Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIFTERI

Dosen Pengampu

Ns. Yusnita., S.Kep.,M.Kes

Di Susun Oleh
Kelompok 6

Siti Rodiatun 2019206203071


Selvia Utami 2019206203069
Indah Rahmawati 2019206203054
Rizki Novia Amalia 2019206203069
Salsabilla Mega Safira 2019206203068
Dendi Merindo 2019206203046

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2021/2022

1
DAFTAR ISI

A. DEFINISI ................................................................................................................................................................................. 3
B. ETIOLOGI ............................................................................................................................................................................... 3
C. TANDA DAN GEJALA ................................................................................................................................................... 3
D. PATHOGENESIS .................................................................................................................................................................... 4
E. MANIFESTASI KLINIS .......................................................................................................................................................... 4
F. PROGNOSIS ........................................................................................................................................................................... 5
G. PATHWAY ............................................................................................................................................................................. 5
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ............................................................................................................................................. 6
I. PENATALAKSANAAN MEDIS ............................................................................................................................................. 6
ASUHAN KEPERAWATAN ............................................................................................................................................................. 8
A. PENGKAJIAN ......................................................................................................................................................................... 8
B. Diagnosa Keperawatan ........................................................................................................................................................... 9
C. Intervensi ................................................................................................................................................................................. 9
D. EVALUASI ........................................................................................................................................................................... 10
KISIMPULAN .................................................................................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................................................... 12

2
A. DEFINISI
Suatu penyakit infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering diserang terutama saluran pernafasan bagian
atas dengan tanda khas timbulnya “pseudomembran”. Kuman juga melepaskan eksotoksin yang dapat menimbulkan
gejala umum local. Penyebab penyakit ini adalah kuman Corynebacterium diptheriae yang bersifat gram positif dan
polimorf, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Bakteri dapat ditemukan dalam sediaan langsung yang
diambil dari hapusan tenggorok atau hidung, basil difteria akan mati pada suhu 60 derajat celcius selama 10 menit
tapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu, dan lendir yang telah mengering.

Dapat diartikan juga sebagai suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pencernaan bagian atas dengan
masa inkubasi antara 2 sampai 7 hari. Basilnya dapat hidup dan berkembang biak pada saluran pernafasan atas, maka
dapat menimbulkan terjadinya radang dengan terbentuknya pseudomembran local. Bila tidak mendapat pengobatan
maka akan menyebar ke seluruh saluran pernafasan atas yang akhirnya menyebabkan tersumbatnya jalan nafas atau
obstruksi. Basil difteri akan mengeluarkan toksin dan akan menyebar ke jantung sehingga menyebabkan paralise,
menyebar ke syaraf sehingga mengakibatkan paralise, dan menyebar ke ginjal sehingga menyebabkan nepritis.

B. ETIOLOGI

Corynebacterium diptheriae merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak
berkapsul, tidak membentuk spora, mati dalam pemanasan 60 derajat celcius, tahan dalam keadaan beku
dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade bentuk L atau V atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob bisa dalam keadaan
media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia,
Corynebacterium diptheriae dapat hidup bersama – sama dengan kuman diphtheroid saprofid yang
mempunyai morfologi serupa sehingga membedakannya kadang – kadang diperlukan pemeriksaan khusus
dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose, dan sukrosa.

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis, namun
dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan
mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa meneramgkan mengapa pada seseorang pasien
bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas dari C.diphtheriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin seperti in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai dua fragmen
yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksi - terminal). Kemampuan suatu strain
untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

Penularan difteri dari penderita terjadi secara langsung melalui air ludah, maupun secara tidak langsung
melalui sapu tangan dan berbagai benda lain yang tercemar ludah penderita. Penularan melalui air susu
dan debu dapat juga terjadi dan manusia merupakan satu – satunya sumber infeksi difteri bagi manusia
lainnya.
C. TANDA DAN GEJALA

a) Gejala umum : demam tidak terlalu tinggi, lesu pucat, nyeri kepala dan anoreksia.

b) Gejala ringan : pilek, secret yang keluar terkadang bercampur darah, radang selaput
lender.
c) Gejala berat : radang akut tenggorokan, suhu tinggi, nafas berbau, pembengkakan kelenjar
getah bening, suara serak, sesak nafas dan sianosis.
Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit difteri :
a) Diphtheria Hidung : permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen
3
mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah
septum nasi.
b) Diphtheria Tonsil-Faring : Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring,
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trakea.
c) Diphtheria Laring : Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.
d) Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga : Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan
terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

D. PATHOGENESIS

Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang biak pada mukosa saluran
nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk
tersebut kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran
epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak
ditemukan fibrin yang kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan.

Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk pseudomembran (membran
palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk
pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat
menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran
nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak reseptor
dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut. Bila mengenai jantung akan
mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan
menyebabkan polineuropati. Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan
gangguan pernafasan dapat menimbulkan respon imun terhadap difteri, walaupun level toksin biasanya
tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kerusakan serius. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa
wabah difteri biasanya terjadi di daerah beriklim sedang, dimana kasus infeksi kulit jarang terjadi sehingga
level imunitas alami yang terbentuk juga rendah, hal ini terutama terjadi pada anak – anak.

E. MANIFESTASI KLINIS

Pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak
tinggi, malaise dan sakit kepala. Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal
karena bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis, neuritis,
dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang nontoksigenik) dapat
menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar hegienis yang buruk (contoh pengguna
obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi (dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring).

Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri
pernafasan/ respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan merupakan
penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis yang efektif,
sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita
difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas dan bawah. Difteri lain (non pernafasan)
selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada

4
difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk
membran dijaringan antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang
dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan
mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain.

F. PROGNOSIS
Bergantung pada :

1) Umur pasien, makin muda usianya makin jelek prognosisnya

2) Perjalanan penyakit makin terlambat diketemukan makin buruk keadaannya.

3) Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan

4) Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk juga buruk

5) Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.

6) Pengobatan : terlambat pemberian ADS maka prognosis akan memburuk.

G. PATHWAY

Corynebacterium diphtheriae

Corynebacterium diphtheriae

Udara (droplet infection), alat


terkontaminasi

Corynebacterium diphtheriae

Tubuh

Berkembang Biak

Saluran Nafas

Membentuk Melepas Eksotoksin


pseudomembran

Faring, Laring,
Tonsil, Saluran Otot Jantung Saraf Perifer Hati dan ginjal
nafas

Miokarditis Paralisis Otot


Jalan Nafas Pernafasan
Terganggu

5
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Laboratorium (apakah ada kuman corynebacterium diphtheriae).

2. Pemeriksaan darah (apakah ada penurunan Hb, leukosit, eritrosit, dan albumin).

3. Pemeriksaan bakteriologis

4. Shick test (apakah seseorang tersebut rentan terhadap difteri)

I. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Tindakan umum :

a. Mencegah terjadinya komplikasi

b. Mempertahankan / memperbaiki keadaan umum

c. Mengatasi gejala / akibat yang timbul

2. Pengobatan :

a. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) harus diberikan setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih
dari hari ke enam menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

No. Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Pemberian

1. Difteria hidung 20.000 IM

2. Difteria tonsil 40.000 IM atau IV

3. Difteria faring 40.000 IM atau IV

4. Difteria laring 40.000 IM atau IV

5. Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

6. Difteria + penyulit, bullneck 80.000 – IV


120.000
7. Terlambat berobat (>72 jam), 80.000 – IV
lokasi dimana saja. 120.000

b. Antibiotic : diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk


membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain
50.000 – 100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat
hipersensivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
c. Kortikosteroid : dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai
gejala :
- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
- Bila terdapat penyulit miokarditis, pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis
ternyata tidak terbukti.
- Prednisone 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.

d. Pengobatan penyulit : ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
e. Pengobatan kontak : pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai

6
tindakan berlaku atau terlaksana yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui. Pemeriksaan serologi dan observasi
harian, anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
f. Pengobatan karier : mereka yang tidak merasakan atau menunjukkan keluhan, mempunyai
uji Shick (-) tapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Dapat diberikan penisilin
100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari. Selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi atau adenoidektomi.
g. Imunisasi :

• imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2 sampai 3 minggu.
Sedangkan imunisasi aktif diperoleh setelah menderita aktif atau nyata atau inapparent
infection serta imunisasi toksoid difteria.

• Uji kepekaan Shick (menentukan kerentanan atau suseptibilitas seseorang terhadap


difteria, dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan secara
IC).

• Uji kepekaan Moloney (menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri dari basil
difteria, dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan toksoid secara intradermal)

7
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN

1. Biodata :

Umur : biasanya terjadi pada anak – anak umur 2 sampai 10 tahun dan jarang ditemukan pada
bayi berumur di bawah 6 bulan daripada remaja di atas 15 tahun.Suku bangsa : dapat terjadi
diseluruh dunia.

Tempat tinggal : ditemukan di daerah dengan pemukiman yang sangat padat penduduknya,
sanitasi dan hygiene kurang baik, dan fasilitas kesehatan yang kurang.

2. Keluhan utama : klien merasakan demam tetapi tidak terlalu tinggi suhunya

3. Riwayat kesehatan sekarang : klien mengalami demam tetapi tidak terlalu tinggi suhunya, terlihat
lesu, pucat, sakit kepala, dan terkadang anoreksia.
4. Riwayat kesehatan dahulu : klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring,
laring, dan saluran nafas atas serta mengalami pilek dengan secret bercampur dengan darah.
5. Riwayat penyakit keluarga : adanya keluarga yang menderita difteri

6. Pola fungsi kesehatan :

a. Pola nutrisi dan metabolism


jumlah nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia
b.Pola aktivitas.
klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam.
c. Pola istirahat dan tidur
klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur.
d.Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan gizi atau nutrisi yang kurang
disebabkan anoreksia.
7. Pemeriksaan Fisik

a. Pada difteria tonsil – faring :


• Malaise
• Suhu tubuh < 38,9 derajat celcius
• seudomembran melekat dan menutup tonsil dan dinding farin
• Bullneck

b. Difteria laring :
• Stridor
• Suara parau
• Batuk kering
• Pada obstruksi laring yang berat, terdapat retraksi suprasternal, subcostal, dan
supraclavicular

c. Difteria hidung :
• Secret hidung serosanginus mukopurulen
• Lecet pada nares dan bibir atas
• Membrane putih pada septum nasi

8
B. Diagnosa Keperawatan :

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema laring


2. Ketidakseimbangan nutisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.

C. Intervensi

No Diagnosa Intervensi Rasional


1 Mandiri : 1. Untuk mengetahui keadaan umum
Pola nafas tidak efektif
klien.
berhubungan dengan edema 1. Observasi TTV 2. Supaya klien merasa nyaman.
laring
2. Posisikan klien semi fowler. 3. Supaya sesak tidak bertambah.
4. Mempertahankan kebutuhan oksigen
3. Anjurkan klien agar tidak
yang maksimal bagi pasien.
terlalu banyak bergerak.

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian terapi
oxygen.

2 Mandiri : 1. Mengetahui pemasukan intake


Ketidakseimbangan nutisi
1. Monitor intake kalori dan makanan.
kurang dari kebutuhan
kualitas konsumsi makanan. 2. Makanan dalam porsi kecil mudah di
berhubungan dengan anoreksia
2. Berikan porsi kecil dan konsumsi oleh klien dan
Makanan yang lunak atau mencegah terjadinya anoreksia.
lembek. 3. Meningkatkan intake makanan.
3. Berikan makan sesuai selera. 4. Mengetahui kurangnya BB dan
4. Timbang BB efektifitas nutrisi yang
diberikan.
Mandiri :
5. Lakukan pengkajian nyeri
secara menyeluruh
(PQRST).
6. Observasi ketidaknyamanan
non verbal
3 1. Mengetahui lokasi nyeri dan derajat
Nyeri akut berhubungan Mandiri :
nyeri sehingga dapat dilakukan
dengan proses inflamasi. 1. Lakukan pengkajian nyeri
pengobatan yang tepat.
secara menyeluruh
2. Dapat mengetahui tingkat nyeri pada
(PQRST).
klien.
2. Observasi
3. Relaksasi dapat memberikan relaksasi
ketidaknyamanan non
pada otot – otot sehingga nyeri dapat
verbal .
berkurang dan klien merasa rileks.
3. Ajarkan untuk
4. Lingkungan yang tenang menjadikan
menggunakan teknik non
klien dapat beristirahat.
farmakologi misalnya

9
relaksasi, guided imageri, 5. Nyeri bias berkurang dank lien bias
terapi musik, dan distraksi. cepat sembuh
4. Kendalikan factor yang
dapat mempengaruhi
respon klien terhadap
ketidaknyamanan, missal
suhu, lingkungan, cahaya,
kegaduhan.

Kolaborasi :
1. Pemberian analgetik sesuai
indikasi

D. EVALUASI
1. Pola nafas efekttif
2. Nyeri berkurang atau hilang

10
KISIMPULAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pencernaan bagian atas dengan masa
inkubasi antara 2 sampai 7 hari. Basilnya dapat hidup dan berkembang biak pada saluran pernafasan atas,
maka dapat menimbulkan terjadinya radang dengan terbentuknya pseudomembran local. Bila tidak
mendapat pengobatan maka akan menyebar ke seluruh saluran pernafasan atas yang akhirnya menyebabkan
tersumbatnya jalan nafas atau obstruksi.Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa meneramgkan mengapa pada
seseorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut
difteri pernafasan / respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan merupakan
penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis yang efektif,
sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita
difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas dan bawah. Difteri lain (non pernafasan)
selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri
hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran
dijaringan antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan
oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah
menyebarkan infeksi kepada orang lain.

11
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri. In: RI DK, editor. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi; 2017

Najmah. Epidemiologi : Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Depok: Rajagrafindo Persada; 2015
WHO. Diphtheria Reported cases by country 2017 [26 Januri 2018].

Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta:


Erlangga; 2011

12
13

Anda mungkin juga menyukai