Anda di halaman 1dari 59

MINI RISET

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF DENGAN


KEJADIAN STUNTING DI DESA PAKU ALAM
KABUPATEN BANJAR

UNTUK MENYELESAIKAN TUGAS


STASE RESEARCH ON PATIENT-CENTERED CARE

Di Susun Oleh:
Utari Ermawati, S. Kep
NIM: 111946921101

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Laporan RPCC:

Hubungan Pemberian ASI Ekslusif Dengan Kejadian Stunting

Di Desa Paku Alam Kabupaten Banjar

Tanggal, Maret 2022

Di Susun Oleh:
Utari Ermawati, S. Kep
NIM: 111946921101

Banjarmasin, Maret 2022


Program Studi Profesi Ners
Fakultas Kesehatan
Universitas Sari Mulia Banjarmasin
Pembimbing Akademik (PA)
Menyetujui,

Malisa Ariani, Ns., M. Kep


NIK. 1166022015081

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

nikmat, karunia dan petunjuk-Nya yang tiada terkira sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan penelitian dalam bentuk mini riset yang berjudul

“Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Stunting di Desa Paku

Alam Kabupaten Bnajar”. Setelah mengalami berbagai rintangan, halangan dan

cobaan, serta pasang surutnya semangat peneliti hadapi, akhirnya telah sampai

pada tahapan akhir penyusunan mini riset yang merupakan salah satu syarat

kelulusan profesi ners (Ners) pada Program Studi Profesi Ners Fakultas Kesehatan

Universitas Sari Mulia. Pada penyusunan dan penyelesaian mini riset ini, penulis

banyak mendapat bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, maka

dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Aizar Soedarto, BSc, MBA selaku Ketua Yayasan Indah Banjarmasin.

2. Dr. RR. Dwi Sogi Sri R, S.KG., M.Pd selaku Rektor Universitas Sari Mulia.

3. Anggrita Sari, S.SiT., M.Pd., M.Kes., selaku Wakil Rektor I Bidang

Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Sari Mulia.

4. Hariadi Widodo, S.Ked., M.PH selaku Wakil Rektor II Bidang Keuangan dan

Sistem Informasi Universitas Sari Mulia.

5. Wakil Rektor III Bidang Sumber Daya dan Kemitraan Universitas Sari Mulia.

6. apt. H. Ali Rakhman Hakim, M.Farm selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Universitas Sari Mulia.

7. Dini Rahmayani, S.Kep., Ns., MPH selaku Ketua LPPM Universitas Sari

Mulia.

iii
8. Mohammad Basit, S.Kep., Ns., MM selaku Ketua Jurusan Keperawatan

Fakultas Kesehatan Universitas Sari Mulia.

9. Malisa Ariani, Ns., M.Kep selaku pembimbing yang telah memberikan

arahan, bimbingan dan dukungan dalam penyusunan dan perbaikan penulisan

skripsi ini.

10. Seluruh dosen pengajar dan staf Universitas Sari Mulia yang telah membekali

peneliti dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.

11. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu mendoakan dan telah memberikan

bantuan dukungan material dan moral selama masa perkuliahan hingga

selesainya penyusunan skripsi ini.

12. Teman satu angkatan yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

bersedia berdiskusi dan saling memberikan motivasi satu sama lain.

Semoga kebaikan Bapak dan Ibu serta teman-teman terbalaskan oleh yang

Maha Kuasa. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini memiliki

banyak kekurangan sehingga dengan segala kerendahan hati penulis

mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dimasa

yang akan datang.

Banjarmasin, Maret 2022

Penulis

iv
DAFTAR ISI
Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................ii

KATA PENGANTAR............................................................................................iii

DAFTAR ISI............................................................................................................v

DAFTAR TABEL.................................................................................................vii

DAFTAR GAMBAR............................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................5

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................5

D. Manfaat Penelitian........................................................................................6

E. Keaslian Penelitian........................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................9

A. Teori Stunting...............................................................................................9

B. Teori ASI Ekslusif......................................................................................24

C. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Stunting..................32

D. Kerangka Teori...........................................................................................34

E. Kerangka Konsep........................................................................................35

F. Hipotesis.....................................................................................................35

BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................36

A. Lokasi, Waktu dan Sasaran Penelitian........................................................36

B. Metode Penelitian.......................................................................................36

C. Populasi dan Sampel Penelitian..................................................................37

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional.............................................39

v
E. Pengumpulan Data......................................................................................41

F. Uji Validitas dan Reabilitas........................................................................44

G. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................44

H. Metode Analisis Data..................................................................................46

I. Etika Penelitian...........................................................................................48

vi
DAFTAR TABEL

vii
DAFTAR GAMBAR

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus

dicapai yaitu status gizi anak balita. Masa anak balita merupakan kelompok

yang rentan mengalami kurang gizi salah satunya adalah stunting (Nurdiana,

2019). Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak berusia dibawah

lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang

terutama pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), dari janin hingga

anak berusia 23 bulan. Anak yang tergolong stunting atau pendek terjadi bila

panjang badan atau tinggi badan dibandingkan umur hasilnya lebih rendah

dari standar nasional yang ditetapkan (Simbolon, 2019). Adapun standar

nasional untuk stunting yang terbaru yaitu berdasarkan Peraturan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan bahwa anak

stunting memiliki hasil pengukuran panjang badan atau tinggi badan

dibandingkan umur jika nilai Z-Score berada pada ambang batas -3 SD

sampang < - 2 SD (Kemenkes RI, 2020).

Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2019 secara

global prevalensi balita yang mengalami stunting di seluruh dunia sebanyak

21,3% atau 144 juta balita, sedangkan tahun 2020 menurun menjadi 20,8%

atau 141 juta balita (WHO, 2020). Prevalensi balita stunting terbanyak berasal

dari Afrika sebanyak 40%  dan lebih dari setengah balita stunting di dunia

berasal dari Asia yaitu sebanyak 54% (Kurniawati dan Sunarti, 2020). Data

1
2

prevalensi balita stunting Indonesia termasuk ke dalam negara keempat

dengan prevalensi tertinggi di dunia. Rata-rata prevalensi balita stunting di

Indonesia tahun 2019 adalah 27,7% (Kemenkes RI, 2020). Prevalensi

stunting tersebut menurun dibandingkan tahun 2018 yang menunjukkan

bahwa proporsi status gizi balita sangat pendek dan pendek di Indonesia

sebesar 30,8% (Kemenkes RI, 2018). Prevalensi stunting di Indonesia

meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, tetapi masih

merupakan suatu masalah gizi yang perlu diperhatikan karena prevalensi

stunting di Indonesia belum mencapai target WHO yang di bawah 20% (Teja,

2019).

Prevalensi stunting di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 sebesar

34,17%, sedangkan di tahun 2018 mengalami penurunan jumlah prevalensi

stunting yaitu sebesar 29,1%. Prevalensi tertinggi balita yang mengalami

stunting terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebesar 38,8%, Kabupaten

Tabalong sebesar 35,5%, Kabupaten Balangan 34,6% dan prevalensi terendah

balita stunting terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sebesar 20,7%

sedangkan prevalensi stunting di Kota Banjarmasin sebesar 24,9% (Dinas

Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2019).

Stunting patut mendapat perhatian lebih karena dapat berdampak bagi

kehidupan anak sampai tumbuh besar, terutama risiko gangguan

perkembangan fisik dan kognitif apabila tidak segera ditangani dengan baik.

Dampak stunting dalam jangka pendek dapat berupa penurunan kemampuan

belajar karena kurangnya perkembangan kognitif. Sementara itu dalam


3

jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup anak saat dewasa karena

menurunnya kesempatan mendapat pendidikan, peluang kerja, dan

pendapatan yang lebih baik. Dampak buruk dari stunting tersebut dapat

dicegah jika berbagai faktor-faktor risiko penyebab stunting dapat dihindari

sejak dini (Nirmalasari, 2020).

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya stunting meliputi faktor

ibu, faktor bayi dan balita, dan faktor lingkungan. Salah sau faktor bayi dan

balita yang mempengaruhi terjadinya stunting adalah pemberian ASI Ekslusif

(Pangalila, 2018). ASI Ekslusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak

dilahirkan sampai 6 bulan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan

makanan atau minuman lain (Kemenkes RI, 2018; Ariani, 2020).

Beberapa peneliti mendokumentasikan hubungan yang signifikan

antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian Stunting. Penelitian yang

dilakukan oleh Saleh (2020) tentang Analisa Faktor Penyebab Stunting

Menggunakan Algoritma C45 di dapatkan hasil bahwa yang menjadi faktor

utama penyebab stunting adalah Fasilitas Kesehatan dan ASI Ekslusif.

Menurut penelitian Kahssay et al., (2020) balita yang tidak mendapatkan ASI

eksklusif 6,6 kali lebih mungkin terjadi stunting. Hal ini dapat terjadi karena

ASI yang diberikan secara eksklusif mengandung kolostrum (Kahssay et al.,

2020). Kolostrum mengandung zat kekebalan terutama Ig A untuk

melindungi bayi dari penyakit infeksi saluran pencernaan terutama diare

Linda (2019). Menurut pendapat peneliti, kolostrum yang terdapat dalam ASI

dapat melindungi bayi dari infeksi saluran pencernaan. Jika infeksi


4

pencernaan terjadi maka akan menyebabkan penurunan kebutuhan nutrisi

pada balita, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi akan menimbulkan

permasalah gizi pada balita tersebut. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

penelitian Sampe et al (2020) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

menyusui eksklusif dengan 22 kejadian stunting. Kejadian stunting

ditemukan lebih banyak pada balita dengan riwayat tidak diberikan ASI

eksklusif yaitu 91,7%.

Ada beberapa faktor yang membuat pemberian ASI bermanfaat bagi

perkembangan anak. Pertama, ASI merupakan sumber asam lemak tak jenuh

yang bukan hanya merupakan sumber energi tetapi juga sangat penting bagi

perkembangan otak. Kedua, pemberian ASI dapat meningkatkan imunitas

bayi terhadap penyakit sebagaimana diperlihatkan dalam sejumlah penelitian

ketika pemberian ASI disertai dengan penurunan frekuensi diare, konstipasi

kronis, penyakit gastrointestinal dan infeksi traktus respiratorius, serta infeksi

telinga. Pemberian ASI dapat membawa manfaat bagi interaksi ibu dan anak

serta memfasilitasi pembentukan ikatan yang lebih kuat sehingga

menguntungkan bagi perkembangan anak dan perilaku anak (Pangalila,

2018).

Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif cenderung memiliki

asupan gizi yang kurang dan dapat berisiko terkena stunting (Elba, 2021). Hal

ini sejalan dengan penelitian Agustina (2019) bahwa balita yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif memiliki risiko 35 kali lebih besar terkena

stunting dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif.


5

Pencegahan kejadian stunting yang dapat dilakukan pada masa balita adalah

terpenuhinya kebutuhan nutrisi sehingga balita dapat tumbuh dan

berkembang dengan optimal.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan didapatkan

bahwa masih banyak ibu-ibu balita yang belum mengerti serta memahami

secara tepat tentang ASI Ekslusif dan bedasarkan hasil wawancara dan

diskusi dengan bidan desa didapatkan bahwa ibu-ibu balita belum pernah

dilakukan pengkajian stunting.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian

Stunting di Desa Paku Alam Kabupaten Banjar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Apakah ada Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan

Kejadian Stunting di Desa Paku Alam Kabupaten Banjar?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui Hubungan

Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Stunting di Desa Paku Alam

Kabupaten Banjar

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi kejadian Stunting di Desa Paku Alam

b. Mengidentifikasi pemberian ASI Ekslusif di Desa Paku Alam


6

c. Menganalisis pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Stunting di

Desa Paku Alam.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat perkembangan

ilmu keperawatan hingga nantinya dapat memperkaya teori asuhan

keperawatan anak khususnya pada anak yang mengalami gangguan gizi

stunting.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan atau acuan

untuk memberikan intervensi dalam penanganan masalah gizi

khususnya stunting pada balita.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan

pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan bagi

program penanganan gizi guna pengendalian kejadian stunting pada

balita.

c. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana memperluas

wawasan dan pengetahuan peneliti khususnya tentang Hubungan


7

Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Stunting di Desa Paku Alam

Kabupaten Banjar.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran terdapat beberapa hasil penelitian

sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No. Judul Penelitian Desain Penelitin Hasil Penelitian


1. Hubungan Antara BBLR, ASI Penelitian ini Penelitian ini menunjukkan
Eksklusif dengan Kejadian Stunting menggunakan bahwa dari 47 balita yang
Pada Balita Umur 2-5 Tahun. desain penelitian tidak mendapatkan ASI
(Erna Eka Wijayanti, 2019). analitik dengan eksklusif hampir seluruhnya
pendekatan case mengalami stunting sebanyak
control. 44 responden (94%).
Sedangkan balita yang
diberikan ASI eksklusif
hampir seluruhnya normal
sebanyak 30 responden
(79%).
Berdasarkan hasil uji chi
square diperoleh nilai p=
(0,000) yang lebih kecil dari
nilai α (0,05) yang berarti ada
hubungan antara ASI
eksklusif dengan kejadian
Stunting pada balita umur 2-5
tahun di desa Jadi Kecamatan
Semanding-Tuban.
2. Determinan Penyebab Kejadian Penelitian ini Faktor yang dapat
Stunting Pada Balita menggunakan menyebabkan terjadinya
(Ariani, 2020). pendekatan studi stunting pada balita
tinjauan literatur diantaranya pendidikan ibu
(literature review). yang rendah dan pengetahuan
ibu yang kurang pemahaman
pemenuhan asupan nutrisi
pada anak, tidak diberikan
ASI ekslusif, pemberian
MPASI yang tidak sesuai
umur, riwayat BBLR, riwayat
penyakit infeksi seperti
8

penyakit ISPA dan diare


berulang, sanitasi lingkungan
yang buruk, dan status sosial
ekonomi keluarga yang
rendah dalam pemenuhan
nutrisi pada anak.
3. Faktor Hubungan Dengan Kejadian Metode yang Penelitian ini menunjukkan
Stunting Di Puskesmas Tamalate digunakan pada bahwa balita yang tidak
Kota Makassar (Factors Related To penelitian ini adalah mendapatkan ASI eksklusif
The Incidence Of Stunting At The observasional sebesar 57,1% mengalami
Tamalate Health Center In analitik dengan kejadian stunting, sebaliknya
Makassar City). pendekatan cross- balita yang mendapatkan ASI
(Dewi Purnama Windasari, sectional study secara eksklusif cenderung
Ilham Syam, dan Lilis Sarifa tidak mengalami stunting.
Kamal, 2020) Hasil uji statistik diperoleh
nilai p= 0,001, hal tersebut
bermakna bahwa pemberian
ASI eksklusif mempunyai
hubungan signifikan (p <
0,05) dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Tamalate.
4. Hubungan Pemberian ASI Penelitian ini Hasil penelitian pada variabel
Eksklusif dengan Kejadian Stunting menggunakan pemberian ASI eksklusif
pada Anak Balita desain penelitian didapatkan nilai p=0,02
(Louis et al., 2020). survei analitik dan (<a=0,05)
pendekatan cross
sectional
Perbedaan Penelitian di atas dengan penelitian yang akan dilakukan adalah:

1. Waktu dan tempat penelitian akan di lakukan pada bulan Maret 2022 di

Desa Paku Alam Kabupaten Banjar.

2. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu ASI

Ekslusif stunting serta variabel dependen yaitu stunting.

3. Sampel penelitian ini adalah warga Desa Paku Alam Kabupaten Banjar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Stunting

1. Pengertian Stunting

Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih

pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umumnya (yang

seusianya). Definisi stunting menurut World Health Organization (WHO)

yaitu gangguan pertumbuhan pada anak akibat asupan nutrisi yang buruk, 

infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak adekuat (Saadah,

2020).

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak berusia

dibawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi

berulang terutama pada periode 1000 hari pertama kehidupan (HPK), itu

dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting atau

pendek jika panjang badan atau tinggi badan dibandingkan umur hasilnya

lebih rendah dari standar nasional yang ditetapkan berdasarkan

Kementrian PPN/Bappenas tahun 2018. Anak dengan stunting dalam

kehidupan sehari-hari tampak lebih pendek jika dibandingkan dengan anak

normal yang seumuran (Rahmawati dan Agustin, 2020).

2. Gejala stunting

Kurniarti dan Sunarti (2020) mengemukakan bahwa gejala stunting

yang paling utama adalah anak memiliki tubuh pendek di bawah rata-rata.

Tinggi atau pendeknya tubuh anak sebenarnya bisa diketahui jika tumbuh

9
10

kembang anak dipantau sejak lahir. Tanda dan gejala stunting diantaranya

sebagai berikut:

a. Berat badan dan panjang badan normal atau BBLR pada keterlambatan

tumbuh intra urine, umumnya tumbuh kalenjernya tidak sempurna.

b. Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tubuh adalah 5 cm per

tahun desimal.

c. Pada kecepatan tumbuh tinggi badan kurang dari 4 cm per tahun

kemungkinan ada  kelainan hormonal.

d. Umur tulang (bone age) bisa normal atau terlambat untuk umurnya.

e. Pertumbuhan tanda-tanda pubertas terlambat.

Stunting adalah tinggi badan yang kurang secara umum ditandai

dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan

dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak.

Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometri tinggi badan

menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai

pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka

panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau

kesehatan (Yuliata dan Hakim, 2019).

3. Dampak stunting

Gangguan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan masa anak-

anak akan memberikan dampak dalam jangka pendek lain adalah

terganggunya program metabolik glukosa, lemak, hormon, reseptor dan

gen, pertumbuhan dan massa otot serta komposisi tubuh serta


11

terganggunya perkembangan otak. Dampak jangka panjang antara lain

adalah terganggunya tumbuh kembang anak secara fisik, mental dan

intelektual yang sifatnya permanen, rendahnya imunitas dan produktivitas

kerja, berisiko menderita penyakit kronis diabetes melitus, jantung

koroner, hipertensi, kanker dan stroke (Simbolon, 2019).

Malnutrisi dalam waktu yang relatif lama akan berdampak pada

pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perkembangan otak.

Perkembangan otak yang terhambat akan berdampak pada perkembangan

intelektual. Jika sejak usia dini anak mengalami perkembangan fisik dan

otak terhambat, dalam kurun waktu yang cukup lama secara tidak

langsung pada masa remaja nanti anak akan mengalami perkembangan

fisik dan otak yang tidak normal (Ahmadi, 2019).

4. Faktor-faktor risiko stunting

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting menurut ahli

dan beberapa hasil penelitian meliputi:

a. Faktor ibu

1) Pengetahuan ibu

Pengetahuan ibu yang kurang mengenai kesehatan dan gizi

sebelum dan pada masa kehamilan serta melahirkan dapat

mempengaruhi terjadinya stunting pada anak (Ramayulis., dkk,

2018). Peranan orang tua terutama ibu sangat penting dalam

pemenuhan gizi anak karena anak membutuhkan perhatian dan

dukungan orang tua dalam menghadapi pertumbuhan dan


12

perkembangan yang sangat pesat. Untuk mendapatkan gizi yang

baik diperlukan pengetahuan gizi yang baik dari orang tua agar

dapat menyediakan menu pilihan yang seimbang. Tingkat

pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan

perilaku dalam pemilihan makanan. Seorang ibu yang memiliki

pengetahuan dan sikap gizi yang kurang akan sangat berpengaruh

terhadap status gizi anaknya dan akan sukar untuk memilih

makanan yang bergizi untuk anak dan keluarganya (Olsa, 2018).

2) Status gizi ibu

Ibu dengan Lila kurang dari 23,5 cm 2,2 kali berisiko

anaknya mengalami kejadian stunting dibandingkan ibu dengan

Lila lebih dari sama dengan 23,5 cm. Status gizi ibu selama

kehamilan dapat dimanifestasikan sebagai keadaan tubuh akibat

dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Gizi ibu

waktu hamil sangat penting untuk pertumbuhan janin yang

dikandungnya. Pada umumnya, ibu hamil dengan kondisi

kesehatan yang baik yang tidak ada gangguan gizi pada masa pra-

hamil maupun saat hamil, akan menghasilkan bayi yang lebih besar

dan lebih sehat dari pada ibu hamil yang kondisinya memiliki

gangguan gizi. Kurang energi kronis akan menyebabkan lahirnya

anak dengan bentuk tubuh stunting (Trisyani, 2020).


13

3) Tingkat pendidikan ibu

Faktor pendidikan ibu merupakan faktor yang memiliki

hubungan paling dominan dengan kejadian stunting pada anak.

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kesehatan, salah

satunya adalah status gizi. Individu yang memiliki tingkat

pendidikan tinggi memiliki kemungkinan lebih besar mengetahui

pola hidup sehat dan cara menjaga tubuh tetap bugar yang

tercermin dari penerapan pola hidup sehat seperti konsumsi diet

bergizi. Individu dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung

menghindari kebiasaan buruk seperti rokok dan alkohol, sehingga

memiliki status kesehatan yang lebih baik. Tingkat pendidikan juga

berhubungan dengan pendapatan, dimana tingkat pendapatan

cenderung meningkat seiring peningkatan tingkat pendidikan.

Pendapatan yang cukup memungkinkan untuk hidup dengan

kualitas yang lebih baik. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi

tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan yang baik membantu

pemilihan makanan dengan bijak dan tepat, serta penanganan

gangguan kesehatan dengan baik (Setiawan, 2018).

4) Tinggi badan ibu

Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi

genetik, dan merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta

berkaitan dengan kejadian stunting. Anak dengan orang tua yang

pendek, baik salah satu maupun keduanya, lebih berisiko untuk


14

tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi

badannya normal. Pada orang tua pendek memiliki gen dalam

kromosom yang membawa sifat pendek, sehingga memungkinkan

diturunkan kepada anaknya, kecuali jika sifat pendek orang tua

disebabkan karena masalah gizi maupun patologis (Nuraeni, 2019).

b. Faktor bayi dan balita

1) Berat badan lahir rendah

Balita dengan riwayat BBLR mempunyai resiko terjadi

status gizi stunting sebesar 14,063 kali dibandingkan balita yang

riwayat berat badan lahir normal (Adyas, 2019). Faktor berat badan

lahir rendah (BBLR) merupakan faktor risiko dominan terhadap

kejadian stunting pada anak. Karakteristik bayi saat lahir (BBLR

atau BBL normal) merupakan hal yang menentukan pertumbuhan

anak. Anak dengan riwayat BBLR mengalami pertumbuhan linear

yang lebih lambat dibandingkan Anak dengan riwayat BBL normal

(Setiawan, 2018).

2) Pemberian ASI Ekslusif

Salah satu pemberian asupan gizi adalah melalui ASI

eksklusif. Hasil penelitian Pangalila (2018) mendapatkan bahwa

balita dengan ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3,7 kali lebih

besar terkena stunting dibanding balita dengan ASI eksklusif. Ada

beberapa mekanisme yang membuat pemberian ASI bermanfaat

bagi perkembangan anak. Pertama, ASI merupakan sumber asam


15

lemak tak jenuh yang bukan hanya merupakan sumber energi tetapi

juga sangat penting bagi perkembangan otak. Yang kedua,

pemberian ASI dapat meningkatkan imunitas bayi terhadap

penyakit sebagaimana diperlihatkan dalam sejumlah penelitian

ketika pemberian ASI disertai dengan penurunan frekuensi diare,

konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal dan infeksi traktus

respiratorius, serta infeksi telinga. Pemberian ASI dapat membawa

manfaat bagi interaksi ibu dan anak serta memfasilitasi

pembentukan ikatan yang lebih kuat sehingga menguntungkan bagi

perkembangan anak dan perilaku anak.

3) Pemberian MP-ASI

Balita yang mendapatkan makanan pendamping ASI

(MPASI) yang monoton 3,2 kali lebih berisiko mengalami kejadian

stunting dibandingkan dengan balita yang mendapatkan MPASI

yang variatif. Variasi makanan yang dimaksud adalah ragam bahan

makanan yang diberikan kepada balita. Keragaman makanan

merupakan salah satu prinsip gizi seimbang untuk memenuhi

kebutuhan gizi balita yang nantinya dibutuhkan untuk

mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan balita. Variasi

jenis makanan yang diberikan juga dapat membantu meningkatkan

nafsu makan. Variasi jenis yang dimaksudkan dapat berupa nasi,

lauk pauk, sayur, buah dan susu yang diberikan kepada balita. Jenis

makanan tersebut kaya akan zat gizi yang memegang peranan


16

penting dalam pertumbuhan. Akibat dari pemberian MPASI yang

monoton akan membuat kebutuhan gizi balita tidak terpebuhi.

Akibat kekurangan asupan energi akan membuat tubuh menghemat

energi sehingga berdampak pada hambatan kenaikan berat badan

dan pertumbuhan linier (Nurdin, 2019).

4) Penyakit infeksi

Infeksi akut maupun kronis mempunyai efek yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan linier. Infeksi dapat

menghambat pertumbuhan linier melalui penurunan asupan makan

dan penyerapan zat gizi, hilangnya zat gizi, peningkatan kebutuhan

metabolik dan penghambatan transfer zat gizi ke jaringan. Penyakit

diare, pernafasan, malaria, demam dan infeksi karena cacing yang

diketahui sebagai pemicu terjadinya inflamasi sehingga terjadi

diversi zat gizi, penyerapan dan kehilangan zat gizi berlebih. Anak

yang menderita diare memiliki nafsu makan yang menurun

sehingga asupan zat gizi cenderung menurun. Tingginya kejadian

diare disertai gangguan penyerapan dan tingkat kehilangan zat gizi

secara berulang-ulang pada anak menyebabkan terganggunya

proses pertumbuhan. Balita stunting dengan prevalensi diare yang

tinggi memiliki tingkat daya imun yang lebih rendah, sehingga jika

terpapar dengan polusi udara atau mengonsumsi makanan atau

minuman yang memicu dapat menimbulkan penyakit ISPA, seperti

batuk dan pilek (Sundari, 2016).


17

5) Pola asuh

Pola asuh merupakan suatu tindakan orang tua untuk

melakukan perawatan anak. Pola asuh meliputi tiga aspek yaitu

aspek perawatan kesehatan, aspek pemenuhan gizi dan aspek kasih

sayang. Pengasuhan pada anak merupakan pemberian perhatian

dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, sosial

dalam pertumbuhan anak (Wiyono, 2016).

Balita stunting memiliki pola asuh makan yang kurang.

Buruknya status gizi balita dikarenakan rendahnya pola asuh

makan yaitu kebiasaan ibu menunda memberikan makan, tidak

memperhatikan zat gizi yang terkandung dalam makanan

pengasuhan yang baik adalah ibu memperhatikan frekuensi dan

jenis makanan yang dikonsumsi oleh anaknya agar kebutuhan zat

gizinya terpenuhi. Pemberian makan yang baik sangat penting

untuk asupan nutrisi, tidak hanya dari segi apa yang dimakan anak

tapi sikap yang menjadi kebiasaan ibu juga sangat berperan. Status

gizi merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya stunting

(Pribadi, 2019).

c. Faktor Lingkungan

1). Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan menjadi faktor utama terjadinya stunting

disebabkan karena disebutkan pada jurnal bahwa jumlah fasilitas

kesehatan yang tersedia di wilayah penelitian tersebut dinyatakan


18

kekurangan fasilitas oleh peneliti. Tidak disebutkan jumlah fasilitas

kesehatan secara rinci pada jurnal tersebut sehingga tidak dapat

dilakukan review lebih dalam. Fasilitas kesehatan yang kurang

menyebabkan masyarakat khususnya ibu hamil dan balita tidak

mudah untuk menjangkau tempat pemeriksaan kesehatan, tentunya

menyebabkan mereka menjadi malas untuk ke posyandu maupun

ke puskesmas untuk memeriksakan kesehatan kehamilannya

maupun memantau tumbuh kembang anak balitanya, sehingga ibu

yang hamil tidak terpapar informasi mengenai gizi dan tidak

mengetahui keadaan kesehatan kehamilannya dengan sebenarnya.

Jika ibu tersebut mengalami kekurangan gizi selama kehamilan dan

tidak memeriksakannya ke tempat fasilitas kesehatan maka

kekurangan gizi tersebut akan berkepanjangan pada akhirnya

melahirkan anak yang juga mengalami kurang gizi termasuk anak

menjadi stunting (Saleh, 2020).

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dewi (2019)

pelayanan kesehatan merupakan akses atau keterjangkauan anak

dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan

pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan,

pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan

dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu,

puskesmas, praktek bidan atau dokter dan rumah sakit. Tidak

terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak


19

mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan

merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara

baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak

juga pada status gizi anak.

2). Akses sanitasi yang layak

Akses sanitasi yang layak juga menjadi salah satu penyebab

faktor utama stunting menurut penelitian Saleh (2020). Ini

menunjukkan bahwa akses sanitasi turut serta menyebabkan anak

bertubuh pendek. Sanitasi yang menyebabkan risiko stunting

tersebut diantaranya kepemilikan jamban yang tidak sehat.

Responden yang tidak memiliki jamban yang sehat melakukan

buang air besar sembarangan yang biasanya pinggiran sungai.

Jamban tersebut dipergunakan oleh beberapa keluarga yang

pembuangannya langsung mengalir di sungai sehingga

menyebabkan pencemaran air sungai. Jika air tersebut digunakan

untuk keperluan sehari-hari maka akan berisiko menyebabkan

penyakit diare. Anak diare artinya anak tersebut telah

terkontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri-bakteri tersebut dapat

terjadi melalui peralatan dapur maupun peralatan rumah tangga

lainnya yang tidak dicuci bersih maupun ibu balita sendiri juga

tidak mencuci tangan hingga bersih sebelum memberi makan

anaknya. Akhirnya bakteri bisa masuk melalui mulut balita,

kemudian dapat mengurangi nafsu makan anak, menghambat


20

proses penyerapan nutrisi di dalam tubuh anak, serta meningkatkan

risiko kehilangan nutrisi, sehingga keluarga yang tidak memiliki

akses sanitasi yang layak seperti jamban sehat merupakan

penyebab dasar yang akan menimbulkan faktor risiko lainnya

penyebab terjadinya stunting.

3). Akses air bersih

Akses air bersih juga menjadi Faktor penyebab stunting

menurut Alam (2021). Penggunaan air yang kurang bersih dalam

kehidupan sehari-hari seperti memasak, mencuci piring dan

terlebih digunakan sebagai air minum sehari-hari dapat berisiko

menyebabkan diare. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit

infeksi yang biasanya mengalami penurunan nafsu makan. Anak

yang sehat terlebih berada dalam keadaan sakit membutuhkan

asupan gizi yang cukup untuk mempercepat proses pemulihan. Bila

infeksi terjadi dalam jangka waktu yang lama dan berulang, dapat

mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat dan tinggi badan

anak tidak mengalami pertambahan dengan semestinya (pendek).

Ini berarti akses air bersih merupakan faktor stunting yang akan

menimbulkan faktor risiko stunting lainnya sehingga menjadi

penyebab dasar (utama) untuk mengendalikan masalah stunting.

5. Cara pengukuran balita Stunting (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan

keadaan pertumbuhan skletal. Seorang anak dikatakan normal bila nila Z-


21

score berada ≥2 SD, sedangkan anak yang nilai Z-score nya kurang dari -

2SD dikategorikan stunting (Wiyono, 2016).

Data stunting pada balita dapat diperoleh dengan teknik

membandingkan hasil ukur tinggi badan dan usia berdasarkan standar baku

menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang

Standar Antropometri Anak. Berikut klasifikasi status gizi Stunting

berdasarkan tinggi badan menurut usia ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Stunting

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Sangat pendek
Panjang Badan menurut <-3SD
(severely stunted)
Usia (PB/U atau Tinggi
Pendek (stunted) -3SD sampai dengan <-2SD
Badan menurut Usia
Normal -2SD sampai dengan +3SD
(TB/U)
Tinggi >+3 SD

Sumber: Kemenkes RI, 2020

6. Upaya pencegahan stunting

Menurut Kemenkes RI (2019) langkah pencegahan stunting dapat

dilakukan dengan sebagai berikut:

a. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil

Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah

stunting pada anak adalah selalu memenuhi gizi sejak masa

kehamilan. Lembaga kesehatan Millenium Challenge Account

Indonesia menyarankan agar ibu yang sedang mengandung selalu

mengonsumsi makanan sehat dan bergizi maupun suplemen atas


22

anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang menjalani proses

kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter

atau bidan.

b. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak

berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu

disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan

kepada sang buah hati. Protein dan kolostrum yang terdapat pada susu

ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi

yang terbilang rentan.

c. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat

Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa

memberikan makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini

pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro

dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah

stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau penambahan

nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat

akan menentukan produk tambahan tersebut. Konsultasikan dulu

dengan dokter.

d. Terus memantau tumbuh kembang anak

Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka,

terutama dari tinggi dan berat badan anak. Anak dibawa secara

berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan


23

lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan

penanganannya.

e. Selalu jaga kebersihan lingkungan

Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan

penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini

pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Studi

yang dilakukan di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah

faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut.

Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang

masuk ke dalam tubuh manusia.

Pencegahan stunting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik

yang ditujukan dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Intervensi

gizi spesifik untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil,  ibu

menyusui 0-6 bulan,  ibu menyusui 7 sampai 23 bulan, anak usia 0

sampai 6 bulan, dan anak usia 7 sampai 23 bulan (Ramayulis dkk,

2018).

7. Penatalaksanaan stunting

Penatalaksanaan stunting dapat dilakukan dengan intervensi gizi

sensitif dan spesifik yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dan

komprehensif.

a. Intervensi gizi sensitif


24

Intervensi gizi sensitif adalah kegiatan yang cukup efektif untuk

mengatasi masalah gizi khususnya masalah gizi stunting (anak pendek

jika dibandingkan dengan standar normal) (Simbolon, 2019). Intervensi

gizi sensitif mencakup peningkatan penyediaan air bersih dan sarana

sanitasi, peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan,

peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan

anak serta peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif

umumnya dilaksanakan di luar Kementerian Kesehatan. Sasaran

intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan masyarakat dan dilakukan

melalui berbagai program dan kegiatan (KPPN, 2018).

b. Intervensi gizi spesifik

Intervensi gizi spesifik merupakan kegiatan yang langsung

mengatasi terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi, status

gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan lingkungan (KPPN, 2018).

B. Teori ASI Ekslusif

1. Definisi ASI Ekslusif

Menurut World Health Organization (WHO 2011), ASI Eksklusif

adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan

minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berumur 6 bulan, kecuali

obat dan vitamin ASI merupakan asupan gizi yang terbaik untuk bayi

(Humune et al., 2020).


25

ASI Ekslusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak

dilahirkan sampai 6 bulan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan

makanan atau minuman lain (Kemenkes RI, 2018).

ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman

tambahan lain pada bayi berumur 0 sampai 6 bulan. Bahkan air putih tidak

diberikan dalam tahap ASI Ekslusif. Bayi sampai dengan usia 6 bulan

telah tercukupi asupan nutrisinya hanya dengan ASI, sehingga pemberian

makanan lain tidak diperlukan. ASI Ekslusif selama enam bulan pertama

kehidupan bayi adalah yang terbaik (Mariana, 2021).

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi tanpa tambahan

cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa

tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit,

bubur nasi dan tim selama 6 bulan (Maryunani, 2018).

2. Jenis ASI

Berikut ini merupakan jenis ASI berdasarkan waktu keluarnya:

a. Foremilk atau ASI depan, disimpan pada saluran penyimpanan dan

keluar pada awal menyusui dengan tekstur lebih encer dan jumlahnya

lebih banyak dari hindmilk. Foremilk juga mengandung laktosa tinggi

yang sangat penting untuk pertumbuhan otak bayi (Arifianto, 2019).

b. Hindmilk, keluar setelah foremilk habis saat menyusui hampir selesai

dan jumlahnya sedikit dari pada foremilk. Hindmilk mengandung

banyak lemak yang sangat penting untuk pertumbuhan fisik, energy,

dan untuk melindungi organorgan vital dalam tubuh bayi yang belum
26

terbentuk sempurna. Kandungan lemak pada hindmilk berkisar 2-3 kali

dibanding kandungan pada foremilk (Arifianto, 2019)

3. Komposisi ASI

ASI mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan dalam 6 bulan

pertama kehidupan. Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan air

merupakan kandungan ASI. Selain itu, ASI juga mengandung bioaktif

faktor yang dapat mencegah infeksi dan membantu pencernaan dan

penyerapan zat gizi (Maryunani, 2018).

a. Karbohidrat

Laktosa merupakan jenis karbohidrat utama dalam ASI. 100 ml

ASI mengandung 7 gr laktosa yang kadarnya paling tinggi

dibandingkan susu mamalia lainnya. Karbohidrat dalam ASI selain

berperan penting sebagai sumber energi juga dapat mencegah infeksi

lewat peningkatan pertumbuhan bakteri baik usus, laktobasilus bifidus

dan menghambat bakteri berbahaya dengan cara fermentasi laktosa

menjadi asam laktat sehingga menyebabkan suasana lambung menjadi

asam dan menghambat pertumbuhan bakteri berbahaya (Maryunani,

2018).

b. Lemak

Lemak ASI merupakan lemak yang tepat untuk pertumbuhan dan

perkembangan bayi karena mengandung jumlah lemak yang sehat dan

tepat secara proposional. Enzim lipase menyebabkan lemak pada ASI

mudah dicerna dan diserap oleh bayi. Lemak utama ASI merupakan
27

lemak ikatan panjang yang mengandung omega-3, omega-6, DHA, dan

AHA penting untuk pertumbuhan syaraf dan perkembangan otak.

Lemak pada ASI juga mengandung kolesterol yang berguna untuk

pertumbuhan otak bayi. Pada saat pertumbuhan otak yang cepat

diperlukan kadar kolestrol yang tinggi. Kolesterol pada ASI berfungsi

dalam pembentukan enzim untuk metabolisme kolesterol yang

berfungsi untuk membentuk enzim sehingga dapat mencegah risiko

penyakit jantung di usia muda (Maryunani, 2018).

c. Protein

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting. Protein mudah

larut atau protein whey juga berbeda. ASI mengandung Protein dalam

ASI terdiri dari kasein, serum albumin, α-laktalbumin, β-laktoglobulin,

immunoglobulin A(IgA) , dan glikoprotein. Dalam ASI juga banyak

protein whey yang mengandung anti-infektif dan laktorefin yang

membantu melindungi bayi dari infeksi. Kadar protein pada ASI akan

semakin berkurang dari kolostrum hingga susu matur. Kadar protein

pada kolstrum (1,195 gr/100 ml) : transisi (0,965 gr/100 ml) : matur

(1,324 gr/100 ml). Protein dalam ASI banyak mengandung kasein,

serum albumin, α-laktalbumin, βlaktoglobulin, immunoglobulin, dan

glikoprotein. ASI mengandung protein yang lebih rendah dari susu

sapi, tetapi protein ASI mengandung zat gizi yang lebih mudah dicerna

bayi. (Taufan dr Nugroho et al., 2014)

d. Vitamin
28

ASI mengandung berbagai vitamin yang diperlukan bayi.

Diantaranya vitamin D, E, dan K. Vitamin E terdapat pada kolostrum

untuk ketahanan sel darah merah, vitamin K diperlukan sebagai

katalisator dalam proses pembekuan darah dan terdapat dalam ASI

dalam jumlah yang cukup serta mudah diserap (Astutik, 2017).

e. Mineral

Mineral dalam ASI memliki kualitas yang lebih baik dan lebih

mudah diserap dibandingkan mineral yang terdapat dalam susu sapi.

Selenium merupakan mineral yang cukup tinggi terdapat dalam ASI

dibandingkan di susu formula dan susu sapi berfungsi untuk

pertumbuhan bayi. Bayi yang mendapat ASI eksklusif berisko sangat

kecil untuk kekuragan zat besi, walaupun kadar zat besi dalam ASI

rendah. Hal ini dikarenkan zat besi yang terdapat dalam ASI lebih

mudah diserap dibandingkan yang terdapat dalam susu sapi (Astutik,

2017).

3. Faktor pelindung dalam ASI

Sel darah putih dan immunoglobulin merupakan faktor pelindung

dalam ASI. Sel darah putih berguna untuk membentuk antibodi dan

kekebalan tubuh bayi yang protektif dalam jumlah cukup banyak. Sel ini

secara berangsur-angsur berkurang setelah bayi memiliki sistem kekebalan

bayi yang cukup. Selain itu, sel-sel ini juga mampu menyalurkan dan

menyimpan zat-zat yang penting seperti enzim, faktor pertumbuhan, dan


29

immunoglobulin. Protein yang beredar dan bertugas memerangi infeksi

yang masuk dalam tubuh bayi merupakan fungsi dari immunogloblin. Saat

antibodi dari ibu turun, antibodi dari ASI akan meneruskan tugas

melindungi bayi sampai sistem antibodi bayi matang. (WHO, 2010).

4. Stadium Laktasi

Stadium laktasi menurut Maryunani (2018) adalah sebagai berikut:

a. Kolostrum

Kolostrum merupakan cairan khusus yang disekresikan pada hari

pertama sampai hari ketiga kelahiran bayi. Cairan encer dan berwarna

kekuning-kuningan banyak mengandung protein dan antibodi

(kekebalan tubuh). Kolostrum mengandung sel hidup yang menyerupai

“sel darah putih” yang dapat membunuh kuman penyakit. Kolostrum

merupakan pencahar ideal yang berguna untuk membersihkan zat yang

tidak terpakai dari usus bayi yang baru lahir dan mempersiapkan

saluran pencernaan makanan bayi. Kandungan gizi antara lain protein

8,5%, lemak 2,5%, karbohidrat 3,5%, garam dan mineral 0,4% serta

air 85,1%. Kolostrum lebih banyak mengandung protein dibandingkan

ASI yang matang. Kolostrum mengandung 10-17 kali lebih banyak

dibandingkan ASI yang matang. Kolostrum memiliki energi yang lebih

rendah dibandingkan ASI biasa dengan volume 150-300 ml/24 jam.

b. ASI transisi

ASI peralihan merupakan ASI yang keluar setelah kolostrum

sampai sebelum menjadi ASI matang. Pada tahap ini, kadar protein
30

semakin rendah sedangkan kadar karbohidrat dan lemak semakin

tinggi. Pada masa ini, volume ASI semakin meningkat.

c. ASI matang (mature)

ASI mature disekresikan pada hari kesepuluh dan seterusnya. Pada

tahapan ini, volume ASI mulai normal yaitu 300-800 ml/ 24 jam. ASI

merupakan makanan terbaik bayi sampai bayi berumur 6 bulan.

5. Manfaat ASI Ekslusif

Menurut Kemenkes (2018) ASI eksklusif memberikan dua manfaat

sekaligus yaitu bagi bayi dan ibu. Manfaat ASI bagi bayi yaitu sebagai

kekebalan alami sehingga mampu mencegah bayi terserang penyakit. ASI

juga mengoptimalkan perkembangan otak dan fisik bayi. Manfaat ASI

bagi Ibu antara lain mencegah trauma, mempererat bounding dan mampu

mencegah kanker payudara. Komposisi ASI yang tidak tergantikan dengan

makanan lain khususnya pada 6 bulan pertama. Hal itu akibat kandungan

colostrum, kandungan protein dalam ASI ini dapat melindungi bayi dari

infeksi. Penelitian manfaat ASI yang lainnya adalah kandungan Human

Alpha-Lactalbumin Made Lethal to Tumour Cells (HAMLET).

Kandungan ASI ini dapat mencegah penyakit kanker. Pada anak yang

mendapatkan ASI eksklusif resiko terkena leukemia mengalami penurunan

hingga 20%.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi ASI

Menurut Wiji (2018) factor-faktor yng mempengaruhi produksin

ASI yaitu:
31

a. Makanan

Makanan yang dikonsumsi ibu menyusui sangat berpengaruh

terhadap produksi ASI. Apabila makanan yang ibu makan cukup akan

gizi dan pola makan yang teratur, maka produksi ASI akan berjalan

dengan lancer. Ibu yang menyusui dianjurkan makan dalam porsi yang

lebih banyak dari biasanya karena ibu membutuhkan kalori tambahan

sekitar 300-500 kalori per hari untuk memproduksi ASI. Ibu juga

dianjurkan untuk tidak mengkonsumsimakanan yang berlemak dan

mengandung gula serta minuman bersoda.

b. Kondisi psikologis ibu

Faktor kejiwaan sangat berpengaruh terhadap produksi ASI.

Perasaan gelisah, kurang percaya diri, rasa tertekan dan berbagai

macam emosional dapat menyebabkan kegagalan dalam menyusui

bayinya. Keadaan ini memengaruhi pengeluaran hormon prolaktin dan

oksitosin

c. Pengaruh persalinan dan klinik persalinan

Banyak rumah sakit atau klinik bersalin lebih menitikberatkan

upaya agar persalinan dapat berlangsung dengan baik dan

menyampingkan masalah pemberian ASI. Susu formula merupakan

makanan pertama yang seringkali diberikan, hal ini mempengaruhi

presepsi ibu bahwa susu sapi lebik baik dari ASI. Pengaruh itu akan

semakin buruk apabila disekeliling kamar bersalin dipasang gambar-

gambar atau poster yang memuji penggunaan susu buatan


32

d. Penggunaan alat kontrasepsi.

Penggunaan alat kontrasepsi pada ibu menyusui perlu diperhatikan

agar tidak mengurangi produksi ASI. Kontrasepsi pil mengandung

hormon estrogen yang dapat mengurangi jumlah produksi ASI bahkan

dapat menghentikan produk ASI secara keseluruhan sehingga

kontrasepsi pil tidak dianjurkan untuk ibu yang melakukan program

ASI eksklusif. Kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yaitu IUD dan Spiral

merupakan kontrasepsi yang dianjurkan. AKDR merangsang uterus

ibu sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kadar hormon

oxitoksin, yaitu hormon yang dapat merangsang produk ASI.

C. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Stunting

Menurut Veronika Scherbaum dalam Kemenkes RI (2019)

menyatakan ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak.

Hal tersebut akibat kandungan gizi mikro dan makro yang ada dalam ASI.

Protein whey dan Kolostrum yang terdapat pada ASI pun dinilai mampu

meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang rentan. Hubungan ASI

eksklusif dengan stunting sering ditemukan tidak konsisten. Hadi et al. (2019)

menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya stunting di Indonesia adalah

pendidikan ibu, pendapatan, rerata durasi menderita penyakit (khusunya diare

dan ISPA), berat badan lahir dan tingkat asupan energi. Dalam penelitiannya

faktor pemberian ASI ekslusif ditemukan tidak mempengaruhi kejadian

stunting. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di


33

Kecamatan Busungbiu, Buleleng-Bali, dimana tidak ditemukan hubungan

antara pemberian ASI terhadap kejadian stunting (Marheni, 2020).

Berbeda dengan penelitian diatas, diperoleh bahwa bayi yang tidak

diberikan ASI eksklusif 3,154 kali mengalami stunting dimasa mendatang

(Wardah, 2020). Menurut penelitian Kahssay et al., (2020) balita yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif 6,6 kali lebih mungkin terjadi stunting. Hal ini

dapat terjadi karena ASI yang diberikan secara eksklusif mengandung

kolostrum (Kahssay et al., 2020). Kolostrum mengandung zat kekebalan

terutama Ig A untuk melindungi bayi dari penyakit infeksi saluran pencernaan

terutama diare Linda (2019). Menurut pendapat peneliti, kolostrum yang

terdapat dalam ASI dapat melindungi bayi dari infeksi saluran pencernaan.

Jika infeksi pencernaan terjadi maka akan menyebabkan penurunan kebutuhan

nutrisi pada balita, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi akan menimbulkan

permasalah gizi pada balita tersebut. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

penelitian Sampe et al. (2020) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

menyusui eksklusif dengan 22 kejadian stunting. Kejadian stunting ditemukan

lebih banyak pada balita dengan riwayat tidak diberikan ASI eksklusif yaitu

91,7%. Hasil analitik statistik ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Larasati et al. (2018) bahwa pada bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif

berisiko 3, 23 kali lebih besar mengalami stunting di masa mendatang.

Menurut penelitian tentang riwayat ASI eksklusif dan kejadian stunting

dengan menggunakan uji Spearman rank diperoleh nila r = 0,4 yang artinya
34

kekuatan hubungan antara riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian

stunting memiliki kekuatan sedang (Saputri et.al, 2018).


35

D. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut.

Balita

Asupan gizi yang cukup/terpenuhi Asupan gizi yang kurang

Balita Sehat

Underweight Stunting Wasting

Faktor Ibu Faktor Bayi dan Balita Faktor Lingkuungan

Dampak jangka pendek: Penurunan kemampuan


belajar karena kurangnya perkembangan kognitif. BBLR ASI Ekslusif mengandung
kolostrum. Kolostrum yang
Dampak jangka panjang: menurunkan kualitas terdapat dalam ASI melindungi
ASI Ekslusif bayi dari infeksi saluran
hidup anak saat dewasa karena menurunnya
kesempatan mendapat pendidikan, peluang kerja, pencernaan. Jika infeksi
dan pendapatan yang lebih baik. pencernaan terjadi maka akan
MP-ASI
menyebabkan penurunan
kebutuhan nutrisi pada balita,
Penyakit Infeksi kebutuhan nutrisi yang tidak
terpenuhi akan menimbulkan
permasalah gizi dan juga ASI
Pola Asuh
Ekslusif mengandung
karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan mineral sehingga
bermanfaat bagi perkembangan
: Diteliti dan perilaku anak.

: Tidak Teliti

Gambar 2. 2 Kerangka Teori

Sumber: Adyas (2019); Nurkomala (2018).


36

E. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori dapat disusun kerangka konsep penelitian

sebagai berikut:

Variabel Independent Variabel Dependent


(Variabel bebas) (Variabel terikat)
ASI Ekslusif Stunting

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep diatas peneliti dapat menarik hipotesis

yaitu:

Ha: Adanya Hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Ekslusif

dengan kejadian Stunting di Desa Paku Alam Kabupaten Banjar

Ho: Tidak ada Hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Ekslusif

dengan kejadian Stunting di Desa Paku Alam Kabupaten Banjar


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi, Waktu dan Sasaran Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau lokasi penelitian tersebut

akan dilakukan (Notoatmodjo, 2014). Lokasi penelitian ini telah dilakukan

di Desa Paku Alam Kabupaten Banjar.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian adalah waktu penelitian tersebut akan dilakukan

(Notoatmodjo, 2014). Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret

2022.

3. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian adalah sekelompok subjek yang menjadi objek

penelitian (Notoatmodjo, 2014). Sasaran dalam penelitian ini adalah ibu

dari Balita usia 12-60 bulan yang mengalami stunting di Desa Paku Alam

Kabupaten Banjar.

B. Metode Penelitian

Metode atau rancangan penelitian merupakan kerangka acuan bagi

peneliti untuk mengkaji hubungan antar variabel dalam suatu penelitian

(Riyanto, 2017).

1. Jenis Penelitian

37
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik

dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk

38
39

menguji suatu teori, menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan statistik

untuk menunjukkan gubungan antar variabel mengembangkan konsep,

mengembangkan pemahaman atau mendeskripsikan banyak hal dalam

penelitian (Sugiyono, 2016).

2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Cross Sectional. Cross

Sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi

antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Artinya setiap subjek

penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan

terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan

(Notoatmodjo, 2014)

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/

subyek yang memiliki karakteristik dan kualitas tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga dapat ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2017). Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita

usia12-60 bulan di Desa Paku Alam berjumlah

2. Sampel

Sampel adalah bagian populasi yang tejangkau dapat digunakan

sebagai subjek penelitian (Nursalam, 2017). Jumlah sampel pada penelitian

ini adalah 30 orang.


40

Peneliti telah menetapkan kriteria sampel sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2017).

Peneliti telah menetapkan kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a) Balita Desa Paku Alam berusia 12 - 60 bulan

b) Ibu kandung Balita 12-60 bulan dan bersedia menjadi responden

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah suatu karakteristik dari populasi yang dapat

menyebabkan subjek yang memenuhi kriteria inkulusi namun tidak dapat

disertakan menjadi subjek penelitian (Nursalam, 2017). Peneliti

menetapkan kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah:

a) Anak yang mengalami kelainan kongenital atau cacat fisik

b) Anak yang memiliki alergi makanan tertentu

3. Besar Sampel

Besar sampel merupakan jumlah sampel yang ditetapkan dalam

penelitian. Jumlah populasi target memilki besar kecil dan sewaktu-waktu

dapat berubah akibat drop-out balita stunting. Penentuan jumlah sampel

dapat dilakukan dengan cara perhitungan statistik yaitu dengan

menggunakan Rumus Slovin. penentuan besar sampel menurut (Nursalam,

2016) sebagai berikut:

N= N

1 + N (d) 2
41

Keterangan:

n = Besar sampel

N = Besar Populasi

d = Tingkat Signifikan

Berdasarkan Rumus Slovin, maka besarnya penarikan jumlah

sampel penelitian adalah:

4. Teknik Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh

dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel benar-benar seuai

penelitian keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2017). Pengambilan

sampel penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Accidental

sampling. Accidental sampling merupakan pengambilan sampel secara

accidental dengan mengambil responden yang kebetulan ada disuatu tempat

yang sesuai dengan tempat penelitian, walaupun sampel secara kebetulan

namun tetap sesuai tujuan penelitian dan bukan random (Sugiyono, 2016).

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Independen (Variabel Bebas)

Variabel bebas merupakan variabel yang dapat memengaruhi atau

menentukan variabel lain. Dalam ilmu keperawatan, intervensi atau

stimulus keperawatan yang diberikan kepada pasien untuk


42

memengaruhi tingkah laku pasien disebut variabel bebas (Nursalam,

2017). Variabel independen dalam penelitian ini adalah ASI Ekslusif. .

b. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau

ditentukan oleh variabel lain. Faktor yang diukur dan diamati untuk

menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas

disebut variabel terikat (Nursalam, 2017). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah Stunting.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi dari variabel- variabel yang

akan diteliti. Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan kepada

pengukuran atau pengamatan terhadap variabel- variabel yang akan

diteliti serta untuk pengembangan instrumen. Dengan adanya definisi

operasional maka ruang lingkup penelitian akan menjadi lebih terbatas

dan akan lebih fokus (Riyanto, 2017).

Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Independen
1. ASI ASI Ekslusif adalah ASI Alat ukur yang 1 = “Ya” Jika bayi Ordinal
Ekslusif yang diberikan kepada digunakan untuk diberikan ASI saja
bayi sejak dilahirkan mengetahui sampai berumur 6
sampai 6 bulan, tanpa pemberian ASI bulan.
menambahkan atau Eksklusif ini 0 = “Tidak” Jika bayi
mengganti dengan menggunakan ceklist tidak diberikan ASI
makanan atau minuman pemberian ASI sampai berumur 6
lain Stunting adalah Eksklusif terhadap bulan.
sebuah kondisi dimana ibu responden. (Tianingsih, 2020)
tinggi badan seseorang
lebih pendek dibanding
tinggi badan orang lain
pada umumnya (yang
43

seusianya).
Dependen
2. Stunting Tinggi balita menurut Pengkuran langsung: 1. Stunting: Zscore Ordinal
umur (TB/U) < 2 SD Tinggi badan diukur TB/U <- 2,0 SD
sehingga lebih pendek dengan menggunakan 2. Normal: Zscore
dari pada tinggi yang microtoise TB/U ≥ -2,0 SD
seharusnya. +2 SD
(Kemenkes,2020)

E. Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Data adalah informasi atau keterangan yang dapat memberikan

gambaran tentang suatu keadaan. Jenis data dalam penelitian ini adalah

Kategorik/kuantitatif yang dinyatakan dalam bentuk angka (Yuandari &

Rahman, 2017).

2. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data statistik yang diperoleh atau bersumber

dari tangan pertama (Yuandari & Rahman, 2017). Pengumpulan data

primer didapatkan peneliti secara langsung dari ibu Balita Desa Paku

Alam.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang tidak di dapatkan langsung dari

objek yang akan diteliti atau data yang didapatkan dari orang lain atau

dari dokumen (Nursalam, 2017). Data sekunder dalam penelitian ini

yaitu data yang diperoleh dari Puskesmas Sungai Tabu 2 yaitu jumlah

balita di Paku Alam sebanyak


44

3. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara

memberikan ceklis pemberian ASI Ekslusif yang diberikan kepada orang

tua balita. Adapun prosedur terkait pengumpulan data dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Peneliti mengajukan surat permohonan izin melalui bagian akademik

kepada LPPM Universitas Sari Mulia untuk pengantar ke Badan

Kesatuan Bangsa dan Politik (Bangkesbangpol) Kabupaten Banjar

b. Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada

Bakesbangpol Kabupaten Banjar untuk ditujukan kepada Dinas

Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banjar

c. Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Dinkes

Kabupaten Banjar yang ditujukan kepada Kepala Puskesmas di

WilayahSungai Tabuk 2 untuk mendapatkan izin mengambil data dan

melakukan penelitian di Desa Paku Alam.

d. Peneliti melakukan koordinasi dengan Bidan, Perawat dan Kader

Posyandu Puskesmas Sungai Tabuk 2 untuk mendapatkan data terkait

stunting di Desa Paku Alam.

e. Peneliti melakukan pertemuan dengan responden.

f. Peneliti memaparkan kepada responden terkait maksud dan tujuan

melakukan penelitian
45

g. Peneliti memberikan lembar informed consent kepada responden

sebagai tanda bersedia untuk dijadikan responden pada penelitian

h. Setelah responden bersedia, peneliti melakukan kontrak waktu dan

tempat untuk melakukan penelitian tersebut

i. Peneliti menjelaskan waktu yang akan digunakan dalam penelitian

tersebut hingga selesai

j. Setelah responden memahami maksud dan tujuan dari penelitian, serta

mengetahui prosedur yang dilakukan dalam penelitian, maka

selanjutnya peneliti meminta pasien menjawab mengisi ceklis tentang

pemberian ASI Ekslusif kepada responden serta menjelaskan prosedur

pengisian dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami

k. Peneliti akan mengecek kembali terkait kelengkapan pengisian

kuesioner yang sudah diisi oleh responden

l. Sebelum penelitian tersebut diakhiri, peneliti mengucapkan

terimakasih kepada responden yang telah bersedia mengikuti

penelitian tersebut mulai dari awal hingga akhir

m. Langkah terakhir setelah semua ceklis terisi, kemudian peneliti akan

melanjutkan dengan melakukan pengolahan data

4. Instrument Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat untuk melakukan

pengukuran variabel yang diamati dalam penelitian (Sugiyono, 2017).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen berupa ceklis dan

microtoise. Microtoise digunakan untuk mengukur tinggi badan balita


46

dengan ketelitian 0,1 cm. Selanjutnya, data tinggi balita diolah dengan

menggunakan perangkat lunak, untuk melihat status gizi berdasarkan

standar baku WHO-2005 (Z-score tinggi badan meurut umur)

(Kementerian Kesehatan RI, 2017).

F. Uji Validitas dan Reabilitas

1. Uji Validitas

a. Uji Validitas

Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan, yaitu prinsip

keandalan instrument dalam mengumpulkan data. Instrument harus dapat

mengukur apa yang seharusnya diukur (Nursalam, 2017). Instrumen

penelitian ini menggunakan ceklist apakah “YA” atau “TIDAK”

diberikan ASI Eksklusif untuk mengetahui pemberian ASI Eksklusif.

Dan instrumen untuk pengukuran stunting yaitu menggunakan

microtoise

2. Uji Reabilitas

a. Uji Reabilitas

Reliabilitas atau keandalan adalah kesamaan hasil pengukuran atau

pengamatan bila fakta diukur ataupun diamati berkali-kali dalam waktu

yang berlainan (Nursalam, 2017). Instrumen yang digunakan ceklis dan

microtoise yang merupakan instrumen baku dari Kemenkes RI (2020)

sehingga peneliti tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas

sebelumnya.
47

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Memeriksa (Editing)

Editing merupakan tahap pertama dalam pengolahan data

penelitian atau data statistik. Pada tahap ini proses memeriksa data yang

dikumpulkan melalui alat pengumpulan data (instrumen penelitian),

peneliti memeriksa atau menjumlahkan banyaknya lembar pertanyaan,

banyaknya pertanyaan yang telah lengkap jawabannya, atau mungkin ada

pertanyaan yang belum terjawab. Pada tahap editing ini yaitu melengkapi

data yang kurang dan memperbaiki atau mengoreksi data yang

sebelumnya belum jelas (Swarjana, 2016).

2. Memberi Code (Coding)

Coding merupakan tahap pemberian kode yang menjadi penting

dalam mempermudah tahap-tahap berikutnya terutama pada tabulais data.

Misalnya jenis kelamin laki-laki dieri kode 1 dan jenis kelamin perempuan

diberi kode 2 (Swarjana, 2016).

Tabel 3.2 Coding Penelitian

Kode Parameter Keterangan

ASI Ekslusif

1 Ya “diberian ASI Ekslusif” Jumlah nilai 1

2 Tidak “tidak diberikan ASI Ekslusif” Jumlah nilai 0

Stunting

1 Stunting Zscore TB/U <- 2,0 SD

2 Normal Zscore TB/U ≥ -2,0 SD +2 SD


48

3. Memasukan Data (Data Entry)

Entry data atau bisa disebut processing data merupakan semua

jawaban dari masing-masing responden dalam bentuk kode (angka atau

huruf) yang selanjutnya dimasukkan ke dalam program atau software

komputer. Software komputer ini bermacam-macam dan masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri. Program yang sering

digunakan untuk entry data penelitian adalah SPSS for Windows (Statitical

Product for Social Sciences) (Rukajat, 2018).

4. Pembersihan Data (Data Cleaning)

Tahap cleaning (pembersihan) merupakan tahap yang dilakukan

setelah tahap entry data. Data yang sudah di entry atau di input dari

masing-masing responden, dilakukan pengecekan ulang untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan apabila terdapat suatu kesalahan kode,

ketidaklengkapan, dan lain sebagainya kemudian dilakukan pembetulan

atau koreksi (Lusiana, Andriyani, & Megasari, 2015). Cleaning

merupakan sebuah tahapan atau kegiatan untuk mengecek kembali data-

data yang telah dimasukan (di-input) dan melakukan koreksi kembali

apabila terdapat suatu kesalahan.

H. Metode Analisis Data

Analisis data adalah langkah selanjutnya setelah data terkumpul.

Analisis data pada penelitian ini meliputi:

1. Analisis Univariat
49

Analisis univariate atau analisis deskriptif merupakan analisis yang

bertujuan untuk menjelaskan ataupun mendeskripsikan karakteristik tiap

variabel dalam penelitian (Notoatmodjo, 2018). Pada penelitian ini

analisis univariate digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik

responden yaitu pemberian ASI Ekslusif. Selain itu analisis univariat

juga dilakukan untuk mengidentifikasi Stunting. Analisis univariate

dilakukan untuk melihat semua distribusi data dalam penelitian. Variabel

yang bersifat kategorik dalam penelitian ini yaitu pemberian ASI

Ekslusif dan Stunting. Hasil analisa data pada data kategorik akan

dipaparkan menggunakan presentase, sedangkan pada data numerik akan

dipaparkan menggunakan mean, standar deviasi dan nilai minimum, nilai

maksimum.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antar dua

variabel (variabel bebas dan variabel terikat). Dalam analisis ini

menggunakan uji chi square. Dalam uji chi square untuk mengambil

keputusan melihat nilai signifikan. Uji signifikan menggunakan batas

kemaknaan α = 0,05 dengan taraf signifikan 95 %. Berdasarkan nilai

signifikan: jika nilai signifikan 0,05 tidak terdapat korelasi maka H0

diterima dan Ha ditolak yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Adapun ketentuan

yang berlaku pada uji chi square, sebagai berikut (Riyanto, Agus 2010):
50

a. Bila tabel 2x2 dan tidak ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka uji

yang digunakan sebaiknya “Continuity Correction (a)”

b. Bila tabel 2x2 dan ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka uji yang

digunakan adalah “Fisher’s Exact Test”

c. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 2x3, 3x3, dan lain-lain, maka

digunakan uji ”Pearson Chi Square”

d. Sedangkan ”Uji Likelihood Ratio” dan ”Linear-by-Linear Assciation”,

biasanya digunakan lebih spesifik, misalnya analisis stratifikasi pada

bidang epidemiologi dan juga untukmengetahui hubungan linier dua

variabel kategori, sehingga kedua jenis ini jarang digunakan.

I. Etika Penelitian

1. Persetujuan Sebagai Responden (Informed Consent)

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.

Informed Consent tersebut diberikan sebeum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan

Informed Consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan

penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka

harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia,

maka peneliti harus menghormati hak pasien. Beberapa informasi yang

harus ada dalam Informed Consent tersebut antara lain partisipasi pasien,

tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen,

prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat,


51

kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi dan lain-lain. Peneliti

menjelaskan secara rinci tentang penilaian yang akkan dilakukan dan

responden mempunyai hak untuk memustuskan apakah mereka bersedia

menjadi subjek penelitian atau tidak. Responden yang bersedia menjadi

subjek penelitian selanjutnya menandatangi Informed Consent.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama resppon pada lembar alat ukur dan

hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang disajikan. Respon yang dijadikaan sampel dalam

penelitian ini tidak akan disebutkan namanya ketika dalam memberi

informasi maupun dalam mengisi kuesioner penelitian.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

keberhasilan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya.Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil riset. Peneliti akan menjaga kerahasian informasi yang telah

diberikan oleh responden.

Anda mungkin juga menyukai