Anda di halaman 1dari 19

DIFTERI PADA ANAK DI INDONESIA

TAHUN 2017

MAKALAH

Oleh :

YULIANA NOVITA

17041071

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)

HANG TUAH PEKANBARU

TAHUN 2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

 Difteri adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari
bahasa Yunani, diphtera yang berarti leather hide. Penyakit ini disebut pertama
kali oleh Hyppocrates pada abad ke-5 SM dan epidemi pertama terjadi pada abad
ke-6 oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama kali pada membran penderita
difteri tahun 1883 oleh Klebs. Antitoksin ditemukan pertama kali pada akhir abad
ke-19, sedangkan toksoid dibuat sekitar tahun 1920. (Vivian, 2010)
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil
toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif
(Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil
racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-
bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan
terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita
Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga
kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya kematian akibat
Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus dimana terdapat 2 kasus
difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya kematian dan
mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya
terdapat 1 kematian.

1.2  Tujuan

2       Tujuan Umum

Yaitu, agar Mahasiswa/i memahami tentang “ Penyakit difteri pada anak”

3       Tujuan Khusus


Yaitu, agar Mahasiswa/i mengetahui dan memahami tentang :

1.  Definisi difteri

2.  Etiologi

3. Tanda dan Gejala

4.  Patofisiologi

5. Penatalaksanaan Medis

6.  Komplikasi

7. Pencegahan

8. Dampak hospitalisasi

9. Ansuhan Keperawatan

1.3  Metode Penulisan

Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ilmiah ini


adalah metode narasi yang dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan, yaitu
dengan mempelajari buku sumber catatatan kuliah dan makalah yang
berhubungan dengan judul makalah ilmiah yang dibahas.

1.4  Ruang Lingkup

Dalam penyusunan makalah ini, penulis membatasi topik pada materi


Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Difteri, pembahasan mengenai :

1.  Definisi Difteri

2.  Etiologi

3. Tanda dan Gejala


4.  Patofisiologi

5. Penatalaksanaan Medis

6.  Komplikasi

7. Pencegahan

8. Ansuhan Keperawatan
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1    Definisi

Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan
oleh corynebacteri um diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran
pada kulit dan atau mukosa.

Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorok dan paling
sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang. Dengan adanya
imunisasi aktif pada masa anak-anak dini. (Merensien kapian Rosenberg, buku
pegangan pediatric, Hal. 337)

Difteri adalah suatu infeksi, akut yang mudah menular dan yang sering
diserang adalah saluran pernafasam bagian atas dengan tanda khas timbulnya
“pseudomembran”.
(Ngastiyah perawatan anak sakit, edisi 2 Hal. 41)

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tansil,


faring, laring, hidung,  adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina.

Diferi adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari


corynebacterium diphtheriae (c. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas
murosasaluran pernafasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat
dirasakan ialah sakit letak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya
membrane kelabu yang menutupi tansil serta bagian saluran pernafasan. (Acang:
2008)

Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung
kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk
lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi
penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo
(Kadun, 2007) 

2.2Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk


batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants dariCorynebacterium diphtheria  ini yaitu : type mitis,
typeintermedius dan type gravis. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007)

Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif


dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak
bergerak. Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis,
dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam
luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa
bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang
aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang
saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit
ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini
adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta
eritromisin atau penisilin untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk
pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin DPT. (FKUI: 2007)

Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara


bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium
diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa. (Depkes,2007)
2.3Tanda dan Gejala

Tergantung  pada berbagai faktor, maka manifestasi  penyakit ini bisa


bervariasi dari tanpa gejala sampai  suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin  diphtheria,
virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)
Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.  Faktor-faktor
lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit  pada 
daerah  nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita
pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam  jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala  lain
tergantung pada lokasi penyakit diphtheria  (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas, 2009).

a)        Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan  tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen  mengadakan lecet  pada  nares dan bibir atas. Pada  pemeriksaan 
tampak membran putih pada daerah septum nasi.

b)         Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2  hari timbul
membran yang melekat, berwarna  putih-kelabu dapat  menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula  dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.

c)         Diphtheria Laring

Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas. 

d)         Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

 2.4 Patofisiologi

Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan


menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau
mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage
menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian
penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman
mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan
untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai
polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan
dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian
meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,
perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam
tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut
apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri.
Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas
sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita
tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas (Ditjen P2PL Depkes, 2007).

2.5 Penatalaksanaan     

2.5.1  Penatalaksanaan medis

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan


EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu
berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan
spesifik.

Pengobatan spesifik untuk difteri :


ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut
dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.

Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari


bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan
kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang


sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4
minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk
tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau
paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama
10 hari.

Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria


didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel
untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil
pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang
berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai
“investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani
permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin
– Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja
dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-
2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian
di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk
mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative,
DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat
ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan
bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian
antitoksin. Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg
BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi
dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB
per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa
menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4
dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari,
selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap
erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru
seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif
terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.

Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal


penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta
unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral
selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram
per hari untuk orang dewasa.

2.5.2   Penatalaksanaan keperawatan

Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian
tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari).
Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk
mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan:
desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih
jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan
desinfektan.

Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.


Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena
potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan
adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.

Sumbatan jalan napas.

Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta
adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor
inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot,
kedengaran stridor:

a.       Berikan O2

b.       Baringkan setengah duduk

c.       Hubungi dokter.

d.      Pasang infus (bila belum dipasang) 

2.6 Komplikasi Difteri

Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf,


ginjal ataupun

organ lainnya:

1)      Infeksi tumpangan oleh kuman lain

Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas
tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan
dengan kuman streptokokus.

2)      Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas

Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi
jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.

3)      Sistemik

a    Miokarditis

Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada
bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%.
Faktor yang
mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin
tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama
atau lambat pada minggu keenam.

a    Neuritis

Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari
difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan:

 Timbul setelah masa laten


 Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada
sensorik
 Biasanya sembuh sempurna.

3)      Susunan saraf

Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai


sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa:

a. Paralysis palatum molle


b. Manifestasi saraf yang paling sering
c. Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi
hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2
d. Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
e. Ocular palsy
f. Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari
otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang
kena ialah m. rectus externus.
g. Paralysis diafragma
h. Dapat terjadi pada minus 5-7
i. Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi
penderita akan meninggal.
j. Paralysis anggota gerak
h. Dapat terjadi pada minggu 6-10
i. Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan
cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan
sindrom guillian barre.

2.7 Pencegahan

a)    Umum

Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit  ini  bagi anak-anak. Pada
umumnya setelah menderita  penyakit  diphtheria  kekebalan penderita terhadap
penyakit ini sangat  rendah sehingga perlu imunisasi.

Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi


DPTdan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar
dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan
sumber  penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada
tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang
imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi
dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan
dalam mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).

b)    Khusus

Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.

2.8 Dampak hospitalisasi pada anak

Dampak tersebut bersifat individual dan sangat tergantung pada usia


perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung
yang tersedia dan kemampuan koping yang dimilikinya, pada umumnya ,reaksi
anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan
tubuh dan rasa nyeri.
Dampak anak pada hospitalisasi :

1. Masa bayi (0-1 th)

Dampak perpisahan

Pembentukan rasa P.D dan kasih sayang

Usia anak > 6 bln terjadi stanger anxiety /cemas

– Menangis keras

– Pergerakan tubuh yang banyak

– Ekspresi wajah yang tak menyenangkan

2.Masa todler (2-3 th)

Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan . Disini respon perilaku anak
dengan tahapnya.

 Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain


 Putus asa menangis berkurang,anak tak aktif,kurang menunjukkan minat
bermain, sedih, apatis
 Pengingkaran/ denial
 Mulai menerima perpisahan
 Membina hubungan secara dangkal
 Anak mulai menyukai lingkungannya 

3. Masa prasekolah ( 3 sampai 6 tahun )

 Menolak makan
 Sering bertanya
 Menangis perlahan
 Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan 
4. Masa sekolah 6 sampai 12 tahun

Perawatan di rumah sakit memaksakan meninggalkan lingkungan yang


dicintai , klg, klp sosial sehingga menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol
berdampak pada perubahan peran dlm klg, kehilangan klp sosial,perasaan takut
mati,kelemahan fisik. Reaksi nyeri bisa digambarkan dgn verbal dan non verbal.

5.Masa remaja (12 sampai 18 tahun )

Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya. Saat


MRS cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktifitas kehilangan control

Reaksi yang muncul :

 Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan


 Tidak kooperatif dengan petugas

Perasaan sakit akibat perlukaan menimbulkan respon :

 bertanya-tanya
 menarik diri
 menolak kehadiran orang lain

2.9 Asuhan Keperawatan

2.9.1  Pengkajian

a) Kaji tanda dan gejala umum: apabila terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat
lemah.
b) Kaji tanda dan gejala lokal: nyeri menelan, bengkak pada leher.
c) Kaji gejala akibat eksotoksin misalnya mengenai otot jantung terjadi
miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi kelumpuhan.
d) Kaji bila terdapat komplikasi.
e) Pemeriksaan diagnostik: pada pemeriksaan darah terdapat penurunan
kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit, dan kadar albumin, pada urin terdapat albuminuria ringan.

2.9.2  Diagnosa keperawatan

a) Resiko terjadinya komplikasi obstruksi jalan nafas, miokarditis.


b) Gangguan masukan nutrisi.
c) Gangguan rasa aman dan nyaman
d) Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit difteri.
e) Gangguan hiperterm

2.9.3       Intervensi

1. Pantau dan cegah adanya komplikasi.


2. Dorong dan dukung asupan dan status nutrisi yang sesuai.
3. Pantau adanya nyeri
4. Berikan dorongan emosional pada anak dan keluarga

2.9.4 Implementasi Keperawatan

Lakukanlah apa yang harus anda lakukan pada saat itu. Dan catat apa yang
telah anda lakukan tidakan pada pasien.

2.95. Evaluasi Keperawatan

1. Anak tidak menunjukan tanda dan gejala adanya komplikasi / infeksi


2. Fungsi pernafasan anak membaik
3. Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya
BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

DIFTERI sangat rentan pada usia bayi dan anak. Seperti yang telah di
jelaskan sebelumnya bahayanya baik anak dan desa, proses penularannya oleh
infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi. www.


dinkes.denpasarkota.go.id diakses tanggal 7 Mei 2008.

Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2008
Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit
IDAI, Jakarta.
Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2007

Kartono, 2008,  Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di 

Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat


Nasional Vol.2 No.5 Profil,2007,

Profil Kesehatan  ,http://www.Bank  Data/Depkes.go.id/

Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai