Dosen Pengampuh:
Bpk. Ridwal Jamal, S.Ag., M.HI
Disusun Oleh :
Gusti Muhaimin Al’Aziiz Mangaweang
NIM : 20112058
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUSI AGAMA NEGERI MANADO
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak
merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan
harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk
meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup anak
sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan
lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk
ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah, anak adalah belahan jiwa dan potongan
Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah
bertanggungjawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
Anak juga merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat,
diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Anak dalam kandungan tidak bisa dilepaskan dari kehamilan seorang ibu.
Terkait dengan hubungan tersebut, kehamilan dapat diartikan adanya bayi (anak),
membentuk embrio. Tidak perlu bahwa bayi tersebut benar-benar telah berentuk
sempurna seperti bayi yang dilahirkan. Penjelasan ini diperlukan untuk menganalisis
ada atau tidaknya hubungan kewarisan antara pewaris dengan anak yang ada dalam
kandungan.
Pembagian harta waris anak dalam kandungan, dapat menggunakan 2 (dua) cara,
yaitu:
1. Dengan cara menunggu setelah bayi tersebut lahir. Hal ini akan memudahkan untuk
menentukan status anak dalam kandungan, apakah benar-benar ahli waris yang
dapat dibuktikan melalui test Deoxyribounucleic Acid atau biasa disebut test DNA.
Sehubung dengan diketahuinya anak tersebut sudah lahir maka akan jelas terlihat
2. Apabila ahli waris yang lain menghendaki pembagian itu segera dilakukan tanpa
menunggu kelahiran bayi tersebut, maka harta warisan dapat dibagi dengan
memperhitungkan bagian bayi itu untuk 1 (satu) orang, sekalipun dapat pula lahir
dalam keadaan kembar. Hal tersebut perlu adanya jaminan bahwa ahli waris yang
menerima itu mau mengembalikan warisan yang menjadi hak bayi tersebut, jikalau
anak dalam kandungan lahir dalam keadaan kembar. Jika tidak ada jaminan untuk itu,
persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika
pewaris wafat.
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan
sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan
keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi
yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada
dalam falkah mighzal."
Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah
saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat
Imam Ahmad. Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam
kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam
Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan
nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah
jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan,
menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim
ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan
adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong--
maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka
hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika
keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup
tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
kandungan ibunya ketika pewaris wafat dan Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar
dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat
warisan.
B. Saran-saran
Demikianlah makalah ini saya paparkan dan saya merasa bahwa dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharap
kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
untuk perbaikan makalah ini. Dan Saya berharap semoga isi makalah ini bermanfaat
bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://kitab-fiqih.blogspot.com/2011/05/ahli-waris.html#.UkO0w2fenXk
.