Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FIKIH MU’AMALAH

SYIRKAH DAN JI’ALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Mu’amalah

Dosen Pengampu : Drs. A. Syatori, M.Ag

Disusun Oleh :

Ibnu Dhoriful Aqil 2108101120

Nisfayana 2108101122

Aina Ristia 2108101136

Seli Silvia 2108101141

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

TAHUN AJARAN 2021/2022


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR............................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 5

1. Latar Belakang ................................................................................................ 5

2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6

3. Tujuan.............................................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 7

1. Pengertian Syirkah dan Ji’alah ........................................................................ 7

1. 1. Pengertian Syirkah .................................................................................. 7

1. 2. Pengertian Ji’alah .................................................................................... 8

2. Landasan Hukum Syirkah dan Ji’alah ........................................................... 10

2. 1. Landasan Hukum Syirkah ..................................................................... 10

2. 2. Landasan Hukum Ji’alah ....................................................................... 11

3. Rukun dan Syarat Syirkah ............................................................................. 15

3. 1. Rukun Syirkah ........................................ Error! Bookmark not defined.

3. 2. Syarat Syirkah ........................................ Error! Bookmark not defined.

4. Rukun dan Syarat Ji’alah............................................................................... 16

4. 1. Rukun Ji’alah......................................................................................... 16

4. 2. Syarat Ji’alah ......................................................................................... 18

5. Pelaksanaan dan Pembatalan Ji’alah ............................................................. 18

5. 1. Pelaksanaan Ji’alah ............................................................................... 18

5. 2. Pembatalan Ji’alah................................................................................. 18

6. Jenis-Jenis Syirkah ........................................................................................ 20

2
7. Hikmah Syirkah dan Hikmah Ji’alah ............................................................ 21

7. 1. Hikmah Syirkah..................................................................................... 21

7. 2. Hikmah Ji’alah ...................................................................................... 22

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 24

1. Kesimpulan.................................................................................................... 24

2. Kritik dan Saran ............................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25

3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Syirkah dan Ji’alah” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
Mata Kuliah Fikih Mu’amalah. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan mengenai Syirkan dan Ji’alah bagi para pembaca dan juga
kami selaku anggota kelompok.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. A. Syatori, M.Ag selaku
dosen pengampu Mata Kuliah Fikih Mu’amalah yang telah memberikan tugas ini
dan kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penulisan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu,saran dan kritik yang membangunakan, diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Cirebon, 18 Maret 2022

Penulis

4
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh
Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan
membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas
manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka
planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan
sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk
menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali
untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian
perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi
kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku
tolong-menolong dengan sesamanya.

Agama islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala


hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal
tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqih mualamah. Dalam
hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa terdapat akad
syirkah dan ji’alah.

Dalam masyarakat Arab jahiliyah sudah dikenak dengna adanya


kerjasama dalam lapangan ekonomi, baik kerjasama yang bersifat produktif
maupun berbentuk kerjasama dalam pemilikan sesuatu secara bersama oleh
dua orang atau beberapa orang. Sebagian contoh untuk jenis yang disebut
terakhir ialah pemilikan sebuah rumah atau kebun oleh dua orang atau lebih di
mana milik masing-masing belum dipisah. Dengan demikian, pemilikan atas
benda tersebut masih dalam bentuk pemilikan antara pihak-pihak yang ikut
berkongsi di dalamnya.

5
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Syirkah dan Ji’alah?

2. Apa landasan hukum Syirkah dan Ji’alah?

3. Apa saja rukun serta syarat Syirkan dan Ji’alah?

4. Bagaimana cara pelaksanaan dan pembatalan Ji’alah?

5. Apa saja Jenis-Jenis Syirkah?

6. Apa hikmah dari Syirkah dan Ji’alah?

3. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Syirkah dan Ji’alah.

2. Untuk mengetahui Landasan Hukum Syirkah dan Ji’alah.

3. Untuk mengetahui Rukun serta Syarat Syirkah dan Ji’alah.

4. Untuk mengetahui Jenis-Jenis Syikah.

5. Untuk mengetahui Pelaksanaan Syirkah dan Ji’alah.

6. Untuk mengetahui Hikmah Syirkah dan Ji’alah.

6
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Syirkah dan Ji’alah

1. 1. Pengertian Syirkah
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau
percampuran. Maksud percampuran disini adalah seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan. Menurut defenisi syariah, syirkah adalah transaksi
antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha
finanssial dengan tujuan mencari keuntungan (Taqiyyudin,1996).

Menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda


pendapat. Abdurrahman al-Jaziri dalam Suhendi merangkum pendapat-
pendapat tersebut antara lain, menurut Sayyid Sabiq syirkah ialah akad
antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
Menurut Muhammad al-Syarbini alKhatib yang dimaksud dengan Syirkah
ialah ketetapan hak pada suatu untuk dua orang atau lebih dengan cara
yang masyhur atau diketahui. Menurut Syihab al-Din al-Qalyubi wa
Umaira yang dimaksud dengan syirkah adalah penetapan hak pada
sesuatu bagi dua orang atau lebih. Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn
Muhammad alHusaini pula mengatakan bahwa syirkah ibarat penetapan
suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara
yang diketahui.

Pendapat Imam Hasbie Ash-Shidieqie bahwa yang dimaksud dengan


syirkah ialah akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk bekerja
pada suatu usaha dan membagi keuntungannya. Sedangkan Idris
Muhammad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat dagang yakni dua
orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang
dengan menyerahkan modal masing-masing di mana keuntungan dan

7
kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-
masing.

1. 2. Pengertian Ji’alah
Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau ( ja’l ) kepada
orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang
mengembalikan hewan yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak
yang kabur, membangun tembok, mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan
yang mendapatkan upah. Sedangkan ji’alah menurut syariah, Al-Jazairi
(2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam
jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus,
diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, seseorang bisa berkata,”
Barangsiapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan
uang sekian”. Maka, orang yang membangun tembok untuknya berhak
atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak atau sedikit. Istilah lain dalam
pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua istilah ini sesuai dengan
teks dan konteksnya.

Ji’alah secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq :


“sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat
diperoleh”. Istilah jualah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh
fukaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan
barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali
sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah
kompetisi. Jadi, jialah bukan hanya terbatas pada barang yang hilang
namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.

Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam ji'alah berarti upah atau


hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut
mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan atau perbuatan tertentu.
Meskipun ji'alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh

8
Ibnu Qudamah, ulama Mazhab Hanbali, ia dapat dibedakan dengan Ijarah
dari lima segi.

Pertama, pada ji'alah upah atau hadiah yang dijanjikan hanya boleh
diterima oleh orang yang menyatakan sanggup untuk mewujudkan apa
yang menjadi objek pekerjaan atau perbuatan tersebut, jika pekerjaan atau
perbuatan tersebut telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan
pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut berhak
menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang telah
diberikannya meskipun pekerjaan itu belum sempurna dilaksanakannya.

Kedua, pada ji'alah terdapat unsur gharar (penipuan, spekulasi,


untunguntungan) karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi
batas waktu penyelesaian pekerjaan ataupun cara dan bentuk penyelesaian
pekerjaannya. Sedangkan dalam ijarah, batas waktu penyelesaian, bentuk
pekerjaan, dan cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam perjanjian,
sehingga orang yang melaksanakan pekerjaan dalam ijarah harus
mengerjakan pekerjaan yang dijadikan objek perjanjian sesuai dengan
batas waktu dan bentuk pekerjaan yang disebutkan dalam transaksi.
Dengan kata lain, yang dipentingkan dalam ju'alah adalah keberhasilan
pekerjaan, bukan batas waktu penyelesaian ataupun bentuk atau cara
mengerjakannya.

Ketiga, pada ji'alah tidak dibenarkan adanya pemberian imbalan upah


atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan. Sedangkan dalam ijarah,
pemberian upah terlebih dahulu dibenarkan, baik secara keseluruhan
ataupun sebagian, baik sebelum pekerjaan dilaksanakan maupun ketika
pekerjaan sedang berlangsung.

Keempat, tindakan hukum yang dilakukan dalam ji’alah bersifat


sukarela. Sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan (fasakh)
selama pekerjaan belum dimulai tanpa menimbulkan akibat hukum,
sedangkan ijarah merupakan transaksi yang bersifat mengikat semua

9
pihak yang melakukan perjanjian kerja. Dengan demikian, jika perjanjian
tersebut dibatalkan, maka tindakan itu menimbulkan akibat hukum bagi
pihak bersangkutan, salah satu pihak yang melakukan perjanjian ijarah
dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang lain jika
perjanjian ijarah tersebut dibatalkan.

Kelima, dari segi ruang lingkupnya, Mazhab Maliki menetapkan


kaidah bahwa semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi
ji'alah boleh menjadi objek dalam transaksi ijarah, tetapi tidak semua yang
dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ijarah dibenarkan pula menjadi
objek dalam transaksi ji'alah. dengan kata lain, ruang lingkup ijarah lebih
luas dari pada ruang lingkup ji'alah.

Berdasarkan kaidah tersebut maka pekerjaan menggali sumur sampai


menemukan air, atau menjadi pembantu rumah tangga selama sebulan
misalnya, dapat menjadi objek dalam transaksi ijarah., tetapi tidak
menjadi objek dalam transaksi ji'alah. Kedua contoh perbuatan tersebut
tidak sah menjadi objek transaksi ji'alah karena pihak yang menjanjikan
upah pekerjaan tersebut telah mendapatkan manfaat dari kedua pekerjaan
tersebut meskipun sumur yang digali tidak sampai menemukan air, atau
meskipun pembantu rumah tangga itu belum cukup sebulan bekerja,
padahal pihak yang melakukan pekerjaan tersebut tidak berhak menerima
hadiah atau upah sebelum pekerjaan tersebut dilaksanakannya dengan
sempurna.

2. Landasan Hukum Syirkah dan Ji’alah

2. 1. Landasan Hukum Syirkah


Pada dasarnya hukum syirkah adalah mubah atau boleh. Hal ini
ditunjukkan oleh dibiarkannya praktik syirkah oleh baginda Rasulullah
yang dilakukan masyarakat Islam saat itu (Majid. 1986). Beberapa dalil
Al-Quran dan hadist yang tentang syirkah antara lain:

10
"Paling sering dari orang-orang ber-syirkah itu. sebahagian mereka
berhuat zalim terhadap sebagahian yang lain, kecuali orang yang percaya
dan mengerjakan amal salih." (QS Shad 38:24)

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ahu Manhal pernah


mengatakan: "Aku dan syirkah ku pernah membeli sesuatu secara tunai
dan kutang. Kemudian kami didatangkan oleh Barra' bin Azib. Kami lalu
bertanya kepadanya. la menjuwah, "Aku dan Zuid bin Argam juga
mempraktikkun hal yang demikian. Selanjutnya kami bertanya kepada
Nabi tentang tindakan kami tersebut. Dia menjawab, "Barang yang
diperoleh, silahkan kalian ambil, sedangakan yang diperoleh dari kalian
kembalikan." (HR.Bukhori)

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah
dari Nabi Saw bersabla: "Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman,
"Aku jadi yang ketigu antara dua orang yang herserikat selama yang satu
tidak khianat kepada yang lainnya, apahila yang satu berkhianat kepada
pihuk yang lain, maka keluarlah aku darinnya," (IIR Abu Dawud)

Syirkah boleh dilakukan antara sesama Muslim. antara sesama kafir


dzimmi atau antara seorang Muslim dan kafir dzimmi. Maka dari itu,
seorang Muslim juga boleh melakukan syirkah dengan orang yang
berbeda agama seperti Nasrani, Majusi dan kafir dzimmi yang lainnya
selagi apa-apa yang di-syirkah-kan adalah usaha yang tidak diharamkan
bagi kaum Muslim Seperti dikatakan sebuah hadist oleh Muslim dari
Abdullah bin Umar: "Rasulullah saw pernah berinvestasi bagian Khaibar-
mereka adalah Yahudi-dengan mendupatkan hasil panen buah dan
tanaman." (IIR Muslim)

2. 2. Landasan Hukum Ji’alah


Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di
dalamnya terdapat unsur penipuan ( gharar ), yaitu ketidakjelasan
pekerjaandan waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah

11
(sewa) yangdisyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu
sendiri, upah danwaktunya. Akan tetapi, mereka hanya
membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan hadiah kepada orang
yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak
perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu
sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan

Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan


tersebut, maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai
sedikit dan banyaknya perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan
budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua
pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari,
maka dia mendapat upah sepertiganya. Barang siapa yang dapat
mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di
daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar
pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat
mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian
upah tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga
hartanya.

Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah


dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam Al-Qur’an pada surah Yusuf
ayat 72 sebagai berikut:

‫ير َوأَنَا بِ ِه َزعِي م‬


ٍ ِْ ‫ع ا ْل َملِكِ َو ِل َم ْن جَا َء بِ ِه حِ ِْْْ ُل بَ َع‬
َ ‫ص َوا‬
ُ ‫ق‬ َ ‫َقالُوا ن‬
ِ ْْ ‫ف‬

Tafsir dari ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang berteriak dan
kawan-kawannya berkata kepada saudara-saudara Yusuf, "Kami
kehilangan penakar milik Raja yang biasa digunakan untuk menakar
bahan makanan. Siapapun yang menyerahkan penakar milik Raja itu
sebelum kami melakukan pemeriksaan akan mendapatkan imbalan berupa
bahan makanan sebanyak satu muatan seekor unta. Dan aku menjamin hal

12
itu pasti akan didapatkannya." Kisah nabi Yusuf as. bersama saudara-
saudaranya. “Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan
seberat) beban onta dan aku jamin itu.”

Berdasarkan hadis yang menceritakan tentang orang yang mengambil


upah atas pengobatan dengan surah al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh
jamaah kecuali Imam Nasa’i dari Abu Sa’id Al-Khudri. Diriwayatkan
bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah sampai pada satu kampung
badui tapi mereka tidak dijamu. Pada saat demikian tiba-tiba kepala suku
badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun bertanya,
“apakah di antara kalian ada yang bisa mengobati?”. Para sahabat
menjawab, “kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya
kecuali jika kalian memberi kami upah.”

Mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat


membaca surah al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian
meludahkannya sehingga kepala suku itu pun sembuh. Penduduk
kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para
sahabat. Para sahabat itu berkata,“kami tidak akan mengambilnya hingga
kami tanyakan dahulu kepada Rasulullah.” Kemudian sahabat itu
menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah, maka beliau pun tertawa dan
berkata, “tidakkah kalian tahu ? Surah al-fatihah itu adalah obat. Ambilah
domba itu dan berikan kepadaku satu bagian”.

Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad


ji’alah , yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad
ji’alah ini, seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak
yang lari atau kabur, dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri.
Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah dan mudarabah , hanya
saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji’alah tidak merusak
akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji’alah
sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan

13
kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan.
Selain itu, karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan (rukhshah)
berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan
dibolehkan karena ada izin dari Allah.

Berdasarkan pemaparan landasan hukum tentang ji’alah diatas dapat


diambil beberapa poin penting, yaitu:

• Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak


diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum
pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika
pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan, maka
pekerja brhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
• Dalam ji’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika
seseorang berkata, “Barangsiapa bisa menemukan untaku yang
hilang, ia mendapatkan hadiah satu dinar, “maka orang yang
berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia
menemukannya setelah sebulan atau setahun.
• Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi
secara merata antara mereka.
• Ji’alah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang
tidak boleh berkata, “Barangsiapa menyanyi, atau memukul si
Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan ja’alah (hadiah) sekian.”
• Barangsiapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau
menerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui
kalau di dalamnya terdapat ji’alah (hadiah), ia tidak berhak atas
ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer
tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak
awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan ji’alah tersebut kecuali
jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuanya
maka ia diberi ji’alah sebagai balas budi atas perbuatannya
tersebut.

14
• Jika seseorang berkata, “Barangsiapa makan dan minum sesuatu
yang dihalalkan, ia berhak atas ji’alah (hadiah), “maka ji’alah
seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata, “Barangsiapa
makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia
berhak atas ji’alah ,”maka ji’alah tidak sah.
• Jika pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya
ji’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah
dengan disuruh bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang
pokok ji’alah , maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja
dengan disuruh bersumpah.
3. Rukun Dan Syarat Syirkah

3. 1. Rukun Syirkah

Rukun Syirkah Sulaiman Rasjid dalam Fiqih Islam menjelaskan rukun syirkah
berdasarkan syariat Islam sebagai berikut:

• Sighat (lafadz akad).


• Orang (pihak-pihak yang mengadakan serikat), yaitu pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan dalam mengadakan perserikatan.
• Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan). Dalam berserikat atau
kerja sama mereka (orang-orang yang berserikat) itu menjalankan usaha
dalam bidang apa yang menjadi titik sentral usaha apa yang dijalankan.
Orang orang yang berserikat harus bekerja dengan ikhlas dan jujur,
artinya semua pekerjaan harus berasas pada kemaslahatan dan
keuntungan terhadap syirkah.

3. 2. Syarat Syirkah

Terdapat beberapa syarat syirkah sebagaimana dijelaskan dalam buku Ilmu Fiqih
Islam Lengkap. Syarat-syarat syirkah mencakup:

• Syirkah dilaksanakan dengan modal uang tunai.

15
• Dua orang atau lebih berserikat, menyerahkan modal, mencampurkan
antara harta benda anggota serikat dan mereka bersepakat dalam jenis dan
macam perusahaanya.
• Dua orang atau lebih mencampurkan kedua hartanya, sehingga tidak
dapat dibedakan satu dari yang lainya.
• Keuntungan dan kerugian diatur dengan perbandingan modal harta serikat
yang diberikan.

Adapun syarat-syarat orang (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian serikat


atau kongsi itu haruslah:

• Orang yang berakal.


• Baligh.
• Dengan kehendak sendiri (tidak ada unsur paksaan).

Sedangkan mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat dapat berupa:

• Barang modal yang dapat dihargai (lazimnya sering disebutkan dalam


bentuk uang).
• Modal yang disertakan oleh masing-masing persero dijadikan satu, yaitu
menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul
modal itu.
4. Rukun Dan Syarat Ji’alah

4. 1. Rukun Ji’alah

a. Ja’il

Ja’il adalah pihak yang mengadakan sayembara yakni orang yang


menyanggupi memberikan upah atas sayembara yang diselenggarakan. Ja’il
disyaratkan harus seorang yang muthlaq at-tasharruf dan mukhtar. Yakni orang
yang memiliki kewenangan tasaruf harta secara bebas (muthlaq) baik yang
bersifat komersial (mu’awadlah) ataupun nonkomersial (tabarru’) dan

16
kesanggupan memberikan upah dalam sayembara atas dasar inisiatif sendiri,
bukan atas dasar tekanan atau paksaan pihak lain.

b. Maj’ul lah

Ma’jul lah adalah pihak yang melakukan pekerjaan


sayembara. Amal dalam akad ju’alah disyaratkan:

1. Ada nilai jerih payah (kulfah) sebab pekerjaan yang tidak ada nilai jerih
payahnya tidak layak dikomersilkan secara syar’i.
2. Bukan pekerjaan yang harus dilakukan secara wajib ain oleh maj’ul lah.
3. Tidak ada limitasi waktu, sebab batasan waktu justru akan kontra
produktif dengan tujuan esensial akad ju’alah sebagaimana sebagaimana
akad qirad.
4. Ditentukan secara spesifikasi apabila memungkinkan sebab tidak ada
toleransi hukum terhadap transaksi majhul selama masih memungkinkan
dilakukan secara ma’lum.

c. Ju’ul

Ju’ul adalah upah yang dijanjikan oleh ja’il dalam akad sayembara. Ju’ul
dalam akad sayembara disyaratkan harus berupa sesuatu yang memiliki nilai
materi diketahui secara nominal, bukan secara persentase dan mampu
diserahterimakan sebab ju’ul adalah iwadl sebagaimana ujrah dalam akad ijarah.
Apabila ju’ul dalam sayembara tidak menemui syarat seperti tidak diketahui,
berupa barang najis, berupa barang yang hilang maka akad ju’alah tidak sah.

d. Shighah dalam akad ju’alah

Shighah dalam akad ju’alah adalah sebuah pernyataan pihak ja’il yang
menunjukkan perizinan melakukan sayembara dengan upah tertentu seperti,
“Barang siapa yang mampu membebaskan saya dari penyanderaan ini, dia berhak
mendapatkan sekian.” Sedangkan qabul dari pihak maj’ul lah tidak disyaratkan
dilakukan secara verbal (lafdzan) melainkan cukup dengan aksi (fi’lan). Sebab
sayembara adalah adalah akad yang sah dilakukan oleh orang yang tidak
ditentukan (majhul) sehingga akan menyulitkan apabila qabul disyariatkan secara

17
verbal. Karena itu, persetujuan atas akad sayembara cukup dengan cara
melakukan kerja (qabul fi’lan).

4. 2. Syarat Jialah

Syarat-Syarat Ji’alah

1. Pekerjaan yang diminta dikerjakan adalah mubah. Tidak sah transaksi


ji’alah pada sesuatu yang tidak mubah, misalnya khamr.
2. Upah dalam ji’alah berupa harta yang diketahui jenis dan ukurannya
karena upah yang tidak diketahui tidak sesuai dengan tujuan transaksi
ji’alah.
3. Upah dalam ji’alah harus suci, dapat diserahterimakan, dan dimiliki oleh
peminta ji’alah.
4. Pekerja menyelesaikan pekerjaan yang diminta dalam ji’alah dan
menyerahkannya kepada orang yang menyuruhnya.

5. Pelaksanaan dan Pembatalan Ji’alah

5. 1. Pelaksanaan Ji’alah
Teknis pelaksanaan jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. Ditentukan oleh orangnya.

Misalnya : si Andia dengan sendirinya mencari barang yang hilang.

2. Secara umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang


bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.

Misalnya : seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan


barangku yang hilang maka akan aku beri upah sekian”.

5. 2. Pembatalan Ji’alah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika
pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun,

18
sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum
pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal,
atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah,
karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah
dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai
yang dikerjakan.

Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang


yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang
yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang
yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun
ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang
menjanjikan upah maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak
pekerjaan yang telah dilakukan.

19
6. Jenis-Jenis Syirkah

Jenis-jenis Syirkah Berdasarkan buku Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 5,


syrikah dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Syirkah Amlak

Syirkah amlak adalah persekutuan kepemilikan dua orang atau lebih terhadap
suatu barang tanpa transaksi syirkah. Syirkah hak milik ini dibagi menjadi dua,
yaitu:

• Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua
pihak yang bersekutu. Contohnya, dua orang yang mengadakan kongsi
untuk membeli suatu barang atau dua orang yang mendapatkan hibah atau
wasiat di mana mereka berdua menerimanya sehingga menjadi sekutu
dalam hak milik.

• Syirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi antara dua orang
atau lebih tanpa sekehendak mereka. Seperti dua orang yang mendapatkan
sebuah warisan sehingga barang waris menjadi hak milik kedua orang
yang bersangkutan.
2. Syirkah 'Uqud

Syirkah 'uqud adalah transaksi yang dilakukan dua orang atau lebih untuk
menjalin persekutuan dalam harta dan keuntungan. Terdapat beberapa jenis
syirkah ‘uqud sebagaimana dijelaskan dalam artikel Aplikasi Akad Syirkah
dalam Lembaga Keuangan Syariah dalam jurnal Al Amwal: Vol. 1, No. 1,
Agustus 2018.

Macam-macam syirkah ‘uqud meliputi:

• Syirkah Al-amwal, yaitu persekutuan antara dua pihak pemodal atau lebih
dalam usaha tertentu dengan mengumpulkan modal bersama dan
membagi keuntungan dan resiko kerugian berdasarkan kesepakatan.

20
• Syirkah A-a’mal atau syirkah abdan, yaitu persekutuan dua pihak pekerja
atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Hasil atau upah dari
pekerjaan tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan mereka.
• Syirkah Al-Wujuh, yaitu persekutuan antara dua pihak pengusaha untuk
melakukan kerjasama dimana masing-masing pihak sama sekali tidak
menyertakan modal. Mereka menjalankan usahanya berdasarkan
kepercayaan pihak ketiga.
• Syirkah Al-Inan, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak sama baik dalam hal
modal, pekerjaan, maupun dalam hal keuntungan dan resiko kerugian.
• Syirkah Al-Mufawadhah, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan
komposisi pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah sama, baik dalam
hal modal, pekerjaan, maupun dalam hal keuntungan dan resiko kerugian.
• Syirkah Al-Mudharabah, yaitu persekutuan antara pihak pemilik modal
dengan pihak yang ahli dalam berdagang atau pengusaha, dimana pihak
pemodal menyediakan seluruh modal kerja. Dengan kata lain perserikatan
antara modal pada satu pihak, dan pekerjaan pada pihak lain. Keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh
pihak pemodal.
7. Hikmah Syirkah dan Hikmah Ji’alah

7. 1. Hikmah Syirkah
• Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya di bidang ekonomi
• Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bias lebih mantap karena hasil
pemikiran dari banyak orang
• Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan brasa solidaritas untuk
kemajuan bersama
• Jika usahanya berkembang dengan baik berarti jangkauan
operasionalnya semakin meluas maka membutuhkan tenaga kerja yang
banyak.

21
7. 2. Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa
materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan
sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau
mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-
Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat
memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling
menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-
menolong dan bahumembahu. Dengan ji’alah , akan terbangun suatu
semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.

Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam


mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi
mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan
memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.

Berbicara tentang akad ji’alah, ji’alah adalah salah satu dari


kebiasaan umat manusia pada zaman ini, dan kita semua telah
mengetahui bahwa ji’alah telah ada sejak zaman dahulu. Ji’alah adalah
jenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh.
Ji’alah diperbolehkan karena lantaran diperlukan.

Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pelaksanaan


ji’alah termasuk bermacam-macam sayembara dan pertandingan seperti
pada zaman sekarang ini haruslah dilihat dan dilaksanakan dalam suatu
kegiatan yang bebas dari unsur penipuan, penganiayaan, dan saling
merugikan. Didalam pelaksanaan ji’alah . Penekanan pemberian imbalan
haruslah didasarkan atas prestasi dan usaha yang jauh dari unsur-unsur
yang bertentangan dengan ajaran agama islam.

Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan untuk membatalkannya, yaitu


kedua pihak boleh untuk membatalkannya, adalah menjadi hak bagi si
pelaksana ji’alah untuk membatalkan, sebelum ia menyelesaikan

22
pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah itu, jika ia
merelakannya amaka haknya gugur. Adapun bagi yang menyuruh tidak
berhak membatalkan jika si pelaksana sudah menyukseskan atau
menyelesaikan pekerjanya.

23
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau
percampuran. Menurut defenisi syariah, syirkah adalah transaksi antara dua
orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha finanssial
dengan tujuan mencari keuntungan. Pada dasarnya hukum syirkah adalah
mubah atau boleh. Hal ini ditunjukkan oleh dibiarkannya praktik syirkah oleh
baginda Rasulullah yang dilakukan masyarakat Islam saat itu (Majid. 1986).

Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau ( ja’l ) kepada


orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya.Dalam buku Ensiklopedi
Hukum Islam ji'alah berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang
karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan atau
perbuatan tertentu.

Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di


dalamnya terdapat unsur penipuan ( gharar ), yaitu ketidakjelasan
pekerjaandan waktunya.

Selain itu, karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan (rukhshah)


berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan
dibolehkan karena ada izin dari Allah.

2. Kritik dan Saran


Demikian makalah yang kami buat semoga bermanfaat dan kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun akan sangat membantu kami dalam
penulisan makalah yang lebih baik lagi mendatang.

24
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, & Saepudin, A. (2018). IMPLEMENTASI AKAD JI'ALAH DALAM


LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH. EKSISBANK , 59,62.

Masuroh, S. (2015). ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN


JI'ALAH DI DESA NGRANDULOR KECAMATAN PETERONGAN
KABUPATEN JOMBANG. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya.

Setiawan, D. (2013). KERJA SAMA(SYIRKAH)DALAM EKOOMI ISLAM.


JURNAL EKONOMI .

TINJAUAN UMUM PENGUPAHAN(JI'ALAH). (t.thn.). 1,3-8,13-15.

http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/syirkah-dan-hikmahnya.html?m=1

Abdullah bin Muhammad ath-Tahyyar dkk. Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam


Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta: Griya Arga Permai. 2004

Laily, I. N. (2022, Februari 14). Pengertian Syirkah Beserta Rukun, Syarat, dan
Jenisnya. Retrieved from
https://katadata.co.id/intan/berita/620a0ad047594/pengertian-syirkah-
beserta-rukun-syarat-dan-jenisnya.

25
26

Anda mungkin juga menyukai