Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Era globalisasi saat ini ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan
secara pesat termasuk perubahan pada kondisi ekonomi secara menyeluruh. Hal
tersebut menuntut manusia agar mampu lebih sigap untuk menyesuaikan diri
dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi akibat arus
globalisasi. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi, kini aktivitas
berbelanja bagi sebagian besar individu sudah tidak lagi dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar semata. Perilaku berbelanja pada masing-masing
individu akan berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh kategori produk yang
akan dibeli yaitu produk dengan keterlibatan tinggi dan produk dengan
keterlibatan rendah, dimana proses kognitif akan lebih banyak terjadi pada niat
beli (Pratiwi, 2013:3).
Maraknya kegiatan berbelanja oleh konsumen dapat menimbulkan
kerentanan sosial karena banyak konsumen yang mudah tergiur berbagai tawaran
produk atau jasa, yang menjadi masalah adalah tidak semua konsumen yang
terpengaruh untuk berbelanja tersebut memiliki kemampuan yang sama
khususnya kemampuan finansial. Pada saat individu sangat rentan terpengaruh
berbagai penawaran, maka hal tersebut akan mengarahkannya pada perilaku
konsumsi yang menyimpang. Perilaku konsumsi yang menyimpang yang
dimaksud adalah kebiasaan untuk berbelanja yang akhirnya menimbulkan
ketagihan, yang didukung dengan sejumlah kemudahan yang ditawarkan (Park &
Burns, 2005:136). Masyarakat saat ini beranggapan bahwa dengan memiliki
sebuah produk dianggap dapat meningkatkan status sosial individu dalam
masyarakat (Roberts, 1998:300).
Keinginan konsumen untuk menggunakan barang mewah bertujuan untuk
menunjang penampilan dan status namun apabila kemampuan daya beli rendah,
maka membeli produk palsu menjadi jalan keluarnya. Oleh sebab itu muncul
peluang bisnis untuk menjual produk palsu. Konsumsi produk palsu di Indonesia
dianggap biasa saja oleh masyarakat, hal ini dapat dilihat dari maraknya penjualan
dan pembelian terhadap produk palsu. Penjualan terhadap produk palsu juga
menyebabkan kerugian terhadap ekonomi nasional. Pelaku bisnis produk palsu
menyasar ke tempat–tempat, dimana konsumen sering melakukan perbelanjaan.
Produk palsu dapat di temukan di pusat perbelanjaan di Surabaya.
Pemalsuan produk merupakan masalah bagi banyak industri dalam skala
global. Tak ada satupun industri dan negara yang bebas dari ancaman pemalsuan.
Tujuan dari para pemalsu tersebut hanya satu yaitu keuntungan. International
Trademark Association (INTA) dan The International Chamber of Commerce,
nilai ekonomi global dari pemalsuan dan pembajakan diprediksi mencapai USD
2,3 triliun pada tahun 2022. Data Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP),
pasar produk palsu di Indonesia termasuk besar, produk palsu tersebut antara lain
obat-obatan sebesar 3,8%, makanan dan minuman sebesar 8,5%, kosmetik sebesar
12,6%, software sebesar 33,5%, barang-barang kulit sebesar 37,2%, pakaian
sebesar 38,9% dan tinta printer sebesar 49,4%, produk-produk tersebut menjadi
penyebab meruginya perekonomian nasional sebesar Rp 65,1 triliun tahun 2014.
Berikut ini merek-merek yang diimitasi:

Menurut dan Bloch et al., (1993), meningkatnya dunia bisnis dan


munculnya pasar baru mengakibatkan berkembangnya counterfeiting, begitu juga
dengan banyaknya produk-produk branded yang bernilai untuk direplikasi.
Produk luxury brand mudah dipalsukan karena mudah untuk dijual dan biaya
produksinya rendah (Cordell et al., 1996 dan Gentry et al., 2006). Keinginan
konsumen dalam mengejar status sosial dan ingin diakui sadar akan fashion
merupakan penyebab meningkatnya demand produk branded tiruan (Eisend dan
Schuchert-Guler, 2006). Meskipun saat ini telah ada hukuman tertulis yang dapat
diberikan kepada penjual dan pembeli, konsumen masih banyak yang tetap
membeli barang branded tiruan (Prendergast et al., 2007). Hasil penelitian
Nielsen (2008) menyatakan bahwa adanya survey secara global telah
menghasilkan bahwa produk luxury brand itu telah memasang harga yang terlalu
tinggi, dan hanya 25% masyarakat dunia berkeyakinan bahwa designer brands
secara signifikan memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada standard brands.
Perilaku konsumen secara langsung berkaitan dengan fenomena
meningkatnya bisnis pemalsuan barang branded. Faktor-faktor eksternal dan
faktor-faktor internal yang telah mempengaruhi perilaku konsumen (Kotler dan
Amstrong, 2009). Salah satu faktor internal adalah personality factors yang dapat
dilihat dari karakteristik kepribadian sesorang dan salah satu faktor eksternal
adalah social factors seperti pengaruh dari keluarga, teman, dan keinginan untuk
terlihat sama dengan role model mereka. Selain kedua faktor tersebut, brand
image yang melekat pada produk tersebut mempengaruhi perilaku konsumen
untuk membeli barang branded palsu. Salah satu contoh adalah seorang yang
memiliki role model seorang selebriti yang sering menggunakan barang branded
mewah, maka orang tersebut juga ingin memiliki barang branded mewah yang
sama agar terlihat seperti idolanya. Namun apabila kemampun belinya rendah,
maka mereka akan mencari alternatif untuk membeli barang branded tiruan yang
saat ini banyak dijual di pasaran. Dari sinilah muncul peluang bisnis untuk
menjual barang branded tiruan.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, tentang adanya peluang
bisnis sepatu branded tiruan di Indonesia sehingga maraknya penjualan dan
pembelian sepatu branded tiruan di Surabaya menjadi kasus yang menarik untuk
diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi mengapa konsumen di Indonesia, khususnya masyarakat di
Surabaya masih senang mengkonsumsi sepatu branded tiruan dibanding membeli
sepatu dengan merek asli dari luar negeri maupun dalam negeri maka judul yang
diambil adalah “Pengaruh Social Influence Factor, Personality Factor dan
Brand Image Terhadap Purchase Intention Toward Counterfeit Sepatu Merek
Terkenal di Surabaya melalui Attitute Toward Counterfeit”.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Landasan Teori


1.1.1. Counterfeiting (Pemalsuan)
Pemalsuan (counterfeiting) merupakan kegiatan yang mereproduksi
barang dari sebuah brand yang telah memiliki trademark dan hak merek dagang
yang sangat mirip dengan produk aslinya (Cordell et al., 1996). Menurut Lai dan
Zaichkowsky (1999), pada dasarnya kegiatan pemalsuan dan pembajakan
merupakan hal yang sama, karena definisi pemalsuan dan pembajakan adalah
reproduksi dari barang yang identik sama dari sebuah barang yang asli. Namun,
dalam istilah pembajakan lebih sering digunakan pada produk software dan fixed
medium content seperti misalnya film dan musik (Cheung dan Prendergast, 2006).
Ada dua macam konsumen dalam pemalsuan produk. Pertama adalah
korban, yang tidak tahu dan tidak bermaksud untuk untuk membeli barang palsu
karena barang palsu yang dibeli sangat mirip dengan produk aslinya (Grossman
dan Shapiro, 1988; Bloch et al., 1993; Mitchell dan Papavassilliou, 1997; Tom et
al., 1998). Sedangkan yang kedua adalah konsumen yang memang bersedia
berpartisipasi dalam membeli barang palsu walaupun sadar bahwa hal tersebut
adalah kegiatan illegal (Bloch et al., 1993; Cordell et al., 1996; Prendergast et al.,
2002).
Grossman dan Shapiro (1988) menyatakan ada penggolongan berdasarkan
konsumen tentang produk yang bersangkutan, yakni:
1. Deceptive counterfeiting, yaitu kegiatan pemalsuan ketika konsumen tidak
mengetahui bahwa mereka telah ditipu dan diperdaya oleh produsen yang
mengatakan bahwa produk mereka asli.
2. Non-deceptive counterfeiting, yaitu kegiatan pemalsuan ketika konsumen
memang mengerti dan memiliki niat untuk membeli produk branded tiruan
Alasan konsumen untuk membeli barang palsu (Phau, Sequeira, dan Dix,
2009 dalam Triandewi, Ervina, and Fandy Tjiptono, 2013):
1. Simbolisme dan prestige. Simbolisme dan prestige merupakan alasan utama
dan sangat mempengaruhi konsumen dalam pembelian produk branded tiruan.
2. Siklus hidup produk fashion yang relatif singkat (seperti pakaian, dompet, tas,
sepatu, ikat pinggang, aksesoris, dan lain sebagainya) Konsumen akan
mengeluarkan uang yang tidak terlalu banyak pada satu waktu karena siklus
fashion mengikuti season-season tertentu sehingga jika sudah terlalu lama,
akan dianggap out of date.
Empat penggolongan barang palsu atau tiruan berdasarkan tingkat
pelanggaran menurut para ahli (Masyarakat Anti Pemalsuan Barang, 2009), yaitu:
1. True counterfeit product (Produk palsu sejati), yaitu pemalsuan yang
memproduksi dengan cara mereplikasi sebesar 100 persen sama dengan yang
asli.
2. Look-alike, yaitu produk palsu atau tiruan yang tampak serupa dengan yang
asli, namun barang yang diproduksi dibedakan sedikit dari yang asli. Bisa
dalam bentuk label dan packaging.
3. Replikasi, adalah kegiatan yang menduplikasi barang dalam bidang seni,
seperti foto dan lukisan.
4. Imitasi (imitation), merupakan pemalsuan suatu produk dengan kualitas sangat
berbeda dari yang asli.

1.1.2. Perilaku Konsumen


Perilaku konsumen pada hakikatnya untuk memahami “Mengapa
konsumen melakukan dan apa yang mereka lakukan”. Schiffman dan Kanuk
(2012:6) mengemukakan bahwa studi perilaku konsumen adalah suatu studi
mengenai bagaimana seorang individu membuat keputusan untuk mengalokasikan
sumber daya yang tersedia (waktu, uang, usaha, dan energi). Konsumen memiliki
keragaman yang menarik untuk dipelajari karena ia meliputi seluruh individu dari
berbagai usia, latar belakang budaya, pendidikan, dan keadaan sosial ekonomi
lainnya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana
konsumen berperilaku dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku
tersebut.
Perilaku konsumen menurut Kotler dan Keller (2012:214) Perilaku
konsumen adalah studi bagaimana individu, kelompok dan organisasi memilih,
membeli, menggunakan dan menempatkan barang, jasa, ide atau pengalaman
untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Perilaku konsumen menurut
Schiffman dan Kanuk (2012:6): Perilaku konsumen menggambarkan cara
individu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya mereka yang
tersedia (waktu, uang, usaha) guna membeli barang-barang yang berhubungan
dengan konsumsi.
Dari dua pengertian tentang perilaku konsumen di atas dapat diperoleh dua
hal yang penting, yaitu: sebagai kegiatan fisik dan sebagai proses pengambilan
keputusan. Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan di atas dapat
disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah semua kegiatan tindakan, serta
proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli,
ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan
hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi.
Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh keadaan dan situasi lapisan
masyarakat dimana ia dilahirkan dan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa
konsumen yang berasal dari lapisan masyarakat atau lingkungan yang berbeda
akan mempunyai penilaian, kebutuhan, pendapat, sikap, dan selera yang berbeda-
beda, sehingga pengambilan keputusan dalam tahap pembelian akan dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen (Kotler &
Amstrong, 2014:159) terdiri dari:
1. Faktor budaya (cultural factors). Faktor budaya memberikan sebuah pengaruh
yang luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen. Faktor budaya sendiri
terdiri dari tiga bagian, yaitu budaya (culture), sub kulture (sub culture), dan
kelas sosial (social class).
2. Faktor sosial (social factors). Selain faktor budaya, perilaku seorang
konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti kelompok acuan
(groups and social networks), keluarga (family), dan peran dan status
konsumen itu sendiri (roles and status).
3. Faktor pribadi (personal factors). Faktor pribadi yang memberikan kontribusi
terhadap perilaku seorang konsumen terdiri dari usia dan tahap siklus hidup
(age and life-cycle stage), pekerjaan (occupation), situasi ekonomi (economic
situation), gaya hidup (lifestyle), dan kepribadian dan konsep diri (personality
and self-concept).
4. Faktor psikologis (psychological factors). Pilihan pembelian seorang
konsumen dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama yaitu motivasi
(motivation), persepsi (perception), pembelajaran (learning), dan keyakinan
dan sikap (beliefs and attitudes).
Pada penelitian ini, perilaku konsumen yang digunakan adalah faktor
sosial dan faktor pribadi. Faktor pribadi yang dapat dilihat dari karakteristik
kepribadian konsumen dalam membeli sepatu branded tiruan dan faktor social
seperti pengaruh dari keluarga, teman, dan keinginan untuk terlihat sama dengan
role model mereka.
2.1.2.1 Social Influence Factor
Faktor sosial terbukti mempengaruhi perilaku konsumen (Ang et al., 2001;
Phau & Teah, 2009) karena konsumen rentan terhadap tekanan sosial (Wang et
al., 2005). Pengertian kerentanan konsumen mengacu pada upaya individu untuk
meningkatkan citranya dengan orang lain yang signifikan, seperti keluarga dan
teman dekat (Ramayah et al., 2003). Dua bentuk umum dari kerentanan konsumen
terhadap faktor sosial adalah kerentanan informasi dan kerentanan normatif (Phau
& Teah, 2009). Kim dan Karpova (2010), mengkategorikan kerentanan informasi
dan kerentanan normatif sebagai karakteristik psikografis individu yang
memotivasi dirinya untuk membeli barang palsu.
Perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti kelompok
acuan (groups and social networks), keluarga (family), dan peran dan status
konsumen itu sendiri (roles and status). Kelompok acuan merupakan dua atau
lebih orang yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan individu atau tujuan
mereka bersama. Faktor keluarga juga sangat mempengaruhi perilaku konsumen
dan sebagai penentu perilaku konsumen tersebut. Faktor peran dan status
merupakan posisi seseorang dalam setiap kelompoknya itu sendiri.
2.1.2.2 Personality Factor
Faktor pribadi yang memberikan kontribusi terhadap perilaku seorang
konsumen terdiri dari usia dan tahap siklus hidup (age and life-cycle stage),
pekerjaan (occupation), situasi ekonomi (economic situation), gaya hidup
(lifestyle), dan kepribadian dan konsep diri (personality and self-concept). Faktor
usia dan tahap siklus hidup mengubah orang tersebut dalam berprilaku terutama
dalam perilaku pembelian. Faktor pekerjaan mempengaruhi perilaku seseorang
dalam pembelian barang dan jasa yang dibeli. Situasi ekonomi seseorang juga
akan mempengaruhi pilihan barang dan jasa yang akan dibeli olehnya. Gaya hidup
seseorang juga mempengaruhi perilaku konsumen tersebut, karena aktivitas, minat
dan opini setiap orang tidaklah sama. Serta kepribadian adalah karakteristik
psikologis unik yang membedakan seseorang atau kelompok
Jika konsumen merasa bahwa kepribadiannya ditunjukkan melalui produk
mewah, maka konsumen tersebut akan memiliki sikap yang menyenangkan
menuju produk. Mengingat bahwa kepribadian berubah seiring waktu kebutuhan
dan keinginan orang berubah, faktor kepribadian dikonseptualisasikan sebagai
variabel multidimensi (Harun et al., 2012). Faktor pribadi mengkaji lima dimensi,
yaitu, kesadaran nilai, risiko yang dirasakan, integritas, konsumsi status, dan
materialisme (Harun et al., 2012).

1.1.3. Brand Image


Kotler & Keller (2012:10) mendefinisikan brand image sebagai ˝The
perceptions and beliefs held by consumers, as reflected in the associations held in
consumer memory.˝ Hal ini dapat diartikan sebagai persepsi dan kepercayaan yang
dipegang oleh konsumen, yang tercermin atau melekat dalam benak dan memori
dari seorang konsumen sendiri. Persepsi ini dapat terbentuk dari informasi atau
pengalaman masa lalu konsumen terhadap merek tersebut. Kotler & Keller
(2012:10) menyatakan bahwa ˝All companies strive to build a brand image with
as many strong, favorable, and unique brand associations as possible.˝ Jika
melihat perkataan ini, semua perusahaan berusaha menciptakan citra merek yang
baik dan kuat dengan menciptakan suatu merek seunik mungkin yang dapat
menguntungkan.
Brand Image adalah representasi dari keseluruhan persepsi terhadap merek
dan dibentuk dari informasi dan pengalaman masa lalu terhadap merek itu. Citra
terhadap merek berhubungan dengan sikap yang berupa keyakinan dan preferensi
terhadap suatu merek. Konsumen yang memiliki citra yang positif terhadap suatu
merek, akan lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian (Setiadi, 2003).
Brand image berkaitan antara asosiasi dengan brand karena ketika kesan-kesan
brand yang muncul dalam ingatan konsumen meningkat disebabkan semakin
banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi atau membeli brand
tersebut. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek yang terkenal
karena merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal, adanya asumsi
bahwa merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia dan mudah dicari,
dan memiliki kualitas yang tidak diragukan, sehingga merek yang lebih dikenal
lebih sering dipilih konsumen daripada merek yang tidak terkenal (Aaker, 2009).
Beberapa teori yang dikemukakan para ahli diatas dapat disimpulkan
bahwa brand image adalah seperangkat keyakinan pada suatu nama, symbol /
desaign dan kesan yang dimiliki seorang terhadap suatu merek yang diperoleh
berdasarkan informasi tentang fakta-fakta yang kemudian menggunakan merek
tersebut, sehingga kesan yang muncul ini relatif jangka panjang yang terbentuk
dalam benak konsumen.
Biel, (2004) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
membentuk brand image, antara lain adalah:
1. Citra Korporat. Citra korporat merupakan citra yang ada dalam perusahaan itu
sendiri. Perusahaan sebagai organisasi berusaha membangun imagenya
dengan tujuan tak lain agar nama perusahaan ini bagus, sehingga akan
mempengaruhi segala hal mengenai apa yang dilakukan oleh perusahaan
tersebut.
2. Citra Produk. Citra konsumen terhadap suatu produk yang dapat berdampak
positif maupun negatif yang berkaitan dengan kebutuhan, keinginan, dan
harapan konsumen. Image dari produk dapat mendukung terciptanya sebuah
brand image atau citra dari merek tersebut.
3. Citra Pemakai. Citra pemakai dapat dibentuk langsung dari pengalaman dan
kontak dengan pengguna merek tersebut. Manfaat adalah nilai pribadi
konsumen yang diletakkan terhadap atribut dari produk atau layanan yaitu apa
yang konsumen pikir akan mereka dapatkan dari produk atau layanan tersebut.
Menurut Shiffman dan Kanuk (2010) menyebutkan faktor-faktor
pembentuk brand image adalah sebagai berikut:
1. Kualitas atau mutu, berkaitan dengan kualitas produk yang ditawarkan oleh
produsen dengan merek tertentu.
2. Dapat dipercaya atau diandalkan, berkaitan dengan pendapat dan kesepakatan
yang di bentuk oleh masyarakat tentang suatui produk yang dikonsumsi.
3. Kegunaan atau manfaat, yang terkait dengan fungsi dari suatu produk yang
bisa dimanfaatkan oleh konsumen.
4. Pelayanan, yang berkaitan dangan tugas produsen dalam melayani
konsumennya.
5. Resiko berkaitan dengan untung rugi yang dialami oleh konsumen.
6. Harga, dalam hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya atau banyak
sedikitnya jumlah uang yang dikeluarkan konsumen untuk mempengaruhi
suatu produk, juga dapat mempengaruhi citra jangka panjang.
7. Image, yang dimiliki merek itu sendiri, yaitu berupa pelanggan, kesempatan
dan informasi yang berkaitan dengan suatu merek dari produk tertentu.

1.1.4. Attitute Toward Counterfeit


Setiap orang mempunyai kecenderungan untuk bersikap dengan
cara yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu
objek tertentu. Sikap merupakan salah satu konsep yang paling
penting yang digunakan perusahaan untuk memahami konsumen.
Perusahaan sangat berkepentingan pada sikap konsumen terhadap
produknya, karena sikap yang positif akan menghasilkan pembelian,
bukan saja dari konsumen yang bersangkutan tetapi rekomendasi
kepada teman-teman maupun keluarganya juga akan membuahkan
pembelian yang menguntungkan perusahaan. Sebaliknya, sikap
negatif terhadap produk akan menghasilkan penolakan, dan sikap
yang demikian ini akan diteruskan untuk mempengaruhi orang lain.
Menurut Sangadji dan Sopiah (2013:194) Sikap adalah
tanggapan perasaan konsumen yang bisa berupa perasaan suka atau
tidak suka terhadap objek tertentu. Sikap adalah suatu kecenderungan
yang dipelajari untuk memberikan respon secara konsisten terhadap
suatu objek yang diberikan, seperti halnya suatu merk. Sikap
tergantung pada sistem nilai dari seorang individu yang mewakili
standar pribadi tentang baik dan buruk, benar dan salah, oleh karena
itu sikap cenderung lebih tahan lama dan kompleks dibandingkan
dengan kepercayaan (Lamb, Hair, McDaniel, 2001:233).
Sikap menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003) merupakan reaksi
atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus
atau objek. Kepercayaan konsumen atau pengetahuan konsumen
menyangkut kepercayaan bahwa suatu produk memiliki atribut dan
berbagai manfaat dari atribut tersebut. Pengetahuan tersebut berguna
dalam mengkonsumsikan suatu produk kepada konsumen.
Kepercayaan konsumen terhadap suatu produk, atribut dan manfaat
produk menggambarkan persepsi konsumen, karena itu kepercayaan
suatu produk berbeda diantara konsumen.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap
menggambarkan penilaian kognitif yang baik maupun tidak baik,
perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan berbuat yang
bertahan selama waktu tertentu terhadap beberapa objek atau gagasan.
Sikap merupakan merek dalam suatu kerangka berpikir, menyukai
atau tidak menyukai terhadap suatu objek.
Robbins dan Judge (2013) menyatakan terdapat tiga komponen
utama dari sikap yaitu :
1. Komponen kognitif Komponen ini berisi kepercayaan konsumen
tentang apa yang benar bagi objek sikap. Contohnya adalah ketika
konsumen memiliki keyakinan bahwa “Produk bajakan itu buruk”
hal ini bisa menimbulkan anggapan bagi konsumen tersebut bahwa
memakai produk bajakan merupakan tindakan yang buruk.
2. Komponen afektif Komponen ini menyangkut hal emosional
seorang konsumen secara subjektif terhadap suatu objek.
Contohnya adalah sebuah pernyataan seperti “saya tidak menyukai
orang-orang yang mengkonsumsi atau memakai produk bajakan”.
Pernyataan ini merefleksikan sisi emosional dari konsumen yang
menunjukkan perasaan negatif kepada konsumen lain yang
mendukung kegiatan pemalsuan produk.
3. Komponen perilaku Komponen perilaku terdapat dalam struktur
sikap yang menunjukkan bagaimana kecenderungan konsumen
berperilaku dengan objek. Contohnya adalah ketika seorang
konsumen menghindari orang-orang atau konsumen lain karena
mendukung pemalsuan produk .
Pada penelitian ini, evaluasi konsumen pada produk bajakan akan menjadi
penentu utama terhadap keinginan konsumen untuk membeli produk bajakan
tersebut (Matos et al., 2007). Ang et al., (2001) menyebutkan bahwa sikap
konsumen pada produk bajakan mempengaruhi keinginan pembelian mereka
secara signifikan. Keinginan individu pada suatu objek dipengaruhi oleh faktor-
faktor individual, dan interpersonal. Dewanthi (2008) konsumen yang pernah
membeli produk bajakan akan cenderung memiliki sikap yang positif pada produk
bajakan. Mereka membeli produk bajakan untuk menempatkan diri mereka pada
suatu kelas atau kelompok sosial tertentu, dan karena memiliki keterbatasan
finansial sehingga tidak bisa mengkonsumsi (membeli dan memakai) produk
orisinil atau asli. Selain itu terdapat persepsi diantara konsumen bahwa membeli
barang bajakan merupakan soft crime hal ini dapat diterima oleh masyarakat sosial
terutama di region Asia.

3.1.2. Purchase Intention


Niat adalah kecenderungan seseorang untuk merasa tertarik pada objek
tertentu yang dianggap paling baik dan penting. Hogi (2016) mendefinisikan niat
pembelian sebagai keinginan untuk membeli (produk atau jasa) yang merupakan
bagian dari proses menuju kearah tindakan pembelian yang dilakukan oleh
konsumen. Menurut Wang dan Tsai (2014) mendefinisikan niat pembelian
(purchase intention) sebagai keinginan dan pilihan konsumen untuk melakukan
pembelian produk, dan jasa tertentu. Kotler dan Keller (2016) mendefinisikan niat
pembelian sebagai pengambilan keputusan untuk membeli atas satu alternatif
produk atau merek di antara berbagai alternatif produk atau merek lainnya. Niat
beli akan muncul setelah melalui beberapa proses, diantaranya pengenalan
kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi informasi, sehingga timbul niat
membeli. Menurut Mc. Carthy (2003), pengertian niat beli konsumen merupakan
dorongan yang timbul dalam diri seseorang untuk membeli barang dan jasa dalam
rangka pemenuhan kebutuhannya. Menurut Durianto, dkk (2001), niat untuk
membeli merupakan sesuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk
membeli produk tertentu, serta berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada
periode tertentu. Niat beli merupakan pernyataan mental konsumen yang
merefleksikan rencana pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi niat pembelian di atas dapat disimpulkan
bahwa niat adalah segala hal yang mendorong seseorang untuk bertindak atau
melakukan suatu hal seperti membeli satu produk atau jasa layanan.
Menurut Ajzen (2005), niat dapat dijelaskan melalui teori perilaku
terencana (Theory of Planned Behavior) yang merupakan pengembangan dari
teori tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action) oleh Fishbein dan Ajzen
(2005). Teori perilaku terencana didasarkan pada asumsi bahwa individu dapat
berperilaku secara bijaksana, sehingga mereka memperhitungkan semua informasi
yang ada baik secara implisit maupun eksplisit dan mempertimbangkan akibat
dari perilaku mereka. Niat merefleksikan kesediaan individu untuk mencoba
melakukan suatu perilaku tertentu. Niat memiliki korelasi yang tinggi dengan
perilaku, oleh karena itu dapat digunakan untuk meramalkan perilaku (Ajzen,
2005). Menurut Ajzen (2005), niat memiliki korelasi yang tinggi dengan perilaku,
oleh karena itu dapat digunakan untuk meramalkan perilaku. Hal ini dapat juga
berlaku pada perilaku membeli. Pengukuran terhadap niat membeli individu dapat
meramalkan bahwa individu tersebut akan melakukan perilaku membeli. Terdapat
3 aspek niat membeli yang berasal dari aspek-aspek niat berperilaku dari Ajzen
(2005), sebagai berikut:
1. Sikap konsumen terhadap perilaku membeli Seseorang yang yakin bahwa
sebuah tingkah laku dapat menghasilkan outcome yang positif, maka individu
tersebut akan memiliki sikap yang positif, begitu juga sebaliknya. Sehingga
apabila individu yakin perilaku membeli yang dia lakukan akan menghasilkan
outcome yang positif, maka individu tersebut memiliki sikap yang positif
terhadap perilaku membeli, begitu pun sebaliknya.
2. Norma subjektif terhadap perilaku membeli Aspek ini berkenaan dengan
harapan-harapan yang berasal dari referen atau orang dan kelompok yang
berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan,
teman dekat, rekan kerja atau lainnya, tergantung pada perilaku yang terlibat.
Sehingga individu yang yakin bahwa kebanyakan referen akan menyetujui
dirinya menampilkan perilaku membeli, dan adanya motivasi untuk
melakukan perilaku membeli pada suatu produk, maka hal ini akan
menyebabkan individu tersebut memiliki subjective norm yang menempatkan
tekanan pada dirinya untuk melakukan pembelian terhadap suatu produk.
3. Kontrol perilaku terhadap perilaku membeli Kontrol perilaku merupakan
keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang memfasilitasi dan
menghalangi individu untuk melakukan suatu perilaku. Dalam hal ini, contoh
dari faktor-faktor yang memfasilitasi misalnya adanya uang yang dapat
digunakan individu untuk membeli suatu produk. Contoh lainnya ialah adanya
transportasi dan waktu yang memungkinkan individu untuk membeli suatu
produk. Sedangkan contoh faktor-faktor yang menghalangi individu untuk
membeli suatu produk ialah tidak adanya dana, waktu dan habisnya suatu
produk yang ingin dibeli seseorang

3.1.3. Pengaruh Antar Variabel


3.1.3.1. Pengaruh Social Influence Factor Terhadap Purchase Intention
Toward Counterfeit
Konsumen mungkin secara normatif rentan ketika keputusan pembelian
mereka didasarkan pada ekspektasi dari apa yang akan membuat orang lain
terkesan (Phau & Teah, 2009; Wang et al., 2005). Ketika konsumen memutuskan
untuk membeli barang mewah, mereka berharap untuk membuat orang lain
terkesan; karena itu, membeli barang palsu tidak meningkatkan atau
menggambarkan kesan yang baik (Ang et al., 2001; Phau et al., 2009; Ramayah et
al., 2003; Wang et al., 2005). Sesuai dengan uraian diatas, maka hipotesis yang
akan diusulkan adalah:
H1 = Social Influence Factor berpengaruh terhadap Purchase Intention Toward
Counterfeit
3.1.3.2. Pengaruh Personality Factor Terhadap Purchase Intention Toward
Counterfeit
Risiko yang dirasakan mempengaruhi keputusan pembelian karena
konsumen berusaha mengurangi ketidakpastian dan konsekuensi yang tidak
diinginkan selama keputusan pembelian (De Matos et al., 2007). Membeli barang
palsu dianggap tindakan berisiko, mengingat kemungkinan konsumen dapat
menempatkan diri pada risiko moneter, dan risiko sosial karena sosial mereka
tidak menyetujui kegiatan pembelian tersebut, atau risiko hukum karena mereka
dapat ditangkap dan dituntut oleh otoritas penegak hukum karena membeli barang
palsu (De Matos et al., 2007; Yeap & Ramayah, 2006). Sesuai dengan uraian
diatas, maka hipotesis yang akan diusulkan adalah:
H2 = Personality Factor berpengaruh terhadap Purchase Intention Toward
Counterfeit
3.1.3.3. Pengaruh Brand Image terhadap Purchase Intention Toward
Counterfeit
Citra merek dapat mempengaruhi niat beli produk pals u. Citra merek yang
populer dapat mendorong orang untuk berniat membeli (Mangundap et al, 2018).
Menurut Utami (2014:250), brand dapat mempengaruhi keyakinan pelanggan atas
keputusan yang di buat untuk membeli produk palsu, dan nilai yang melekat pada merek.
Membangun ekuitas merek maka ritel harus menciptakan kesadaran merek yang tinggi,
mengembangkan asosiasi yang menyenangkan dengan nama merek, dan memperkuat
brand image secara konsisten. Perasaan positif konsumen dan sikap terhadap produk akan
mempengaruhi purchase intention (Das, 2014) Sesuai dengan uraian diatas, maka
hipotesis yang akan diusulkan adalah:
H3 = Brand image berpengaruh terhadap Purchase Intention Toward Counterfeit
3.1.3.4. Pengaruh Social Influence Factor terhadap Attitute Toward
Counterfeit
Temuan ini diamati oleh Kim dan Karpova (2010), yang melaporkan
bahwa suseptibilitas normatif berhubungan negatif dengan sikap membeli barang
fesyen palsu. Faktor pengaruh lain yang umum bagi konsumen adalah kerentanan
informasi, di mana keputusan pembelian konsumen didasarkan pada pendapat
orang lain (Phau & Teah, 2009). Saat konsumen memiliki sedikit atau tidak
memiliki pengetahuan tentang kategori produk atau kelas produk (Phau & Ng,
2010; Phau & Teah, 2009) dan ketika anggota keluarga, teman sebaya atau
kelompok mereferensi tentang perbedaan antara barang mewah asli dan palsu,
konsekuensi negatif yang dirasakan pembelian barang palsu akan berdampak pada
persepsi konsumen terhadap barang mewah palsu (Ang et al., 2001; Phau & Teah,
2009; Ramayah et al., 2003; Wang et al., 2005). Meskipun demikian, studi oleh
Kim dan Karpova (2010) menemukan bahwa informasiational useptibility tidak
berhubungan secara positif dengan sikap. Sesuai dengan uraian diatas, maka
hipotesis yang akan diusulkan adalah:
H4 = Social Influence Factor berpengaruh terhadap Attitute Toward Counterfeit
3.1.3.5. Pengaruh Personality Factor terhadap Attitute Toward Counterfeit
Konsumsi status adalah proses motivasi individu yang ingin meningkatkan
status sosial mereka melalui konsumsi produk yang memproyeksikan citra (Phau
et al., 2009). Status konsumen berusaha untuk memiliki merek yang
mencerminkan identitas diri mereka, lebih sadar status dari tampilan pencapaian,
dan memiliki sikap yang tidak menguntungkan terhadap barang mewah palsu
(Harun et al., 2012; Phau & Teah, 2009; Phau et al., 2009). Sikap dan perilaku
konsumen berubah dalam berbagai situasi, termasuk pembelian makanan,
pemberian hadiah, pilihan item fashion dan aktivitas olahraga, karena perbedaan
nilai yang ditawarkan oleh berbagai kategori barang (Ramayah et al., 2003).
Meskipun barang palsu dianggap memiliki kualitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan barang asli, harga yang lebih rendah dan kualitas yang
sedikit di bawah standar membuat banyak konsumen menganggap barang palsu
memiliki nilai yang baik untuk uang mereka (Ang et al., 2001; Phau & Ng, 2010;
Wang Wang et al., 2005; Yeap & Ramayah, 2006), yang menunjukkan bahwa
kesadaran nilai mungkin berdampak pada perilaku konsumen. Sesuai dengan
uraian diatas, maka hipotesis yang akan diusulkan adalah:
H5 = Personality Factor berpengaruh terhadap Attitute Toward Counterfeit
3.1.3.6. Pengaruh Brand Image Terhadap Attitute Toward Counterfeit
Citra merek adalah "kesan konsumen terhadap merek dagang" (Aaker,
1996); dengan cara lain, ini adalah metode merek ada di benak konsumen
(Nguyen dan Tran, 2013). Citra merek penting berpartisipasi dalam keputusan
untuk membeli atau tidak membeli merek tersebut. Secara khusus (Bian dan
Moutinho, 2011). I. Phau dan A. Lee (2009) menyatakan jika produk mewah di
mana konsumen memiliki pengetahuan tentang merek itu dan reputasi, mereka
akan cenderung meningkatkan pemalsuannya tetapi data survei belum
menunjukkannya. Di bidang fashion tingkat tinggi, citra barang terbaik adalah,
yang akan lebih membantu adalah mendukung kesediaan konsumen untuk
membeli barang palsu (Nguyen dan Tran, 2013). Sesuai dengan uraian diatas,
maka hipotesis yang akan diusulkan adalah:
H6 = Brand image berpengaruh terhadap Attitute Toward Counterfeit
3.1.3.7. Pengaruh Attitute Toward Counterfeit terhadap Purchase Intention
Toward Counterfeit
Sikap, "kecenderungan yang dipelajari untuk berperilaku secara
konsisten menguntungkan atau tidak menguntungkan sehubungan dengan objek
tertentu" (Huang et al., 2004, p. 600), sangat berkorelasi dengan niat dan perilaku
konsumen dan merupakan prediktor yang masuk akal dari perilaku konsumen
(Ajzen & Fishbein, 1980). Oleh karena itu, jika sikap seseorang terhadap barang
mewah palsu menguntungkan, hal itu mungkin terjadi bahwa orang tersebut
bersedia membeli barang mewah palsu; Namun, jika sikap seseorang terhadap
barang mewah palsu tidak menguntungkan, kemungkinan besar orang tersebut
tidak akan membeli barang mewah palsu. (Ang et al., 2001; De Matos et al., 2007;
Ramayah dkk., 2003; Wang et al., 2005). Sesuai dengan uraian diatas, maka
hipotesis yang akan diusulkan adalah:
H7 = Attitute Toward Counterfeit berpengaruh terhadap Purchase Intention Toward
Counterfeit

3.2. Penelitian Terdahulu


Beberapa penelitian terkait antara brand personality dan celebrity
endorsement terhadap brand attachment dan purchase intention, antara lain:
1. Penelitian ini berjudul “Determining consumer purchase intentions toward
counterfeit luxury goods in Malaysia” oleh Mao-Seng Ting dan Yen-Nee Goh,
Salmi Mohd Isa (2016). Penelitian ini bertujuan untuk mengadaptasi Theory
of Reasoned Action (TRA) untuk mengkaji bagaimana faktor sosial dan
kepribadian mempengaruhi sikap konsumen Malaysia terhadap barang mewah
palsu dan bagaimana sikap konsumen memediasi kedua variabel tersebut
terhadap niat beli konsumen. Teknik analisis menggunakan Partial Least
Square (PLS), sampel menggunakan 109 penduduk di Malaysia. Hasil
penelitian adalah faktor yang kuat mempengaruhi sikap konsumen terhadap
barang mewah palsu, diikuti oleh kesadaran nilai dan status konsumsi.
Integritas dan materialisme tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap
barang palsu barang mewah, tetapi faktor pengaruh sosial, informasi dan
kerentanan normatif berpengaruh positif terhadap sikap konsumen. Selain itu,
sikap konsumen memediasi pengaruh informasi dan kerentanan normative
serta kesadaran nilai pada niat beli konsumen terhadap barang mewah palsu,
tetapi sikap tidak memediasi hubungan antara risiko yang dirasakan, integritas,
status konsumsi dan materialisme, terhadap niat beli konsumen
2. Penelitian ini berjudul “Attitudes and Purchase Intention towards
Counterfeiting Luxurious Fashion Products among Yemeni Students in China”
oleh Qaderi Ahmed Abdullah dan Jianliang Yu (2019). Penelitian ini
bertujuan untuk menguji sembilan faktor yang berdampak pada sikap siswa
Yaman di China terhadap pemalsuan produk fashion mewah. Data
dikumpulkan 300 kuesioner dengan menggunakan kuesioner swakelola yang
tersebar melalui banyak saluran yang berbeda, melalui internet dan melalui
distribusi langsung ke mahasiswa di universitas. Hasil uji regresi
membuktikan bahwa citra merek, pengaruh sosial, iklan media sosial, iklan
televisi, negara asal, konsumsi status, pencarian kebaruan, kesimpulan kualitas
harga, integritas berpengaruh signifikan terhadap sikap produk palsu. Sikap
produk palsu memperkuat niat membeli produk palsu tersebut. 
3. Penelitian ini berjudul “The Influencing Factors On Consumer’s Attitude
Towards Counterfeit Branded Sneaker Shoes And Their Impact To Purchase
Intention (Study on Undergraduate Students of University of Brawijaya
Malang)” oleh Sharah Alfia Djuhardi dan Andriani Kusumawati (2017).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetаhui dаn menjelаskаn pengаruh brаnd
imаge, sociаl fаctor, dаn personаlity fаctor terhаdаp sikаp. Untuk mengetаhui
dаn menjelаskаn pengаruh sikаp terhаdаp minаt beli sepаtu sneаkers brаnded
tiruаn. Untuk mengetааhui dаn menjelaskаn pengаruh brаnd imаge, sociаl
fаctor, dаn personаlity fаctor terhаdаp minаt beli. Populаsi dаlаm penelitiаn
ini аdаlаh mаhаsiswа аktif Universitаs Brаwijаyа yаng pernаh membeli sepаtu
sneаkers brаnded tiruаn yаng berusiа 17 tаhun keаtаs. Sаmpel dаri penelitiаn
ini аdаlаh 116 reponden dengаn teknik pengаmbilаn sаmple purposive
sаmpling dаn metode pengumpulаn dаtа melаlui kuisioner. Аnаlisis dаtа yаng
digunаkаn аdаlаh аnаlisis deskriptif dаn аnаlisis jаlur (pаth). Hаsil аnаlisis
menunjukаn bаhwа brаnd imаge berpengаruh signifikаn terhаdаp sikаp, sociаl
fаctor berpengаruh signifikаn terhаdаp sikаp, personаlity fаctor berpengаruh
signifikаn terhаdаp sikаp, sikаp berpengаruh signifikаn terhаdаp minаt beli.
Brаnd imаge berpengаruh signifikаn terhаdаp minаt beli, sociаl fаctor
berpengаruh berpengаruh signifikаn terhаdаp minаt beli, dаn personаlity
fаctor berpengаruh terhаdаp minаt beli.

3.3. Kerangka Konseptual


Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Social Influence
Factor
Attitute Toward Purchase Intention
Counterfeit Toward Counterfeit
Personality Factor

Brand Image

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1.Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kuantitatif,
yaitu pendekatan yang menggunakan pengujian hipotesis. Metode pendekatan ini
dimulai dengan hipotesis dan teori-teori, dilanjutkan dengan membuat model analisis,
identifikasi variabel, definisi variabel, mengumpulkan data (primer dan sekunder) dan
selanjutnya melakukan analisis terhadap hasil penelitian.

3.2. Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 jenis, yaitu variabel bebas
(independen), variabel antara dan variabel terikat (dependen).

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah social influence factor (SIF), personality
factor (PF) dan brand image (BI).
2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah purchase intention toward counterfeit
(PI).
3. Variabel antara dalam penelitian ini adalah attitute toward counterfeit (ATC)

3.3. Definisi Operasional Variabel

3.3.1. Variabel Bebas

Terdapat tiga variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini, yaitu:

1. Social influence factor (SIF)


Social influence factor (SIF) merupakan perilaku dari konsumen pada sepatu branded
tiruan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial misalnya teman, keluarga, peran
dan status sosial. Social influence factor diukur berdasarkan Ting dan Yen-Nee Goh,
(2016), terdiri dari dua dimensi yaitu:
a. Kerentanan Informasi merupakan konsumen bergantung kepada
pendapat dan informasi dari orang yang ahli mengenai sepatu branded
tiruan yang ingin dibeli. Indikatornya adalah:
KI1: Konsumen mengamati apa yang dibeli dan digunakan orang lain
sebelum membeli sepatu branded tiruan.
KI2: Konsumen punya sedikit pengalaman dengan sepatu branded
tiruan, akan banyak pertanyaan.
KI3: Konsumen berkonsultasi dengan orang lain untuk membantu
memilih kelas produk alternatif terbaik.
KI4: Konsumen mengumpulkan informasi dari teman atau keluarga
sebelum membeli sepatu branded tiruan
b. Kerentanan normatif merupakan konsumen memiliki persepsi tentang
sepatu branded tiruan yang mereka beli akan disukai dan dihargai oleh
orang lain. Indikatornya adalah:
KN1: Yang terpenting adalah produk yang dibeli seperti sepatu branded
tiruan.
KN2: Jika orang lain melihat konsumen menggunakan sepatu branded
tiruan, konsumen sering membeli merek yang mereka harapkan untuk
dibeli.
KN3: Konsumen ingin tahu merek dan produk sepatu apa yang
membuat orang lain terkesan.

KN4: Jika konsumen ingin seperti seseorang, konsumen akan mencoba


membeli merek yang sama dengan yang mereka beli.
2. Personality factor (PF)
Personality factor merupakan perilaku konsumen dan keputusan pembelian sepatu
branded tiruan yang dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Karakteristik tersebut
meliputi usia, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan
konsep-diri pembeli. Personality factor diukur berdasarkan Ting dan Yen-Nee Goh,
(2016), terdiri dari empat dimensi yaitu:
a. Nilai kesadaran merupakan kesadaran konsumen akan nilai dari barang
tiruan yang akan mereka beli. Indikatornya adalah:
NK1: Sepatu branded tiruan lebih terjangkau.
NK2: Sepatu branded tiruan memiliki kualitas yang lebih rendah.
NK3: Konsumen memastikan mendapatkan barang sesuai dengan
kemampuannya
b. Resiko yang dirasakan merupakan resiko yang didapat konsumen yang
akan membeli barang tiruan. Indikatornya adalah:
RD1: Risiko yang di ambil saat membeli sepatu branded tiruan sangat
tinggi.
RD2: Besar kemungkinan sepatu branded tiruan yang dibeli tidak
berfungsi.
RD3: Ada kemungkinan besar orang lain akan menganggap kurang
ketika konsumen membeli sepatu branded tiruan.
RD4: Membeli sepatu branded tiruan adalah ilegal
c. Integritas merupakan sudut pandang konsumen terhadap etika dan
hukum dalam membeli barang tiruan. Indikatornya adalah:
I1: Konsumen menganggap kejujuran dalam membeli sepatu merek
terkenal asli sebagai kualitas yang penting untuk karakter seseorang.
I2: Konsumen anggap sangat penting konsumen membeli sepatu merek
terkenal asli.
I3: Konsumen mampu mengendalikan diri membeli sepatu merek
terkenal asli
d. Status Konsumsi merupakan pembelian sepatu branded tiruan yang
dilakukan konsumen untuk menaikkan statusnya. Indikatornya adalah:
SK1: Konsumen akan membeli sepatu branded tiruan hanya karena
status sosial.
SK2: Konsumen tidak membayar lebih untuk sepatu branded tiruan,
status konsumen akan meningkat.
SK3: Bagi konsumen sepatu branded tiruan lebih berharga jika memiliki daya
tarik “peningkatan status sosial”

3. Brand Image merupakan seperangkat keyakinan konsumen pada nama,


symbol/desaign dari merek yang diperolehnya berdasarkan informasi tentang fakta-
fakta yang kemudian konsumen menggunakan merek tersebut, sehingga kesan yang
muncul relatif jangka panjang yang terbentuk dalam benak konsumen. Indikator
yang digunakan untuk mengukur variabel brand image berdasarkan Shiffman dan
Kanuk, (1997) adalah:
BI1: Kualitas sepatu branded tiruan yang ditawarkan oleh produsen dengan merek
tertentu.

BI2: Sepatu branded tiruan dapat diandalkan

BI3: Sepatu branded tiruan dapat dimanfaatkan oleh konsumen

BI4: Kerugian yang didapat oleh konsumen jika membeli sepatu branded tiruan.

BI5: Harga yang ditawarkan oleh sepatu branded tiruan terjangkau.

3.3.2. Variabel Terikat


Purchase Intention Toward Counterfeit (PI) merupakan keputusan konsumen
untuk melakukan pembelian sepatu branded tiruan. Indikator yang digunakan untuk
mengukur variabel purchase intention toward counterfeit berdasarkan Ting dan Yen-Nee
Goh, (2016) adalah:

PI1: Konsumen menganggap sepatu branded tiruan sebagai pilihan saat membeli
sepatu.
PI2: Konsumen membeli sepatu branded tiruan.
PI3: Konsumen merekomendasikan kepada teman dan kerabat agar membeli
sepatu branded tiruan.
PI4: Konsumen mengatakan hal-hal yang menyenangkan tentang sepatu branded
tiruan.

PI5: Konsumen membeli sepatu branded tiruan dari pasar malam atau pusat
perbelanjaan
3.3.3. Variabel Antara

Attitute toward counterfeit (ATC) merupakan sikap konsumen pada atribut-


atribut dalam sepatu branded tiruan. Indikator dari attitute toward counterfeit diukur
berdasarkan Ting dan Yen-Nee Goh, (2016), adalah:

ATC1: Kalau melihat harga, konsumen lebih suka sepatu branded tiruan.
ATC2: Konsumen suka belanja sepatu branded tiruan.
ATC3: Membeli sepatu branded tiruan umumnya menguntungkan konsumen.
ATC4: Tidak ada salahnya membeli sepatu branded tiruan.

ATC5: Secara umum, membeli sepatu branded tiruan adalah pilihan yang lebih baik.

3.3.4. Skala Pengukuran

Pengukuran variabel bebas, variabel mediasi dan variabel terikat berdasarkan


jawaban atau penilaian responden terhadap pernyataan-pernyataan dalam kuesioner
yang nilainya ditetapkan berdasarkan Skala Likert, yang disesuaikan pada pernyataan
dari masing-masing indikator penelitian, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Nilai 1 mewakili jawaban sangat tidak setuju


2. Nilai 2 mewakili jawaban tidak setuju
3. Nilai 3 mewakili jawaban cukup setuju
4. Nilai 4 mewakili jawaban setuju
5. Nilai 5 mewakili jawaban sangat setuju

3.4. Populasi dan Sampel


3.4.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2009:115). Populasi dalam penelitian ini
adalah masyarakat Kota Surabaya.

3.4.2. Sampel
Teknik sampling yang digunakan adalah teknik accidental sampling yaitu
pengambilan sampel secara aksidental (accidental) atau responden yang mengisi
kuesioner kebetulan bertemu dengan peneliti. Menurut pendapat Sudjana
(2005:393), yaitu apabila sampelnya cukup besar dan tidak di ketahui jumlahnya
maka ukuran sampel yang diperbolehkan minimal 100 atau lebih. Pada penelitian
ini jumlah sampel yang diambil didasarkan dari pendapat Sudjana, hal ini
dikarenakan populasi dari masyarakat Kota Surabaya yang berniat membeli sepatu
branded tiruan tidak diketahui jumlahnya sehingga penentuan jumlah sampel
yang diambil pada penelitian ini sebesar 120 responden.

3.5. Jenis Dan Sumber Data

Jenis data dibagi menjadi dua bagian, yaitu:


1. Data Kualitatif

Data yang berupa penjelasan yang berhubungan dengan keadaan perusahaan dan
faktor pendukung dalam lingkungan pekerjaannya dan tidak berbentuk angka,
misalnya: data sejarah perusahaan, data struktur organisasi, deskripsi pekerjaan.

2. Data Kuantitatif

Data yang berupa keterangan kondisi perusahaan dan data ini berbentuk angka-
angka, misalnya: data jumlah tenaga kerja.

Sumber data dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama dari individu atau
perseorangan seperti hasil pengisian kuesioner (Umar, 2005:99-100). Data primer
pada penelitian ini diperoleh melalui kuesioner yang dilakukan secara langsung dari
masyarakat Kota Surabaya yang belum pernah membeli produk sepatu branded
tiruan. Data yang digali dalam bentuk data primer berupa kuesioner tentang social
influence factor, personality factor, brand image, attitute toward counterfeit, dan
purchase intention toward counterfeit.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui dokumentasi arsip perusahaan. Data sekunder,
yaitu semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti
(Sumarsono, 2004:69). Misalnya: data sejarah perusahaan, data struktur organisasi,
deskripsi pekerjaan. Data sekunder tidak digunakan karena tidak dianalisis.

3.6. Prosedur Pengumpulan Data


Adapun prosedur pengumpulan data yang dilakukan untuk penelitian ini:

1. Survey Pendahuluan
Survey pendahuluan dilakukan secara langsung dengan melakukan observasi
untuk mendapatkan informasi mengenai konsumen yang membeli sepatu
branded tiruan.
2. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari literatur-literatur yang
berhubungan dengan penelitian ini untuk menunjukkan teori-teori yang akan
dipergunakan dalam membahas permasalahan.
3. Survey lapangan
Survey lapangan dilakukan dengan penyebaran kuesioner konsumen untuk
mengetahui tanggapan tentang pokok bahasan yang sedang diteliti.

3.7 Teknik Analisis


Teknik analisis merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau
sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data
berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti,
melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan
untuk menguji hipotesis yang telah diajukan (Sugiyono, 2007). Teknik analisis statistik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Partial Least Square (PLS). PLS merupakan
metode alternatif dari Structural Equation Modeling (SEM) yang dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan hubungan diantara variabel yang kompleks namun ukuran
sampel datanya kecil (30 sampai 100), mengingat SEM memiliki ukuran sampel data
minimal 100 (Hair et. Al., 2010).

Penelitian ini menggunakan PLS karena data tidak harus berdistribusi normal
multivariate dan ukuran sampel tidak harus besar. Walaupun PLS digunakan untuk
mnegkonfirmasi teori, tetapi dapat juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya
hubungan antara variabel laten.

Adapun tahapan dalam melakukan pembahasan PLS, sebagai berikut:

1. Merancang Outer Model: model pengukuran yang menghubungkan indikator


dengan variabel latennya. Kriteria dalam menilai outer model sebagai berikut:
a. Convergent validity: Nilai loading 0.5 sampai 0.6 dianggap cukup atau
outer model dikatakan valid apabila mempunyai nilai loading factor
lebih besar 0,5 (Chin, 2003 dalam Ghozali, 2008).
b. Construct validity: Konstruk dikatakan memiliki construct validity yang
baik jika nilai average variance extracted (AVE) berada di atas 0,5
(Ghozali, 2008).
c. Discriminant validity: Konstruk dikatakan memiliki discrimininant
validity yang baik jika nilai cross loading korelasi construct tertentu
dengan indikatornya lebih tinggi dibandingkan dengan construct lainnya
(Ghozali, 2008).
d. Composite reliability: Nilai composite reliability dikatakan baik jika
lebih dari 0.7 maka dikatakan baik, atau dengan melihat tabel
cronbach’s alpha yakni dengan melihat apabila nilainya lebih dari 0.7
maka dikatakan baik (Ghozali, 2008).
2. Merancang Inner Model: model struktural yang menghubungkan antar
variabel laten. Diukur menggunakan predictive relevance (Q2).
Rumus Q2 = 1 – (1 – R21) (1 – R22) ... (1- R2p)
Dimana: R21, R22, ... R2p adalah R-square variabel endogen dalam model
interpretasi Q2 sama dengan koefisien determinasi total pada analisis jalur
(mirip dengan R2 pada regresi)
3. Mengkonstruksi Diagram Jalur
4. Mengkonversi Diagram Jalur ke persamaan baik pada Outer Model maupun
pada Inner Model.
5. Pendugaan Parameter:
a. Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data variabel laten.
b. Estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan antar variabel laten
(koefisien jalur) dan antara variabel laten dengan indikatornya (loading).
c. Metode estimasi PLS: PLS dengan teknik iterasi.
3.7.1. Pengujian Hipotesis
1. Hipotesis statistik untuk outer model:
H0: λi = 0 sedangkan untuk H1: λi ≠ 0
2. Hipotesis statistik untuk inner model: variabel laten eksogen terhadap
endogen:
H0: γi = 0 sedangkan untuk H1: γi ≠ 0
3. Hipotesis statistik untuk inner model: variabel laten endogen terhadap
endogen:
H0: βi = 0 sedangkan untuk H1: βi ≠ 0
3.7.2. Statistik Uji
1. Outer model dikatakan valid jika uji t pada outer model > 1,96
2. Inner model dikatakan berpengaruh signifikan, jika nilai t > 1,96
Model yang sudah dibangun berdasarkan pengujian PLS, menjadi dasar untuk
melakukan proses penelitian pada tahap selanjutnya. Dari pemodelan PLS akan dapat
diketahui variabel yang berpengaruh dan yang tidak berpengaruh.

Anda mungkin juga menyukai