Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PERILAKU KONSUMSI DALAM ISLAM

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar Dasar Ekonomi Islam

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Lailatul Qadariyah SHI.,MEI

Disusun Oleh :

1. Cindy Karunia Wati (210721100049)


2. Ikke Pramaishela Nur Zahrani (210721100202)
3. Oriza Halia Adela (210721100121)
4. Vadia Paramitha Ramadhani (210721100204)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT. yang telah
memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat
kepada umat manusia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah membimbing dalam
proses kegiatan belajar mengajar.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Dasar Dasar Ekonomi
Islam tentang Perilaku Konsumsi Dalam Islam dan juga untuk teman-teman guna
sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang bermanfaat bagi kita
semua.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal
mungkin. Namun kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai
penyusun makalah ini. Kami mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca
makalah ini terutama Dosen Mata Kuliah Dasar Dasar Ekonomi Islam yang kami
harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Bangkalan, 08 September 2021

PENULIS

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Masalah 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsumsi dalam Islam 3

B. Prioritas Konsumsi dalam Islam (dharuriyah khamsa) 4

C. Prinsip-Prinsip Konsumsi 7

D. Mashlahah dalam Islam 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 17

B. Saran 18

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konsumsi merupakan suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam


kehidupan manusia. Dalam ilmu ekonomi secara umum, konsumsi adalah
perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam teori ekonomi konvensional hal
terpenting dalam konsumsi adalah bagaimana konsumen mengalokasikan
pendapatan untuk membelanjakan atas produk atau jasa dan menjelaskan
keputusan alokasi tersebut dalam menentukan permintaan yang diinginkan.

Konsumen akan menggunakan parameter kepuasan melalui konsep


kepuasan (utility) yang tergambar dalam kurva indifferent (tingkat kepuasan
yang sama). Setiap individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui
aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan tingkat
pendapatannya (income) sebagai keterbatasan penghasilan (budget constraint).

Meningkatnya kemakmuran, semakin banyaknya kebutuhan yang harus


dipenuhi, membuat produsen berlomba-lomba untuk memanfaatkan kondisi ini.
Konsumsi material, membeli dan memiliki barang, sudah menjadi cara utama
agar bisa mencapai nilai-nilai dan tujuan sosial yang tertinggi dalam masyarakat.
Anggapan bahwa “jika kita tidak bisa membeli maka kita tidak bisa memiliki”
semakin mendorong orang untuk melakukan konsumsi sebanyak-banyaknya.

Apalagi dikalangan muda eksistensi diri masih menjadi hal yang penting.
Kebutuhan untuk menjadi menonjol di antara yang lain atau paling tidak
menjadi setara dengan yang lain mendorong mereka untuk melakukan konsumsi
terhadap barang-barang yang sedang in atau sedang menjadi trend.

1
Hal tersebut mereka lakukan untuk mendapatkan rasa percaya diri
untuk tampil di lingkungan pergaulan mereka. Dan hal ini sangat diketahui
oleh para produsen di bidang fashion.

Islam melihat pada dasarnya perilaku konsumsi dibangun atas dua hal,
yaitu kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Dalam
perspektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat
(interdependensi) dengan konsumsi. Ketika konsumsi dalam Islam diartikan
sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang
diharamkan, maka sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang
untuk melakukan aktifitas juga harus sesuai dengan prinsip ekonomi Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian konsumsi dalam islam?
2. Apa saja prioritas konsumsi dalam islam (dharuriyah khamsa)?
3. Apa saja prinsip-prinsip konsumsi?
4. Apa itu maslahah dalam konsumsi?

C. TUJUAN
1. Agar mengetahui pengertian konsumsi dalam islam
2. Agar mengetahui prioritas konsumsi dalam islam (dharuriyah khamsa)
3. Agar mengetahui tentang prinsip-prinsip konsumsi
4. Agar mengetahui maslahah dalam konsumsi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsumsi

Konsumsi merupakan suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam


kehidupan manusia. Dalam ilmu ekonomi secara umum, konsumsi adalah
perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam teori ekonomi konvensional hal
terpenting dalam konsumsi adalah bagaimana konsumen mengalokasikan
pendapatan untuk membelanjakan atas produk atau jasa dan menjelaskan
keputusan alokasi tersebut dalam menentukan permintaan yang diinginkan.

Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengonsumsi suatu


barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap suatu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila
kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai
gunanya. Kepuasan dalam terminologi konvensional dimaknai dengan
terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan fisik.1

Dalam ekonomi konvensioanal, konsumsi diasumsikan selalu bertujuan


untuk memperoleh kepuasan (utility). Konsumsi dalam islam tidak hanya
bertujuan untuk mencari kepuasan fisik, tetapi lebih mempertimbangkan aspek
maslahah yang menjadi tujuan dari syariat Islam.2

1
Dr. Rosalinda, M.Ag., Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasi pada Aktivitas Ekonomi, “Perilaku Konsumsi
Islam”, hak cipta 2014, hal 97.

2
Dr. Rosalinda, M.Ag., Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasi pada Aktivitas Ekonomi, “Perilaku Konsumsi
Islam”, hak cipta 2014, hal 100.

3
B. Prioritas Konsumsi Dalam Islam

Dalam dunia perekonomian, kebutuhan dan keinginan merupakan suatu


hal yang tidak dapat dipisahkan. Dimana setiap orang memiliki kebutuhan yang
sesuai dengan keinginan mereka. Islam berpandangan bahwa hal terpenting yang
harus dicapai dalam kegiatan konsumsi yaitu memiliki manfaat dan berkah.3
Tidak hanya memiliki manfaat dan berkah tetapi dalam kegiatan konsumsi
khususnya bagi seorang muslim harus mengkonsumsi baik material maupun non
material yang halal. Halal memiliki definisi yaitu memperbolehkan sesuatu yang
digunakan atau dipakai seseorang dan tidak akan mendapatkan dosa. Halal
dibagi menjadi tiga yaitu halal menurut sifat zat, cara memperolehnya, dan cara
pengolahannya.

Keimanan seorang muslim dapat dilihat dari bagaimana seseorang


menjalani kehidupan sehari-harinya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan
Hadist. Dalam kegiatan ekonomi, seorang muslim diwajibkan untuk
mengkonsumsi hal-hal yang baik yaitu dalam artian mengkonsumsi barang yang
halal. Mengkonsumsi baik berupa barang maupun jasa yang halal merupakan
bentuk kepatuhan manusia kepada Allah Swt. sebagai imbalannya manusia akan
memperoleh pahala sebagai bentuk berkah atas barang dan jasa yang dikonsumsi.

Teori konsumsi Islam mengajarkan untuk membuat prioritas dalam


pemenuhan kebutuhan . “Urutan prioritas kebutuhan tersebut adalah dharuriyat
(primer), hajjiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier)”. Akan tetapi disini saya
akan menjelaskan tentang dharuriyah khamsa. Menurut istilah (terminologi) kata
"Maqashid al-Khamsah" merupakan dua kata yang digabungkan dalam satu
istilah hukum Islam, yang mengandung arti memelihara (menjaga) tujuan ada
lima yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Dalam Istilah ushul fikih kata
"Maqashid al-Khamsah", sering juga diistilahkan dengan "Kulliyat al-Khamsah"

3
Abd. Ghafur, “Konsumsi Dalam Islam” , Iqtishodiyah, Volume II, Nomer II, 11 Juni 2016, hal .6.

4
(universal yang lima), dan "al-Dharuriyyat al-Khamsah" (lima macam
kepentingan yang mendasar).4

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa istilah maqashid al-khamsa


merupakan tujuan syari’at untuk memelihara unsur lima yang harus ada demi
terwujudnya kemaslahatan. Apabila hal ini tidak ada , maka akan menimbulkan
bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa dan
ibadah-ibadah lainnya. Yang termasuk maslahat atau maqashid al-khamsah ini
ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mal)
dan akal (al-aql).

 Urutan kelima al-maqashid al-khamsah tersebut sebagai berikut :

1. Memelihara Agama (al-din).


Beragama merupakan kebutuhan utama manusia yang harus
dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Allah
memerintahkan manusia untuk tetap berusaha menegakan agama (QS. Al-
Syura : 13). Agama harus dipelihara karena agama merupakan kumpulan
akidah, ibadah dan muamalah yang disyari’atkan Allah SWT untuk
mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dan hubungan antar
sesamanya. Allah SWT mensyari’atkan untuk mewujudkan, mengukuhkan,
dan mendirikannya dengan cara mewajibkan melakukan lima rukun Islam
yaitu syahadah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa bulan
Ramadhan dan melakukan haji bagi orang yang mampu. Allah SWT juga
mewajibkan mengajak kepada agama dengan hikmah dan nasihat yang
baik. Allah SWT juga mensyari’atkan untuk menjaga agama, maka dari itu
wujudlah konsep jihad demi melawan siapa saja yang berusaha merusak
Islam.

4
Jenita dan Rustam, “Konsep Konsumsi Islam Dan Perilaku Konsumsi Islam”, ( Jurnal Ekonomi Dan
Bisnis Islam ), volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017, Hal 79.

5
2. Memelihara Jiwa (al-nafs).
Memelihara (menjaga) jiwa: diri manusia (nyawa): Islam
mensyari’atkan agar mewujudkan dan melestarikan ras manusia dengan
jalan pernikahan dan melanjutkan keturunan. Agar dapat menjaga dan
menjamin kehidupan manusia, Islam mewajibkan secara pasti untuk
makan, minum, pakaian dan lain-lain.
3. Memelihara Akal (al-aql).
Memelihara (menjaga) akal: Akal adalah sebuah nikmat yang
agung. Allah SWT memberinya agar membedakan antara manusia
dengan makhluk lainnya, karena itu Allah SWT mensyari’atkan untuk
menjaganya dan menganjurkan untuk memanfaatkan akal untuk
mendapatkan ilmu. Agar dapat menjaganya, Allah melarang segala
sesuatu yang dapat merusak atau melemahkan akal. Maka dari itu,
sebuah hukuman akan didapatkan bagi yang memakan sesuatu yang
dapat menghilangkan akal.
4. Memelihara Keturunan (al-nasl).
Memelihara (menjaga) keturunan: Karena itu syari’at tetap
melestarikan pernikahan dan menganjurkannya. Agar dapat menjaganya,
Islam mengharamkan zina dan menegakkan hukuman bagi pelakunya.
Ini adalah karena mencegah dari bercampurnya nasab dan menjaga
kemuliaannya manusia.
5. Memelihara Harta (al-mal).
Memelihara (menjaga) harta: Harta adalah salah satu sebab agar
dapat bertahan hidup. Maka dari itu syari’at mewajibkan agar
menghasilkan harta, dan berusaha untuk mendapatkan harta. Syari’at
juga memperbolehkan melakukan muamalah di antara manusia dengan
cara jual-beli, sewa, dan lain-lain untuk mengatur cara memanfaatkan
harta. Agar dapat menjaganya, maka diharamkan dan dihukumnya
mencuri. Diharamkannya menipu dan mengkhianat. Begitu juga lainnya
agar dapat mencegah dari tercelanya pentasarufan dan bahaya terhadap
diri dan lainnya.
6
C. Prinsip Konsumsi dalam Islam
Menurut Mannan (2012:101) ada lima prinsip dalam melakukan kegiatan
konsumsi yang dideskripsi kan:

1. Prinsip Keadilan
Syariat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari
rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan
minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri,
daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain
Allah. (QS. Al-Baqarah: 173)

‫ََا يْ َِ اَّن ل‬
‫لا‬ ‫َْ ايَ َااٍد نو اَ َاا دٍ فا ا ل‬
‫ا اَْي اَ ا‬ ‫ط نَ ا‬
َ ‫ض‬ ‫ََا يْ َُ ََ ا يِ اَ يَْاَا اواِ نّ اَ اوِاْي اَ ا يِ َِ يْ َِْ َيَ او اَا ل ا َ َه نّ ََ هِ ََِاْ َيَ ل‬
‫لَ فا اَ َِ ا ي‬ ‫اَّن اَا اح نَ اَ ا‬
ٌ َ‫ََُ يْ رّ نّ َحْي‬‫ا‬

Artinya : “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai,


darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut
nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

2. Prinsip Kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun
Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor
ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang
diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua
yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.

3. Prinsip kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman
adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara
berlebihan.
7
 Sebagaimana firman Allah Q.S Al-Maidah Ayat 87 :

‫ّ ا يِ ََ يَْ ا َّ يِْا‬ ‫لَ ِا َُ يَ او اَ َ ا يَْاّ يَوا اَّن ل‬


‫لا اَ َْ َْ ب‬ َ ٰ‫بْلااْب اَا اِن َِ يِْا با اََْ يْا اَ َ َ اْ َ َّ ََ يْا اَ َّْ ب‬
‫ِ اَا ل ا ا اح نّ ل‬

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu


mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas”.
Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat
mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi
secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik
memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam
Islam.

4. Prinsip kemurahan Hati


Dengan menaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika
kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena
kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan
kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan
keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu,
yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya. Hal tersebut tertuang
dalam firman Allah SWT berikut. Q.S Al-Maidah Ayat 96 :

َِ ْ‫َْ اَِا ي‬ ‫َ يْ َّ ا يِٰا َ َّ اَا ٍ يَََ َ يَ َح ََ مَا اواَنَُْا ل‬


‫لا اِنِ يل‬ ‫ََا يْ َُ يَ ا‬
‫اّ َِ او َح َ َّ اَ ا‬ ‫َ يْ َّ ا يِٰاْي ََ او اَْاا ََ هِ اََااَما ِن َُ يَ او ََِ ن‬
‫سْن ا‬ ‫ا َ َح نّ ِا َُ يَ ا‬
‫ََْي َ َاَ يوّا‬

Artinya : “Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang


berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang
yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan darat,
selama kamu sedang ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya
kamu akan dikumpulkan (kembali)”.

8
5. Prinsip Moralitas
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan
tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan
demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-
keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan
nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia. Sebagaimana yang telah
Allah jelaskan dalam firman-Nya:

‫اۖ اواَْي ََ ََ اَا ل ا ا يْٰا ََ ََ يِ ّن يُ َْ ََ اَ اا اوْا ي‬


۞ ‫سٔـََ يّْاَا اَاَاا َْ يْ ََُُ يّْا‬ ‫سٔـََ يّْاَا َ َاِ ا يِ اِ يَ ََ اوا يِ اَ يْس اَََ َُ يّ فَْ َيَ اَا ل اَْي رَ اْ َْٰ ريَ نو اَْاافَ َُ ََِْن َ س‬ ‫ْا ي‬
ۙ ‫ِ ِاْاَن َُ يَ َاَاُاُ َنَ يوّا‬ ‫لَ ِا َُ ََ ي ب‬
َ ْ‫اَ ب‬ ‫ۗا َُ َّ ا يِْا يُ ا اْ ْ باِ ََِا َْٰا َّْ َِ ل‬

Artinya : “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar


dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka
menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah,
“Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan”.

 Karakteristik Konsumsi dalam Islam


Dalam ajaran Islam itu sendiri. Ada beberapa karakteristik konsumsi
dalam ekonomi Islam, di antaranya adalah:
1. Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat
kehalalan dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'. Sebagaimana
firman Allah Swt dalam Quran Surah Al-Maidah Ayat 87:

ِ‫ّ ا يِ ََ يَْ ا َّْي‬ ‫لَ ِا َُ يَ او اَ َ ا يَْاّ يَوا اَّن ل‬


‫لا اَ َْ َْ ب‬ َ ٰ‫بْلااْب اَا اِن َِ يِْا با اََْ يْا اَ َ َ اْ َ َّ ََ يْا اَ َّْ ب‬
‫ِ اَا ل ا ا اح نّ ل‬

9
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas”.

2. Konsumen yang rasional (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan


pendapatan pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani
maupun ruhaninya. Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada
keseimbangan hidup yang memang menuntut keseimbangan kerja dari seluruh
potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi ekonomi yang juga
butuh untuk berkembang.
3. Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas
bawah dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan
dalam ekonomi Islam (mustawa al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran,
batas maupun ruang gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk
menjalankan aktifitas konsumsi. Di bawah mustawa kifayah, seseorang akan
terjerembab pada kebakhilan, kekikiran, kelaparan hingga berujung pada
kematian. Sedangkan diatas mustawa al-kifayah seseorang akan terjerumus
pada tingkat yang berlebihlebihan (mustawa israf, tabdzir dan taraf). Kedua
tingkatan ini dilarang di dalam Islam, sebagaimana nash Al-Qur'an.
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu)
ada di tengah-tengah kalian".
"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelengguke lehermu (kikir) dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurh). Karena itu
mengakibatkan kamu tercela dan menyesal".
4. Memperhatikan prioritas konsumsi antara dlaruriyat, hajiyat dan takmiliyat.
"Dharuriyat adalah komiditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling
mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-
din), jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz an-nasl), hak kepemilikan dan
kekayaan (hifdz al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql).

10
Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan
kesulitan dan juga relatif berbeda antar satu orang dengan lainnya, seperti
luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya. Sedangkan
takmiliyat adalah komoditi pelengkap yang dalam penggunaannya tidak boleh
melebihi dua prioritas konsumsi di atas.

 Azaz-azaz dalam Konsumsi Islam

Selain itu konsumsi dan perilaku konsumsi dalam Islam hendaklah


memenuhi Azaz-azas sebagai berikut ini:

a) Azas maslahat
Azas maslahat adalah merupakan segala bentuk kebaikan yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, meterial dan spiritural serta indiidual dan
kolektif serta harus memenuhi tiga unsur yaitu halal, thoyib dan
bermanfaat. Dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidal
menimbulkan kemudharatan. Manfaat membawa maslahat dan manfaat
bagi jasmani dan rohani dan sejalan dengan nilai maqasid syariah.
Termasuk dalam hal ini kaitan konsumsi dengan halal dan baik.
b) Azas kemandirian
Azas kemandirian adalah azas yang bisa mempetanggung
jawabkan bahwa yang dikonsumsi benar benar baik sesuai syariat islam.
c) Azas kesederhanaan
Azas kesederhanaan adalah asas ini mengajarkan bawah kita
harus mau menerima apa adanya apa yang kita konsumsi selama di dunia
dan mempertanggung jawabkan di akhirat nanti.
d) Azas Sosial
Azas sosial adalah asas yang menjaga kemurnian dan kesucian
yang kita konsumsi.

11
 Batasan Konsumsi Makanan

1. Batasan yang terkait dengan kriteria


Sesuatu yang dibelanjakan, cara dan sifatnya. Batasan ini adalah yang
dirumuskan oleh Islam mengenai konsumsi yang terkait dengan cara dan
macam tanpa melihat pada kuantitas sesuatu yang dibelanjakan, sedikit atau
banyaknya, yaitu pembelanjaan yang terkait dengan hal-hal yang diharamkan
Islam seperti: khamar dengan berbagai jenis dan namanya, berbagai macam
tembakau (rokok), yang dapat merusak badan, melemahkan semangat dan
membuang-buang uang, judi yang juga diharamkan, dan patung-patung yang
telah diharamkan. Dengan demikian bahwa setiap pembelanjaan hal-hal yang
diharamkan adalah suatu perbuatan yang berlebih-lebihan (melampaui batas)
dan pemborosan yang dilarang dalam Islam.

2. Batasan pada kuantitas dan ukuran


Di antara yang termasuk dalam kriteria ini yaitu membelanjakan harta
yang diperlukannya dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya.
Contohnya seseorang yang membelanjakan hartanya melebihi dari
pendapatannya padahal yang ia belanjakan bukanlah hal mendesak (bukan
primer), artinya ia terpaksa meminjam untuk dapat menutupi kekurangannya,
padahal utang itu adalah keresahan di waktu malam dan kehinaan di waktu
siang. Nabi SAW berlindung kepada Allah dari lilitan utang dan beliau
melihatnya sebagai faktor pendorong pada kejelekan akhlak dari perilaku
pelakunya. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya seseorang apabila
berutang maka setiap kali berbicara, ia berdusta atau bila berjanji ia
mengingkarinya”.

 Batasan Konsumsi Pakaian

Islam membolehkan bahkan memerintahkan seorang manusia khususnya


seorang muslim untuk berpenampilan menarik, berwibawa, dan anggun
dengan menikmati perhiasan, pakaian, dan berbagai bentuk aksesoris

12
yang Allah SWT ciptakan. Islam mewajibkan umatnya untuk menutu auratnya,
yakni wilayah anggota badan yang bagi orang beradab dan bersih fitrahnya
malu bila melihatnya. Itu dilakukan untuk membedakan antara manusia
dengan binatang. Bahkan Islam juga menganjurkan mereka untuk tetap
menutup auratnya meskipun sedang sendirian dan jauh dari orang lain,
hingga rasa malu menjadi tabiat dan akhlaknya. Untuk seorang muslimah,
Islam mengharamkan wanita mengenakan pakaian yang ketat dan transparan.

Termasuk dalam hal ini adalah pakaian yang menonjolkan bagian-bagian


tubuh tertentu. Terutama bagian tubuh yang menggoda kaum Adam; payudara,
pusar, pantat dan sebagainya. Disebutkan dalam As-Shahih dari Abu Hurairah
ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua golongan manusia
yang termasuk penghuni neraka namun saya belum melihatnya. Kaum yang
membawa cambuk seperti ekor sapi untuk mencambuk orang lain (isyarat
untuk para penguasa yang zhalim yang berlaku semena-mena kepada
rakyatnya), dan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, menggoda dan
berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka
tidak masuk surga dan tidak pula mendapatkan bau wanginya, meskipun
semerbak baunya dapat dicium dari jarak perjalanan yang jauh.”(HR. Muslim).

D. Maslahah Dalam Konsumsi

Tujuan lain dari konsumen adalah bertujuan untuk mencapai maslahah.


Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syariat Islam yang menjadi
tujuan dari kegiatan konsumsi. Maslahah dipergunakan dalam ekonomi Islam,
disebabkan karena penggunaan asumsi manusia bertujuan mencari kepuasan
(utility) maksimum tidak mampu menjelaskan apakah barang yang
memuaskan selalu identik dengan barang yang memberikan manfaat atau
berkah bagi penggunanya. Selain itu, batasan seseorang dalam mengonsumi

13
hanyalah kemampuan anggaran tanpa mempertimbangkan aturan dan prinsip
syariat.5 Ada beberapa perbedaan antara mashlahah dan utility yaitu:

a) Maslahah relatif lebih objektif karena didasarkan pada pertimbangan


yang objektif (kriteria tentang halal dan baik) sehingga sesuatu benda
ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak.
Sementara, utility mendasarkan kriteria yang lebih subjektif, karena
dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya.
b) Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial,
sebaliknya utilitas individu sering berseberangan dengan utilitas sosial.
Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang lebih objektif sehingga
lebih mudah diperbandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara
individu dan sosial, misalnya minuman keras memiliki utilitas bagi
individu yang menyukainya tetapi tidak memiliki utilitas sosial.
c) Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi, maka
semua aktivitas ekonomi masyarakat, baik konsumsi, produksi dan
distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan.
Berbeda dengan utility dalam ekonomi konvensional, konsumen
mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan
keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga
berbeda tujuan yang akan dicapainya.
d) Dengan konsep maslahah dapat membedakan antara orang satu
dengan orang lainnya. Misalnya, orang yang melindungi hidupnya
dengan mengkonsumsi buah-buahan tentunya berbeda dengan orang
yang mengkonsumsi buah-buahan untuk menjaga kesehatannya.6

5
Rozalinda, Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, PT Grafindo Persada,
Jakarta, 2014, hlm. 202.

6
Ibid, hlm. 63-64.

14
Dalam Al-Qur’an, kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfaat
yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis.
Maslahah sering diungkap juga dengan istilah lain seperti hikmah, huda, dan
barakah, yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah mulai di dunia
dan akhirat. Dengan demikian maslahah mengandung pengertian kemanfaatan
dunia dan akhirat.7

 Maslahah yang diperoleh konsumen ketika membeli barang dapat


berbentuk satu di antara hal berikut:

a. Manfaat material, yaitu berupa diperolehnya tambahan harta bagi


konsumen akibat pembelian suatu barang atau jasa. Manfaat material
ini bisa berbentuk murahnya harga, discount, murahnya biaya
transportasi dan searching, dan semacamnya.
b. Manfaat fisik dan psikis, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan fisik
atau psikis manusia seperti rasa lapar, haus, kedinginan, kesehatan,
keamanan, kenyamanan, harga diri, dan sebagainya.
c. Manfaat intelektual, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan akal
manusia ketika ia membeli suatu barang atau jasa seperti kebutuhan
tentang informasi, pengetahuan, ketrampilan, dan semacamnya.
d. Manfaat terhadap lingkungan, yaitu berupa adanya eksternalitas positif
dari pembelian suatu barang atau jasa atau manfaat yang bisa
dirasakan oleh selain pembeli pada generasi yang sama.
e. Manfaat jangka panjang, yaitu terpenuhinya kebutuhan duniawi
jangka panjang atau terjaganya generasi masa mendatang terhadap
kerugian akibat dari tidak membeli barang atau jasa.8

7
Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hlm. 69.

8
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 144.

15
Perilaku konsumen dalam Islam menekankan pada konsep dasar bahwa
manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah
maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas ekonomi Islam bahwa setiap
pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam
berkonsumsi.

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Konsumsi merupakan suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam
kehidupan manusia. Dalam ilmu ekonomi secara umum, konsumsi adalah
perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam teori ekonomi konvensional hal
terpenting dalam konsumsi adalah bagaimana konsumen mengalokasikan
pendapatan untuk membelanjakan atas produk atau jasa dan menjelaskan
keputusan alokasi tersebut dalam menentukan permintaan yang diinginkan.
Dalam dunia perekonomian, kebutuhan dan keinginan merupakan suatu
hal yang tidak dapat dipisahkan. Dimana setiap orang memiliki kebutuhan yang
sesuai dengan keinginan mereka. Islam berpandangan bahwa hal terpenting yang
harus dicapai dalam kegiatan konsumsi yaitu memiliki manfaat dan berkah. Ada
5 prinsip konsumsi dalam Islam, yaitu prinsip keadilan, kebersihan,
kesederhanaan, kemurahan hati dan moralitas.
Tujuan lain dari konsumen adalah bertujuan untuk mencapai maslahah.
Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syariat Islam yang menjadi tujuan
dari kegiatan konsumsi. Maslahah dipergunakan dalam ekonomi Islam,
disebabkan karena penggunaan asumsi manusia bertujuan mencari kepuasan
(utility) maksimum tidak mampu menjelaskan apakah barang yang memuaskan
selalu identik dengan barang yang memberikan manfaat atau berkah bagi
penggunanya. Selain itu, batasan seseorang dalam mengonsumsi hanyalah
kemampuan anggaran tanpa mempertimbangkan aturan dan prinsip syariat.

17
B. SARAN
Setelah penulis mencoba sedikit menguraikan hal-hal mengenai tentang
Konsumsi dalam Islam, penulis berharap semoga dapat diterima dan dipahami
oleh para pembaca. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan
pemahaman tentang apa saja yang terdapat di dalam makalah tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

Rozalinda., 2014. Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada aktivitas Ekonomi,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Ghafur, Abd, Konsumsi Dalam Islam, Iqtishodiyah, Volume II, Nomer II, 11 Juni 2016.

Rustam dan Jenita, Konsep Konsumsi Islam Dan Perilaku Konsumsi Islam, Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis Islam, volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017.

Rahmawaty, Anita, Ekonomi Mikro Islam, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam


Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Anda mungkin juga menyukai