Anda di halaman 1dari 6

CRITICAL REVIEW

“POLITIK KAIN TIMUR”

OLEH
NAMA : IRENE ALFIONA KARANGAN
NIM : C1D321110
KELAS : GENAP (B)

JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2021
IDENTITAS BUKU
Nama pengarang : Haryanto
Judul buku : Politik Kain Timur
Penerbit : PolGov
Tahun Terbit : Cet. Ke I, Tahun 2015
Tempat terbit : Yogyakarta, Indonesia

RINGKASAN BUKU
Bab 1 menjelaskan tentang tradisi sebagai instrumen meraih kekuasaan. Tidak bisa
dipungkiri bahwa pada umumnya dukungan massa diperlukan untuk meraih kekuasaan. Dalam
upaya meraih kekuasaan, seorang aktor bisa melakukan mobilisasi dukungan melalui berbagai
instrumen. Partai politik menjadi salah satu instrumen yang sering dimanfaatkan untuk
melakukan mobilisasi dukungan. Kajian dalam buku ini akan membahas salah satu metode
mobilisasi dukungan yang memanfaatkan keberadaan dan keberlangsungan tradisi di masyarakat.
Pemanfaataan suatu tradisi dimasyarakat adalah salah satu instrumen untuk meraih
kekuasaan, salah satunya, adalah karena tradisi masih relatif kental mewarnai aktivitas ditengah
masyarakat lantaran adanya pengelompokan berdasarkan etnisitas. Kajian dalam tulisan ini
berfokus pada bagaimana seorang aktor memanfaatkan tradisi sebagai instrumen untuk
melakukan mobilisasi dukungan demi meraih kesuksesan melalui mekanisme pemilihan yang
berlangsung di tengah masyarakat, dalam hal ini melalui mekanisme Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pilkada).
Beberapa tahun terakhir, kajian politik Indonesia yang bercorak studi politik identitas
merupakan penjelas atas fenomena politik pasca-Orde Baru. Kajian-kajian tersebut
mencantumkan pula penelitian-penelitian terkait upaya meraih kekuasaan dalam kontestasi
pemilihan umum. Dengan kata lain, kajian-kajian tersebut menekankan bahwa seorang aktor
dapat memperoleh kekuasaan lantaran berhasil memanfaatkan politik identitas.
Namun demikian, kajian dalam tulisan ini tidak mengaitkan mobilisasi dengan politik
identitas; sebagaimana disinggung di atas, kajian ini memfokuskan pada pemanfaatan tradisi oleh
seorang aktor demi meraih kekuasaan di dalam mekanisme pemilihan umum—di mana buku ini
berfokus pada kasus Pilkada. Kajian ini juga membahas pendayagunaan sumber daya (resources)
seorang aktor dalam konteks pemanfaatan tradisi di tengah masyarakat yang masih terkait
dengan etnisitas.
Fenomena etnisitas di Papua adalah juga salah satu daerah yang menarik untuk dikaji.
Dasar pertimbangan yang terpenting adalah karena indikasi adanya gerakan separatis berbasis
etnisitas di tengah masyarakat setempat untuk memisahkan diri dari NKRI. Kajian politik
identitas yang menunjukkan adanya upaya pemisahan Papua dari NKRI tersebut dilakukan
antara lain oleh Pigay (2000), Osborne (2001), Karoba (2005), Hadi (2007),10 dan Wonda
(2007). Selain itu, politik identitas juga memunculkan adanya wacana Papuanisasi bagi Papua, di
mana hal ini menunjukkan menguatnya polarisasi orang asli Papua dengan orang non-Papua.
Kajian tentang munculnya wacana Papuanisasi antara lain disinyalir melalui studi oleh Timmer
(2007: 608-613) dan Widjojo (2009: 55-63).
Di ranah kabupaten/kota, Undang-Undang Otonomi Khusus tidak memberlakukan syarat
bahwa hanya orang asli Papua yang diperuntukkan bagi jabatan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota. Hal ini karena dalam undang-undang tersebut tidak menyebutkan
keharusan agar pemilihan Bupati/Walikota untuk mengutamakan orang asli Papua. Namun,
rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP) di tahun 2010 mendorong adanya keharusan untuk
mengutamakan orang asli Papua dalam menduduki jabatan Bupati/Walikota. Hampir semua
Bupati/Walikota yang dipilih di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah orang asli Papua.
Kehidupan masyarakat Sorong Selatan yang berbasis pada etnisitas tak bisa lepas dari
tradisi. Salah satu tradisi yang esensinya masih dijadikan rujukan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari adalah tradisi pertukaran Kain Timur. Terkait dengan mobilisasi dukungan, isu
etnisitas dan partai politik tak bisa memberi jawaban memuaskan untuk menghadirkan dukungan
sehingga tradisi yang ada menjadi fenomena menarik untuk menghadirkan mobilisasi dukungan.
Fenomena ini menghadirkan pertanyaan mengenai bagaimana aktor memanfaatkan tradisi
pertukaran Kain Timur sebagai instrumen mobilisasi dukungan untuk meraih kekuasaan.

Kekuasaan dan Mobilisasi Dukungan


Sebagaimana diungkap di atas, fokus kajian ini adalah pada upaya yang dilakukan seorang aktor
demi memperoleh kekuasaan melalui mekanisme Pilkada. Terkait hal itu, diperlukan seperangkat
konsep tentang kekuasaan dan mobilisasi dukungan. Kajian konsep diawali dengan bahasan
tentang kekuasan dan cara perolehannya, dilanjutkan bahasan mobilisasi dukungan dan sumber
daya, dan diakhiri dengan bahasan sumber daya, tradisi, dan mobilisasi dukungan.

1. Kekuasaan dan Cara Perolehannya


Pembahasan mengenai kekuasaan tak bisa terlepas dari bahasan mengenai
kewenangan (authority) dan legitimasi. Kewenangan pada hakikatnya merupakan
kekuasaan, tetapi kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Kekuasaan dan
kewenangan dibedakan dalam keabsahannya. Kewenangan adalah kekuasan yang
memiliki keabsahan, sedangkan kekuasan tidak selalu memiliki keabsahan
(Surbakti, 1992: 85). Apabila kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan memengaruhi
atau memerintah, dan kewenangan dimaknai terkait ada atau tidaknya hak untuk
berkuasa, maka legitimasi lebih berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan
yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa jabatan bupati merupakan
posisi atau kedudukan yang dilekati kekuasaan. Dengan pernyataan lain, dapat
dinyatakan bahwa jabatan bupati merupakan salah satu sumber kekuasaan. Sehubungan
dengan itu, hal yang perlu dibahas adalah bagaimana cara memperoleh atau meraih
kedudukan yang terlekati kekuasaan. Suatu kedudukan atau posisi bisa diperoleh melalui
berbagai macam cara. Salah satu di antaranya adalah melalui dukungan anggota
masyarakat. Orang yang dipilih dan memperoleh dukungan terbanyak dari anggota
masyarakat dalam mekanisme pemilihan ditetapkan sebagai orang yang berhak untuk
memperoleh kedudukan atau posisi jabatan yang diperebutkan. Pada umumnya, cara
memperoleh dukungan ini dapat ditemukan di masyarakat yang menganut paham
demokrasi.
Selain melalui dukungan dari anggota masyarakat, kedudukan atau posisi yang
terlekati kekuasaan juga dapat diperoleh melalui cara pewarisan. Kedudukan dapat pula
diperoleh melalui cara pembelian.

2. Mobilisasi Dukungan dan Sumber Daya


Salah satu faktor sebagai penjelas bagi hadirnya mobilisasi adalah adanya sumber
daya (resources). Oleh karenanya, seorang aktor membutuhkan sumber daya untuk
menjadikan massa yang mulanya tidak bertindak (tidak melakukan dukungan) untuk
kemudian menjadi bersedia bertindak (melakukan dukungan) sehingga pada gilirannya
massa mengambil peran pada proses politik tertentu. Sumber daya atau resources
merupakan segala hal yang memiliki potensi untuk digunakan meraih tujuan.
Tipe sumber daya fisik dikaitkan dengan kekuatan fisik, seperti kepemilikan atas
senjata. Kekuatan fisik yang dimiliki seorang aktor merupakan potensi untuk
memperoleh kepatuhan dari massa. Tipe sumber daya ekonomi dapat berwujud seperti
kekayaan, pendapatan, hak milik, ataupun kontrol atas barang dan jasa. Sumber daya
normatif antara lain dapat berwujud kebenaran moral, religiositas, tradisi, atau
kewenangan yang sah (legitimate); sumber daya ini memberi ‘hak moral’ bagi
pemiliknya untuk menjalankan kekuasaan. Sumber daya personal mengacu pada kualitas
pribadi yang dimiliki aktor untuk memperoleh kepatuhan dari massa. Sumber daya
keahlian antara lain dapat berwujud penguasaan atas informasi, pengetahuan ataupun
keahlian teknis lainnya yang ada pada diri sang aktor. Sumber daya negara adalah sumber
daya yang keberadaannya di ranah negara tetapi dapat dimanfaatkan oleh aktor untuk
memenuhi kepentingan atau kebutuhan pribadinya. Sementara itu, sumber daya yang
berasal dari non-negara atau sumber daya masyarakat merupakan sumber daya yang
keberadaannya tidak berada di ranah negara.
3. Sumber Daya, Tradisi, dan Mobilisasi Dukungan
Mobilisasi dukungan tidak berlangsung di ruang hampa, tetapi berlangsung dalam
suatu lingkungan sosial (social environment) di mana kontestasi memperebutkan
kekuasan diselenggarakan.
Tradisi adalah salah satu bentuk dari institusi informal karena terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh masyarakat di mana tradisi tersebut berada. Tradisi, sebagai
institusi informal, menjadi rujukan yang ditaati oleh masyarakat dalam kehidupan sehari
hari. Pada umumnya, tradisi telah berlangsung dalam kurun waktu relatif lama. Seiring
perjalanan waktu, tak jarang tradisi mulai ditinggalkan atau tidak begitu ketat dijadikan
rujukan masyarakat. Kalaupun masih dijadikan rujukan, maka rujukan itu lebih terarah
pada esensi dari tradisi itu sendiri.
Esensi tradisi pertukaran Kain Timur menjadi institusi informal yang memandu
anggota masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi pertukaran Kain
Timur sebagai seperangkat aturan yang dibentuk oleh masyarakat Sorong Selatan bisa
dimanfaatkan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu yang melibatkan
masyarakat. Salah satunya adalah bahwa tradisi ini bisa dimanfaatkan sebagai instrumen
untuk menggalang atau memobilisasi massa.
Untuk bisa memanfaatkan tradisi sebagai instrumen mobilisasi, diperlukan
kemampuan dari aktor yang akan memanfaatkannya. Aktor harus memiliki sumber daya
yang menjadikannya mengetahui dan memahami esensi tradisi tersebut. Akan tetapi,
sumber daya yang dimiliki aktor tidak secara otomatis bisa mengerahkan massa dalam
bentuk mobilisasi dukungan. Sebagaimana diungkap pada paparan di atas,
pendayagunaan sumber daya untuk menghasilkan mobilisasi dukungan tergantung pada
kemampuan atau keterampilan aktor dalam mengorganisasikan sumber daya itu sendiri
(Andrain, 1992: 144-151). Adapun yang dimaksudkan pengorganisasian sumber daya
merujuk pada kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia seefektif mungkin.
Untuk memperoleh mobilisasi dukungan dari masyarakat Sorong Selatan,
diperlukan kemampuan dan keterampilan dalam hal mendayagunakan sumber daya
sesuai dengan lingkungan sosial yang ada, yakni dengan memahami lebih dalam hal-hal
terkait karakter masyarakat Sorong Selatan. Berbekal pengetahuan dan penguasaan
informasi yang memadai, aktor bisa memahami keberadaan kelompok-kelompok etnis
beserta karakter dan tradisinya; pada gilirannya, pemahaman tersebut bisa diolah dan
dimanfaatkan untuk menggalang massa. Dengan pengetahuan dan pemahaman atas
tradisi pertukaran Kain Timur, aktor bisa memanfaatkan tradisi sebagai instrumen untuk
memperoleh kepatuhan massa dalam bentuk mobilisasi dukungan.
Selain dibentuk oleh institusi informal, seperti tradisi pertukaran Kain Timur,
interaksi antarwarga di masyarakat bisa pula dibentuk oleh institusi formal. Sebagaimana
diungkap di atas, institusi formal bisa dimaknai sebagai seperangkat aturan yang dibuat
oleh pihak ketiga, yakni pihak di luar masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan
dengan hal itu, interaksi antarwarga di Kabupaten Sorong Selatan selain dipandu oleh
tradisi pertukaran Kain Timur, juga ditentukan oleh berlakunya institusi formal, seperti
halnya peraturan perundang-undangan yang dibuat pihak ketiga, dalam hal ini negara,
yang memiliki kekuatan memaksa untuk mengatur interaksi antarwarga.

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN BUKU


Setelah merangkum buku ini, terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan dari buku ini.
Kekurangannya antara lain:
1. Terdapat beberapa kesalahan penulisan kata (typo).
2. Bahasa yang digunakan bertele-tele, sehingga pembaca kesulitan dalam memahami isi
buku.
3. Ketebalan buku kurang.
4. Ada beberapa kalimat yang seharusnya diberi penjelasan agar pembaca dapat
memahaminya.
5. Cover buku kurang menarik, sehingga pembaca kurang berminat untuk membaca buku
tersebut.
Kelebihannya antara lain:
1. Dengan membaca buku ini, otomatis pengetahuan dan wawasan pembaca bertambah.
2. Pembahasannya sangat terstruktur dan terarah.
3. Penggunaan bahasa dan kalimat yang ringan, sehingga pembaca dapat dengan mudah
memahami isi buku.
4. Informasi yang diberikan oleh penulis sangat lengkap dan komplit.
5. Penulis juga mengambil referensi dan pendapat lain dari tokoh-tokoh.
6. Data-data yang diberikan sangat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
7. Penulis juga teliti dalam memaparkan penjelasan.

KESIMPULAN
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada umumnya dukungan massa diperlukan untuk meraih
kekuasaan. Dalam upaya meraih kekuasaan, seorang aktor bisa melakukan mobilisasi dukungan
melalui berbagai instrumen. Pemanfaataan suatu tradisi dimasyarakat adalah salah satu
instrumen untuk meraih kekuasaan, salah satunya, adalah karena tradisi masih relatif kental
mewarnai aktivitas ditengah masyarakat lantaran adanya pengelompokan berdasarkan etnisitas.
Fenomena etnisitas di Papua adalah juga salah satu daerah yang menarik untuk dikaji.
Dasar pertimbangan yang terpenting adalah karena indikasi adanya gerakan separatis berbasis
etnisitas di tengah masyarakat setempat untuk memisahkan diri dari NKRI.
Kehidupan masyarakat Sorong Selatan yang berbasis pada etnisitas tak bisa lepas dari
tradisi. Salah satu tradisi yang esensinya masih dijadikan rujukan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari adalah tradisi pertukaran Kain Timur.

Anda mungkin juga menyukai