sri Rahayu tidak mengetahui jika ada permasalahan

ini. Bapak ibu hanya bertanya mengapa dua hari lalu suami Sri Rahayu tidak pulang

ke rumah, Sri Rahayu hanya menjawab lagi kirim sayur ke Surabaya. Setelah

mencari tahu melalui teman-temannya, ternyata berita tersebut benar adanya, jika

suami Sri Rahayu tergoda dengan wanita di Desa Jetak. Sri Rahayu kecewa dan sakit

hati dengan suaminya, kekecewaan itu Sri Rahayu ungkapkan dengan tangisan.

Lama kelamaan orangtua Sri Rahayu mengetahui hal ini dan mendatangi rumah

suami Sri Rahayu untuk bertanya tentang kebenaran ini, karena sudah satu minggu

suami Sri Rahayu tidak pulang ke rumah.

”.... aku sedih mas kalau cerita ini, aku masih sakit hati sama
suamiku. Awalnya aku enggak percaya mas kalau dia begitu, terus
aku coba tanya ke teman-temannya, aku suruh cari tahu, eh ternyata
benar loh mas. Bapak ibu waktu itu enggak tau mas, kalau ditanya
aku bilangnya lagi mengantar sayur ke Surabaya. Tapi lama
kelamaan orangtua aku tau mas, aku nangis terus mas, bapak juga
ke rumah suamiku sana untuk mencari tahu, kira-kira ya sudah
seminggu mas. Aku kecewa banget sama dia, sakit hati aku mas
....” (Wawancara tanggal 30 Maret 2017).
Ternyata semua ini akhir dari perjalanan rumah tangga Sri Rahayu, pilihan

untuk cerai dipilih oleh Sri Rahayu untuk masa depan rumah tangganya. Pilihan

untuk bercerai dipilih dengan pertimbangan dari orangtua Sri Rahayu. Pertimbangan

dari orangtua yang menguatkan kemauan Sri Rahayu untuk segera bercerai dengan

suaminya. Sampai saat ini Sri Rahayu masih trauma untuk menikah lagi. Sri Rahayu

fokus untuk mendidik anaknya agar menjadi anak yang bertanggung jawab dan

sekolah hingga perguruan tinggi agar mengubah nasib keluarga.

10) Kasiati (49 Tahun)

113
Kasiati merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari keluarga sederhana

yang tinggal di Dusun Cemoro Lawang. Keluarga Kasiati adalah keluarga yang

agamis sebagai pengamal agama Hindu dan adat Suku Tengger. Orangtua Kasiati

selalu mengajarkan untuk selalu berdoa atau sembayang ke pura untuk meminta

kemudahan dalam kehidupan. Orangtua Kasiati menginginkan anak yang kelak akan

menjadi orang yang mengerti tentang agama dan adat dari nenek moyang terdahulu.

Keadaan rumah Kasiati cukup sederhana, beralaskan tekel (cor semen)

perpaduan dengan keramik ubin. Namun pada dapur masih menggunakan lantai

tanah biasa serta pada bagian dapur bangunannya semi permanen. Pekerjaan kedua

orangtua Kasiati sebagai petani sayur dengan luas sawah kurang dari setengah

hektar. Orangtua Kasiati dapat mendidik anak-anaknya hingga bangku Sekolah

Menengah Pertama. Dapat mengenyam pendidikan saja bagi Kasiati adalah rasa

syukur yang luar biasa, karena pada saat itu jarang sekali yang mau sekolah.

Masyarakat menganggap kalau pendidikan itu tidak penting jadi mending bekerja

atau menikah saja.

Masa muda Kasiati dilewati dengan banyak belajar tentang agama dan adat,

hal ini karena orangtua Kasiati selalu mendorong untuk terus belajar agar adat Suku

Tengger dapat terus eksis di masa depan. Banyak hal yang Kasiati pelajari, tentang

bagaimana memegang konsep Tri Hita Karana agar dapat hidup selaras dengan

lingkungan sehingga hidup dapat harmonis, menyatu dengan kekuasaan Tuhan.

Kasiati juga belajar mengenai konsep Catur Guru dengan tujuan agar mencapai

puncak kesejahteraan dan kelanggengan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat

dan berkeluarga. Kasiati memang tidak banyak mengenyam ilmu pendidikan di

sekolah, namun Kasiati cukup mengetahui tentang adat dan agama.

114
Kasiati menjelaskan mengenai pemahamannya tentang pernikahan di Suku

Tengger. Pernikahan bukan hal yang biasa-biasa aja, namun suatu perbuatan yang

sakral dan penting sejarahnya dalam kehidupan setiap Suku Tengger. Pernikahan

memerlukan banyak pertimbangan, khususnya dari orangtua (Guru Rupaka) karena

restu orangtua adalah restu Tuhan yang diwakilkan. Jika orangtua Kasiati sudah

merestui hubungan saling cinta, maka pernikahan bisa dilanjutkan ke jenjang yang

lebih serius. Sebelum pernikahan menurut Kasiati, ada beberapa hal yang perlu

dipersiapkan, tidak hanya tentang materi uang, tetapi lebih kepada tahap-tahap adat

yang harus dilakukan.

Tahapan-tahapan adat yang sudah ada itu memang harus dilakukan, tanpa

terkecuali, karena itu sudah diturunkan dari nenek moyang atau leluhur terdahulu.

Sebelum menikah Kasiati harus melakukan diskusi terkait dengan silsilah keturunan,

pernikahan akan batal jika masih ada garis keturunan sampai ke turun pitu

(keturunan ketujuh). Setelah itu meminta hari baik ke pak tinggi dan dukun adat

sesuai kalender Tengger, baru bisa menikah dengan pasangan Kasiati.

Kasiati menikah pada umur 14 tahun dan suami Kasiati berumur 18 tahun,

saat itu pernikahan belum dibatasi oleh peraturan desa seperti saat ini. Peraturan desa

saat ini mewajibkan masyarakat Ngadisari jika ingin menikah harus lulus SMA

terlebih dahulu. Pernikahan dini menurut Kasiati disebabkan karena Kasiati tidak

mengetahui dampak yang ditimbulkan, pertimbangan menikah hanya karena

kemauan pribadi dan masukan dari orangtua. Belum ada pertimbangan aturan desa

yang seperti saat ini. Kalau saat ini semua sudah ditata sedemikian rupa sehingga

masyarakat sadar dan akhirnya mengetahui dampak pernikahan dini.

115
C. Pola Pernikahan Dini di Desa Ngadisari di Masa Lalu

Berdasarkan data konteks sosial yang sudah dipaparkan di atas, terdapat suatu

kecenderungan masyarakat Desa Ngadisari dalam hal pernikahan usia muda di masa

lalu. Kecenderungan ini membentuk pola yang khas karena didasarkan pada pilihan-

pilihan tertentu dalam pengambilan keputusan setiap subjek pernikahan dini di masa

lampau. Keadaan yang dihadapi oleh subjek berbeda-beda sehingga pemahaman

yang berdasarkan pengalaman subjek terhadap pernikahan dini juga berbeda.

Pola kecenderungan pengambilan keputusan menikah diusia muda di masa

lalu pada masyarakat Desa Ngadisari sebagai berikut; (1) adanya anggapan bahwa

sekolah atau pendidikan sesuatu yang tidak penting dalam kehidupan subjek,

anggapan ini melatarbelakangi subjek seperti Kasiati, Biarto dan Satuman yang lebih

memilih bekerja setelah lulus sekolah dan kemudian segera menikah, (2) dorongan

dari orangtua agar segera menikah, (3) keadaan ekonomi sebagai motif untuk segera

menikah di usia muda, dan (4) saling cinta dengan pasangan.

Perilaku subjektif yang melatarbelakangi tindakan pemilihan menikah diusia

muda sependapat dengan teori Lawrence Green. Teori ini menjelaskan dalam

tindakan perilaku subjek sesuai dengan faktor predisposisi (predisposing factor)

yakni sikap dan pengetahuan, kepercayaan yang dianut, tingkat pendidikan

masyarakat dan tingkat ekonomi. Pengetahuan subjek mengenai Catur Guru dalam

mencegah pernikahan dini saat ini, dilatarbelakangi oleh kejadian dimasa lalu.

Kejadian dimasa lalu seperti, terjadi wabah penyakit akibat tidak melalukan

upacara bersih desa. Selain itu juga adanya kesadaran masyarakat terhadap keadaan

desanya, misalkan rendahnya tingkat pendikan dan rendahnya pengetahuan

masyarakat tentang dampak pernikahan dini menjadi motif sebab (because motif).

116
Hal inilah yang membuat subjek berkeinginan memperbaik keadaan tingkat

pendidikan masyarakat dan pengetahuan masyarakat tentang dampak pernikahan

dini. Adanya perbaikan ini diharapkan SDM Desa Ngadisari lebih baik dimasa

depan, lebih siap menghadapi globalisasi dan perkembangan industri pariwisata (in

order to motif) seperti yang diungkapkan subjek Sugiarti.

117
BAB IV
PEMBAHASAN

Studi mengenai makna Catur Guru pada masyarakat Suku Tengger ini

menggunakan penjabaran fenomenologi perspektif Alfred Schutz. Schutz berasumsi

setiap subjek mempunyai pengalaman yang membentuk pemahaman dalam

kehidupan, sehingga tindakan dan pengambilan keputusan didasarkan pada

kesadaran untuk menjadi tujuan hidupnya. Tindakan seseorang berdasarkan pada

motif tujuan (in order to motif) dan motif sebab (because motif), hal ini dijadikan

dasar seseorang melakukan sesuatu yang bertujuan mencapai hasil dengan tetap

mengacu pada pengalaman yang dimiliki di masa lalu (Schutz, 1972).

Sejalan dengan teori yang dari Alfred Schutz maka pembahasan mengenai

konsep Catur Guru berdasarkan motif tujuan (in order to motif) dan motif sebab

(because motif). Subjek dalam kehidupannya mempertimbangkan kejadian di masa

lalu untuk bertindak dikehidupan saat ini. Subjek Sugiarti memiliki pemahaman yang

bersumber dari pengalaman dimasa lalu dalam hal kepercayaannya terhadap Catur

Guru. Misalkan saja adanya kepercayaan bahwa hamil di luar nikah sebagai tindakan

mengotori desa yang akan mendatangkan malapetaka berupa wabah penyakit. Hal ini

menjadi kepercayaan subjek hingga saat ini sehingga tidak berani melanggar

kepercayaaan tersebut. Untuk penjabaran lebih luasnya akan disajikan dalam sub bab

berikutnya.

Pemaknaan konsep Catur Guru pada Suku Tengger Ngadisari dapat

diinterpretasikan ke dalam 4 pemahaman yakni, (1) Konsep Catur Guru sebagai

kunci utama dalam pencegahan pernikahan diusia muda, (2) konsep Catur Guru

118
sebagai penundaan usia pernikahan sebagai investasi pembangunan Sumber Daya

Manusia (SDM).

A. Konsep Catur Guru Sebagai Upaya Pencegahan Pernikahan Usia Muda


Berdasarkan Keputusan subjek
Sub bab ini membahas mengenai makna Catur Guru bagi masyarakat Suku

Tengger dengan menggunakan dasar teori dari Alfred Schutz. Kajiannya

mengemukakan dunia subjektifitas yang dibangun dalam kehidupan di dunia dan

memaknai tidakan subjek yang bergantung kepada konstruksi dalam diri secara

subjektif.

1. Makna Catur Guru Sebagai Upaya Pencegahan Pernikahan Usia Muda

Hasil temuan lapangan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa konsep

Catur Guru dimaknai oleh subjek sebagai upaya mencegah pernikahan diusia muda

yang terjadi di masyarakat Desa Ngadisari. Berdasarkan pendapat dari Schutz

tindakan subjek dalam menerapkan Catur Guru mutlak bersumber dari kesadaran

subjektif, bukan berdasarkan dari paksaan orang lain. Tindakan subjektif ini mungkin

bagi Suku Tengger di luar lokasi penelitian sebagai tindakan yang kurang realistis

untuk keadaan zaman saat ini.

Hasil temuan pada subjek Sri Andayani, Sri Sugiarti dan Sri Wahayu

membutikan bahwa konsep Catur Guru adalah tindakan yang dimaknai sebagai

upaya pencegahan pernikahan diusia muda. Pemahaman tentang hal ini, tidak

terlepas dari konteks sosial yang melatarbelakangi misalnya, jumlah kasus

pernikahan dini di masa lalu, banyaknya kasus hamil di luar pernikahan,

permasalahan anak Suku Tengger Ngadisari yang putus sekolah akibat menikah

terlalu muda dan kondisi sosial ekonomi rumah tangga Suku Tengger.

119
Permasalahan pernikahan diusia muda di Ngadisari dapat dilihat secara

makro dan mikro. Secara makro permasalahan pernikahan dini tidak terlepas dari

kesadaran masyarakat tentang pendidikan yang rendah, subjek seperti Kasiati,

Sugiyono, Satuman, Mersaid dan Lestari yang lebih memilih menikah dari pada

pendidikan. Orang tua Subjek yang mayoritas bekerja sebagai petani sayur dengan

pendidikan yang rendah, juga lebih mengarahkan anak-anaknya bekerja disawah dari

pada pergi ke sekolah. Hal ini juga tidak dapat dikesampingkan karena pertanian

sebagai sumber utama penghidupan.

Minimnya kesadaran tentang pendidikan, menyebabkan banyaknya anak

yang putus sekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Keadaan seperti ini menjadi

salah satu motif sebab (because motif) terjadinya pernikahan di usia muda yang salah

satunya menyebabkan kemiskinan. Indikator kemiskinan, ditandai dengan tingkat

buta huruf yang disebabkan minimimnya angka partisipasi usia sekolah, banyaknya

pekerja disektor informal dan penduduk perempuan memiliki posisi yang lebih tidak

menguntungkan dari pada penduduk laki-laki (International Labor Organization;

2013). Subjek yang rata-rata hanya mengenyam jenjang SD hingga SMP mewakili

gambaran tingkat pendikan di desa Ngadisari. secara umum masyarakat Desa

Ngadisari hanya menamatkan jenjang Sekolah Dasar (SD) yakni 799 orang atau 53,5

persen dari total semua penduduk Desa Ngadisari. Jenjang pendidikan yang

ditamatkan ini dapat menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap

pendidikan masih rendah.

Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan

sebagai upaya mencegah pernikahan diusia muda. Subjek Sri Rahayu

mengungkapkan melalui Supoyo, desa membangkitkan kembali konsep Catur Guru

120
sebagai landasan hidup Suku Tengger. Konsep Catur Guru merupakan konsep yang

sudah diajarkan secara turun temurun oleh para leluhur, masyarakat harus

menghormati empat guru dalam kehidupan. Empat guru yang dimaksud yakni, Guru

Swadyaya (Tuhan), Guru Wisesa (Pemerintah), Guru Rupaka (Orangtua) dan Guru

Pengajian (Guru di sekolah).

Pemahaman subjek terhadap konsep Catur Guru tidak terlepas dari kesadaran

subjektivitas. Sebagai upaya mencegah pernikahan diusia muda subjek

mempertimbangkan kualitas SDM desa di masa depan, mengindari malapetaka atau

wabah penyakit, memperbaiki tingkat pendidikan, dan mempertahankan adat istiadat

Suku Tengger. Kualitas penduduk menurut undang-undang nomor 10 tahun 1992

yakni kondisi penduduk dapat dalam aspek fisik dan non fisik serta ketaqwaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Aspek fisik subjek menggambarkan bagaimana tingkat kesejahteraan kualitas

hidup. Subjek seperti Kasiati, Sri Rahayu, Satuman dan Biarto mengungkapkan

keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan untuk menentukan bagaimana subjek

mengambil keputusan. Sunjek yang disebutkan di atas lebih berfikir instan untuk

segera melakukan pernikahan setelah selesai sekolah. Keputusan-keputusan tersebut

yang tidak dilatarbelakngi oleh pertimbangan yang kuat secara langsung akan

berdampak terhadap tingkat kesehatan calon ibu dan bayi dari subjek, selain itu

subjek juga tidak mempertimbangkan masa reproduksi yang semakin panjang.

Kualitas non fisik subjek dapat ditentukan oleh aspek sosial, spritual, dan

mental dari subjek. Secara makro nilai-nilai dari adat Suku Tengger sangat

memperngaruhi kualitas non fisik seperti, tingkat kepercayaan, tingkat religius dan

hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Secara mikro kepercayaan subjek

121
terhadap Catur Guru sebagai pegangan dalam penentuan keputusan dikehidupan

sehari-hari. Catur Guru menjadi pertimbangan dalam hal pernikahan. Subjek tidak

dapat meninggalkan Catur Guru karena subjek beranggapan Catur Guru menuntun

subjek kepada kehidupan yang harmonis dimasa depan.

Makna Catur Guru bagi subjek sebagai upaya mencegah pernikahan diusia

muda untuk memperbaiki SDM diaspek fisik dan non fisik. Pemahaman itu dipahami

oleh Sri Sugiarti bahwa pernikahan diusia muda hanya akan memperburuk kualitas

SDM Desa Ngadisari di tengah perkembangan industri pariwisata Gunung Bromo.

Selain itu pernikahan diusia muda melanggar aturan Guru Wisesa atau pemerintah,

karena harus menikah setelah lulus SMA serta melanggar undang-undang tentang

syarat pernikahan tahun 1974 nomer 1.

Pemahaman Catur Guru sebagai upaya pencegahan pernikahan diusia muda

juga dikemukan oleh subjek Sri Wahayu (kepala desa) sebagai Guru Wisesa. Adanya

kemudahan menjalankan program-program desa terkait pencegaha pernikahan diusia

muda. Hal ini disebabkan subjek mempercayai jika program desa dibuat untuk

kesejahteraan sebjek yang lebih baik.

Adanya kepercayaan (Trust) dari subjek sebagai bentuk dukungan terhadap

perbaikan ke arah yang lebih baik merupakan modal besar dalam pembangunan.

Trust merupakan aspek hubungan yang secara terus menerus berubah (dinamis) dan

trust merupakan dasar dalam membangun dan mempertahankan hubungan

intrapersonal (Johnson, 2009). Pondasi trust meliputi saling menghargai satu dengan

lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Trush akan akan

membentuk sistem sosial yang kuat sebagai pondasi dasar pembangunan SDM dan

desa.

122
Bermodalkan kepercayaan subjek pemerintahan desa (Guru Wisesa)

mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) wajib lulus jenjang SMA jika ingin menikah.

Tujuan dikeluarkannya aturan ini sebagai pencegahan pernikahan diusia muda dan

memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pengaruh pernikahan usia

muda. Pemahaman subjek yang melatarbelakangi peraturan ini keluar yakni untuk

meningkatkan angka partisipasi anak usia sekolah. Pemahaman subjek terhadap

Guru Wisesa tersebut akhirnya membentuk rasa hormat dan menghargai kebijakan

yang dikeluarkan. Cara pengormatan dan mengarhaginya dengan ikut berpartisipasi

aktif baik dalam program-program yang sudah dikeluarkan.

Pencegahan pernikahan diusia muda melalui Catur Guru juga melibatkan

unsur terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga (orangtua). Orangtua sebagai Catur

Rupaka dimaknai oleh subjek sebagai, (1) orang pertama yang melakukan edukasi

seksual kepada anak, (2) sebagai pengarah masa depan anak, dan (3) orang yang

menanamkan prinsip menjaga nama baik keluarga atau mendem jero mikul duwur.

Pemahaman subjek terhadap Catur Rupaka dalam hal pernikahan menanamkan hal

tersebut agar anak-anaknya dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab,

bermoral, sopan dan dan santun dalam kehidupannya.

Prinsip mendem jero mikur duwur sebenarnya mempunyai tujuan

pengendalian sosial (social control) yang efektif kepada subjek. Prinsip tersebut

sebagai aplikasi dari komponen teori kontrol sosial dari Reiss. Prinsip mendem jero

mikul duwur sebagai kontrol internal dan sebagai norma yang ditanamkan subjek

terhadap anaknya agar tidak berprilaku menyimpang dari kebiasaan Suku Tengger.

Sejalan dengan hal itu Veeger dalam Setiadi (2010) pengendalian sosial adalah

123
proses sosialisasi dan berhubungan dengan metode yang digunakan untuk

mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kelompok atau masyarakat.

Peran orangtua sebagai Guru Rupaka dalam membatasi perilaku anak untuk

tidak melakukan pernikahan diusia muda sebagai bentuk kontrol sosial. Attachement,

commitment, dan involvement orang tua terhadap anak dalam menamkan

kepercayaan tentang adat. Adanya trush bahwa pernikahan dini terlebih hamil di luar

nikah dimaknai sebagai hal yang tercela karena menjelekkan nama baik keluarga.

Peran selanjutnya dari orangtua anak-anak Suku Tengger terhadap pencegahan

pernikahan dini yakni memberikan pendidikan seks sedini mungkin sesuai dengan

perkembangannya. Dalam penelitian Sweeney (2007) pendidikan seks adalah

kewajiban yang harus kita berikan pada anak dan remaja, tanpa kecuali.

Pendidikan seks bagi anak Suku Tengger dimaknai sebagai cara preventif

orangtua untuk memberikan kontrol sosial kepada anak. Tidak hanya mengenalkan

fungsi organ reproduksi, namun lebih dari itu orangtua menanamkan nilai-nilai

agama dan adat agar tidak terjadi penyalahgunaan di masa depan. Menurut Rice &

Dolgin (2008), orangtua adalah sumber penting dalam memberikan pemahaman

tentang nilai, sikap, dan perilaku remaja. Komunikasi subjek tentang seksualitas

antara orangtua dan anak dapat membantu dalam membentuk nilai-nilai seksualitas

yang sehat dan bertanggung jawab (Lehr, dkk dalam Kelly, 2008). Begitu pentingnya

pendidikan seksual bagi anak disadari dan dipahami oleh subjek penelitian,

penerapan fungsi Guru Rupaka sangat penting untuk kesuksesan mengatasi

pernikahan dini di Desa Ngadisari.

Fungsi orangtua memberikan masukan, arahan, pendidikan dan ikut

merencanakan masa depan anak. Orangtua Kasiati, Satuman, Biarto, Mersaid, Lestari

124
dan Sri Rahayu dapat dikatakan tidak menjalankan fungsi sebagai orangtua dengan

baik. Kurangnya pengetahuan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan

dini, orangtua subjek-subjek yang disebutkan di atas justru mendorong anak-anaknya

untuk segera melakukan pernikahan dengan motif ekonomi, pendidikan dan saling

cinta. Orangtua sebagai Guru Rupaka, harus menjalankan peran sebagai pengawas,

teman, panutan dan pendorong untuk anak-anak agar sukses di kemudian hari.

Fungsi inilah yang saat ini dihidupkan kembali oleh Supoyo dan perangkat desa

lainnya demi mengatasi pernikahan dini yang terjadi.

Orangtua sebagai Guru Rupaka mempunyai peran penting di rumah dan

lingkungannya, sedangkan saat di sekolah guru (Guru Pengajian) mempunyai peran

yang vital bagi perkembangan anak Suku Tengger Ngadisari. Berkembang pesatnya

ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi menjadikan peran guru sangat strategis

bagi masyarakat Ngadisari untuk masa depan dan mampu mengembangkan potensi

dalam diri anak-anak Ngadisari dan potensi desa. Sejalan dengan Undang-undang

guru dan dosen nomor 14 tahun 2005, guru dituntut memiliki kepribadian,

pedagogik, profesional dan kompetensi sosial. Kepribadian dan profesionalan guru

dapat terlihat dari cara berperilaku, bertindak terpuji dan dapat menanamkan nilai

sikap, moral, mental, prinsip-prinsip hidup yang bersumber dari agama dan adat

Suku Tengger.

Guru Pengajian selain mempunyai peran pendidik juga harus mempunyai

kompetensi sosial dalam melayani kebutuhan anak-anaknya di sekolah. Kompetensi

sosial adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif

dengan lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah (Wibowo, 2012).

Sebagai Guru Pengajian yang dijadikan tokoh panutan dan dimuliakan masyarakat

125
Suku Tengger sebagai pemutus rantai kebodohan dan ketidaktahuan. Masyarakat

Suku Tengger Ngadisari beranggapan bahwa guru merupakan teladan bagi anak-anak

Suku Tengger yang menanamkan nilai-nilai agama, adat dan ilmu pengetahuan harus

dihormati dan dipatuhi nasihatnya. Makna Guru Pengajian bagi Kasiati, seorang

guru itu digugu lan ditiru (menjadi panutan dan percontohan) maksudnya perkataan

seorang guru dipercayai sebagai pesan-pesan yang dapat dipercayai dan

diaplikasikan dalam kehidupan.

Peran Guru Pengajian sangat penting dalam upaya mencegah pernikahan dini

di Desa Ngadisari. Guru Pengajian melalu kompetensi sosial yang dimiliki selalu

melakukan koordinasi dengan pemerintah desa, dengan tujuan ikut berpartisipasi

menyukseskan program desa. Setiap satu tahun sekali guru yang mengajar di Desa

Ngadisari selalu diajak berkoordinasi dengan pemerintah desa terkait dengan

program desa. Selain itu komunikasi Guru Pengajian (guru) dengan Guru Rupaka

(orangtua) selalu dilakukan dua arah agar perkembangan anak dapat berkelanjutan

sesuai dengan potensi yang dimiliki. Membuka wawasan anak tentang dampak

pernikahan, baik dampak sosial maupun fisik serta kesehatan.

Guru Pengajian dalam mengajarkan menyisipkan nilai-nilai adat, misalnya

nilai-nilai, tata cara, syarat dalam pernikahan yang berlaku di Suku Tengger. Hal ini

bertujuan agar anak-anak Suku Tengger Ngadisari sebagai penerus pembangunan

tidak melupakan dan terus memegang ajaran dan adat yang diestafet dari para

leluhur. Upaya terus-menerus membuka pengetahuan anak-anak Suku Tengger oleh

Guru Pengajian di sekolah, diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan

menekan angka pernikahan diusia muda yang terjadi.

126
Upaya-upaya yang dilakukan semua pihak dengan menggunakan konsep

Catur Guru dalam mencegah pernikahan usia muda di Desa Ngadisari terbilang

sukses. Hingga saat penelitian dilakukan, kasus pernikahan dini menurun signifikan

dari tahun sebelumnya. Upaya-upaya ini diapresiasi oleh Kementrian Dalam Negeri

dengan memberikan penghargaan juara pertama tingkat nasional dalam lomba desa

dan kelurahan pelaksaan gotong royong dalam pemberdayaan masyarakat pada tahun

2013. Mencegah pernikahan dini dengan konsep Catur Guru yang dilaksanakan

dengan partisipasi semua pihak yang terkait sebagai solusi cerdas, dari kearifan lokal

untuk sumber daya manusia yang handal, kualitas dan bersaing.

2. Makna Catur Guru Sebagai Penundaan Usia Pernikahan dan Investasi


Pembangunan Sumber Daya Manusia
Catur Guru yang dimaknai sebagai penundaan usia pernikahan, yakni sebagai

cara mendewasakan usia pernikahan masyarakat Suku Tengger Ngadisari ketika

ingin melakukan pernikahan. Berdasarkan teori Schutz tindakan pendewasaan usia

pernikahan yang dilakukan secara sadar berdasarkan pemahaman masyarakat

memiliki tujuan di masa depan, bukan berdasarkan paksaan dari pihak luar desa atau

siapapun. Tindakan pemaknaan Catur Guru sebagai penundaan usia pernikahan

dapat memberikan gambaran bahwa selama ini marak terjadi pernikahan dini di

Ngadisari akibat dari rendahnya kesadaran masyarakat akan pendidikan sehingga

menurunkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Temuan data pada subjek Sri Wahayu, Sri Andayati, Sri Sugiarti dan

Sugiyono membuktikan bahwa konsep Catur Guru sebagai cara untuk menunda usia

pernikahan. Pemahaman subjek terhadap hal ini sebenarnya mempunyai tujuan yang

jelas di masa depan, berawal dari keprihatinan terhadap generasi penerus desa yang

127
konteks sosialnya berpendidikan rendah dan banyak melakukan pernikahan di usia

muda. Subjek penelitian memahami Catur Guru, tidak terlepas dari konteks sosial

yang dialami, seperti tingkat pendidikan rendah, keadaan ekonomi dan dorongan dari

keluarga subjek penelitian.

Penundaan usia pernikahan tidak hanya penting bagi kedua calon pengantin

tetapi, juga untuk pengendalian kuantitas dan kualitas penduduk di masa depan.

Undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan

pembangunan keluarga telah berpesan akan pentingnya pengendalian kuantitas,

peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi

sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional. Untuk

mencapai itu semua BKKBN mengeluarkan program penundaan usia pernikahan

dengan tujuan calon suami istri nantinya dapat berhasil dan benar-benar siap

memasuki jenjang penikahan dan rumah tangga.

Cita-cita subjek Sri Sugiarti dan Sri Wahayu untuk memperbaiki SDM

dengan tujuan mempersiapkan masa depan desa yang lebih baik mulai terwujud.

Setelah keluarnya peraturan desa wajib belajar 12 tahun sebelum menikah atau harus

lulus SMA sebelum menikah yang diprakarsai oleh Supoyo selaku kepala desa (Guru

Wisesa) memberikan perubahan bagi keadaan pendidikan masyarakat desa. Subjek

banyak bersyukur dan bangga serta senang dengan partisipasi masyarakat yang

begitu antusias. Tingginya partisipasi masyarakat juga dikarenakan pemerintah

sebagai salah satu Catur Guru harus dihormati dan dipatuhi keberadaannya.

Peraturan wajib lulus SMA yang dikeluarkan oleh Supoyo untuk masyarakat

Desa menurut subjek Sri Sugiarti dapat memperbaiki keadaan Demografi desa

Ngadisari. Usia pernikahan selalu dibahas dalam demografi karena mempunyai

128
pengaruh terhadap tingkat fertilitas (Davis & Blake, 1974). Peningkatan umur kawin

pertama yang kedepannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR) serta

kaitannya dengan kualitas kesehatan, keadaan sosial ekonomi dan kualitas hidup.

Semakin muda masyarakat desa melakukan pernikahan pertama maka semakin besar

mempunyai anak banyak, begitu sebaliknya jika usia kawin pertama tinggi maka

memperpendek waktu reproduksi.

Upaya menunda dan meningkatkan umur perkawian penting bagi masyarakat

Desa Ngadisari. Pertumbuhan penduduk yang cepat akan sebanding lurus dengan

naiknya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal maupun tempat bekerja (pertanian)

bagi masyarakat Ngadisari. Hal ini akan bersinggungan dengan keberadaan TNBTS

di mana akses lahan dibatasi sesuai dengan zonasi yang sudah ditetapkan. Subjek

Sugiyono memaknai budaya pernikahan Suku Tengger sangat sakral karena

mempunyai prosedur yang harus dilakukan dan melibatkan banyak pihak termasuk

para leluhur desa.

Prosedur pernikahan sesuai budaya Suku Tengger Ngadisari mengandung

upaya-upaya pendewasaan usia pernikahan sebagai berikut; (1) mengitung dan

mendeteksi apakah masih satu keturunan atau tidak, jika masih satu keturunan maka

pernikahan tidak dapat dilakukan atau harus dibatalkan. Dibatalkannya pernikahan

maka ada rentang waktu untuk calon pengantin mencari pasangan yang lain yang

ingin dinikahi. (2) Mencari hari baik dengan melibatkan kepala desa (Guru Wisesa)

dan dukun adat yang berdasarkan pada kalender Tengger, dalam prosedur kedua ini

dimaknai oleh subjek Sri Wahayu, Sri Andayani, Sri Sugiarti dan Sugiyono sebagai

tiket antrean bagi masyarakat Ngadisari untuk melakukan pernikahan. Antrean saat

penelitian dilakukan sudah mencapai waktu rentang 2 tahun, hal berarti jika ada

129
masyarakat Ngadisari yang ingin menikah saat ini, baru bisa terlaksana dua tahun

lagi. Hal ini dikarenakan berdasarkan adat pernikahan Suku Tengger Ngadisari

dalam satu bulan hanya boleh dilakukan empat resepsi pernikahan. Di mana dalam

satu kali resepsi memakan waktu tiga hari yakni hari jumat, sabtu dan minggu.

Adanya aturan adat ini secara tidak langsung berupaya mendewasakan usia

pernikahan bagi calon pengantin. Jika dianalisis maka gambaran seperti berikut,

syarat menikah masyarakat Ngadisari harus lulus SMA atau berkisar umur 18 tahun,

dengan ditambah adanya antrean dua tahun seperti keadaan saat ini maka pernikahan

rata-rata dilakukan pada usia 20 tahun dengan catatan jika setelah lulus SMA

langsung mendaftar untuk menikah. Jika tidak maka rata-rata usia kawin pertama

akan naik dan mendekati usia ideal pernikahan.

Menurut BKKBN (2016) usia ideal menikah bagi perempuan minimal 21

tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Konsep Catur Guru yang

dimiliki oleh Suku Tengger Ngadisari sangat membantu dalam merealisasikan

penundaan usia pernikahan.

Subjek Sugiono, Sri Sugiarti dan Sri Andayani mengatakan bahwa aturan

adat pernikahan tidak boleh dilanggar dan harus dijalankan bagi semua elemen

masyarakat. Jika ada masyarakat yang hamil di luar nikah maka dianggap sudah

mengotori desa, maka harus melakukan upacara bersih desa di rumah pihak

perempuan. Subjek percaya jika tidak segera melakukan bersih desa maka akan

terjadi malapetaka yang diberikan oleh pedayangan atau para leluhur berupa wabah

penyakit. Upacara bersih desa dipimpin oleh dukun adat, hal ini sebagai bentuk

permintaan maaf kepada Sang Hyang Widhi, Pedayangan dan para leluhur karena

sudah mengotori desa.

130
Subjek Sri Sugiarti pernah mengalami terkena wabah penyakit ini, berupa

pilek dan batuk selama satu minggu hal ini disebabkan karena ada tetangganya yang

hamil di luar nikah yang tidak diketahui oleh masyarakat namun sudah diketahui

oleh Pedanyangan desa. Setelah ketahuan maka segera melakukan upacara bersih

desa, wabah penyakitpun ikut hilang. Dari kejadian demi kejadian ini yang

membentuk trush yang kuat di masyarakat Desa Ngadisari. Aturan adat yang ada

sebagai kontrol sosial agar masyarakat tidak melakukan perbuatan tercela yang

merusak masa depan desa. Hamil di luar nikah akan menjadi masalah besar di masa

depan karena akan mempengaruhi tingkat kesehatan ibu, anak dan kondisi sosial

ekonomi.

Setiap masyarakat Suku Tengger terikat oleh norma, nilai dan tradisi adat

secara fitrah yang diturunkan dari para leluhur dengan tujuan untuk kehidupan

kebersamaan dalam mewujudkan keharmonian, rukun, tentram dan sejahtera.

Membangun SDM desa yang selaras dengan kearifan lokal yang sudah melekat

sehingga menjadi sumber energi yang potensial dari sistem pengetahuan masyarakat

yang bersifat kolektif. Pada akhirnya kearifan lokal seperti konsep Catur Guru akan

menjadi strategi masyarakat dalam menjawab berbagai masalah demografi,

khususnya terkait dengan pernikahan untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas

dan berkarakter lokal.

B. Proposisi Hasil Penelitian

Studi tentang makna konsep Catur Guru bagi Suku Tengger Desa Ngadisari

ini diselesaikan dengan menjabarkan teori fenomenologi Alfred Schutz yang tidak

akan terlepas dari because motives dan in order to motive. Hasil kajian makna subjek

131
memberikan arti yang berlatarbelakang pada masa lalu subjek. Merujuk dari data

temuan di lapangan, maka proposisi hasil penelitian sebagai berikut;

Pertama, konsep Catur Guru dibangun berdasarkan pada keputusan subjektif.

Pemaknaan Konsep Catur Guru bagi subjek Suku Tengger Ngadisari mutlak

berdasarkan pemahaman dan pengalaman di masa lalu. Subjek mengkonstruksi

makna dan konsep berdasarkan pada pemikiran-pemikiran, rasa kekhawatiran di

masa lalu yang akan terulang kembali di masa depan. Rasa khawatir berupa

terjadinya malapataka berupa wabah penyakit dan kualat dengan Catur Guru sebagai

motif sebab (because motif). Semua motif sebab tersebut membuat subjek memilik

motif tujuan (in order to motif).

Adapun motif tujuan (in order to motif) subjek dalam memaknai Catur Guru

sebagai berikut; (1) Catur Guru dimaknai sebagai pencegahan pernikahan diusia

muda melalui Guru Wisesa, (2) Catur Guru dimaknai sebagai pendidikan seksual

sejak dini melalui Guru Rupaka, (3) Catpur Guru dimaknai sebagai pemutus rantai

kebodohan anak-anak Suku Tengger melalui Guru Pengajian. Realitas sosial dalam

kehidupan sosial subjek telah ada dan diciptakan oleh struktur kultur Suku Tengger

dari para leluhur. Pemaknaan yang terlihat dalam penelitian ini dunia kehidupan

subjek dipengaruhi oleh aspek kolektif (Suku Tengger) dan aspek pribadi.

Kedua, Konsep Catur Guru dalam upaya mencegah pernikahan diusia muda

ditentukan pada konteks sosial subjek untuk masa depan yang lebih baik. Pemaknaan

subjek pada terdapat konsep Catur Guru untuk mencegah pernikahan usia muda

memberikan arti bagi subjek. Tindakan yang dilakukan subjek secara sosial tidak

hanya dipandang bermakna untuk subjek tetapi juga secara objektif oleh Suku

Tengger (komunitas). Makna yang dilahirkan subjek tidak hanya karena pribadi

132
subjek, namun didukung juga dengan pengalaman orang lain sehingga menjadi

kumpulan pengalaman yang diakumuasi menjadi pemahaman subjek. Hal ini yang

melahirkan objektivitas dari realitas Suku Tengger terhadap kasus pernikahan diusia

muda dimasa lalu.

133
BAB V
PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa makna konsep Catur Guru bagi

masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari yakni sebagai berikut;

A. Kesimpulan

1. Makna Catur Guru Sebagai Upaya Pencegahan Pernikahan Dini

Memegang dan mempercayai konsep Catur Guru merupakan kesadaran dari

subjek, bukan paksaan dari orang lain.

a. Makna Guru Swadyaya (Tuhan) bagi individu sebagai berikut; (1)

melindungi dan menuntun Suku Tengger melalui ajarannya, (2)

mengantarkan Suku Tengger pada kehidupan yang harmonis, seimbang dan

sempurna, serta (3) memberi malapetaka berupa penyakit jika melanggar

aturan atau hamil di luar nikah.

b. Makna Guru Wisesa (pemerintah) bagi subjek dalam upaya mencegah

pernikahan dini sebagai berikut; (1) mengeluarkan peraturan wajib lulus

SMA sebelum menikah, (2) membuat peraturan denda berupa materil

terhadap pelaku hamil di luar nikah, (3) tidak mengeluarkan rekomendasi

menikah jika belum lulus SMA, (4) melakukan sosialisasi dampak

pernikahan dini kepada masyarakat secara terus menerus melalui jajaran

pemerintahan desa, (5) melakukan koordinasi dengan Guru Pengajian (guru

di sekolah) setiap satu tahun sekali untuk menyelesaikan program pendidikan

dengan program desa, dan (6) menjalankan program KPR (Kesehatan Remaja

Putri).

134
c. Makna Guru Rupaka (orangtua) dalam upaya mencegah pernikahan usia

muda sebagai berikut; (1) memberikan pendidikan seksual sejak dini, (2)

menanamkan nilai adat dan agama, (3) memberi pengetahuan tentang

peraturan desa terkait dengan pernikahan,(4) melaksanakan tugas sebagai

Catur Guru, dan (5) melakukan pencegahan pernikahan dini.

d. Makna Guru Pengajian (Guru di sekolah) bagi subjek dalam upaya

mencegah pernikahan usia muda, sebagai berikut; (1) sebagai pemutus rantai

kebodohan anak-anak Suku Tengger dari ketidaktahuan, dan (2) sebagai

taladan atau panutan bagi anak-anak Suku Tengger.

2. Makna Catur Guru Sebagai Penundaan Usia Pernikahan Sebagai Investasi

Pembangunan Sumber Daya Manusia

Catur Guru dimaknai sebagai penundaan usia pernikahan, yakni sebagai cara

mendewasakan usia pernikahan masyarakat Suku Tengger Ngadisari ketika ingin

melakukan pernikahan. Guru Swadyaya, melalui ajaran agama dan adat mengatur

bagaimana penundaan usia pernikahan dengan ketatnya syarat melangsungkan

pernikahan, syarat berikut dimaknai sebagai penundaan usia pernikahan, (1) tidak

boleh melakukan pernikahan jika masih satu keturunan, hingga keturunan ketujuh,

(2) penentuan hari pernikahan menggunakan weton, (3) penentuan hari pernikahan

berdasarkan kalender Tengger, karena dalam satu bulan hanya boleh melakukan

empat resepsi. Hal ini menyebabkan adanya sistem antrean menikah yang waktu

tunggunya sampai dua tahun, dan (4) ada bulan yang tidak boleh dilakukan

pernikahan, bulan kepitu dan kesanga. Guru Wisesa dalam upaya penundaan usia

pernikahan dimaknai sebagai, (1) pihak yang mengatur berjalannya adat dan

pemerintahan yang sesuai dengan fungsi Catur Guru, (2) mengatur pembatasan usia

135
menikah, (3) mengeluarkan kebijakan yang mendukung peningkatan Sumber Daya

Manusia. Guru Rupaka sebagai pihak terdekat yang mencegah anak-anaknya

melakukan pernikahan dini dan mengedepankan pendidikan anak untuk masa depan

yang lebih baik

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, peneliti memberikan

saran-saran kepada pihak yang terkait. Bagi Desa lokasi penelitian yang telah

mendapatkan penghargaan beberapa kali dari pemerintah pusat, hendanya terus

melakukan pembenahan terhadap SDM dengan menekankan nilai-nilai adat dan

kearifan lokal yang sudah dimiliki, hal ini menjadi penting karena kearifan lokal

dapat diposisikan sebagai kunci dalam mengahadapi globalisasi dan westernisasi.

Selain itu, pihak pemerintahan desa sebaiknya juga ikut menyebarkan dan

mensosialisasikan Catur Guru sebagai kunci dalam mengatasi pernikahan dini

kepada Suku Tengger lainnya di wilayah yang berbeda. Selain itu perlu adanya

penelitian lain sebagai studi komparasi untuk membandingkan makna Catur Guru

dalam upaya mencegah pernikahan diusia muda untuk tercapainya Sumber Daya

Manusia yang berkualitas, unggul dan bersaing di masa depan.

136
DAFTAR RUJUKAN

Agus., Salim. 2008. Pengantar Sosiologi Mikro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ali, Muhammad., Asrori, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja Perkembangan


Peserta didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Alvesson, Mat., Kaj Skoldberg, 2000. Reflexive Methodology; New Vistas for
Qualitative Research. London: Sage Publications.

Anonim, 2016. Data Monografi Desa Ngadisari Tahun 2016. Probolinggo:


Pemerintahan Desa Ngadisari.

Arcana. 2014. Studi Tentang Asas dan Landasan Pendidikan Pasraman Di Zaman
Modern Dalam Kerangka Pendidikan Nasional. E-journal Stahn. 2 (3-4).

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (edisi revisi).


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Arsyad, S, Syahbuddin. 2016. Determinan Fertilitas di Indonesia. Pusat Penelitian


dan Pengembangan Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN). Jurnal Kependudukan Indonesia (Online).

Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. 2010. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber
Daya Air di Kampung Kuta. Jurnal Sosiologi Pedesaan.

Bachtiar. 2004. Menikahlah, Maka Engkau Akan Bahagia. Yogyakarta: Sujana

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2010, Kajian Pernikahan


Dini Pada Beberapa Provinsi Di Indonesia: Dampak Overpopulation, Akar
Masalah Dan Peran Kelembagaan Di Daerah. Jakarta: Direktorat Analisis
Dampak Kependudukan (Didamduk).

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2011. Profil Hasil


Pendataan Keluarga Tahun 2010. Jakarta: BKKBN Direktorat Pelaporan dan
Statistik.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2016. Pentingnya


Pendewasaan usia pernikahan. (Online). (http://jatim.bkkbn.go.id/artikel/).
diakses pada tanggal 25 Februari 2017.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo. 2016. Statistik Kecamatan Sukapura


2016. Probolinggo: BPS Kabupaten Probolinggo.

BBC Indonesia. 2016. Desa yang Menolak Pernikahan Dini dan Mengutamakan
Pendidikan. (Online).

137
(http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/09/160830_majalah_desa_nga
disari), diakses 20 Desember 2016.

Berger P.L dan Luckmann T. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Bogdan, Robert C., Steven J. Taylor, 1992, Introduction to Qualitative Research


Methotds : A Phenomenological Approach in the Social Sciences. Surabaya:
Usaha Nasional.

Bogue, Donald, J. 1969. Prinsiple of Demography. New York: John Wiley and Sons
Inc.

Brower, J.E., Jerrold H. Z., Car I.N. V.E., 1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher, USA, New York.

BTNBTS. 2013. Hakikat Wong Tengger, Kisah Pinggiran dan Dominasi. Jawa
Timur: Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus


Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Carter, S.L. 2001. Family and Consumer Sciences. Human Development Family
Science. Family Life Month Pocket. Ohio State University Extension.

Coleman, James J. 2013. Dasar-dasar Teori Sosial Foundation of Sosial Theory.


Bandung: Nusa Media.

Criswell, W, John. 2014. Penelitian Kualitatif & Desain Riset, Memilih Diantara
Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Davis, K., J. Blake. 1956. Sosial Structure and Fertility: An Analytical Framework.
Journal Economic Development and Cultural Change, 4 (2): 211-235.

Davis, K., J. Blake. 1974. Struktur Sosial dan Fertilitas: Suatu Kerangka Analitis.
Jakarta: Aquarista Offset.

Donny. 2005. Fenomenologi dan Hermeneutika: sebuah Perbandingan. Artikel


Ilmiah. Diterbitkan oleh Kalamenau.

Edgar, Andrew., Peter Sedgwick. 1999. Key Consept in Cultural Theory. London:
Routledge.

Endarswara, Suwardi. 2006. Metodelogi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

138
Fatchan, Ach. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, beserta contoh proposal Skripsi,
Tesis dan Desertasi. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.

Fatchan, Ach. 2013. Metode Penelitian Kualitatif, Pendekatan Kontruksi dan


Fenomenologi untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Malang: Universitas Negeri
Malang Press.

Hanggara,. dkk. 2010. Studi Kasus Pengaruh Budaya Terhadap Maraknya


Pernikahan Dini Di Desa Gejugjati Pasuruan. Laporan Penelitian. Malang:
Universitas Negeri Malang.

Hatmadji. 1981. Fertilitas: dasar-dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Demografi


Fakultas Ekonomi UI.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.


Jakarta: Salemba Humanika.

Husein, Umar. 2013. Metode Penelitian Untuk Skipsi dan Tesis. Jakarta: Rajawali.

Ihromi, T.O. 2016. Pokok-Pokok Antropologi Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.
International Labour Organization (ILO). 2013. Women and Men in the Informal
Economy: A Statistical Picture. Second Edition. Geneva.

Johnson, D., Grayson, K. 2005. Cognitive and affective trust in service relationships.
Journal of Business Research. Vol 58: 500-507.

Johnson, David W., Frank P. Johnson. 2009. Joining together: Group theory and
group skills. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.

Kamanto, Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Kartono, 2008. Pemimin dan Kepemimpinan. Jakarta: Grafindo Persada.

Kelly, G.F. 2008. Sexuality today. New York: Graw-Hill Higher Education.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.


Kotmanda, Yulia Desmi, 2008. Analisis Faktor Sosial Ekonomi terhadap Jumlah
Anak Lahir Hidup di Sumatera Barat. Diakses pada 07 Juni 2017;
http://repository.unand.ac.id/13049/1/IMG.pdf

Lawrence, Green. 1980. Health Education Plainning, A Diagnotic Approach.


California: Mayfield Publishing.

Liliweri, A. 2014. Sosiologi dan komunikasi organisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

139
Littlejohn, Stephen, W. 2002. Theoris of Human Communication. USA: Thomson
Learning Academic Resourse Center.

Marfai. 2012. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Gadjah
Mada Press.

Margaret M. Poloma, 2013. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Margaret M. Polomo, 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.

Mathur, M., Turbadkar, D. and Baradkar, V., 2008. Antimicrobial Susceptibility


Pattern in Urinary Bacterial Isolates. Bombay Hospital Journal, 50(2):240-
244.

Miles, B. Mathew., Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber
Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moeryadi, Denny. 2009. Pemikiran Fenomenologi menurut Edmund Husserl. Jurnal


Studi. 1(1) vol 1.

Moleong, Lexy, J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Novia, Fitri., Istiawati. 2016. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan


Lokal Adat Ammatoa dalam Menumbuhkan Karakter Konservasi. Jurnal
Cendekia, 10(1): 1-18.

Paulus. 2014. Masalah Globalisasi di Indonesia: Antara Kepentingan, Kebijakan, dan


Tantangan. Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 5, No. 1, hal 67-95.

Peraturan Pemerintah RI No. 87 Tahun 2014. Tentang Perkembangan


Kependudukan dan Perkembangan Keluarga, Keluarga Berencana dan
Sistem Informasi Keluarga. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Pos Kota News. 2016. Hasil Kurang Maksimal, BKKBN Rebranding Program
Genre, (Online), (http://poskotanews.com/2016/04/04/hasil-kurang-
maksimal-bkkbn-rebranding-program-genre/), di akses 15 Januari 2017.

Pujiastuti, S.P., 2003. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap
Pencegahan Penyakit Diare pada Anak Berusia di Bawah Umur Lima Tahun
di Desa Mojogedang Kecamatan Mojogedang Kabupaten Karanganyar Tahun
2003. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Semarang.
Rice, F.P., Dolgin. 2008. The Adolescencet. Developmen, Relationship, and Culture.
United State America: Person Education.

140
Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali Press.

Romauli, S. Vindari, A.M. 2009. Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Sardi, Beteq. 2016. Faktor-Faktor Pendorong Pernikahan Dini dan Dampaknya Di


Desa Mahak Baru Kecamatan Sungai Boh Kabupaten Malinau. E-journal
Sosiatri-Sosiologi 4(3): 194-207.

Schutz, Alfred. 1972. The Phenomenology of The Social World. London:


Heinemann.

Sulistyorini., Indarwati. 2012. Karakteristik Remaja Nikah Usia Muda di Desa


Brenggolo Jatiroto Wonogiri. Jurnal INFOKES. Vol 2 (1) :58-66.

Setiadi, Elly M., Usman Kolip. 2010. Pengantar Sosiologi. Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahan. Bandung:
Kencana Prenada Media Group.

Steubert, HJ., Carpenter, D.R. 2013. Qualitative Research in nursing: Advebcing the
Humanistic Imperative. Philadelphia: Lippincott.

Subagia, Wayan, I. 2006. Potensi-potensi Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam


Bidang Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri
Singaraja, (Online), 3 : 552-568. (www.pasca.undiksha.ac.id), diakses 30
Maret 2017.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung:


Alfabeta.

Sumarmi., Amirudin, A. 2014. Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal.


Malang: Aditya Media.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi, Universitas Indonesia.

Susenas. 2012. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Semester I 2013.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Sweeney, Jullian G., David A Webb. 2007. How Functional, Psychological, and
Social Relationship Benefits Influence Individual and Firm Commitment to
The Relationship. Journal of Business & Industrial Marketing, Vol. (22) 7:
474-488.

The International Center for Research on Women. 2013. Child Marriage Factsheets.
(Online), (http://www.icrw.org/publications/child-marriage-factsheets)
diakses pada tanggal 25 Agustus 2017.

141
Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia

Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974. Tentang Pernikahan. Jakarta: Sekretaris


Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1992. Tentang Perkembangan Penduduk dan


Pembangunan Keluarga Sejahtara. Jakarta: Sekretaris Negara Republik
Indonesia.

Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Jakarta:


Sekertaris Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang RI No. 52 Tahun 2009. Tentang Perkembangan Kependudukan dan


Pembangunan Keluarga. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Wakhyuningsih. 2007. Nilai-nilai moral pada upacara pernikahan adat Walagara


masyarakat Suku Tengger di Desa Jetak Kecamatan Sukapura Kabupaten
Probolinggo. UM Digital Repository: Universitas Negeri Malang.

Watt, James H. dan Sjef A. Van den Berg, (1995). Research Methods for
Communication Science. Boston: Allyn and Bacon.
Wibowo, Agus, H. 2012. Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wirawan. 2013. Kepemimpinan: Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi dan


Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Yunus, Abidin. 2012. Pembelajaran bahasa berbasis pendidikan karakter. Bandung:


Refika Aditama.

Zaennudin, Akmad. 2011. Perbandingan Antara Erupsi Gunung Bromo Tahun 2010-
2011 dan Erupsi Kompleks Gunung Tengger. Jurnal Lingkungan dan
Bencana Geologi, (Online), 2 (1): 21-37, (www.bgl.esdm.go.id), diakses 11
Maret 2017.

142
LAMPIRAN

143
LAMPIRAN 1 DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 6.1 Salah Satu “Punden” yang Ada di Desa Ngadisari (Dokumen Pribadi, 2017)

Gambar 6.2 Tempat Peletakan Sesajen Disalah Satu Punden yang Ada di Desa Ngadisari
(Dokumen Pribadi, 2017)

()

144
Gambar 6.3 Pintu masuk kantor Hindu Center of Tengger di Desa Ngadisari
(Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 6.4 Tempat beribadah di Hindu Center of Tengger Desa Ngadisari


(Dokumen Pribadi, 2017)

145
Gambar 6.5 Pintu Masuk Punden (Dokumen Pribadi, 2017)

Gambar 6.6 Punden Desa Ngadisari (Dokumen Pribadi, 2017)

146
Gambar 7.7 Kantor Hindu Center of Tengger (Dokumen Pribadi. 2017)

Gambar Lampiran 6.8 Kantor Desa Ngadisari

147
Gambar 6.9 Kenampakan Topografi Desa Ngadisari (Dokumen Pribadi, 2017)

Gambar 6.10 Kenampakan Geografis Desa Ngadisari

148
LAMPIRAN 2 SURAT IJIN PENELITIAN

149
150
151
152
LAMPIRAN 3 PEDOMAN WAWANCARA

PEDOMAN WAWANCARA

Pertanyaan-pertanyaan ini disusun oleh peneliti, sebagai panduan dalam

melakukan wawancara kepada informan. Pertanyaan yang diajukan dapat berkembang

sesuai dengan kebutuhan peneliti dan sifatnya terbuka. Daftar pertanyaan-

pertanyaannya sebagai berikut;

1. Bisakah bapak/ibu informan menceritakan pengetahuan tentang pernikahan dini

atau menikah diusia muda?

2. Bisakah bapak/ibu menceritakan kasus pernikahan dini di Desa Ngadisari ini?

3. Bagaimana bapak/ibu melihat kasus pernikahan dini atau penikahan diusia

muda?

4. Dapatkah bapak/ibu menjelaskan tentang konsep hidup Catur Guru?

5. Dapatkah bapak/ibu menjelaskan tentang Catur Guru apa saja?

6. Dalam Catur Guru, konsep apa yang bapak/ibu ketahui tentang itu?

7. Apa bapak/ibu mengamalkan atau menjalankan konsep tersebut? mengapa bapak

ibu (informan) menjalankannya?

8. Bagaimana pengalaman bapak/ibu dalam menjalankan konsep tersebut?

9. Adakah upaya dari bapak/ibu (informan), mengajarkan konsep Catur Guru

kepada anak-anak bapak ibu? mengapa?

10. Dapatkah bapak/ibu menjelaskan tentang pernikahan di Suku Tengger?

11. Dapatkah bapak/ibu mencceritakan bagaimana sistem kekeluargaan Suku

Tengger?

12. Apakah makna dan nilai anak bagi bapak/ibu?

153
13. Dapatkah bapak/ibu jelaskan jika bapak/ibu tidak menjalankan konsep Catur

Guru atau membiarkan anak bapak ibu melakukan pernikahan dini?

14. Bagaimana bapak/ibu kesulitan menjalankan konsep Catur Guru?

154
LAMPIRAN 4 WAWANCARA DENGAN INFORMAN

Narasumber : Sri Wahayu

Pekerjaan : Kepala Desa Ngadisari

Tanggal Wawancara : 18-03-2017

Peneliti : Apakah ibu bisa menceritakan berapa banyak kasus


pernikahan dini yang terjadi di Ngadisari saat ini?

Sri Wahayu : Pernikahan dini di desa kami sudah tidak ada, karena
sejak bapak menjabat 15 tahun lalu undang-undang
tentang pernikahan tahun 1974 nomor 1 sudah
dijalankan oleh bapak, di mana untuk laki-laki
mimimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun baru boleh
menikah. Selain itu bapak juga sudah membuat
peraturan desa, jika ingin menikah harus lulus jenjang
SMA terlebih dahulu. Semua ini demi kebaikan
bersama di masa depan, jadi kualitas masyarakat
menjadi baik dan pernikahan dini bisa dikurangin.

Peneliti : Wah, peraturan tersebut langsung berdampak terhadap


jumlah kasus pernikahan dini yang terjadi ya bu?

Sri Wahayu : Sejak adanya peraturan tersebut, harus lulus jenjang


SMA terlebih dahulu sebelum menikah keadaan
masyarakat akan pentingnya pendidikan membaik mas,
kalau dulu tahun 1970-an sampai 1980-an pernikahan
di usia muda banyak mas, saat ini turun sekali hingga
kira-kira dalam satu tahun kurang dari 3 orang, itupun
kalau bukan karena kecelakaan (hamil di luar nikah)

Peneliti : Pelaku pernikahan dini yang hamil di luar nikah secara


langsung akan putus sekolah, bagaimana menurut ibu?

Sri Wahayu : Sebagai kepala desa, saya sudah mengantisipasi


masalah itu mas, saya dan perangkat desa sepakat anak-
anak yang putus sekolah harus menyelesaikan jenjang
pendidikannya dengan mengikuti paket kesetaraan,
seperti kejar paket C gitu loh mas.

Peneliti : Apa ada konsekuensi lain, selain itu bu?

155
Sri Wahayu : Bagi anak yang hamil di luar nikah, pemerintah desa
memanggil orangtua untuk membuat surat pernyataan
tertulis wajib mengikuti pendidikan kesetaraan melalui
kejar paket C dan pemerintah desa melalui Kesra (Kaur
Kesejahteraan) tidak mengeluarkan surat rekomendasi
sebelum pelaku pernikahan dini mematuhi peraturan
desa untuk mengikuti pendidikan kesetaraan, selain itu
secara adat akan mendapatkan wiwaha samkara

Peneliti : Selain dengan peraturan desa yang sudah ibu ceritakan


tadi, apakah ada upaya lainnya bu?

Sri Wahayu : Pencegahan kasus pernikahan dini di sini mas, dimulai


dari upaya pemerintah desa dalam menyadarkan
pengetahuan masyarakat mas, saya selaku kepala desa
selalu melakukan sosialisasi rutin dengan jajaran
pemerintahan desa melibatkan RT dari tiga dusun,
sosialisasi saya adakan di rumah saya dengan
mengundang mereka semua. Selain membicarakan
program pembangunan desa, saya juga membahas
mengenai perbaikan sumber daya manusia, khususnya
mengatasi pernikahan dini. Setelah melakukan
koordinasi dengan jajaran pemerintahan desa, saya juga
melakukan koordinasi setiap tahunnya dengan intasi
pendidikan yang ada di sini agar terus mendukung
program dari pemerintah desa, selain itu juga untuk
ikut menyadarkan masyarakat di sini mas agar
pengetahuannya lebih terbuka.

Peneliti : Oh dengan melakukan sosialisasi rutin ya bu.

Sri Wahayu : Iya mas, masih ada lagi mas, saya juga menjalankan
program KPR (Kesehatan Remaja Perempuan)
difasilitasi oleh pemerintah desa, program ini dilakukan
setiap tiga bulan sekali bertempat di balai desa mas,
dan sudah terjadwal, untuk tanggal 5 Dusun Wanasari,
tanggal 10 Ngadisari dan tanggal 20 Cemoro Lawang.
Dalam program ini setiap remaja putri bisa melakukan
cek kesehatan umum dan cek kesehatan rahim.
Program ini bekerja sama dengan ibu-ibu PKK desa.
Selain untuk remaja putri, kegiatan ini juga untuk
lansia dan balita mas, semua bisa periksa dan
difasilitasi oleh desa

Peneliti : Apa saya boleh tau bu, mengapa ibu kok berjuang
sekali untuk menghilangkan pernikahan dini di desa ibu
?

156
Sri Wahayu : Iya itu loh mas, saya kan hanya melanjutkan
perjuangan bapak yang sebelumnya jadi kepala desa,
tapi saya juga was-was aja mas, kalau keadaan desa ini
enggak berubah. Dulu itu mau nikah usia berapa aja
boleh-boleh aja, asalkan sesuai dengan adat, jadi
banyak yang nikah usia-usia SMP. Nah ini saya
khawatir kalau ini terus sampai sekarang akan
berdampak buruk mas buat desa saya. Banyak yang
putus sekolah, pendidikannya rendah terus kawin, wah
ini akan jadi masalah dikemudian hari. Nah inilah yang
membuat saya semakin semangat untuk merubah
keadaan.

Peneliti : Selain karena motivasi tersebut apakah ada lagi yang


membuat ibu tersadar dengan hal tersebut?

Sri Wahayu : Suku Tengger Ngadisari kan mayoritas menganut


agama Hindu ya mas, jadi kehidupannya memegang
adat dan agama, semua dijalankan secara bersamaan.
Dalam percayaan kita itu ada yang namanya Catur
Guru. Catur Guru itu dipegang oleh masyarakat sini
agar dalam hidup kita mencapai keharmonisan. Catur
Guru mengajarkan saya untuk mengormati Tuhan,
Pemerintah, Guru disekolah dan orangtua saya.

Peneliti : Menurut ibu, apakah konsep Catur Guru ini


mempunyai peran dalam tugas ibu sebagai kepala desa
dalam sistem pernikahan atau untuk mencegah
pernikahan dini ?

Sri Wahayu : Itu memudahkan saya mas, karena semua masyarakat


memegang konsep itu, saya kan mudah mengatur
masyarakat untuk lebih baik.

Peneliti : Apa ada konsep lain selain Catur Guru? Terkait


dengan pernikahan suku tengger dan pernikahan dini?

Sri Wahayu : Ada mas, Catur Asrama. Jenjang kehidupan penganut


Hindu, dalam Catur Asrama ada Brahmacari,
Grahasta, Wanaprasta dan Bhiksuka.

Peneliti : Bisa ibu jelaskan maksud dari Catur Asrama?

Sri Wahayu : Di masyarakat sini masih teguh memegang adat dan


agama mas, kalau dalam pernikahan kaitannya dengan
konsep Catur Guru secara adat jadi kita harus percaya
dan mengormati pada Tuhan, pemerintah, orangtua dan
guru di sekolah. Sedangkan kalau secara agama itu

157
penerapan Catur Asrama, maksudnya Catur Asrama
jenjang kehidupan pada pengamal Hindu, jadi kalau
ada 4 jenjang Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta dan
Bhiksuka. Di mana setiap jenjang ada tujuannya
masing-masih, misalkan dalam tahap Brahmacari di
mana masyarakat belum boleh menikah, harus banyak
cari ilmu untuk bekal masa depannya. Masyarakat sini
dalam pengalaman agama dan budaya atau adat selaras.

Peneliti : Oh begitu ya bu, oh ya bu kalau misalkan ibu sebagai


Suku Tengger Ngadisari memiliki seorang anak yang
ingin menikah, apakah ada syarat untuk calon menantu
ibu?

Sri Wahayu : Kalau syarat pastinya tidak ada mas, mau menikah
dengan siapa aja kalau anak saya sudha saling cinta ya
menikah saja, tidak harus dengan orang Tengger, dari
luar Tengger juga bisa. Pokoknya itu ya mas, saat mau
menikah syarat-syarat adat harus dilakukan semua,
kalau semua sudah setuju ya pernikahan bisa
dilakukan, kalau misalkan ada orang tua yang tidak
setuju ya batal mas. Jadi begitu mas.

Peneliti : Syarat yang ibu maksud itu bagaimana ya?

Sri Wahayu : Bagi orangtua yang ingin menikahkan anaknya itu,


pertama harus datang ke kepala desa, tujuannya
meminta hari baik atau tanggal pelaksanaan
pernikahannya. Nah nanti pak tinggi memberikan
tanggal sesuai dengan kalender Tengger dan urutan
pernikahannya. Karena kalau di sini mas, mau menikah
harus antri dulu, sesuai dengan aturan adat dalam satu
bulan hanya 4 pernikahan yang boleh dilakukan, satu
minggu satu kali dengan waktu prosesi adat 3 hari. Jadi
tidak bisa sembarangan menikah, harus sesuai dengan
adat

Peneliti : Apakah ada hari atau bulan dimana masyarakat sini


tidak boleh menikah bu?

Sri Wahayu : Ada, ada mas, pertama wulan ke-pitu dan wulan ke-
sanga. Pada saat wulan ke-pitu tidak boleh melakukan
pernikahan karena bulan itu masyarakat Suku Tengger
menjalankan puasa mutih dalam satu bulan dan kalau
wulan ke-sanga menurut kepercayaan merupakan hari
kawin hewan.

158
Peneliti : Oh begitu ya bu, kalau makna anak bagi ibu bagaimana
?

Sri Wahayu : Bagi saya anak itu keberuntungan bagi orangtua dimasa
depan mas, saya bersyukur sekali jika punya anak, itu
sudah menjadi rejeki buat keluarga.

Peneliti : Apa ada anggapan banyak anak banyak rejeki bu?

Sri Wahayu : Wah, kalau anggapan itu tidak ada mas, jumlah anak
cukup dua saja, itu kan juga mendukung program dari
pemerintah lewat BKKBN itu dua anak cukup. Selain
itu kalau anak banyak menbesarkan dan mendidikanya
juga butuh biaya yang banyak juga dan ada upacara-
upacara juga.

Peneliti : Apakah ada kesulitan ketika ibu menerapkan peraturan


tersebut?

Sri Wahayu : Kalau kesulitan secara umum tidak ada, namun kalau
kendala saya saat itu ya menyadarkan masyarakat kalau
pendidikan itu penting, saya terus melakukan
sosialisasi terus terkait dengan peraturan desa dan saya
dibantu dengan teman-teman yang lain terus
menanamkan konsep Catur Guru agar terus dipegang
oleh masyarakat

159
Narasumber : Sri Andayati

Pekerjaan : Bendahara Desa

Tanggal Wawancara : 18-03-2017

Peneliti : Ibu bisa tidak menceritakan pengetahuan ibu tentang


pernikahan dini itu bagaimana?

Sri Handayani : Pernikahan dini itu kan pernikahan yang masih belum
cukup umur, sesuai Undang - undang pernikahan
minimal cewek umurnya 17 tahun, sebelum umur 17
dianggap sebagai pernikahan dini. Pemerintah Desa
Ngadisari yang diprakarsai oleh Bapak Supoyo sebelum
lulus SMA tidak boleh menikah. Dalam rangka
menyukseskan pendidikan 12 tahun. Jadi dikatakan
pendidikan dasarkan kalau belum lulus SMA masih
termasuk dalam pendidikan dasar. Untuk menyukseskan
hal itu Bapak Supoyo mempunyai inisiatif kalau anak
itu belum memiliki ijazah SMA anak itu tidak boleh
menikah.

Peneliti : Kalau seorang anak melakukan pernikahan dini, secara


otomatis kan mereka putus sekolah, upaya dari desa
bagaimana bu?

Sri Handayani : Jadi misalkan kecelakaan (hamil di luar nikah), ini


barusan ya ada anak masih SMP bahkan SMP mau ujian,
nah itu upaya perangkat desa ya langsung nikah terus
bersih desa, terus kalo disini melakukan Walagara mas.
Walagara itu meresmikan jadi ada akad nikah kalau di
Desa Ngadisari namanya kawin terus Walagara,
Walagara kalo disana mungkin temu manten tetapi
secara adat tengger. Sesuai dengan perdes (peraturan
desa) bagi anak yang melakukan penikahan dini harus
tetap kejar paket.

Peneliti : Kalau bersih desa yang dilakukan itu dari pihak


keluarga atau desa bu?

Sri Handayani : Dari pihak keluarga, jadi pihak ceweknya. Jadi hamil
duluan di luar nikah dianggap sudah mengotori desa,
dianggap seperti itu, jadi harus bersih desa. Artinya
untuk menghilangkan malapetaka gitu. Jadi disini
dituntut untuk bersih desa. Yang mimpin ya pak dukun
adat itu pak Sutomo. Meskipun upacara pernikahan

160
terus upacara walagaranya ya yang mimpin ya pak
Sutomo disini.

Peneliti : Jadi bersih desanya dilaksanakan di rumahnya tidak di


kantor desa ya bu?

Sri Handayani : Kalau kecelakaan (hamil di luar nikah) dilaksanakan di


rumahnya si cewek sendiri, kalau resmi dilaksanakan
di balai desa karena memang tujuannya mau menikah
maka dilaksanakan di gedung desa, tapi kalo
kecelakaan dituntut kalau sekarang ketahuan seminggu
kemudian lapor kemudian melakukan bersih desa
langsung terus melakukan pernikahan.

Peneliti : Dalam keadaan hamil?

Sri Handayani : Iya justru itu dalam keadaan hamil, terus dituntut untuk
bersih desa lalu kawin sekaligus dalam satu hari itu.

Peneliti : Kalau misalkan perempuannya dari luar suku tengger,


tapi laki-lakinya dari suku tengger itu bagaimana?

Sri Handayani : Itu terserah perempuannya dulu, dari pihak perempuan


jadi keputusannya bagaimana, meskipun dari luar sini
kalau hamil di luar nikah kan harus cepat-cepat
menikah.

Peneliti : Kalau perempuannya dari sini (Ngadisari) langsung ya


bu?

Sri Handayani : Iya langsung satu minggu itu diberi waktu satu
minggu, jadi biar tidak lama-lama mengotori desa.

Peneliti : Selain bersih desa ada sanksi berupa materi?

Sri Handayani : Iya ada, denda materi kalau yang dari pihak cowoknya
diberi sanksi membeli batu kali seberat 15 kubik untuk
pembangunan desa. Kalo yang perempuan tadi harus
segera melakukan upacara tadi.

Peneliti : Ada sanksi lain bu selain membeli batu, semen, pasir?

Sri Handayani : Berupa material yang dibutuhkan desa, nanti kalo batu
terus batu numpuk buat apa.

Peneliti : Bersih desa itu apa seperti upacara kecil di dalam


rumah? Seperti apa yang upacaranya?

161
Sri Handayani : Iya upacara kecil, kalo dirumah ada sajen-sajen yang
mendoakan dukun adat, setelah itu akad nikah kalau
disini kawin namanya terus temu manten itu namanya
walagara.

Peneliti : Masyarakat Desa Ngadisari mayoritas agama Hindu,


kalo dalam agama Hindu ada yang namanya catur
asrama ya bu?

Sri Handayani : Catur Guru, yang pertama harus percaya dan patuh
terhadap tuhan, kedua pemerintah jadi apapun yang
peraturan pemerintah harus dipatuhi, yang ketiga patuh
terhadap orang tua dan yang keempat harus patuh
terhadap bapak ibu guru di sekolah. Itu catur guru.

Peneliti : Ibu tau tentang brahmacari?

Sri Handayani : Brahmacari kan kita selalu mencari ilmu pengetahuan.

Peneliti : Itu tahapan kehidupannya ya bu, Brahmacari, Grahasta,


dan lain-lain?

Sri Handayani : Bramacari itu seseorang selalu mencari ilmu


pengetahuan baik itu dunia maupun agama

Peneliti : Seseorang usia bramacari kisaran antara berapa-


berapa?

Sri Handayani : Ya seumur hidup. Kan masih ingin tau dan ingin tau.

Peneliti : Misalkan ada masyarakat suku tengger tidak


menjalankan harus lulus sma konsekuensinya gimana
bu?

Sri Handayani : Konsekuensinya, misalkan lulus SMP menikah ya


harus mengikuti paket C

Peneliti : Kalau tidak mau bagaimana?

Sri Handayani : Untuk saat ini yang tidak lulus SMP harus mengikuti
paket B SMA paket C. untuk saat ini kesadaran
masyarakat sudah tinggi, tentang pendidikan. Untuk
tahun ini akan dikumpulkan yang belum lulus SMA
nanti dikumpulkan tutornya untuk melakukan kejar
paket. Minimal yang harus ikut paket 20 orang. Harus
menunggu sampai 20 orang. Tahun lalu lebih dari 50
orang

162
Peneliti : Hal tersebut termasuk inisiatif desa?

Sri Handayani : Iya, inisiatif dari pemerintah desa

Peneliti : Kan peraturan seperti itu dibuat dengan sangat baik


oleh pemerintah desa, bagaimana sosialisasinya kepada
masyarakat terutama pemuda desa bu?

Sri Handayani : Kalau masyarakat sudah sadar akan pentingnya


pendidikan, banyak anak-anak yang keluar kota untuk
kuliah berarti kesadaran masyarakat akan pendiidkan
tinggi didorong dari sejak dini akan pentingnya
pendidikan nanti kamu jadi anak gini (sukses) selalu
diberi pengertian seperti ini.

Peneliti : Pemerintah sering melakukan sosialisasi terkait hal ini?

Sri Handayani : Iya pada waktu ada rapat desa selalu memberikan
sosialisasi anak harus di sekolah minimal SMA untuk
mensukseskan peratuan wajib sekolah 12 tahun oleh
pak Supoyo.

Peneliti : Hanya pada saat rapat atau kumpul per RT bu?

Sri Handayani : Biasanya disini ada namanya bulan ke-pitu (7) tidak
ada orang hajatan dan biasanya digunakan oleh
pemerintah untuk melakukan rapat RT setiap sore.
Setiap RT diundang di rumah dalam rangka sosialisasi
tentang semuanya tidak hanya pendidikan.

Peneliti : Melalui pendidikan formal?

Sri Handayani : Melalui pendidikan formal disampaikan pula di SD dan


SMP

Peneliti : Lembaga pendidikan ikut berperan ya bu?

Sri Handayani : Iya jadi lembaga sekolah, kepela sekolah juga diberi
pesan

Peneliti : Kalau pernikahan di Suku Tengger dibatasi tidak bu?


dengan siapa dia menikah?

Sri Handayani : Tidak tidak dibatasi sesuai dengan jodohnya. Banyak


orang luar menikah dengan orang tengger. Cuman
harus mengikuti adat tengger. Misalkan di sini
ceweknya maka si cowok harus mengikuti adat sini.
Selebihnya si cewek mau mengikuti agama si cowok

163
terserah tetapi adatnya harus menggunakan adat
tengger.

Peneliti : Begitu juga sebaliknya?

Sri Handayani : Iya misalkan anaknya pak Supoyo mas sugeng, dia
harus mengikuti mengikuti adat secara islam.
Selebihnya mbak sinta mau mengikuti mas sugeng
terserah. Pokoknya si cowok harus mengikuti adat si
cewek terlebih dahulu. Untuk urusan agama di sini
tidak terlalu fanatik, menerima agama apa aja, yang
penting waktu nikah mengikuti adat. Seperti mas
sugeng dan mbak sinta. Mas sugeng juga mengikuti
adat. Saya kira kalau terbuka masalah agama, itu tidak
jadi masalah. Harus toleransi.

Peneliti : Kalo di masyrakat Suku Tengger nilai anak seperti


apa?

Sri Handayani : Anak nomer satu yang sebagai anugerah, titipan tuhan
yang harus dijaga dirawat dibesarkan dan dididik
sesuai kemampuan orangtuanya. Anak adalah segala-
galanya. Titipan yang harus dijaga dirawat.

Peneliti : Sistem patrilinial masih ada tidak bu?

Sri Handayani : Patrilinialkan keturunan dari bapak. Kalau sistem itu


secara adatnya, misalnya ada upacara Tugel Gombak
untuk cowok. Jadi kalau dari bapaknya dulunya
melakukan tugel kuncung maka anak-anaknya juga
harus melakukan itu. Kalau anaknya perempuan harus
melakukan Tugel Kuncung rambunya dipotong sedikit.

Peneliti : Kalau masyarakat yang masih memegang patrilinialkan


beranggapan bahwa nilai anak laki-laki lebih tinggi
jika dibandingkan perempuan, itu bagaimana bu?

Sri Handayani : Ya enggak juga si, kalau disini lebih menggunakan


adatnya, sesuai dengan keturunan dari ayah atau
ibunya.

Peneliti : Untuk anak laki-laki dan perempuan nilainya


bagaimana, menurut ibu?

Sri Handayani Sama saja, tidak ada perbedaan atau spesial, dalam hal
perbagian waris ya sama juga. Tidak ada perbedaan
semua sama atau rata.

164
Bagaimana sikap ibu ketika anak ibu menginginkan
nikah diusia muda?

Sri Handayani Kalau saya, saya sarankan untuk sekolah dulu agar
pemikirannya lebih dewasa, sehingga dalam mengurus
anak nanti tidak merepotkan orang tua lagi.
Alhamdulillah kedua anak saya menempuh pendidikan
yang baik, yang pertama sudah lulus kuliah dan yang
kedua masih sekolah jenjang SMA.

Peneliti Dalam melaksanakan peraturan yang dibuat oleh


pemerintah desa, kira-kira ada kendalanya tidak bu?

Sri Handayani Kalau kendala dari kesadaran masyarakatnya tidak ada


mas, kendalanya ya dari kasus-kasus kecelakaan (hamil
di luar nikah) itu tadi mas, kendalanya hanya itu.
Karena anak sekarang sudah kena pergaulan bebas.

Peneliti : Ada tidak masyarak yang menentang atau tidak mau


mengikuti peraturan tersebut?

Sri Handayani : Tidak ada, semua nurut dengan pemerintahan, karena


harus nurut dengan catur guru, dan itu selalu
ditanamkan ke masyarakat melalui pak Supoyo saat
sosialisasi atau acara adat lainnya.

Narasumber : Sri Sugiarti

Pekerjaan : Sekretaris Desa

Tanggal Wawancara : 18-03-2017

165
Peneliti : Ibu bisa tidak menceritakan pengetahuan ibu tentang
pernikahan dini itu bagaimana?

Sri Guwik : Pernikahan dini kan pernikahan dibawah umur mas ya,
tapi kalau disini sudah tidak ada pernikahan dini. Jadi
kalau disini ya itu tadi harus lulus SMA baru boleh
menikah soalnya kalau pernikahan dini itu dilanjutkan
akhinyakan budaya manusia tidak dapat bagus,
akhirnya rumah tangganya tidak bisa utuh atau apa
begitu, namanya anak-anak. Kan itu menyangkut
sumber daya manusianya juga. Jadi memang aturan
desa harus lulus SMA. Pemerintah sudah ada aturannya
kalau menikah harus umur 17 tahun kan gitu. Kan itu
dari negara juga kan pemerintah juga kan gtu. Dan
sekarang desa mendukung sekarang harus lulus SMA
sudah matang kalau nikah, kalau usia dini ya akhirnya
orangtuanya yang susah.

Peneliti : Tapi ada tidak bu kasus pernikahan dini didesa ini?

Sri Guwik : Kalau dulu mungkin banyak, kalau sekarang mungkin


enggak. Pokoknya seingat saya pernikahan dini sudah
tidak ada. Dulu aturannya lulus SMP lalu dinaikan lagi
lulus SMA, kalau dulu-dulu mungkin ada disini, tapi
kalau sekarang sudah tidak ada. Yang tahun 1970-an
lah sampek 1980-an itu mungkin ada tapi setelah
keatasnya sudah nggak ada.

Peneliti : Peraturan itu keluar karena apa bu?

Sri Guwik : Peraturan itu keluar ya karena sudah pikiran apa


masyarakatnya, orang tuanya anaknya harus sekolah
harus mengenyam pendidikan dulu, hal tersebutkan
berarti di dukung oleh orang tua juga. Kesadaran orang
tua juga, apalagi sekarang ditunjang dengan peraturan
desa. Orang tua pokoknya mau kalau anaknya lulus
sampai jenjang SMA gitu.

Peneliti : Kalau begitu ibu termasuk orang yang tidak setuju


dengan pernikahan dini?

Sri Guwik : Ya kalau dibilang tidak setuju iya, soalnya kan


pernikahan dini itu ya apa ya mas, ya itu tadi ngerepoti
wong tuwek. Apa lagi kalau sekarang misalnya hamil,
kan resiko kalau umurnya belum dapat terus hamil kan
melahirkan kan repot juga. Jadi memang saya kalau
pernikahan dini tidak setuju mas, paling tidak itu lulus
SMP baru kalau perempuan, kalau laki-laki harus lulus

166
SMA. tapi kalau disini aturannya harus lulus SMA
semua. Kalau tidak lulus SMA, dia nikah dulu ya, nanti
dia diikutkan paket, jadi harus punya ijazah SMA
minimal itu

Peneliti : Kalau misalkan ada kasus seperti kecelakaan itu?

Sri Guwik : Iya-iya seperti itu tadi, kalau memang ada kecelakaan
ya mas ya harus ikut paket. Yang saya maksud itu
harus dibersihi, di nikahkan tapikan tidak punya surat
nikah dulu pokoknya di desa ini sudah bersih terus
nikah tapi akta-aktanya kan gak keluar mas, pemerintah
juga tidak mengeluarkan surat soalnya kan misalnya
umur SMP kelas 2 itu tidak bisa, harus menunggu.
Kalau di desa ya harus dinikahkan upacara adat tapi
suratnya belum keluar terus nanti kalau udah 17 tahun.
minimal harus punya KTP ya mas, tidak bisa ngurusin
kalau tidak ada KTP, kaya buku nikah, jadi itu diurus
dulu nanti baru setelah mereka yang itu, nanti kalau
umurnya udah 17 baru di buatkan KTP baru diurusin
surat-surat nikah itu. Tapi ya mereka juga harus punya
janji lulus SMA jadi walaupun mereka sudah menikah
mereka harus tetap sekolah mengejar paket C.

Peneliti : Kalau misalkan tidak mau, bagaimana bu?

Sri Guwik : Iya harus itu sudah perjanjian, syaratnya emang harus
dilaksanakan harus mau untuk mengikuti pendidikan
dia yang sudah kandas ya misalnya lulus SMP ya harus
ngikut paket B dulu baru ngikut paket C begitu. Harus
lulus SMA, disini mas tidak bisa kalau misalkan tidak
lulus dikejar gitu hahahahha.

Peneliti : Mereka kan yang pertama sudah melanggar aturan


tertulis, ada konsekuensinya tidak bu sanksi?

Peneliti : Kalau disini misalkan kecelakaan ya itu pasti ada,


kayak laki-lakinya harus membayar batu untuk
bangunan kurang lebih 1 kubik kalau tidak 3 kubikk
gitu. Kalau perempuanya itu tadi harus selametan di
desa, selametan apa ya selameten bersihin desa itu lah
mas. Kalau laki-lakinya itu harus bayar batu itu buat
pembangunan.

Peneliti : Itu memang harus batu atau nanti ada negosiasi dengan
pihak desa?

167
Sri Guwik : Kalau sementara ini batu dulu, kalau misalnya nanti
pihak desa membutuhkan apa gitu ya bisa. Kalau sanksi
seperti itu bisa di nego gak harus peraturan itu enggak,
Tapi sementara itu batu itu mas.

Peneliti : Kalau pihak laki-laki berupa materi, kalau yang wanita


itu dikatakan bersih desa, itu apa melakukan selametan
di satu desa apa di rumahnya saja?

Sri Guwik : Tidak, di rumahnya saja, Cuma nanti kalau dukun


pandita-nya itu yang memberi mantra itu baru
mencakup semuanya gitu, tapi di rumahnya sendiri.

Peneliti : Jadi upacara dilakukan di rumahnya?

Sri Guwik : Iya, jadi di sini ada pendayangan itu mas, pendayangan
itu maksudnya yang mengayomi desa itu jadi biar
bersih, jadi kalau kecelakaan itu dibilang kotoran ya
mas ya, ya itu biar bersih. Kalau sudah dibersihkan itu
kan berarti pendanyangan itu sudah mengetahui kalau
anak ini mengandung itu sudah tau jadi tidak mencari
orang lain, maksudnya gini mas, kalau orang sini ya
kalau misal ada orang hamil duluan belum ketahuan
kadang banyak yang sakit kadang sampek seminggu
sakitnya. Tapi bukan hanya orang satu yang sakit itu ya
banyak, kadang pilek kadang sakit kepala kadang panas
gitu kalau belum terjadi itu, sering terjadi kaya gitu,
maksudnya belum sering terjadi jadi kalau misalkan
belum ketauan ya ada yang kaya gitu. Itu namanya
pedayangan yang mengayomi desa. Semuanya tiap
desa mungkin ada kaya gitu cuma beda. Hal seperti itu
memang menjadi kepercayaan, tapi sekarang kalau
misalkan menurut agama percaya kaya gitu tabuh, tapi
kenyataanya ya kalau tidak melaksanakan kan
kenyataanya kan kaya gitu apa lagi kan kalau orang sini
banyak tempat yang sakral apalagi di Bromo.

Peneliti : Masyarakat bromo khususunya Desa Ngadisari


mayoritas agamanya kan Hindu, jadi masih percaya
dengan catur asrama?

Sri Guwik : Iya, kalau disini ada mas kaya gitu yang brahmacari
terus yang lainnya, memang ada mas, tapi kalau
masalah agama yang menerangkan bapak dukun
takutnya nanti keliru gitu. Kalau sini semua agama itu
mas. Kalau di perniakahan yang diterapkan itu mas
Catur Guru, yang pertama ada guru tuhan itu lo mas,
harus percaya dengan adanya tuhan, catur guru

168
pemerintahan jadi kita harus percaya pada pemerintah
gitu, kemudian catur guru bekti apa jadi percaya
kepada guru yang ngajar kita, dan yang terakhir itu
guru percaya kepada orang tua. Itu yang diterapkan
dalam pernikahan itu catur guru itu kalau brahmacari,
terus apa itu namanya sudah ke agama, orang sini
sudah kenal seperti itu tapi kata-katanya bukan
bramacari atau apa bukan, jadi ada istilah sendiri. Pada
dasarnya pernikahan prinsipnya harus catur guru itu.
Jadi kan sudah apa namanya sudah percaya pada tuhan,
kepada pemerintah, orang tua juga guru dipemerintah.
ya harus sopan, harus nurut gitu lo mas, ya jadi itu yang
diterapkan dalam catur guru disini.

Peneliti : Kalau misalkan bu ya, tadi ada yang namanya Catur


Guru, seseorang atau masyarakat tidak menjalankan
ajarannya seperti apa bu?

Sri Guwik : Iya kalau berumah tangga akhirnya kurang baik


akhirnya mas, maksudnya kurang baik itu ya apa ya,
Berantakan gitu ya berantakan maksudnya sekarang
misalnya tidak nurut sama tuhan, lah kita kan otomastis
kita sebagai manusia kan harus percaya adanya tuhan,
kaluau misalkan tidak percaya adanya tuhan gimana
nanti kalau kena musibah ini musibah itu kan gitu.
Misal sekarang tidak percaya orang tua atau tidak nurut
sama orang tua dibilangin gini kamu malah gini la itu
kan kualat kan gitu. Kalua guru-guru kan mendidik
kita, kita kan mendapat pengetahuan dari guru, jadi
disini apa ya mas ya sistemnya keluar itu karena kulat
gitu loh mas jadi gak berani. Soalnya ada namanya
kualat itu lo mas, jadi kalau tidak nurut nanti kualat ya
kualat bener. Jadi anak-anak yang nikah bener-bener
nurut gitu, jarang yang tidak nurut jadi kalau gak nurut
ya itu tadi akhirnya berantakan nanti akhirnya pisah.
Tapi yang paling utama itu ya orang tua itu mas kan
orang tua yang deket, kalau ke tuhan tergantung kita
sendiri, tergantung pribadi percaya atau tidak kan
tergantung dirinya sendiri. Kalau orang sini gitu ya
percaya leluhur, percaya tuhan, ya semuanya itu
dipercayai.

Peneliti : Kalau ibu dalam mengajarkan konsep tadi kepada anak


seperti apa ya?

Sri Guwik : Pokoknya anak sudah saya didik kaya gini, ya kamu
kalau misalkan ada keagamaan harus ikut, walaupun
sekarang itu kuliah ya di malang di UMM kan

169
lingkungannya islam, ya kamu harus percaya dengan
apa yang kamu miliki kamu jangan goyah kan gitu
mas. Kalau misalnya masalah apa itu mas, pernikahan
itu kalau kamu sebelum lulus kamu tidak boleh. Kamu
juga tidak boleh minta tunangan atau apa gitu yang
saya omongkan kepada anak-anak, untunglah anak-
anak nurut. Kalau ada masalah-masalah kaya agama
sama temenya ya dia tanya bu kok ini gini-gini ya
kamu jawabnya gini gini-gini. Ya akhirnya tidak ada
masalah apa-apa gitu. semuanya tergantung dengan
omongan kita sendiri.

Peneliti : Kalau di masyarakat Ngadisari itu kenal melamar?

Sri Guwik : Ada, ada cuma lamaran sini tidak kaya di bawah (desa
tentangga) kalau di bawah kan bawa apa apa apa kalau
di sini kan lamaran sini sederhana kalau misalnya
sudah dapet ya sudah ke rumah tidak usah bawa apa-
apa, tapi mungkin kalau mau ngasih apa yang biasa di
kasih sama anaknya itu, jadi tidak sekarang harus
cincin, kemudian harus apa ini semuanya tidak jadi
ditanya kamu mau apa, baru nanti dibawakan gitu.
tidak mesti cincin kalau pengen kalung ya kalung, jadi
disini tidak ada tunangan disini, jadi setelah lamaran
nanti di sini itu minta hari baik sama petinggi (kepala
desa) ya nanti sudah dilaksanakan. Disini ya mas kalau
minta hari yang baik nanti kadang bisa sampai dua
tahun mas, jadi punya anak mau khitan ya, nanti
anaknya TK harus kerumahnya pak tinggi (kepala desa)
nanti minta hari yang baik.

Peneliti : Ooh.. jadi minta sama petinggi

Sri Guwik : Iya kalau disini minta sama petinggi, kalau di bawah
kan pak lurah kalau disini petinggi gitu.

Peneliti : Jadi rentang waktunya jauh?

Sri Guwik : Jauh mas tiga tahun dua tahun

Peneliti : Antri gitu ya buk?

Sri Guwik : Iya, makanya kalau sekarang itu lo, misalkan saya
sudah mau menikahkan anak saya, Nanti ke pak tinggi
minta hari bulan yang baik, nanti dapet tahun berapa
gitu, jadi bukan biaya dulu yang dicari malah hari dulu
kalau sini.

170
Peneliti : Ada antrian ya bu

Sri Guwik : Iya memang, kalau disini memang ada antrian, kalau
disini satu hari tidak bisa dilaksanakan langsung dua,
soalnya adat semuanya runtut, kayak sesajen, banyak
ya jadi tidak bisa satu harus dilaksanakan beberapa
orang. Soalnya kan setelah acara harus ikut hanyang,
itu ada lagi misalnya nanti ada ramban-nya itu daun-
daun. Kalau saya bahasanya kurang tau, nanti takutnya
salah gitu lo mas. Jadi kalau masalah adat terus
masalah upacara terus sajen-sajen itu pak dukun lebih
paham. Pak dukunnya menerangkan juga enak. Jangan
saya ya saya takutnya salah, tapi saya ngerti, itu apa-
apa tapi tidak berani memberikan informasi yang lebih,
nanti kalau salah nerangkan akhirnya nanti ke diri kita
sendiri jadi tidak berani kalau masalah itu.

Peneliti : Jadi bisa dikatakan perniakahan masyarakat Suku


Tengger Sakral ya bu?

Sri Guwik : Iya memang, karena kan melibatkan orang banyak.


Boleh dilaksanakan di rumah kalau di balai desa kan
tinggal, menggunakan nanti masalah biaya mereka
memberi kepada kepala desa seikhlasnya tidak dituntut
harus bayar sekian gitu tidak.

Peneliti : Kalau dimasyarakat Suku Tengger nilai seorang anak


itu bagaimana?

Sri Guwik : Kalau nilai seorang anak, ibaratkan seperti permata


kalau tidak punya anak siapa yang mengurus saat saya
tua, jadi memang kalau anak disini seperti itu apalagi
anak cowok bener-bener permata. Biasanya ya kalau
sini punya anak dua ya mas kalau orang sini yang
diminta tinggal bersama orang tuanya itu ya anak yang
cowoknya.

Peneliti : Jadi, misalkan punya anak cowok dan cewek ya, itu
yang cowok lebih?

Sri Guwik : Bukan lebih di sayang loh ya bukan, bukan, mungkin


ya biasanya yang suruh tinggal bersama orang tua itu
ya anak cowok, nanti masalah membagi warisan ya
sama. Atau anak yang ragil yang suruh tinggal bersama
orang tunya. Meskipun itu cewek maupun cowok ya
yang bungsu yang tinggal bersama orang tua.

171
Peneliti : Misalkan sudah punya anak dua cewek, cewek, apa
harus menambah lagi anak cowok?

Sri Guwik : Kalau saya enggak, dua anak cukup karena biaya
melahirkan kadang bisa mencapai 25 juta kenapa kok
sampek saya gitu karena disini ada budaya kekerik,
kalau di bawah selapan. Kalau secara adat kekerik itu
menurut adat pakai tumpeng pakai panggang ayam
sesuai dengan buyutnya, kalau buyutnya ada 70 ya
harus panggang ayam dan membuat tumpeng sebanyak
70. Kalau biaya melahirkan biasa ya mas tapi kalau
biaya tiap harinya itu lo mas, kalau orang sini kalau
udah melahirkan itu bukan cuma sekarang, kalau di
bawah kan kalau mengunjungi ya bawa-bawa apa
membawa rinso sabun, kalau disini enggak kalau mau
berkunjung kadang membawa beras 10 kg, 20 kg. Kita
kan kadang mas yang mengunjungi sampai 500 orang
itu tiap hari itu tidak kerasa ya mas misal sekarang 100
orang besoknya 50 besoknya lagi gitu, pokoknya
sampai hari kekerik itu, kalau sudah sampai hari
kekerik itu sudah gak ada orang yang datang itu jadi
dua anak cukup tu ya itu satu anak y owes cukup.
Pokoknya punya anak kalau orang sini.

Peneliti : Jadi gak harus banyak anaknya ya buk

Sri Guwik : Enggak

Peneliti : Biasanya kan ada anggapan banyak anak banyak rejeki

Sri Guwik : Ada anggapan kaya gitu, tapi masyarakat sini sudah
tidak semenjak dicanangkan KB sudah. Dari dulu juga
sudah enggak, banyak anak tu jarang karena satu anak
biayanya bisa mencapai 5o juta. Makanya satu anak
cukup, apalagi harga barang pokok kan juga mahal
gitu.

Peneliti : Misalkan ada orang yang datang berkunjung seperti itu


pihak rumah memberikan apa buk?

Sri Guwik : Iya memberikan makan, kemudian minum, kemudian


pulangnya di bawakan berkat itu, jadi memang
membengkan terus gitu itu yang besar kadang ya itu,
kadang 500 orang lo mas, nanti ketemunya kalau sudah
kekerik kan ya bukak buku la itu baru ketemunya,
biasanya kan tiap hari tidak ketemu, nulis-nulis kan gak
ketemu, la nanti paling sedikit kalau orang bayar paling
sedikit, kalau misalkan gak banyak temen gak banyak

172
keluarga cuma dikit mas kadang cuma dapet 300 ribu.
Itu gak banyak keluarga gak banyak temen gitulo gitu.
Kalau banyak keluarganya yoo bisa sampai 500 lebih

Peneliti : Berarti itu harus main juga kalau semisal temenya yang
dating melahirkan kita juga harus dating?

Sri Guwik : Iya kita juga harus dating, saling mbales gitu lo mas,
berarti kalau misalnya 500 orang itu yang kesini, nanti
yang datang itu nanti lahir ya nanti kita harus
mengunjungi juga, kalau sini adatnya kaya gitu.
Makanya gak tau banyak-banyak anak karena biayanya
itu mahal. Ya kalau misalkan lahiran di bawah yo kalau
misalnya umum kan biasa gak perlu ini ini jadi gak
maslaah. Tapi kalau disini tiap harinya sampai kekerik
itu. Apalagi anak pertama kalau kekerik itu harus
disemuakan mas, misalkan punya duit lima puluh mbah
20 ya harus di semuakan gitu, kemudian perangkat desa
juga, soale mantranya itu menyebut semuanya itu lo
mas, iya menyebut semuanya.

Peneliti : Jadi silsilah keluarga di sini diperhatikan sekali ya?

Sri Guwik : Iya diperhatikan ini, silsilah keluarga itu. Sini aja sama
canggah tau lo mas masih tau jadi nggak sembaranagn
kalau sini kan adatnya kalau nikah ya nikah kemudian
ketemu sama saudra itu nggak bisa, gak boleh kan,
tabuhan ya jadi memang bener-bener di kasih ini lo
silsilahnya jadi biar gak keliru gitu lo mas. Misalkan
kenalan jangan kenalan sama keluarganya sendiri gitu
walaupun sudah jauh sini pun tau. Jadi bener-bener
silsilah bener-bener diperhatikan. Jadi orangtua-
orangtua kita dulu memang ini lo keluargane ini lo
buyutmu itu mesti, jadi turun-turunnya itu misale
antarane saudaranya mbah sama mbah itu kita tau
gitulo gak hilang sampek kemana ya gak hilang.
Sampek ada yang misale ke jember, ada yang ke
amlang itu ya ketemu.

Peneliti : Kalau misalkan di pernikahan katakanlah ada pesta di


balai desa, memang untuk keluarga yang kurang
mampu itu apakah diharuskan

Sri Guwik : Tidak disini tidak diharuskan, endak terserah tapi kalau
misalkan kalau sini rata-rata walaupun belum mampu
atau tidak mampu itu pasti mbeleh sapi mas, pasti beleh
sapi kalau sudah di balai desa, motong sapi lo ya, tapi
kalau orang yang tidak mampu cuma motong satu

173
kalau orang yang nanggap itu sampai tiga yang
dipotong, kalau sekarang lo biaya selametan di balai
desa kadang sampai habis 200 juta. Kalau nanggap
tayub lo mas, belum lain-lainnya, belum makanya,
sampai 200 tayubnya aja kalau sudah naggap tayub
kadang ya empat yang dipotong ya itu harus empat tapi
kalau selebihnya tidak ada, gitu kalau orang sini
makane

Peneliti : Berarti biaya perniakahn termasuk mahal ya buk ya

Sri Guwik : Iya mahal tetapi, kan set cuma satu kali itu kalau bayi
berulang-ulang kali bayi ya biaya juga kan gitu mas.

Peneliti : Misalkan katakanlah dalam keluarga ibuk ada yang


melakukan perniakhan dini tanggapan ibuk
bagaimanabuk?

Sri Guwik : Iya kalau sebelumnya kalau gak ada kecelakaan lo ya,
kita harus memberi tahu perniakhan dini tu gini gini
gini, kita harus memberi wejangan, biasanya kalau
orang sini kalau sudah diberi itu ya nurut mas gak ada
yang nentang tu gak ada, jasi selama ini keluarga saya
ya gak ada yang nikah dinisemuanya ya udah lulus
kuliah

Peneliti : Kalau misalkan katakanlah sudah terjadi kecelakaan


apakah dari pihak keluarga meminta maaf kepada
tetangga kalau sudah mengotori gitu ata apa buk?

Sri Guwik : Kalau disini enggak, ya cuma kaya itu tadi minta
maafnya dengan bersih desa itu tadi

Peneliti : Jadi permintaan maafnya dengan melakukan bersih


desa?

Sri Guwik : Sudah perwakilan meminta maaf kepada seluruh


warga, kan mantranya kaya gitu. Kadang tidak cuma
sini tok mas, kalau sini ya sampai problinggo juga,
kalau sini ceritanya dulu anaknya nyi roro anteng sama
joko seger samapi probolinggo jadi semuanya di sebut
gitulo mas, jadi 125 anak anaknya roro anteng sama
joko seger semuanya disebut. Jadi kita percaya sama
leluhur kaya gitu, jadi itu bukan apa ya, ya pokonya
kita harus percaya gitu lo mas, kalau saya ngomong
gini nyoba aja maen ke bromo dolanan

174
Narasumber : Sugiyono

Pekerjaan : Pemangku Desa

Tanggal Wawancara : 25-03-2017

Peneliti : Bapak Sugiyono pekerjaan pokoknya apa ya?

Sugiyono : Saya bekerja sebagai petani biasa mas, namun oleh


desa mendapatkan tugas sebagai pemangku adat Dusun
Cemoro Lawang. Tugas saya merawat dan memelihara
adat Suku Tengger agar tetap lestari, saya juga bekerja
sebagai mediator kalau disini ada acara adat mas,
bisanya saya yang memimpin dengan dukun adat.

Peneliti : Kalau menurut bapak, bagaimana adat pernikahan


masyarakat sini?

Sugiyono : Kalau adat pernikahan, banyak sekali prosedur yang


harus dilakukan sebelum menikah, itu semua prosedur
adat yang harus dilakukan, tidak boleh tidak mas, jadi
harus.

Peneliti : Prosedur yang seperti apa itu pak ?

Sugiyono : Ya misalkan pertama awal bertemunya laki-laki dan


perempuan, kemudian melakukan lamaran H-1
sebelum melakukan pernikahan.

Peneliti : Ada proses lamarannya pak ?

Sugiyono : Kalau lamaran yang di sini memang pada umumnya


kalau sudah mau H-1 itu baru dilaksanakan lamaran ....
kalau jauh-jauh hari itu hanya semacam cinta aja tapi
dalam urusan soal cinta tetap dari antara orangtua laki-
laki dengan orangtua perempuan itu pun harus saling
mengetahui, harus benar-benar soalnya kan ini harus
ada pertanyaan, misalkan anak saya perempuan terus
sudah dapat jodohnya kan itu, anak laki ini harus kita
tanya anaknya siapa, takutnya nanti setelah orang itu
berjodoh itu yang menentukan di atas, tapi nanti
takutnya itu, ada hubungan masih ada keturunan, kan
harus itu kita kan bertanya harus itu ya itu yang
pertama yang harus kita tanyakan jadi tanya sebelum
proses itu memang perbedaan antara perempuan dan
laki-laki itu harus jelas, harus jelas identitas

175
maksudnya, jadi dengan artinya supaya diluruskan
kalau memang tidak ada hubungan antara orangtua laki
dan orangtua perempuan, mungkin hubungan saudara,
saudara keberapa soalnya ini turunan ketujuh masih
berlaku di sini

Peneliti : Setelah proses lamaran, apa ada lagi proses yang lain?

Sugiyono : Ada proses rembukan, dari orang tua, pemangku adat


dan dukun adat.

Peneliti : Yang dimaksud dengan rembukan itu, rembukan apa


saja pak ?

Sugiyono : Ya itu mas, menghitung garis keturunan.

Peneliti : Perhitungan silsilah keluarga ya pak?

Sugiyono : Turunan ketujuh masih berlaku kalau orang sini


makanya tradisi itu masih dipegang oleh kita dari dulu,
kita harus ada prosedur itu. kalau memang itu memang
tidak ada garis keturunan dari kakek, nenek, canggah,
wareng, yang dulunya sampai dengan yang sekarang
cucunya yang sekarang berarti sudah bersih kanan
kirinya tidak ada hubungan dengan keluarga gitu, nah
alasanya itu prosedurnya seperti itu artinya kalau
misalkan sudah tidak ada tersandung dengan hubungan
dengan kekeluargaan maka ia disilahkan karena sudah
jodohnya kan itu baru seperti itu, itu yang pertama.
Kedua cara proses pelamaran kalau orang sini memang
juga ada pantangan tersendiri dan juga ada perhitungan
hari kan begitu, jadi kalau memang belum ada proses
mau pernikahan itu memang tidak diperbolehkan,
artinya itu hubungan antara orangtua laki-laki dengan
perempuan ini jangan terlebih dahulu, artinya itu
sebetulnya ya sudah diterima cuma secara ngobrol
dengan antara lahir dan batinya ini itu yang artinya
nanti ngomongnya kalau sudah H-1 menetapkannya
seperti itu, jadi hubungan tetap secara hubungan tetap
sebenarnya nanti takut di dalam salah satu entah itu
keluarga perempuan atau lakinya takut ada yang
berhalangan contohkanlah kematian kalau sudah ada
suatu kematian berarti ini sudah ada proses tidak
diperbolehkan apalagi belum pernikahan, kalau orang
sini ya belum di upacarai ya itu tersandung ya artinya
ada halangan lah itu maksudnya ada seperti itu

176
Peneliti : Proses ini memang harus dijalankan oleh semua
masyarakat Ngadisari pak?

Sugiyono : Oh iya mas, harus dilaksanakan karena itu semua kan


adat dari leluhur kita mas, jadi harus pokoknya mas.
Kalau pernikahan mau harmonis ya harus dijalankan.

Peneliti : Setelah proses menghitung keturunan apakah ada


proses lain pak?

Sugiyono : Wah masih banyak mas, setelah proses itu ada lagi
proses orang tua datang ke pak tinggi dan dukun adat
untuk menentukan hari baik pernikahan, semua
disesuaikan dengan kalender tengger. Nanti yang
menentukan pak tinggi, jadi seperti ambil urutan seperti
itu mas. Perhitungan itu juga berdasarkan pada weton
kelahiran calon pengantin mas.

Peneliti : Adakah yang membatalkan proses pernikahan pak ?

Sugiyono : Ada mas, pernikahan akan dibatalkan jika itu masih


satu keturunan, terus apabila saat jeda proses
pelamaran ada keluarga yang meninggal, nah itu kalau
masyarakat sini percaya sebagai pantangan, jadi
pernikahan harus dibatalkan, itu pertanda dari pada
leluhur tidak merestui pernikahannya.

Peneliti : Prosedur lain atau pantangan lain ada lagi atau tidak
pak?

Sugiyono : Baru selesai itu semua bisa upacara pernikahan


namanya upacara walagara. Jadi yang disebut dengan
wiwaha samkara itu adalah upacara walagara itu. Di
upacara walagara hubungannya untuk
mengharmoniskan antara laki dan perempuan dan
disatukan dengan alam semesta ini, itu yang disebut
dengan upacara walagara

Peneliti : Jadi kalau orang yang melakukan pernikahan dini


dengan hamil di luar nikah termasuk melanggar adat
atau bagaimana pak?

Sugiyono : Oh iya mas, karena pernikahan kan hal yang sakral


tidak bisa terburu-buru karena kalau mau
kawin,umapamnya semua dilibatkan, leluhur dan
masyakat juga.

177
Peneliti : Menurut bapak apakah perlu pernikahan dini itu
dibatasi?

Sugiyono : Ya perlu mas, makanya pak tinggi membuat peraturan


tentang syarat menikah.

Peneliti : Yang bapak maksud itu syarat apa ya?

Sugiyono : Sejak tahun 2007 sudah dicanangkan memang syarat


mutlak bagi desa saya, makanya saat ini menjadi
contoh bagi desa lain, jika ingin tercatat di cacatan
sipil harus lulus dari SMA baru diperbolehkan untuk
melakukan pernikahan. Laki perempuan, kalau
menurut aturan undang-undangnya kan antara 17 sama
19 tahun, laki yang 19 tahun perempuan yang 17 tahun,
itu menurut undang-undangnya seperti itu, di sini
dipertegas lagi kalau belum lulus SMA atau sederajat,
minimal kita kalau tidak sampai di SMA kejar paket C,
jadi misalkan ada masalah kebobolan ya sudah hamil
dulu apalagi usianya masih diantrara usia masih SMP
lulus SMA masih belum tuntas ya itu memang ada
proses ada proses perjanjian masyarakat itu memang
ada perjanjian di atas matrai dengan pernyataan harus
menyelesaikan dulu harus lewat paket B atau C

Peneliti : Bagi pelaku pernikahan dini yang hamil duluan apa


terkena hukum adat pak?

Sugiyono : Pelaku pernikahan dini dan hamil duluan harus bersih


desa dari awalnya sebelum upacara pernikahan harus
bersih desa dulu, jadi artinya itu yang pertama
membersihkan diri sendiri antara laki-laki dan
perempuan, kedua membersihkan yang sebagai kepada
penunggu yang ada di desa, punden yang ada di desa,
jadi kita bersihkan terlebih dahulu, artinya
mengenalkan telah ada kejadian seperti ini supaya nanti
tidak mengganggu semua masyarakat Suku Tengger.
Karena kasusnya begini memang tidak bisa dielakkan
kalau sudah ada yang hamil duluan itu sudah
menandakan banyak yang pilek, flu juga itu yang
biasanya menjadi tanda-tandanya.
Peneliti : Wah, sampai seperti itu ya pak, wajib melakukan
bersih desa, itu dilakukan dimana pak?

Sugiyono : Kalau bersih desa dilakukan di rumah perempuan,


bukan satu desa. Jadi dukun ada mimpin upacara bersih
desa itu.

178
Peneliti : Untuk pernikahan yang hamil di luar nikah atau
pernikahan dini tadi apa dilakukan dibalai desa juga
pak?

Sugiyono : Untuk pernikahan dengan kasus begitu, enggak di balai


desa mas kawinnya, pernikahananya hanya dilakukan
di rumah saja, itu kan aib keluarga mas jadi tidak
diramai-ramaikan seperti biasnaya.

Peneliti : Kalau tadi kan sanksi secara adat ya pak, kalau secara
materi apakah ada?

Sugiyono : Oh ada mas, untuk laki-laki membayar 10 kubik batu


dan perempuan 5 kubik, itu sesudah peraturan desa
tidak bisa ditawar lagi.

Peneliti : Peraturan yang sudah dibuat tadi kan sangat baik ya


pak, masyarakat juga mendukung dan menjalankan,
apa itu penerapan dari Catur Guru pak?

Sugiyono : Iya benar sekali itu mas, saya sangat mengormati Catur
Guru, saya menghormati ajaran tuhan, pemerintah,
guru dan khususnya orangtua, karena bagaimana pun
orangtua kita, belau sudah memberikan kehidupan
yang baik buat kita, jadi harus dihormati perkataannya,
nasihatnya. Istilah orang sini yang dipegang itu
namanya mendem jeru mikul duwur.

Peneliti : Menurut bapak, kenapa Catur Guru harus dipegang?


Khususnya terkait dengan pernikahan.

Sugiyono : Memang itu yang dipegang kita harus saling harmonis,


konsep dasarnya emang harus harmonis, makanya
seperti pemerintah memang harus kita hormati,
walaupun pemimpinnya siapa saja di desa sama
siapapun yang memimpin kita harus bekti, makanya
dinamakan Catur Guru bekti itu, sudah tidak bisa
ditinggalkan itu, jadi kalau keempatnya kita jalankan
maka akan seimbang, nyaman, artinya gini aja kita bisa
jadi harmonis kan, apapun yang menjadi perdes apapun
yang menjadi aturan yang ada di desa ya harus kita
ikuti yang dari pemerintah juga harus kita ikuti baru
bisa kita harmonis, jadi gak saling tarik menarik, saling
curiga terhadap pemerintah, ya seharusnya kita akui
kan itu sudah harus kita hormati, makanya kita juga
harus bekti kepada pemerintah, bekti kepada orangtua,
bekti kepada sang memberikan penciptanya, bekti
terhadap sesama kan gitu

179
Peneliti : Apakah ada konsep lain yang mendukung konsep
Catur Guru ?

Sugiyono : Iya ada mas, kalau berdasarkan agama, ada yang


namanya Brahmacari.

Peneliti : Apa itu Brahmacari pak?

Sugiyono : Jenjang Brahmacari menuntut ilmu dulu, sebelum


menikah artinya kalau masih bujangan harus dipuaskan
terlebih dahulu makanya kita baru adem ayem tentrem
sudah bisa menemui titiknya, sedangkan lain kalau di
usia bramacarinya belum kita lengkapi belum kita
penuhi akhirnya kan kita tergesa-gesa sudah ingin
menikah dan lain sebagainya akhirnya di dalam masa-
masa pertumbuhan ya kadang-kadang masih
tergoncang, pikiran masih ke mana-mana. Maka usia
antara 17 sampai 19 tahun dirasa sudah cukup di
dalam usia bramacari-nya seperti itu, apalagi kalau kita
sampai ke perguruan tinggi berartikan luas ilmunya,
pengalaman juga luas, kedewasaannya sudah matang
akhirnya kita membentuk rumah tangga kita juga sudah
baik. Jadi kalau karena sudah dijelaskan minimal harus
lulus SMA itu tujuannya seperti itu, sudah cukup umur
dan berpikiran dewasa

Peneliti : Oh jadi begitu ya pak, kalau pernikahan kan terkait


dengan anak, bagi bapak makna anak itu seperti apa?

Sugiyono : Bagi saya anak itu penerus keturuna, baik itu laki-laki
maupun perempuan sama saja tidak ada yang
diistimewakan. Jika saya ya mas, tidak punya anak
hidup saya kurang tentram karena dimasa tua tidak ada
yang mengasuh saya, jadi punya anak saja itu sudah
jadi kebanggan bagi saya karena kelak akan ada yang
merawat dan itu juga yang disebut mikul duwur
mendem jero. Selain itu anak akan berbakti kepada kita
itu sudah kita anggap lunas, kalau belumkan berarti
masih hutang budi kepada kita.

Peneliti : Bagaimana cara bapak melakukan pencegahan


pernikahan dini ke anak-anak bapak?

Sugiyono : Saya itu mas, selalu berpesan kepada anak saya agar
tidak melakukan pernikahan dini, karena itu bisa
menyusahkan dan membebankan orang tua, itu juga
akan melanggar aturan adat Tengger.

180
Peneliti : Apakah ada cara lain sepemahaman bapak dalam
mengingatkan anak bapak ?

Sugiyono : Saya juga mengingatkan untuk anak saya, bergaul yang


baik, yang sesuai dengan adat dan agama, jangan
sampai itu dilanggar, dan kewajiban sebagai anak itu
berbakti kepada orang tua.

181
Narasumber : Biarto

Pekerjaan : Petani Sayur

Tanggal Wawancara : 25-03-2017

Peneliti : Selamat sore pak, dengan bapak siapa nggih (ya)?

Biarto : Saya Biarto dek, ada keperluan apa ya dek?

Peneliti : Saya mahasiswa dari Malang pak, sedang melakukan


penelitian di Desa Ngadisari pak.

Biarto : Oh iya dek, bagamana ? apa yang bisa saya bantu dek?

Peneliti : Bapak asli masyarakat Ngadisari ?

Biarto : Iya dek, saya asli sini dek, ini adek penelitian tentang
apa?

Peneliti : Kan saya penelitian tentang Catur Guru yang


berhubungan dengan pernikahan dini

Biarto : Oh begitu ya, kalau disini memang masih memegang


adat dari mbah leluhur terdahulu, nilai itu ya tidak
boleh ditinggalkan loh dek, harus dijalankan dan
diturunkan ke anak-anak kita, anak-anak diberitahu
misalkan kalau nikah harus gini, harus gini jadi semua
tahu dek.

Peneliti : Begitu ya pak, kalau boleh tau menurut bapak


pernikahan dini itu bagaimana ya?

Biarto : Nikah dini itu apa ya dek?

Peneliti : Gini pak, pernikahan dini itu menikah dibawah umur


16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-
laki.

Biarto : Oh itu dek, iya saya tau kalau begitu, saya dulu juga
nikah muda dek hehe

Peneliti : Wah iya to pak? Boleh bapak ceritakan dulu itu


bagaimana pak?

182
Biarto : Saya dulu menikah ya menikah aja mas, pokoknya
proses adat saya lakukan semua, sudah beres. Setelah
itu saya ke pak tinggi dan pak dukun meminta hari baik
dan menghitung weton itu mas. Nanti pak dukun yang
menentukan harinya. Setelah itu saya berdoa ke para
leluhur di punden dan ura mas supaya diberikan
kebahagian dan kelanggengan. Saya dulu belum tau
pentingnya sekolah, saya sekolah SD juga atas
kemauan orangtua terus disuruh sekolah lagi tetapi saya
tidak mau, karena saya ingin bekerja saja di sawah
sama bapak.

Peneliti : Apa dulu bapak tidak mengerti dampak pernikahan dini


pak?

Biarto : Wah ya itu, saya kan tidak tau,, saya ya enggak paham
dek, wong ya saya ini orang bodoh yang sekolahnya
rendahan, tapi dulu itu ada yang memberi tahu saya,
dulu temen saya yang memberi tahu,itu loh yang buka
toko itu, nah dia itu yang memberi tahu saya.

Peneliti : Dulu bapak kok segera ingin menikah karena kemauan


bapak sendiri atau bagaimana?

Biarto : Saya dulu ingin menikah karena memang saling cinta


dan bapak ibu saya juga sudah merestui dek, jadi saya
menikah loh dek hehe.

Peneliti : Sebelum menikah syarat adanya apa aja ya pak?

Biarto : Maaf ya dek kalau untuk masalah adat, samean tanya


ke pak dukun atau pak pemangku aja, saya takut salah.

Peneliti : Oh iya pak, nanti saya tanyakan ke beliau pak.


Kalau setelah menikah dengan istri bapak saat ini apa
ada kendala ya pak?

Biarto : Saya dulu setelah kawin masih sulit sekali mas, ya


enggak langsung enak mas, semua kan menata dari
awal lagi mas. Ekonomi, keuangan keluarga juga
pelan-pelan ditata. Apa lagi dulu pas hamil itu, istri
saya sakit-sakitan mas, tiap hari badannya panas,
muntah-muntah dan kayak orang kram gitu loh mas,
saya kan jadi khawatir dengan keadaan istri saya, saya
bingung apa penyebannya, pas mau melahirkan begitu
juga mas.

Peneliti : Wah begitu ya pak

183
Biarto : Waktu istri saya hamil, rumah tangga saya mulai diuji
mas, terutama ekonomi saya. Istri saya sakit panas,
muntah-muntah dan perut sering kram jadi mau tidak
mau saya periksakan ke tukang urut kalau namanya
sekarang mas. Terus saya juga bawa mantri (dokter) ke
bawah karena saya kasihan juga melihat dia kesakitan.
Bolak balik itu mas, jadi keluar uang banyak. Setelah
melahirkan masih dikasih ujian lagi saya mas, istri saya
susunya (payudara) kadang keluar ASI kadang tidak,
jadi kalau pas tidak keluar ASI saya bikinin tajin buat
anak saya atau membeli susu sapi di tetangga, tapi
sekarang istri saya sehat

Peneliti : Menurut bapak setelah bapak mengalami peristiwa


seperti itu bagaimana? Apa ada hubungannya dengan
kawin muda?

Biarto : Iya dek, saya jadi mikir itu dek, apa karena istri saya
terlalu muda ya untuk punya anak, sampai sakit-sakitan
begitu, kasihan juga pihak perempuannya kalau terus
seperti itu dek.

Peneliti : Terus jika seperti itu apakah bapak setuju, jika anak
bapak kawin muda?

Biarto : Wah ya tidak, tidak dek, jangan sampai lah dek, saya
tidak mengijinkan. Apalagi kalau ekonomi belum
ketoto (tertata) sebaiknya jangan. Saya akan menyuruh
dia untuk sekolah saja dulu. Kalau sudah
sekolah,banyak ilmu yang didapat kan bisa juga buat
bekal menikah ya dek, jadi lebih baik lah dari pada
harus menikah langsung.

Peneliti : Selain usaha bapak yang seperti itu tadi, apakah ada
usaha lain yang dilakukan?

Biarto : Wah, desa saya sekarang pemerintahannya serius sekali


dalam memperbaiki desa dek, semua diperbaiki,
tidaknya jalan-jalan, saluran air tetapi juga pengetahuan
masyarakat sini. Semua disuruh sekolah sampai SMA,
supaya punya ilmu yang cukup untuk masa depan. Saya
setuju dek itu semua, itu program yang bagus dan perlu
didukung oleh masyarakat, kalau desa sini memang
guyub, gotong royongnya kuat dek.

Peneliti : Pemerintahan yang serius itu yang bagaimana ya pak?

184
Biarto : Gini loh dek, saya itu senang dengan pemerintahan
desa ini 15 tahun terakhir terkait dengan pernikahan,
karena pemerintah desa serius untuk melakukan
perbaikan, jadi masyarakat bisa lebih lebih baik dek.

Peneliti : Oh begitu ya pak, itu upaya dari desa ya pak?

Biarto : Iya benar mas, selalu bu tinggi itu mewanti-wanti


supaya tidak menikah muda dan menyarankan agar
sekolah dulu.

Peneliti : Apa aja yang selalu dipesankan oleh pak tinggi dan bu
tinggi pak kepada masyarakat?

Biarto : Kalau pemerintah desa sekarang sudah sangat peduli


terhadap masyarakat. Selalu memberikan pengetahuan
akhirnya masyarakat sadar dan mengerti. Selain itu
mas, pak tinggi kalau waktu ada acara desa atau adat
selalu berpesan tentang Catur Guru. Memang benar itu
mas, anak saya selalu saya beritahu tentang Catur Guru
agar masa depannya baik. Repot juga kalau sampai
sebagai orang Tengger tidak mau memegang adat
Tengger lama-lama hilang mas, nah ini kan perlu dijaga
agar, Catur Guru harus dipegang, kalau tidak dipegang
bias-bisa kami tidak dilindungin lagi sama Sang Hyang
Widi

Peneliti : Selain itu menurut bapak apa fungsi Catur Guru?

Biarto : Catur Guru itu mas, bisa mengingatkan kita kalau ingin
berbuat, nasihatnya, ajarannya semua harus dihormati
dan dijalankan demi kebaikan kita semua.

185
Narasumber : Mersaid

Pekerjaan : Petani

Tanggal Wawancara : 30 Maret 2017

Peneliti : Bapak, sebenarnya bagaimana pandangan bapak


tentang pernikahan dini?

Mersaid : Kalau untuk pernikahan dini ya, itu enggak baik


banget dek. Akibatnya juga bukan ke saya aja tapi
ke anak cucu juga. Pokonya itu enggak baik banget
dek. Kalau anak kecil udah nikah itu banyak
masalahnya pasti kalau rumah tanggga. Soalnya
belum siap semua dek, sikapnya juga kan masih
kekanak kanakan.

Peneliti : Kalau yang bapak lihat tentang pernikahan dini di


Desa Ngadisari ini bagaimana ?

Mersaid : Ngadisari ini kayanya udah jarang banget dek ada


kaya gitu, beda sama jamanku dulu banyak banget,
malah kayanya hampir semua. Tapi sekarang udah
enggak gitu lagi, sudah agak maju sudah ada
peraturan sendiri buat pernikahan. Misalnya
umurnya berapa gitu boleh nikah, terus sekolahnya
harus lulus sampe apa. Jadi lebih baik lah kan kaya
lulus harus SMA minimal, jadi lumayanlah paling
enggak pola pikirnya udah agak dewasa. Tapi ya
kalau bisa sampe mapan dulu kerja enak
pendidikannya juga tinggi kan dewasa.

Peneliti : Setelah adanya peraturan itu apa masih ada


pernikahan dini disini bapak?

Mersaid : Kalau sekarang jarang dek ada yang nikah muda


gitu, kalau enggak karnakebablasan. Kaya hamil
duluan, ya masih ada lah tapi enggak banyak. Kalau
mereka ketahuan ya langsung dinikahkan gitu. Tapi
biasanya enggak dapet buku nikah kalau masih
kecil kaya SMP. Nanti kalau udah punya KTP baru

186
diurusin buku nikahnya, tapi walaupun gitu harus
tetep ngelanjutin sekolahnya. Pokonya harus
minimal lulus itu sekolah SMA. Enggak tau gimana
caranya harus SMA walaupun sekolah paketan itu
dek, paket c itu ya. Soalnya udah peraturan dari
desa ini.

Peneliti : Lalu seperti apa bahaya pernikahan dini?

Mersaid : Bahaya banget, soalnya ya tadi dia kan juga belum


dewasa. Namanya anak kecil taunya berantem
masalah temennya tiba-tiba kan belum siap udah
nikah ketemu masalah rumah tangga, kan ya
enggak ngerti apa-apa dek, lah masih kecil.terus
juga masalah ekonominya, pendidikannya kan
rendah juga umurnya masih kecil jadi gimana mau
dapat pekerjaan yang mapan, minimal mencukupi
lah. Mereka kan belum punya pengalaman ya.
Susah dek pokonya kalau pas ada masalah
ekonomi, pasti tukaran terus yang di ribet i itu
orangtuanya lagi. Ke kesehatannya itu juga enggak
baik dek. Masih belum sekuat orang dewasa.
Enggak siap lah pokonya dek kalau ada apa-apa.

Peneliti : Menurut Bapak ketidaksiapan seperti apa yang bisa


menjadi masalah?

Mersaid : Ya kaya pengalaman saya dulu dek, saya sama istri


saya dulu kan ceritanya nikah muda, saya dulu itu
sampe bingung harus gimana ya enggak bisa
berpikir jernih gitu dek, namanya juga masih muda
banget belum banyak pengalaman dan anak muda
itu kan biasanya gupuh an toh dek. Kalau muda
biasanya kan daya tahan atau kekuatannya kan
lebih rendah ya. Ya gitu dulu saya pernah merasa
sedih sekali dek saat istri saya keguguran dua kali
berturut-turut. Saat ini saya merasa setress sekali
dengan keadaan saya. Kalau orangtua saya saat itu
mengijinkan saya menikah lagi agar punya anak
dek, saya menikah lagi kok, itu yang ada di pikiran
saya, tapi saya enggak bilang ingin menikah lagi ke
istri saya. Orangtua saya ngadem-ngadem saya

187
dek, untuk banyak berdoa dan sembayang biar saya
enggak stress. Soalnya waktu itu saya udah mikir
nikah lagi biar saya punya keturunan gitu, pikiran
saya dulu gitu.

Peneliti : Tadi Bapak menyebutkan tentang daya tahan tubuh


rendah, bisa dijelaskan seperti apa Bapak
mengetahuinya?

Mersaid : Gini loh dek, dulu itu kan istri saya sampe
keguguran dua kali kan ya, sampe saya bingung
kenapa kok bisa begitu. Tapi bersyukur ya
kemudian istri saya enggak kegugura lagi dan saya
punya anak. Terus waktu itu saya ketemu sama
wisatawan asal Probolinggo, waktu itu saya kan
ngobrol sama dia. Ternyata dia ini dokter gitu kerja
di rumah sakit mana gitu saya lupa.terus saya juga
Tanya kenapa gitu istri saya bisa keguguran sampe
dua kali. Dokter ini ikut saya mampir kerumah
akhirnya buat bertamu dan ketemu istri saya.
Waktu itu dia bilang ternyata istri saya bisa
keguguran terus karena masih muda gitu katanya.
Jadi masih belum siap rahimnya buat mengandung.

Peneliti : Dari pengalaman lalu bagaimana bapak berpikir


selanjutnya?

Mersaid : Wah, saya nyesel banget dek nikah muda, tau gitu
saya nanti-nanti dulu nikahnya, ya saya cari kerja
dulu yang enak, sekolah yang pinter. Jadi saya lebih
mampu lah buat berumah tangga. Ini juga nikah
karna orangtua menyuruh saya untuk segera
menikah. Soalnya saya mikirnya kalau saya turutin
permintaan orangtua saya, pasti mereka seneng dan
bangga punya anak yang manut.tapi ternyata bener
dek susah untuk menjalani rumah tangga itu,
soalnya saya asih kecil, belum tau apa-apa, belum
banyak pengalaman hidup.

Peneliti : Untuk para remaja di Desa Ngadisari harus seperti


apa menurut Bapak kedepannya?

188
Mersaid : Ya kalau bisa menikah itu kalau sudah mampu
semua lah. Mampu ekonomi juga mampu
menghadapi semua. Apalagi saya kan punya anak,
saya terus anjurkan dia sekolah terus yang baik,
yang pinter, jangan kaya saya nduk kamu harus
lebih dari saya, gitu saya bilangnya.

Peneliti : Lalu bagaimana Bapak memberi tau anak Bapak


tentang hal ini?

Mersaid : Kalau ngasih tau ya enggak kurang-kurang ya dek,


saya selalu saya kasih tau. Saya juga ceritakan
masa lalu saya, gimana menghadapi semua dan
gimana tantangan dan akibatnya juga diumur segitu
mudanya. Sekarang saja saya kadang
membayangkan gimana seumpama saya sekolah
pinter, nikah diumur yang pas, kadang saya juga
sering pernah menyesal dek dengan keadaan yang
saya alami dulu itu, saya bodoh tidak punya
pertimbangan jika ingin nikah, saya Cuma nurut
bapak supaya bapak bahagia dan senang kalau saya
menikah. Saiki dek, saya loh mikir kalau menata
ekonomi da ilmu itu penting. Makanya si nduk saya
kasih tahu terus biar enggak kayak saya susah
begini. Saya mencoba mengajarkan dia tentang adat
dan agama supaya masa depannya bagus gitu loh
dek. Terus saya kasih tau tentang Catur Asrama,
jalaran’e urip’e penganut Hindu ana tahapane,
masih muda banyakin ngilmu itu namanya
Brahmacari dan bekerja keras ben apik
ekonomi’ne baru menikah atau ke tahap Grahasta.

Peneliti : Selain dari peraturan yang mencegah, kemudian


dari agama atau budaya seperti apa Bapak
mengetahuinya?

Mersaid : Seperti Catur Guru itu jika benar-benar diamalkan


itu pasti akan banyak manfaatnya bagi kehidupan.
Makanya saya selalu menanamkan dan selalu
mengajarkan juga mengingatkan si nduk supaya
jangan lupa Catur Guru. Karena itu yang bisa

189
menuntun kamu buat menjalani kehidupan dengan
baik.

Peneliti : Seperti apa Catur Guru bagi Bapak?

Mersaid : Catur Guru itu bagi saya itu pedoman hidup dek,
bener-benr penting banget buat kehidupan. Kalau
tidak ada itu pasti kehidupan tidak akan berjalan
baik dan selalu banyak tantangan. Ya memang
banyak tantangan dalam kehidupan. Tetapi kita
akan sulit menghadapinya dan juga sellalu kalah
gitu. Seperti yang paling tinggi itu Sang Hyang
Widi, semua kehidupan itu kita bisa dapat ya dari
Tuhan. Jika enggak ada Tuhan apa bisa kita
menjalani hidup, apa bisa kita menghadapi
tantangan hidup, itu harus benar-benar kita pahami
dek. Terus Guru Wisesa yaitu pemerintah, saiki ya
dek kalau gaada peraturan-peraturan dari
pemerintah juga kaya program-program pemerintah
yang baik pasti kehidupan bermasyarakat iki dek
ora bakal maju, mesti pola pikir’e enggak bisa
berkembang. Ketiga itu Guru Pengajian yang guru
di sekolah, guru itu juga memberi ilmu yang
berharga. Dia ngajari muridnya dengan banyak
wawasan dan juga bermanfaat sekali buat
kehidupan. Guru juga sebagi panutan dek,
walaupun gajinya dikit dan enggak sebanding
dengan lamanya dia mengajar tapi tetep ikhlas. Dia
juga enggak pelit ilmu, ya banyaklah dek yang bisa
ditiru. Terus juga ini apa Guru Rupaka itu orangtua,
yang melahirkan kita, membesarkan kita juga ini
ngasih nasehat wejangan sing apik. Makanya dek
kita sebagai anak iku kudu manut ke orangtua, kudu
ngabdi. Makanya dulu kok saya nuruti orangtua
saya buat nikah soalnya saya berpikir kalo anak itu
harus manut ke orangtua.

Peneliti : Kemudian untuk peraturan yang sudah dibuat


apakah Bapak merasa dipaksa?

190
Mersaid : Dipekso iki ya ora dek. Tapi kan peraturan itu
memang ada untuk dipatuhi juga pastinya
pengennya membuat lebih baik gitu. Ya dilihat saja
lah sejak ada peraturan gitu kan buktinya ke desa
ini sudah sangat banyak. Dulu belum ada peraturan
dari pak kades aja namanya nikah muda itu wajar
banget dek, banyak banget. Poko’e nemu pasangan
rabi, nemu pasangan rabi, gitu jadi tidak
mempertimbangkan sangunya buat nikah itu
gimana. Apalagi kalau ada dorongan dari orangtua.
Tapi sekarang kan jarang banget kalau enggak
karena hamil duluan. Enggak dipaksa kok dek,
malah saya dukung banget, jadi pemuda desa ini
bisa lebih berkembang lah bisa lebih baik. Apalagi
saya sebagai orangtua ya pasti sangat senang
dengan peraturan gini, lebih maju buat kedepannya
dek.

Peneliti : Untuk pernikahan di Ngadisari ini selain harus


lulus SMA apa ada peraturan lain atau prosesnya?

Mersaid : Ada dek, jadi kaya prosesnya itu loh kalo saya
bilang itu memang ribet ya, tapi namanya adat ya
harus dijaga, apalagi udah serba modern gini dek.
Siapa lagi yang mau jaga budaya kita kalo enggak
dari kita sendiri yang sadar. Prosesnya itu ribet dek,
jadi ya kalau misalkan anak saya nikah, saya datang
ke pak tinggi dan Pak Sutomo unntuk minta hari
baik dek, nanti kalau sudah dikasih enak sudah,
tinggal menunggu aja sambil persiapan biaya, adat
danlain-lain pokoknya, sambil nugggu sambil
persiapan. Nikah di sini sekarang harus lulus SMA
dulu dek, nggak bisa kalau belum lulus SMA,
enggak dibolehkan sama desa. Saya pikir-pikir juga
buat pemuda desa,biar pada sekolah dulu baru
nikah, jangan kayak saya.

Peneliti : Apa ada perbedaan pernikahan yang khusus dari


desa ini dengan desa lain Pak?

Mersaid : Yang saya tau dek pokoknya mahal, itu. Ya bisa


dibayangkan aja kan prosesnya ribet, harus kesana

191
kesini acara sana acara sini. Terus juga udah jadi
budaya dek, jadi kadang habisnya bisa sampe 100
juta, soalnya kita ini harus ngundang orang se desa,
belum lagi kalau ada yang dari luar desa diundang
juga. Habis banyaknya ini di makannya itu dek
apalagi kalau sama ngundang tayub juga. Padahal
kalau diliat ya cuma iku-iku ae tapi biayanya besar
banget. Jadi itu orangtua harus nyiapin dana yang
nggak sedikit sejak lama, ya disiapin aja nabung
gitu walaupun belum daftar ke pak tinggi.

Peneliti : Kalau seumpama pak, anak bapak ingin menikah


muda bagaimana?

Mersaid : Ya kalau sekarang saya liat jaman udah


berkembang dek, nikah muda itu kalau sekarang
kan agak aneh. Enggak kayak dulu. Tapi kalau
cewek sih ya gapapa dek lulus SMA nikah. Tapi
kalau cowok itu ya saya usahakan lah bisa sampe
lebih tinggi. Biar pintar dek, jadi contoh juga.

192
Narasumber : Satuman

Pekerjaan : Petani

Tanggal Wawancara : 30 Maret 2017

Peneliti : Bagaimana menurut Bapak kehidupan beragama dan


budaya maupun adat di Ngadisari ?

Satuman : Kalau agama ya Hindu paling banyak ya mas, karna


memang sudah mayoritas terus di sini Hindu itu sudah
turun temurun dari leluhur mas. Jadi agama sama adat itu
sudah jadi satu gitu. Jadi harus jalan semua enggak ada
yang harus ditinggalkan apa dibuang salah satunya.

Peneliti : Kalau boleh tau, Bapak dulu sekolah hingga jenjang apa ?

Satuman : Dulu saya orang yang enggak punya mas, orangtua saya
juga enggak mampu buat biayai saya lanjut sekolah. Saya
juga bisa apa, kadang juga kasihan sama orangtua saya
kalau saya sekolah terus uangnya habis buat sekolah saya.
Jadi SD saja saya enggak lulus, mending saya ikut
orangtua berladang, bantu mereka. Soalnya saya tau kalau
mau punya uang ya harus kerja buat makan kata orangtua
saya.

Peneliti : Jadi Bapak sudah berladang sejak SD ya Pak?

Satuman : Iya mas, biar bisa bantu orangtua mas. Kan kalau saya
belajar cari uang dari kecil jadi pas udah besar sudah
banyak pengalaman mas, gitu.

Peneliti : Seberapa penting pendidikan menurut bapak?

Satuman : Menurt saya yam as pendidikan itu cukup bisa baca, tulis
sama hitung. Yang penting gimana kita punya pengalaman
kerja dan bantu orangtua, mandiri gitu mas.

Peneliti : Tapi pendidikan juga bisa untuk membantu supaya bisa


bekerja mapan pak?

193
Satuman : Nggak selalu mas, percuma sekolah tinggi akhirnya saya
juga di ladang ikut orangtua. Soalnya pengalaman itu
banyak yang didapat di luar sekolah mas. Jadi kita lebih
tau gitu.

Peneliti : Bapak di umur berapa menikah?

Satuman : Saya dlu nikah kalau nggak salah umur 16 mas, saya
ketemu istri saya terus saya dekat sama dia. Ya saya
ngerasa cocok aja jadi saya nikah saja. Karna saat itu kan
saya udah kerja lah minimal nerusin usaha orangtua di
ladang. Waktu itu istri saya umurnya beda 2 tahun dari
saya mas, berarti 14 tahun. Sama kaya saya dia malah
enggak sekolah, kan kalau saya masih SD lah walaupun
nggak sampek selesai.

Peneliti : Apa saat itu ada peraturan sendiri untuk proses


menikahnya Pak?

Satuman : Iya mas, dulu kalau orangtua udah dibilangi dan setuju
terus suruh ke Pak Tinggi nyari hari baiknya mas. Terus
habis itu ke keuarganya istri bahas silsilah keluarganya
apa masih ada hubungan darah. Kalo ada ya batal gitu
mas, tapi waktu itu saya gaada hubungan darah sama istri
saya minimal 7 turunan lah. Terus kalau udah, ya
ngelamar mas sehari sebelum nikah. Soalnya di sini kalau
mau ngelamar gaboleh lama-lama sebelum nikah. Terus ya
mas saya nikah ini juga menurut saya ngapain lama-lama
kan hidup itu buat meneruskan keturunan, saya kerja,
nafkahi keluarga dan bahagia ma.

Peneliti : Apa Bapak saat itu tidak ada rasa ingin melanjutkan
sekolah Pak?

Satuman : Loh ngapin saya sekolah tinggi sampek SMA misalkan,


kalau saya tetap saya bekerjanya di ladang mas. Percuma
mas, mending saya nikah kerja dan bisa bahagia dengan
istri dan keluarga saya. Saya hanya ingin bantu bapak, dan
bapak sering bilang ke saya sudah ikut bapak ke ladang
tidak usah sekolah, nanti bapak kasih uang kamu buat
jajan sama temanmu, ya sudah saya ikut apa yang bapak
bilang.

194
Peneliti : Jadi memang dari orangtua Bapak sendiri memberi
dorongan unntuk menikah ya Pak?

Satuman : Iya mas, soalnya gimanpun ladang itu juga diwariskan ke


saya, sekarang siapa yang mau ngerawat kalo bukan saya
anknya sendiri. Makanya kan sudah kerja ya nikah aja mas
terus punya keluarga, udah.

Peneliti : Sekarang sudah ada peraturan dari desa tentang meikah,


menurut Bapak bagaimana?

Satuman : Kalau di desa ini memang sudah ada peraturan baru mas,
kalau jaman saya dulu masih enggak ada memang.
Sekarang sudah ada tata caranya mas, terus juga harus
dipatuhi mas. Jadi Pak Supoyo udah buat peraturan
tentang menikah mas, harus lulus SMA lah kalau mau
nikah. Kalau belum lulus SMA ya enggak boleh nikah
mas.

Peneliti : Kalau untuk proses adat salah satu mempelainya dari luar
desa juga begitu?

Satuman : Kalau mempelainya dari luar desa salah satunya ya tetep


ikut adat’e sini mas. Harus ikut proses adat yang ada,
wajib mas.

Peneliti : Kalau dulu menikah tidak ada batasan peraturan, apa dulu
bapak ada tantangan tersendiri untuk menikah muda?

Satuman : Apa ya mas, tapi kan memang rumah tangga itu mesti ono
ae, dulu itu saya pas nikah awal-awal itu ya enggak ada
apa-apa sih mas. Taerus pas saya punya anak satu itu saya
sama istri saya ini sering tukaran mas, masalah ngopeni
anak. Yawes hal kecil gitu loh mas digawe masalah. Kan
kaya saya dulu dari kecil sudah ikut ke ladang sama
orangtua saya. Tapi istri saya itu enggak mau anak saya
diajak ke ladang, kasihan katanya masih kecil dia. Terus
istri saya sampek marah terus pulang ke rumah mertua
saya soalnya saya dibilang keras kepala mas. Jadi waktu
tiu ya istri saya ini sampek seminggu nggak mau balik ke
rumah. Tapi ya saya berusaha bujuk mas, saya enggak gitu

195
lagi dan saya bilang berubah gitu. Akhirnya dia mau ikut
saya lagi balik pulang, ya dia maafin saya mas.

Peneliti : Jadi lebih ke masalah sepele ya Pak?

Satuman : Iya mas, sepele lah paling banyak. Ya itu tadi contohnya,
tapi saya pikir karna saya juga enggak dewasa mas waktu
itu, jadi saya ya tetep minta bimbingan orangtua, nasehat
orangtua mas.

Peneliti : Seperti apa orangtua itu bagi Bapak?

Satuman : Orangtua itu yam as penting banget buat kita, orangtua itu
contoh mas buat anak-anaknya. Orangtua itu Catur Guru
Bekti jadi harus dipatuhi, dihormati mas. Soalnya ya mas
perkataan orangtua itu manjur mas, jadi doa yang tinggi
mas. Yang menasehati juga, kaya dulu kalau saya sama
istri saya tukaran ya orangtua yang ngelungguhne mas,
nasehati gitu di ruang tamu. Saya dibilangin harus dewasa,
jangan keras kepala, ajak istrimu balik sebelum tambah
besaar masalahnya gitu mas. Jadi paginya itu saya
langsung berangkat ke rumah mertua saya buat minta maaf
dan jemput istri saya. Ya pokoknya saya janji enggak
ngulangi itu semua mas.

Peneliti : Jadi orangtua itu posisi tertinggi pak?

Satuman : Kalau di Catur Guru mas ada Sang Hyang Widi yang
utama mas, jadi ajarannya, tata agamanya juga dijalankan
harus mas. Terus pemerintas yang bikin peraturan yang
ngatur sosialnya juga biar kehidupan itu sejahtera mas.
Guru juga, guru itu yang ngajari yang ngasih ilmu ke
muridnya. Ya empat itu tadi mas mempengaruhi sekali
buat kehidupan, biar tenang gitu loh mas hidup itu.

Peneliti : Darimana bapak mendapatkan ajaran Catur Guru pertama


kali?

Satuman : Kalau pertama ya pasti dari orangtua mas.saya diajarkan


dikasih tau dari kecil ya dari orangtua pertamanya.
Soalnya sebagai orang Tengger itu Catur Guru ya harus
dipegang mas.

196
Peneliti : Apa ada sosialisasi pernikahan dini di desa ini Pak?

Satuman : Dari desa ya mas, ada ini biasanya kepala desa jelaskan
tentang pernikahan dini gitu terus juga dampaknya apa.
Biasanya di acara-acara yang ada di sini. Ya lumayan
berjalan lah mas, sekarang sudah enggak ada yang
namanya nikah muda, kalau enggak karena hamil dulu
gitu.

Peneliti : Menurut Bapak apa peraturan ini memaksa?

Satuman : Maksa sih ya iya mas, peraturanitu kan memang sifatnya


memaksa. Tapi kalau tujuannya baik ya kenapa enggak
gitu mas. Kalau saya liat peraturan kayak gini juga ada
bagusnya. Kalau saya oikir juga ada kemajuannya buat
desa mas.

Peneliti : Kemajuan seperti apa pak?

Satuman : Ya contohnya ya mas kan sekarang nikah kan minimal


lulus SMA gitu, ya jadi lumayan lebih dewasa lah mas
kalo nikah. Pasti kalau ada masalah juga mikirnya lebih
dewasa juga kan lebih pinter kalo sekolahnya sampek
SMA mas. Tapi ya kadang gitu masih ada aja yang
nikahnya pas SMP mas.

Peneliti : Pas SMP ya pak?

Satuman : Iya mas pas SMP itu juga gara-gara hamil duluan, ya
masih ada lah yang agak nyeleweng mas.

Peneliti : Walaupun masih SMP teap dinikahkan ya Pak, walaupun


melanggar perturan?

Satuman : Iya sih ngelanggar mas, tapi ya harus segera dinikahkan


soalnya mas ya kalau biasanya gaada yang tau kalu dia
hamil duluan, pasti ada wabah penyakit gitu mas. Jadi
kalau udah ketahuan hamil gitu ya mas ya harus segera
dinikahkan.tapi kalau pas masih umur segitu dinikahin ya
gak dapet buku nikah mas. Nanti kalo dia udah pegang
KTP baru punya diurusin gitu mas.

197
Peneliti : Sampai ada wabah penyakit ya Pak?

Satuman : Iya soalnya kalau pas hamil enggak ada yang tau tapi udah
ketahuan pendayangan ya gitu mas, percaya enggak
percaya ada wabah penyakit gitu.

Peneliti : Jadi segera dinikahkan ya pak?

Satuman : Iya loh mas. Juga diadakan bersih desa kaya upacara gitu
ada prosesnya. Jadi kayak tolak bala gitu loh mas, biar
desa ini tetep aman. Itu bersih desa di pihak
perempuannya mas.

Peneliti : Apa ada hukuman tersendiri untuk mereka Pak?

Satuman : Iya itu mas kalau di ceweknya harus ngadakan upacara itu
tapi kalau di cowoknya didenda mas, suruh beli berapa
kubik batu kali gitu. Banyak pokoknya mas, ya buat
mbangun bangunan desa itu mas.

Peneliti : Apa harus batu kali Pak?

Satuman : Ya boleh yang lain sih mas, pokoknya itu nanti buat
bangun desa gitu. Biar kapok gitu loh mas, juga jadi
contoh buat pemuda desa juga biar nggak ditiru. Soalnya
selain merugikan dia sendiri, desa juga kalau saya jadi
orangtuanya ya malu lah mas, mau ditaruh mana muka
saya dan pastinya ya mas saya pasti merasa gagal sebagai
orangtua.

198
Narasumber : Lestari

Pekerjaan : Petani Sayur

Tanggal Wawancara : 30 Maret 2017

Peneliti : Bagaimana pentingnya pendidikan menurut ibu?

Lestari : Pendidikan itu ya penting mas, pendidikan ya bikin kita


pinter, bikin kita lebih tau dan nambah wawasan mas. Tapi
kalau perempuan itu ya mas ngapain sekolah tinggi-tinggi
kalau akhirnya balik ke rumah di dapur mas. Makanya dulu
saya Cuma sampe SMP aja mas. Kasian kalau terus bayarin
saya sekolah orangtua saya. Terus juga bapak mengajarkan
saya mengatur uang mas dari saat saya kecil, waktu saya
SMP bapak mengajarkan saya untuk belajar ke ibu cara
mengatur uang. Jadi bagi saya lulus SMP aja sudah cukup,
saya ingin cepet-cepet kerja aja bantu bapak ibu. Saya
bangga mas, sama bapak, bapak itu pinter jualan mas, saya
ingin seperti bapak bisnis jualan sayur dan lebih sukses,
pikiran saya waktu kecil begitu mas.

Peneliti : Apa ibu tidak ada sedikit keinginan untuk melanjutkan


sekolah?

Lestari : Ya menurut saya mas SMP itu udah cukup. Saya enggak
mau terus jadi beban buat orangtua saya kalau saya sekolah
terus mas. Jadi ya mending saya cepet kerja dan mandiri
mas saya mikirnya gitu.

Peneliti : Ibu dulu menikah di umur berapa?

Lestari : Saya nikah dulu itu mas pokonya habis lulus sekolah
langsung dapet setahun nikah mas.

Peneliti : Satu tahun setelah lulus SMP ya bu?

Lestari : Iya mas, berarti pas umur saya itu 16 mas. Kan saya
ketemu suami saya terus saya juga sudah sreg gitu. Yauda
kita bilang ke orangtua kalau pengen nikah. Soalnya kan
dari pada nanti ada apa-apanya kaya hamil duluan. Soalnya
waktu itu sering banget banyak banget mas ada hamil
duluan gitu. Kan orangtua juga takut dan saya juga enggak
mau bebani orangtua lagi. Ya jadi saya nikah aja lah mask
an mandiri mas.

199
Peneliti : Jadi pada saat itu memang disetujui orangtua ya bu?

Lestari : Iya langsung disetujui mas, soalnya orangtua dulu juga


was-was banyak yang hamil duluan soalnya, kan gitu mas.

Peneliti : Terus apa tidak baik bu untuk menikah di usia muda?


Lestari : Kalau itu kayaknya enggak ya mas. Enggak masalah kok
mau nikah muda juga enggak papa mas.kan yang penting
udah suka terus ada niat dan juga kan yang penting enggak
melanggar peraturan desa mas. Ya kenapa enggak, enggak
papa lah kalau menurut saya.

Peneliti : Jadi begitu bu, setelah diijinkan menikah tahapan atau


proses ibu dulu bagaimana?

Lestari : Ya kalau udah setuju ya mas sama-sama orangtuanya,


yaudah langsung itu orangtua ketemu bareng terus
ngomongin kaya silsilah keluarga gitu, ada hubungan darah
tujuh turunan apa enggak. Soalnya udah kayak budaya aja
mas dari dulu emang gitu. Katanya biar enggak ada yang
jelek-jelek dateng mas.

Peneliti : Setelah membicarakan silsilah keluarga sudah boleh


menikahh ya bu?

Lestari : Sudah mas, cuma langsung ke kantor desa buat bilang


kalau mau nikah, daftar gitu loh mas. Yaudah terus dikasih
hari gitu buat nikah. Terus dulu itu saya nikah dirayainnya
di balai desa mas. Jadi orang se desa dulu diundang mas,
ya ada juga yang dari luar desa. Mbleh sapi juga mas waktu
itu tiga. Ya ada ditanggapin tayub an juga mas. Ya lancer
mas juga rame banget.

Peneliti : Seperti tayub begitu apa memang harus bu?

Lestari : Kalau harus sih enggak yam as, Cuma memang kalau di
desa sini kalau nikah itu mesti kaya besar gitu mas. Rame
terus ya pokoknya mewah gitu lah mas. Jadi ya itungannya
kalu sekarang ini paling bisa habis sampek 100 juta an lah
mas soalnya kan juga sekarang bahan-bhan ya kebutuhan
kayak pokok itu juga mahal kan mas, enggak kaya jaman
saya dulu.

Peneliti : Setelah menikah bagaimana bu?

Lestari : Dulu pas udah nikah ya udah mas kita tinggal di rumah
sendiri, kan juga jauh dari orangtua. Jadi ya harus mandiri
dan lebih mandiri mas. Semua-semua ya ditangani sendiri,

200
kalau dulu sebelum nikah kan masih ada orangtua. Kalau
ada apa-apa ya orangtua, orangtua gitu mas. Kalau udah
nikah ya mandiri mas, apalagi jadi istri ya mandiri mas
ngopeni anak ya suami juga. Ya saya juga ngerasakan ams
ternyata jadi orangtua itu gini ya rasanya. Jadi ya saya suka
nyesel mas kalau inget dulu kadang saya dibilangin ada
susahnya juga. Ya kadang kangen juga sama bapak ibuk
gitu.

Peneliti : Apa ada tantangan bu setelah menikah di usia muda?

Lestari : Tantangan iki ya mesti ono’e mas. Namanya juga rumah


tangga ya ono ae mas. Kan namanya dua orang yang beda
pola pikir kalo gabung ya mesti ada aja yang beda, ya ada
aja yang diributkan. Tapi ya gitu itu wajar mas. Habis
nikah itu ya bahagia aja mas. Kalo ada masalah ya udah
diomongin gitu, jangan lama-lama, langsung gitu mas biar
cepet selesai.

Peneliti : Kalau ada masalah apa masih meminta pendapat orangtua


bu?

Lestari : Ya mestinya mas, tapi kalau bisa diselesaikan sendiri ya


diselesaikan sendiri dulu. Biar enggak jadi beban orangtua
juga mas. Tapi kalau masih awal-awal nikah dulu ya masih
dikit-dikit ke orangtua, dikit-dikit ke orangtua. Masalahnya
ya kita juga masih belajar mas. Terus juga kan orangtua itu
yang jadi contoh terus nasehati kita mas.

Peneliti : Jadi memang orangtua itu panutan ya bu ?

Lestari : Oh ya iya mas, contoh buat kehidupan, anak kan


nyontonya ke orangtua mas. Jadi ya kalau ada masalah
yang sulit gitu larinya ke orangtua mas. Kaya misalnya
dulu gaada uang ya kita minta ke bapak mas.

Peneliti : Jadi memang setelah menikah itu ada tantangan tersendiri


ya bu, lalu apa ibu hanya akan selalu mengandalkan
orangtua?

Lestari : Ya waktu itu sih gitu mas, tapi ya terus belajar mas biar
enggak bebani orangtua gitu. Memang setelah nikah itu ya
beda mas, semuanya serba mandiri. Sya juga harus pinter-
pinter ngatur uang biar enggak boros mas. Ya pengeluaran
itu diatur biar ya minimal enggak sampe kurang lagi lah
mas. Ya gimana ya mas suami saya juga peteni terus
sawahnya juga enggak banyak. Yaudah dijalani aja mas.

201
Peneliti : Kemudian setelah punya anak bagaimana bu?

Lestari : Pas udah punya anak itu ya mas yang pertama pasti ya
harus lebih giat lagi kerja, soalnya yang dibiayai itu
nambah mas. Terus juga kita harus jadi contoh yang baik
buat anak kita. Kan dicontoh gitu mas sama anak. Ya saya
juga belajar dari orangtua gimana ngopeni anak.

Peneliti : Apa tidak sungkan bu Tanya ke orangtua mengenai


mengurus anak, karena ibu juga menikah begitu bu?

Lestari : Ngapain malu mas, kan orangtua tempat kita belajar juga
mas, ya saya Tanya aja mas biasa ke orangtua gimana gitu
ngurus anak. Itu juga buat perkembangan anak saya juga
harus dipantau teruskan mas, namanya orangtua itu yang
khawatir mas apalagi jaman sekarang itu bahaya kalau
enggak dipantau terus mas.

Peneliti : Ada kesulitan tidak bu seama mengurus anak?


Lestari : Kalao kesulitan ini ya menurut saya enggak ada mas,
semua dijalani aja, yang penting yam as kita harus usah
gimana kedepannya gitu mas.namanya anak itu juga
pemberian dari yng kuasa. Rejeki mas bahasanya, ya harus
dijaga harus dirumat. Biar kalau udah besar itu berbakti ke
orangtua, berguna buat masa depannya mas.

Peneliti : Apa saja yang ibu ajarkan ke anak ibu?

Lestari : Ya banyak mas, pokoknya ya yang baik baik ya terus saya


bilangin. Itu juga buat dia, soalnya namanya anak kan
saying ya mas. Jadi kita orangtua ya harus ngandani anak
kalau ada salahnya, orangtua mana yang enggak mau
anaknya jadi baik. Ya diajari agama terus budaya juga.
Apalagi kan mas Ngadisari ini budayanya kental ya jadi
harus dipatuhi.

Peneliti : Agama dan adat ya bu?

Lestari : Iya mas, itu penting soalnya. Ya walaupun saya sendiri


enggak terlalu pinter masalah agama sama budaya, ya saya
pengen tetep anak saya harus lebih baik dari saya gitu mas.

Peneliti : Adat dan agama yang seperti apa yang ingin ibu tanamkan
ke anka ibu?

Lestari : Kalau itu kaya ini loh mas, kaya apa ini Tuhan,
pemerintah, guru sama orangtua mas.

202
Peneliti : Bisa dijelaskan seperti apa bu?

Lestari : Itu mas yang Tuhan ya kita harus berterimakasih soalnya


kalau tidak mengamalkan ajaran Tuhan pasti kehidupan
kita enggak akan tentram. Terus yang satunya itu ini
pemerintah ya mas, itu bikin peraturan ya juga menjaga
gitu, ya pokoknya buat lebih baik gitu mas. Yang ketiga
guru, ya guru itu juga yang ngajarin kita mas biar
berwawasan, ben pinter gitu mas. Terus ini orangtua,
orangtua itu yang ngasih kita nasehat mas, yang ngerawat
kita dari kecil, jadi ya pokoknya ya mas empat tadi itu
harus ada dan paham mas. Biar semua itu lancar.

Peneliti : Kalau misalkan buk, anak ibu setelah SMA minta nikah
bagaimana?

Lestari : Ya enggak papa mas, biarin aja dari pada dia nanti neko-
neko. Lebih baik ya nikah aja jauhin yang buruk mas.
Terus dia juga biar belajar mandiri.

203
Narasumber : Sri Rahayu

Pekerjaan : Petani Sayur

Tanggal Wawancara : 30 Maret 2017

Peneliti : Menurut ibu bagaimana pernikahan dini itu?

Sri Rahayu : Pernikahan dini itu enggak papa mas. Yang penting
gimana kita jalaninnya aja. Dulu aja ibuk sama bapakku
nikah itu juga muda sekali. Waktu itu ibuk ketemu bapak
di ladang, sama-sama jadi buruh tani mas. Disitu kenalan
terus ngerasa cocok akhirnya nikah.

Peneliti : Menikah di umur berapa bu?

Sri Rahayu : Dulu ibuk sama bapakku itu kalau enggak salah ya mas
umur 18 sama 15. Bapakku 18 sama ibuk itu 15.

Peneliti : Dulu ibu sendiri apa menikah muda?

Sri Rahayu : Iya muda mas aku dulu nikahnya. Malah lebih muda lagi
setahun aku mas dari pada ibuk waktu nikahnya.

Peneliti : Apa ibu tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah


dulu?

Sri Rahayu : Pengen mas, lah aku lulus SD aja enggak. Ya sayang juga
mas kalau dipikir gitu. Tapi orangtuaku enggak punya
uang lebih buat sekolahkan aku. Mereka juga kayak
enggak mendorong saya kasih semangat saya buat
sekolah, buat lanjut sekolah. Lama-lama aku juga males
sekolah mas terus berhenti itu.

Peneliti : Lalu setelah berhenti apa yang ibu lakukan?

Sri Rahayu : Pas aku berhenti itu bantu-bantu orangtua mas ke ladang,
biar ada uang. Saya kasian mas, orangtua saya keluarga
saya itu orang enggak punya. Dari pada uangnya buat
sekolahin aku ya dibuat makan sekeluarga mas. Aku juga
bantu kerja orangtua mas.

Peneliti : Apa melihat teman ibu tetap sekolah tidak ingin


melanjutkan saja?

204
Sri Rahayu : Enggak mas. Ya disyukuri. Mau bagaimana lagi,
namanya juga orang susah. Aku ikut terus aja orangtua ke
ladang. Lagian kalau aku enggak ikut bapak ibukku ke
ladang saya malah sendirian di rumah mas. Ya mending
aku ikut orangtua mas, nemenin juga bantu-bantu. Dari
pada diam aja di rumah enggak menghasilkan apa-apa. Ya
aku ngerti kalau aku masih kecil enggak bisa ngapa-
ngapain masihan, tapi ya setidaknya aku ngertilah mas
kalau orangtua kerja itu susahnya gimana. Biar tau
perjuangannya.

Peneliti : Apa ibu tidak merasa marah dengan kondisi ibu saat itu?

Sri Rahayu : Aku sendiri mas kalau dari hati ya siapa sih yang enggak
pengen sekolah, jadi pinter. Tapi ya tadi aku syukuri aja
mas. Aku kadang mikir, aku bisa jadi kayak gini ya
karena hidupku dulu susah. Itu pelajaran hidup yang
bagus mas.

Peneliti : Maksudnya pelajaran hidup seperti apa bu?

Sri Rahayu : Orangtuaku kan orang enggak punya mas, ekonominya


jelek. Soalnya itu memang rejeki kita, yang harus
disyukuri dan poko’e terus berusaha mas. Kayak gitu aku
malah bersyukur mas, dengan keadaan yang dulu seperti
itu, aku sekarang loh tidak malu, tidak gengsi, aku nerima
apa adanya, kalau sekarang kan hidupku lumayan baik
mas, dari pada dulu susah terus. Banyak-banyak
bersyukur aja mas, Sang Hyang Widi pasti kasih baik ke
aku, bapak da ibu.

Peneliti : Jadi orangtua ibu benar-benar mengajarkan tentang


perjuangan ya bu?

Sri Rahayu : Iya mas, perjuangan. Kita kalau dulu muda itu harus
pinter mas, harus cari banyak pengalaman. Apalagi
tentang agama terus adat yang ada dari kecil kan harus
dijaga.

Peneliti : Seperti apa ibu belajar tentang agama dan adat di


lingkungan ibu?

Sri Rahayu : Agama sama adat itu ilmu katon mas, jadi nggak perlu
berguru, otodidak bisa mas. Tapi untuk mendalaminya
kita bisa dengan belajar baik itu dari orangtua atau guru.
Tapi ya bisa kayak ikut kegiatan adat atau agama mas.
Kayak aku dulu itu sering ikut kegitan gitu. Bapak juga
nyuruh dan dukung kalau aku ikut acara agama atau adat.

205
Bagus juga soalnya buat belajar. Banyak nilai-nilai yang
bisa dipelajari mas.

Peneliti : Selain untuk belajar apa yang ibu bisa dapat dari kegiatan-
krgiatan seperti itu?

Sri Rahayu : Ini mas kata bapakku dulu kalau aku ikut acara gitu bisa
dikenal tetangga, nambah saudara mas.

Peneliti : Sosialnya gitu bu?


Sri Rahayu : Nah iya mas, jadi bisa nambah teman, kenal semua orang,
jadi kalau seumpama aku atau keluargaku ada kesulitan
kan banyak yang nolong gitu loh mas.

Peneliti : Apa memang semua warga di desa ini juga seperti ibu?

Sri Rahayu : Betul mas, memang semua orang di desa ini gitu, gimana
ya mas ya dibilang akur gitu lah mas, kenal semua.

Peneliti : Rukun begitu ya bu?

Sri Rahayu : Rukun banget mas, jarang banget ada tukaran di sini mas.
poko’e mas di sini ini persaudaraannya kuat banget lah
mas. gotong royong itu banget. Enggak usah ditanyakan
wes kalau masalah rukun sama gotong royongnya.

Peneliti : Kembali ke awal bu, tentang pandangan ibu saat ibu


memutuskan menikah di usia muda itu bagaimana?

Sri Rahayu : Dulu itu aku nikah itu umur setahun lebih muda pas ibuk
nikah. Kalau ibuk 15 berarti aku nikah dulu umur 14 mas.
masih muda banget ya. Aku dulu sih mikir’e sama kayak
ibukku kalau nikah itu ekonomiku paling enggak agak
ngangkat ya mas. Soalnya dibantu suami kalau cari uang
itu.

Peneliti : Jadi itu alsan utama yang membuat ibu ingin segera
menikah?

Sri Rahayu : Iya, sama kata ibu kan kalau sekolah itu ngapain tinggi-
tinggi apalagi cewek. Ntar juga banyak muter di dapur,
kasur sama sumur mas. jadi yaudah langsung nikah aja
lah.

Peneliti : Apa bapak juga saat itu mendukung untuk disegerakan


menikah saja bu?

206
Sri Rahayu : Bapakku itu iya mas, ikut aja sama ibuk. Ibuk bilang
pengennya saya cepet nikah ya udah bapak juga begitu
mas.

Peneliti : Pada saat itu suami ibu umur berapa saat menikah?

Sri Rahayu : Dulu itu suamiku nikah sama aku itu dua tahun lebih tua
dari aku mas. 16 tahun ya.

Peneliti : Suami ibu memang asli desa ini apa dari luar?

Sri Rahayu : Suamiku memang orang Ngadisari asli mas. Dia kerja jadi
supir angkutan sayur ke daerah Probolinggo .
Peneliti : Bisa diceritakan bagaimana ibu bertemu dengan suami
ibu?

Sri Rahayu : Aku pertamanya enggak kenal sama suamiku, pertama


kenal itu ya waktu di acara adat desa. Waktu itu aku dulu
kan lagi ikut acara adat mas, di balai desa, aku kebagian
ngisi acaranya gitu mas. nah pas lagi ngisi acara aku tiba-
tiba di deketin sama cowok mas, terus aku diajak kenal,
aku liat dia balik mas, setelah itu dia main ke rumah, aku
Tanya-tanya pas dia main ke rumah, ternyata dia kerja
sebagai supir angkut sayur ke Probolinggo. Nah awalnya
begitu, terus dia semakin jadi sering ke rumah, bapak ibu
setuju mas, kurang lebih satu tahun dia bilang mau
melamar, ingin serius gitu sama aku, aku bilang coba
ngomong sama bapak sama ibu, eh dia ngomong beneran
mas, ya sudah aku dan dia menikah. Tapi pas awal ketemu
itu aku kenal itu yawes kenal gitu aja mas. Aku ya enggak
ada pikiran kalau nikah sama dia, ya biasa aja gitu mas.
Malah enggak tertarik gitu. Tapi setahun itu sering
ketemu di acara-acara gitu terus ya sering ngobrol ya
guyon mas. lama-lama ya suka. Ya namanya jodoh mas.

Peneliti : Apa tidak ada pembicaraan yang lanjut setelah itu bu?

Sri Rahayu : Ya ngomongin ini mas kaya adat disini, nyari silsilah
keluarganya dulu. Ada keturunan apa enggk, kalau ada ya
batal. Aku dulu itu ya ndredeg mas, soalnya wes suka
kalau enggak jadi itu ya namanya hati mas gimana ya.
Tapi ya syukur aja enggak ada.

Peneliti : Setelah itu bagaimana bu?

Sri Rahayu : Ya udah mas ngomong lapor ke desa, daftar mas. tapi
dulu kan enggak kayak sekarang. Sekarang harus lulus
SMA dulu. Kalau jamanku ya bebas mas.

207
Peneliti : Lalu setelah ibu menikah bagaimana ?

Sri Rahayu : Habis nikah aku tetep di rumah ibu bapakku, suami jadi
tinggal sama aku di rumah. Ya baik aja mas tapi pas dapet
6 bulan an itu mas mulai ngerasa janggal aku.

Peneliti : Janggal seperti apa bu?

Sri Rahayu : Ya janggal mas, jadi suamiku itu ya berubah gitu tiba-
tiba, aku bingung. Aku mikirnya apa dia punya yang lain
mas, tapi ya sama tetep mikir yang baik-baik aja lah mas.
terus saya juga dapet kabar dari tetangga-tetangga kalau
suami saya itu suka cewek dari desa lain, Desa Jetak mas.
ya tapi saya enggak langsung percaya mas. karena saya
enggak tau sendiri gimananya. Aku ya enggak nyangka
mas kenapa suamiku bisa gitu ke aku. Padahal itu aku lagi
hamil tiga bulan. Kok tega banget gitu loh. Tapi disitu aku
terus cari tau mas, ya dari orang-orang, dari temen-temen
deketnya suami saya juga.

Peneliti : Apa ibu bercerita pada orangtua ibu pada saat itu?

Sri Rahayu : Oh enggak mas, aku enggak mau jadi beban pikiran
orangtuaku. Kasian lah, mending saya cari tau sendiri,
saya selesaikan sendiri. Sebenernya kalau gini aku sedih
mas kalau cerita ini, aku masih sakit hati sama suuamiku.
Awalnya aku enggak percaya mas kalau dia begitu, terus
aku coba Tanya ke teman-temannya, aku suruh cari tau,
eh ternyata benar loh mas. bapak ibu waktu itu enggak tau
mas, kalau ditanya aku bilangnya lagi ngantar sayur ke
Surabaya. Tapi lama-kelamaan orangtuaku tau mas, aku
nangis terus mas, bapak juga ke rumah suamiku sana
untuk mencari tahu, kira-kira ya sudah seminggu mas. aku
kecewa banget sama dia, sakit hati aku mas.

Peneliti : Kemudian apa yang ibu lakukan setelah mengetahuinya


bu?

Sri Rahayu : Ya sudah mas aku pisah aja sama dia, aku lupain aja.
Sakit hati ya banget mas. kok ya tega, padahal aku agi
hamil.

Peneliti : Bercerai bu?

Sri Rahayu : Cerai aja mas aku, dari pada tambah nemen, itu juga udah
aku bicarakan sama orangtuaku. Ya dipikir mateng-

208
mateng. Ya sudah mas aku yakin pisah aja lah, dari pada
tambah sakit hati terus-terusan.

Peneliti : Trauma sekali ya bu?

Sri Rahayu : Loh ya iya banget trauma mas, makanya wes aku enggak
berani lagi yang namanya nikah lagi mas. aku udah takut.
Mending aku serahin perhatianku ke anakku aja, aku
ngasuh anakku aja. Itu udah kebahagiaanku mas, anak
kebangganku. Aku matur suwun banget mask e Sang
Hyang Widi udah ngasih aku anak yang jadi temenku.
Yang bikin aku seneng ketawa juga mas.

Peneliti : Seperti apa harapan ibu untuk anak ibu ?

Sri Rahayu : Harapanku ya pengen pokoknya anakku bisa sukses,


enggak kayak saya. Pokoknya dia harus bahagia mas, aku
sayang banget sama dia.

Peneliti : Kalau missal anak ibu ingin menikah muda seperti ibu
bagaimana?

Sri Rahayu : Oh jangan wes mas. belajar dari pengalaman aku aja.
Cepet-cepet nikah ya gitu akhirnya. Belum dewasa.
Mending tak suruh sekolah dulu yang pinter. Kalau bisa
wes aku usaha mas gimana dia bisa sekolah sampek
kuliah. Biar bisa ngubah nasib keluarga. Bisa bantu. Bisa
ngangkat derajat orangtuanya. Aku juga pengen buktikan
ke mantan suamiku ya mas kalau saya ini berhasil jadi
orangtua. Pokoknya aku berdoa terus sama Tuhan yang
terbaik buat anakku nantinya mas.

209
Narasumber : Kasiati

Pekerjaan : Petani Sayur

Tanggal Wawancara : 30 Maret 2017

Peneliti : Bu, apa yang ibu tau tentang kehidupan adat atau agama di
Desa Ngadisari ini bu?

Kasiati : Oh kalau di Ngadisari ini saya liat ya le itu kental. Dari


pada yang lain, di sini itu punya budaya yang jadi identitas
sendiri dek. Kalau samean liat sendiri kan memang kan
kayak peraturannya agak mumet ya le, tapi itu yang bikin
beda.

Peneliti : Beda seperti apa bu, bisa diceritakan?

Kasiati : Ya kayak gini le, apa namanya pernikahan itu yak an kalau
mau nikah itu banyak sekali yang harus dilalui. Yang
paling beda itu ya kayak metani silsilah keluarganya le.
Kalau ada keturunan tujuh turun ya enggak dibolehin nikah
le.

Peneliti : Garis keturunan begitu ya bu?

Kasiati : Iya le garis keturunan. Soalnya ngikutin budaya sama


agama gitu le. Sampeyan liat sendiri dek disini itu
agamanya kuat Hindunya. Dari kecil memang sudah
ditanamkan artinya agama banget.

Peneliti : Seperti apa keluarga ibu menanamkan atau mengajarkan


agama itu seperti apa?

Kasiati : Jadi contohnya kalau dari keluarga saya, orangtua saya itu
mesti ngajarin saya le buat sering ke pura, berdoa gitu dek
biar hidup diberi kelancaran. Harapannya orangtua saya itu
dek pokoknya anaknya itu jangan hanya pintar pelajaran
aja tapi ya pintar sembayang, ke Sang Hyang Widi itu juga
selalu ingat.

Peneliti : Kemudian dari pendidikan bu, bagaimana pandangan


orangtua ibu pada saat itu?

Kasiati : Orangtua saya le kalau masalah pendidikan masiih


mengutamakan. Buktinya seduluranku itu le minimal lulus
itu SMP. Ya lumayan lah, dari pada yang lain itu malah

210
nganggap sekolah itu enggak begitu penting le. Pokoknya
lebih mentingin kerja apa nikah aja gitu. Saya bersyukur
banget le bisa sekolah sampek SMP.

Peneliti : Saat muda apa ibu juga suka mengikuti acara adat atau
agama bu?
Kasiati : Loh iya le, saya dulu itu semangat sekali buat belajar
agama sama budaya. Saya ini sering sekali ikut acara-acara
apa kegiatan-kegiatan desa yang kayak adat apa agama gitu
le.

Peneliti : Mengapa ibu kok suka untuk ikut serta kegiatan seperti itu?

Kasiati : Karna le saya masih muda, ya saya harus banyak berkarya


dan belajar. Udah emansipasi le, ya berarti itu cewe udah
bebas. Tapi bebasnya ini yang banyak sekali tidak
dimanfaatkan cewek-cewek desa pas itu. Saya ini pengen
gitu ngasih contoh dek buat mereka. Kalau muda itu yang
semangat jangan hanya nikah aja. Minimal nikah iku
sanguine akeh.

Peneliti : Memang untuk belajar agama dan adat mendalam


harapannya ibu pasa saat itu bagaimana?

Kasiati : Waktu muda le saya miirnya pengen budaya ini tetep ada
sampek nanti ke anak cucu, biar nanti anak cucu saya itu
kebagian budaya dek. Sekarang sampeyan liat kan wes
mulai modern le. Saya kadang was-was kalau budaya
luntur ini gimana le.

Peneliti : Apa saja yang ibu pelajari di acara atau kegiatan yang ibu
ikuti itu?

Kasiati : Banyak le, mulai dari Tri Hita Karana supaya hidup ini
sama lingkungan itu akur gitu le. Jadi hidup itu tenang dan
Tuhan itu selalu melindungi kita. Terus Catur Guru le
biarhidup ini tentram terus kehidupan kita dengan sesame
itu tetep lanjut tanpa kendala.

Peneliti : Kalau melihat yang lalu apa ibu punya keinginan untuk
lanjut ke SMA atau bahkan ke perguruan tinggi bu?

Kasiati : Waduh le, enggak usah ditanyain kalau itu. Mesti pengen e
lah saya. Tapi saya kan nerima aja apa dari orangtua saya,
orangtua saya mampunya Cuma sekolahin saya sampek
SMP, ya sudah disyukuri aja le. Saya juga udah sangat
bersyukur Tuhan masih memberi saya waktu sekolah yang
lebih lah. Tapi di situ saya ya enggak boleh patah

211
semangat. Walaupun saya sampek SMp aja tapi belajar itu
kan sepanjang hayat le. Jadi terus aja belajar entah itu ikut
acara atau organisasi desa apa yang lainnya.

Peneliti : Seberapa penting ibu melihat pendidikan?

Kasiati : Penting sekali le, pendidikan itu juga buat kematangan


kita. Biar tau lah, ben pinter, ben dewasa. Masalahnya
pendidikan itu juga mengaruhi pola pikir le.

Peneliti : Pola pikir seperti apa bu contohnya?


Kasiati : Misal ya le, kayak nikah itu kan nyatuin dua pikiran yang
beda antara suami sama istri. Jadi kalau kita dewasa, kita
paham, kita pintar, pasti kalau ada masalah itu bisa selesain
tanpa bantuan orangtua, terus ya lebih dewasa lah le. Jadi
enggak semua itu jadi masalah, soalnya biasanya masalah
sepele jadi besar. Ya lebih bisa mikir dingin le.

Peneliti : Memang ibu tentang perikahan itu bagaimana khususnya di


Ngadisari?

Kasiati : Pernikahan itu sakral le, wes poko’e kudu dipikir mateng-
mateng. Jangan hanya perkara pengen nikah aja, tapi ya
dipikir dan dipertimbangkan gimana kedepannya. Ya
penting le buat kedepannya, buat kelanjutan Tengger juga,
palagi adatnya juga dijaga.

Peneliti : Pertimbangan seperti apa yang ibu maksud?

Kasiati : Yawes gini le, di Catur Guru itu kan ada orangtua. Jadi
pertimbangan itu juga di orangtua. Karna restunya
orangtua ini berarti kayak petunjuk dari Tuhan gitu loh le.

Peneliti : Apa yang menurut ibu harus disiapkan untuk menikah?

Kasiati : Pertama le ya, kudu siap. Dadi ora polah pingin rabi ae,
tapi ya dipertimbangkan kalau nikah itu apa aja yang harus
saya lakukan. Kayak intropeksi diri lah le. Biaya juga
jangan lupa. Tapi yang penting ya itu njaga proses adat
yang ada buat nikahnya.

Peneliti : Proses adat bu?

Kasiati : Iya le, jadi harus dilakuin soalnya udah ketentuan. Wes
turun-temurun le, dari dulu gitu. Yawes kayak liatin
silsilah dulu, kalau ada hubungan darah ya batal, minimal
tujuh turunan. Kalau udah yak e pak tinggi, daftar sama
minta hari baik. Baru bisa nikah kalau udah.

212
Peneliti : Dulu ibu menikah umur berapa?

Kasiati : Saya dulu nikah itu umur 14 le, terus suami saya umur 18.
Dulu masih enggak ada peraturan yang nyuruh nikah itu
umur setelah lulus SMA. Makanya banyak yang nikah
muda.

Peneliti : Apa yang membuat ibu memilih menikah muda?

Kasiati : Dulu itu saya enggak ngerti le apa dampaknya kalau saya
nikah muda, makanya ya udah nikah aja saya le.

Peneliti : Kalau seumpama ibu sudah paham dampaknya bagaimana?

Kasiati : Kalau saya paham le ya, saya mungkin nunda dulu buat
nikah. Saya persiapkan dulu lah apa yang harus disiapkan.
Masalahnya kalau dipikir itu le anak umur 14 tahun itu
nikah kaya masih kecil banget le. Masih istilahnya masih
waktunya main lah le. Masih bisa mengembangkan diri,
eman kalau kesusu rabi.

Peneliti : Kalau seumpama ya bu, anak ibu ingin menikah di usia


muda bagaimana?

Kasiati : Jangan pokoknya, saya mau anak saya itu belajar dulu,
sekolah dulu yang pinter. Kalau biasa ya lebih dari saya.
Kalau saya dulu Cuma sampek SMP ya dia harus lebih dari
saya. Semoga aja ya bisa sampek kuliah. Saya mesti usaha
dek. Saya lakukan yang terbaik buat anak saya. Soalnya
nikah itu bukan hal main-main. Harus punya pikiran yang
dewasa juga. Ya pokoknya enggak dulu lah kalau nikah
muda.

Peneliti : Di desa ini apa masih ada bu yang nikah waktu SMP
walaupun peraturannya harus lulus SMA dulu?

Kasiati : Ada le, tapi udah jarang banget. Itu biasanya karna hamil
duluan. Jadi harus segera dinikahkan.

Peneliti : Apa ada konsekuensi sendiri bu?

Kasiati : Gini le, sebelumnya ya kalau ada yang hamil terus enggak
ketahuanitu biasanya kalu udah ketahuan pendayangan itu
jadi wabah penyakit. Saya dulu pernah le sakit batuk itu
sampek berhari-hari. Ternyata anak tetangga saya ada yang
hamil duluan tapi enggak ketahuan. Dia masih SMP le.
Gitu itu dari desa nganjurin buat bersih desa, upacara. Dari

213
pihak ceweknya. Terus kalau pihak cowoknya itu di denda
suruh nyumbang batu kali pokoknya buat mbangun dek.

Peneliti : Bersih desa bu?

Kasiati : Iya le bersihin desa gitu biar gaada musiba. Soalnya gitu
itu dianggap musibah desa. Terus juga buat tolak bala.
Soalnya baru ada keburukan terjadi. Biar tolak bala lah.

Peneliti : Jadi tetap boleh dinikahkan ya bu?

Kasiati : Ya iya le harus dinikahkan segera itu. Cuma mereka


enggak bisa punya buku nikah. Bisa punya itu kalau udah
punya KTP baru diuruskan.

Peneliti : Berarti mereka putus sekolah ya bu?

Kasiati : Enggak le, mereka tetep harus ngelanjutin sekolah sampe


SMA lulus. Biasanya ikut sekolah paket. Ya enggak mau
tau pokoknya peraturan harus dipatuhi. Kalo penduduk
sekarang minimal harus lulusan SMA.

Peneliti : Ibu merasa peraturan ini terlalu memaksa tidak bu?

Kasiati : Namanya peraturan kan ya harus dipatuhi le, peraturan


kayak gini ini bagus loh, biar desa ini orangnya lebih maju
lah le. Juga buat ngurangin resiko cerai karna umurnya
masih kecil, masih belum bisa nyelesain masalah.

Peneliti : Harapan ibu tentang peraturan ini untuk dsa kedepannya


bagaimana bu?

Kasiati : Saya itu pengen nanti desa ini maju le, malah orang-orang
itu lebih paham kalau pendidikan penting. Bisa aja ya le
dari cuma SMA, lama kelamaan kan berkembang pola
pikirnya. Jadi para orangtua itu malah pengen anaknya
disekolahkan lebih tinggi.

214
215
RIWAYAT HIDUP

Alfyananda Kurnia Putra, 03 November 1993. Putra


dari seorang ayah Herman dan ibu Hermiati. Memulai
pendidikan di TK Al-Hidayah Cilandak lulus tahun 1999. SD
Islam Al-Hidayah Cilandak Jakarta Selatan 2005. Melanjutkan
ke pendidikan menengah di SMP Negeri 3 Plosoklaten
Kabupaten Kediri lulus tahun 2008. Pada tahun 2008
melanjutkan ke SMA Negeri 6 Kota Kediri lulus tahun 2011.
Pada Tahun 2011 menjutkan pendidikan stara I di Jurusan Geografi Universitas Negeri
Malang, lulus pada tahun 2015. Beberapa kegiatan akademis dan non akademis pernah
diikuti, diantaranya OSIS SMPN 3 Plosoklaten, OSIS SMAN 6 Kediri, PDK Kota
Kediri 2010, PDK Jawa Timur 2010, Pramuka Saka Dirgantara Kabupaten Kediri
tahun 2008-2011, Persatuan Tenis Meja Kabupaten Kediri tahun 2009-2011,
Komunitas Jelajah Alam Pelajar se-Kediri 2010-2011 dan lain-lain
Semasa menjadi mahasiswa, aktif dalam Asrama Mahasiswa Universitas
Negeri Malang, dan turut aktif dalam kegiatan Organisasi Mahasiswa Universitas
Negeri Malang, yaitu pengurus Himpunan Mahasiswa Geografi (HMG) periode
2011/2012 anggota bidang kesejahteraan dan periode 2012/2013 sebagai sekretaris
bidang bakat minat. Selain itu aktif dalam kegiatan Asrama Mahasiswa Univeristas
Negeri Malang, kepanitian kegiatan Kuliah Kerja Lapangan I, II dan III serta Kuliah
Kerja Lapangan Matakuliah.

216

Anda mungkin juga menyukai