FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MANADO
1443 H /2021 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Lantar Belakang
Dalam pembahasan fiqih, secara umum selalu diawali dengan uraian
tentang thaharah. Secara khusus, dalam semua kitab atau buku fiqih ibadah selalu
diawali dengan thaharah. Hal ini tidak lain karena thaharah ( bersuci ) mempunyai
hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah.
Sebaliknya, ibadah juga berkaitan erat dengan thaharah. Artinya, dalam
melaksanakan suatu amalan ibadah, seseorang harus terlebih dahulu berada dalam
keadaan bersih lagi suci, baik dari hadas besar maupun hadas kecil, termasuk
sarana dan prasarana yang digunakan dalam beribadah, mulai dari pakaian, tempat
ibadah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, thaharah dengan ibadah ibarat dua
sisi mata uang, dimana dimana antara satu sisi dengan sisi lainnya tidak dapat
dipisahkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian thaharah, dan najis?
2. Bagaimana cara bersuci dari najis?
3. Apa pPengertian wudlu, tayamum dan mandi?
4. Apa saja hikmah bersuci?
BAB II
PEMBAHASAN
11 H. Moch. Anwar, Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib, (Bandung: PT Alma’arif, 1987), hal. 9
B. Bagaimana cara bersuci dari hadast dan najis
1. Cara bersuci dari hadast
a. Hadas kecil penyebabnya keluar sesuatu dari dubur dan kubul, menyentuh
lawan jenis yang bukan muhrimnya, dan tidur nyenyak dalam keadaan tidak tetap.
Cara mensucikan hadas kecil ini adalah dengan wudhu atau tayamum.
b. Hadas Besar penyebabnya keluar air mani, bersetubuh ( baik keluar mani atau
tidak ), menstruasi atau nifas ( keluar darah karena melahirkan ), dan lain
sebagainya. Cara mensucikan hadast besar adalah dengan mandi wajib.
2. Cara bersuci dari najis
a. Najis Ringan (mukhofafah), yaitu air kencing bayi lelaki yang berumur dua
tahun, dan belum makan sesutu kecuali air susu ibunya. Menghilangkannya cukup
diperceki air pada tempat yang terkena najis tersebut. Jika air kencing itu dari bayi
perempuan maka wajib dicuci bersih. Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya
pakaian dicuci jika terkena air kencing anak perempuan, dan cukup diperciki air
jika terkena kencing anak laki - laki “. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim).
b. Najis Sedang (mutawasitoh), yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubur dan
qubul manusia atau binatang, barang cair yang memabukkan, dan bangkai
(kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang) serta susu, tulang, dan bulu
hewan yang haram dimakan. Dalam hal ini tikus termasuk golongan najis, karena
tikus hidup di tempat - tempat kotor seperti comberan dan tempat sampah
sekaligus mencari makanan disana. Sedangkan kucing tidak najis2. Rasulullah
SAW telah bersabda, “Sungguh kucing itu tidak najis, karena ia termasuk
binatang yang jinak kepada kalian“. (HR Ash-habus Sunan dari Abu Qotadah ra.)
Najis mutawasitoh dibagi dua :
1. Najis Ainiyah, yaitu yang berwujud (tampak dan tidak dilihat). Misalnya,
kotoran manusia atau binatang.
2 Tasman, Skripsi “Studi Tentang Tingkat Pemahaman Pengalaman Thoharoh Bagi Siswa Kelas XI
MAN Lampa Polman”, (Makassar: UIN Alauddin, 2010), hal. 22
2. Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak berwujud ( tidak tampak dan tidak
terlihat ), seperti bekas air kencing, dan arak yang sudah mengering.
Cara membersihkan najis mutawashitho ini, cukupalah dibasuh tiga kali agar sifat
- sifat najisnya (yakni warna, rasa, dan baunya) hilang.
c. Najis berat (mugholladhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara
menghilangkannya harus dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satu air yang
bercampur tanah. Rasulullah SAW bersabda : “Jika bejana salah seorang
diantara kalian dijilat anjing, cucilah tujuh kali dan salah satunya hendaklah
dicampur dengan tanah”. (HR.Muslim)
Selain tiga jenis kotoran diatas, ada satu lagi, yaitu najis ma’fu ( najis
yang dimaafkan ) Antara lain nanah dan darah yang cuma sedikit, debu, air dari
lorong - lorong yang memercik sedikit yang sulit dihindarkan.
D. Hikmah bersuci
Islam adalah agama yang cinta keindahan. Keindahan selalu identik dengan
kebersihan dan kesucian. Demikianlah sebuah hadits berbunyi “Kebersihan itu
sebagian dari iman”. Artinya keimanan belum tanpa adanya kebersihan. Baik
jasmani maupun rohani.Anjuran bersuci dalam Islam terjembatani dalam
pelaksanaan wudlu’ sebelum shalat. Demikian pula anjuran mandi sebelum
pertemuan jum’atan atau berkumpul tahunan dalam rangka shalat idul adha
maupun idul fitri. Begitu juga dengan anjuran memotong kuku, membersihkan
gigi, membersihkan pakaian dengan mencuci.
Kitab Fiqih Manhaji Madzhab Imam Syafi’I menerangkan adanya hikmah
dibalik anjuran tersebut diantaranya.
1. Menunjukkan fitrah Islam sebagai agama yang suci.
2. Menjaga kehormatan dan kewibawaan seorang Islam. Karena manusia pada
dasarnya condong pada sesuatu yang bersih, suka berkumpul dengan orang-orang
yang bersih dan menjauhi sesuatu yang kotor. Maka perintah bersuci adalah jalan
menuju kehormatan dan kewibawaan Islam itu sendiri. Lebih-lebih ketika
bersinggungan dengan msyarakat lainnya.