Anda di halaman 1dari 7

Nila Sari K011191111

Ket : Yang di Bold itu khusus di ppt selebihnya semuanya masuk di makalah

Kemampuan Membayar/ATP (Ability To Pay)

Pengertian ATP :

Secara umum istilah Ability to Pay (ATP) merupakan salah satu prinsip pemungutan
pajak. Prinsip ini menyatakan pajak harus dipungut secara adil dengan memastikan beban
yang ditanggung harus mencerminkan kemampuan ekonomi wajib pajak untuk menanggung
beban tersebut dibandingkan dengan wajib pajak lain. Selain itu, ability to pay juga
digunakan dalam perbankan dalam produk pembiayaan, pinjaman, maupun kredit. Dalam
perbankan, kemampuan membayar disebut juga capability. Di dalam istilah perbankan,
Ability to Pay adalah kemampuan nasabah dalam membayar angsuran dengan
memperkirakan jumlah cicilan dengan penghasilan kotor konsumen dipotong
kewajiban lain yang ada. Ability to pay juga dapat didefinisikan sebagai batas
maksimum kemampuan dari penghasilan seseorang yang dialokasikan untuk
membayar jasa yang diterimanya. 

Kemampuan membayar pasien akan berpengaruh pada aksesibilitasnya terhadap jasa


layanan kesehatan. Semakin rendah kemampuan seseorang semakin rendah aksesnya
terhadap layanan kesehatan. Kemampuan membayar antara lain juga ditentukan oleh
tingkat pendapatan seseorang, semakin besar tingkat pendapatannya semakin besar
aksesnya terhadap layanan kesehatan. Kemampuan membayar dihitung menggunakan dua
konsep. Pertama, kemampuan membayar berdasarkan total pengeluaran nonesensial rumah
tangga dan kedua kemampuan membayar berdasarkan 5% dari total pengeluaran
nonmakanan. Bila dibandingkan kedua konsep tersebut, kemampuan membayar yang diukur
berdasarkan 5% pengeluaran nonmakanan ternyata jauh lebih rendah dari kemampuan
membayar berdasarkan total pengeluaran nonesensial.

Determinan yang Mempengaruhi ATP (Ability to Pay) :

- Pekerjaan
Menurut Notoatmodjo (2010), mengatakan pekerjaan adalah aktivitas atau kegiatan
yang dilakukan oleh responden sehingga memperoleh penghasilan. Pekerjaan adalah
sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan nafkah atau pencaharian masyarakat
yang sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari akan memiliki waktu yang
lebih untuk memperoleh informasi (Depkes RI, 2001). Hal ini berkaitan dengan
tingkat penghasilan seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mata
pencaharian dapat mempengaruhi tingkat kemampuan membayar seseorang dalam
membayar iuran jaminan kesehatan.
- Pendapatan
Menurut Russell (1995) kemampuan membayar berhubungan dengan tingkat
pendapatan (Income). Sedangkan menurut Gertlet (1990) pendapatan dapat
mempengaruhi penentuan pasien dalam memilih pengobatan yang dapat
memaksimalkan kepuasan dan manfaat (utility) yang diperolehnya. Ada hubungan
antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan
kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Pada masyarakat
berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah
kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan (Andersen et al,
1975; Santerre & Neun, 2000 dalam Andhika 2010; Mills & Gilson,1990).
- Pengeluaran
Menurut Gani dkk (1997) kemampuan membayar biaya pelayanan kesehatan
masyarakat dapat dilihat dari pengeluaran tersier non pangan. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Mukti (2001) bahwa kemampuan membayar masyarakat dapat
dilihat dari pengeluaran tersier seperti: pengeluaran rekreasi, sumbangan kegiatan
sosial, dan biaya rokok. Menurut BPS, 2002. Pengeluaran rumah tangga merupakan
salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran kesejahteraan penduduk.
Sernakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran rumah taggaa akan bergeser dari
pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola
pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya
rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada
umumnya tinggi. Engels Law menyatakan bahwa proporsi anggaran rumah tangga
yang alokasikan untuk membeli pangan akan semakin kecil pada saat tingkat
pendapatan meningkat (Harianto, 2001).
- Jumlah Anggota Keluarga
Menurut Lofgren dkk. 2008, jumlah anggota keluarga memengaruhi persepsi kepala
keluarga terhadap risiko dan persepsi terhadap besarnya kerugian. Semakin banyak
jumlah anggota keluarga, semakin besar risiko sakit, dan semakin besar kerugian
finansial yang akan dialami. Teori ini terbukti pada penelitian Woldemariam (2008) di
Ethiopia dan Masanjala-Phiri (2008) di Malawi. Babatunde dkk. 2011, membuktikan
hasil sebaliknya. Semakin besar jumlah anggota keluarga semakin menurunkan WTP,
karena jumlah iuran yang harus dibayar semakin besar.
- Pendapatan Anggota Keluarga Lain
Menurut Thabrany (2012), semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan
semakin banyak pula kebutuhan untuk memenuhi kesehatannya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian oleh Susanti, et.al, 2014 pada PT Tiga Serangkai yang sebagian besar
tenaga kerjanya harus menaggung jumlah anggota keluarga sebanyak > 4 orang
sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya kesehatan lebih besar. Kesesuaian
hasil penelitian dengan teori dikarenakan rumah tangga dengan jumlah keluarga lebih
dari 4 orang memiliki risiko pemiskinan lebih tinggi. Hal ini akan berpengaruh jika
masing-masing atau lebih dari satu anggota keluarga yang mendapatkan pendapatan,
jadi kebutuhan akan ditanggung lebih dari satu orang.
- Kepemilikan Rumah Hasil
Penelitian Djuhaeni dkk (2010) menunjukkan bahwa, sebagian besar (51,9%)
masyarakat telah memiliki rumah sendiri. Menurut Maslow, rumah merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut, maka
diasumsikan bahwa seseorang dapat mengalihkan pengeluarannya untuk kebutuhan
yang lain termasuk membayar iuran/premi asuransi kesehatan. Walaupun hasilnya
tidak terlalu jauh berbeda dengan masyarakat yang belum memiliki rumah sendiri
yaitu 48,1%, namun implikasinya cukup besar karena meningkatnya biaya-biaya yang
harus dikeluarkan untuk rumah seperti biaya sewa/kontrak.
- Kepemilikan Kendaraan
Soekanto (2001) mengemukakan bahwa kepemilikan kendaraan khususnya di kota-
kota besar menunjukkan tingkat sosial seseorang. Penelitian oleh Djuhaeni dkk (2010)
menyatakan seseorang yang tidak memiliki kendaraan milik sendiri mengakibatkan
meningkatnya biaya pengeluaran untuk transportasi dalam akses terhadap pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan seseorang yang memiliki kendaraan sendiri.
- Tabungan Kesehatan
Jacobs (1997) mengatakan bahwa faktor ekonomi yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kemampuan membayar seseorang salah satunyan adalah dengan
adanya tabungan kesehatan. Djuhaeni dkk (2010) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa seseorang yang tidak memiliki tabungan untuk kesehatan belum
mempersiapkan sejumlah dana yang digunakan untuk menghadapi masalah kesehatan.

Rumus ATP (Ability To Pay) Pelayanan Rumah Sakit :

Jumlah Pendapatan Keluarga Setahun−Jumlah Pengeluaran Keluarga(Non Kesehatan)


Jumlah Anggota Keluarga

Kemauan Membayar/WTP Willingness To Pay

Pengertian WTP :

WTP adalah jumlah maksimum dari status individu seseorang untuk kemauan
membayar atas suatu barang atau jasa. Willingness to pay (WTP) dihitung berdasarkan
kemampuan setiap individu atau masyarakat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam
rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan. WTP
merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Kemauan
membayar (Willingess to Pay) seseorang dapat dilihat dari seberapa besarnya nilai
balas jasa yang bersedia oleh seseorang pasien untuk membayar atas adanya suatu
layanan kesehatan yang telah dinikmati.

Sangat disadari bahwa mengukur kemauan membayar (WTP) pasien pada unit rawat inap
memiliki tingkat subyektivitas yang cukup tinggi, oleh karena pada saat melakukan
wawancara sangat dipengaruhi oleh kondisi baik waktu maupun suasana. Kemauan
membayar terdiri dari kemauan membayar aktual dan kemauan membayar normative.
Kemauan membayar aktual diukur dari pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan,
kemauan membayar normatif adalah jumlah biaya yang bersedia dibayarkan sesuai
persepsi tersponden mengenai kondisi pelayanan yang diinginkan.

Pertimbangan yang mempengaruhi keputusan Willingness to Pay antara lain :

- Ability to Pay
- Pelayanan kesehatan yang akan dijamin oleh asuransi kesehatan
- Kepercayaan terhadap pengumpul iuran/premi dan besaran iuran/premi
asuransi kesehatan.

Variabel yang berpengaruh terhadap kemauan membayar yaitu :

- Kesesuaian biaya jasa


- Cara pembayaran
- Pengetahuan tentang pelayanan, dan pengetahuan tentang pentingnya
pelayanan.

Faktor Yang Mempengaruhi Kemauan Membayar :

- Pengetahuan
- Kelengkapan sarana dan pelayanan kesehatan,
- Kualitas Pelayanan
- Kemudahan mengumpulkan iuran
- Perilaku petugas.

Pengukuran WTP (Willingness to Pay) :

Kemauan membayar suatu jasa dapat dilihat dari dua hal, pertama, mengamati dan
menempatkan model pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan di masa lalu, pengeluaran
terhadap harga pelayanan kesehatan, kedua, wawancara langsung pada masyarakat
seberapa besar kemampuan dan kemauan untuk membayar paket atau jasa pelayanan
kesehatan. Kemauan membayar juga dapat dilihat dari pengeluaran sebenarnya yang
selama ini telah dibelanjakan untuk keperluan kesehatan. Selain itu, kemauan
masyarakat membayar biaya pelayanan kesehatan dapat dilihat dari pengeluaran
kesehatan riil dalam bentuk biaya obat, jasa pelayanan dan transportasi.

Hubungan antara ATP (Ability to Pay) dan WTP (Willingness to Pay) :

Saat orang miskin menunjukkan WTP yang rendah, hal tersebut berarti kemampuan
membayar mereka memang rendah. Tapi bagi seseorang dengan WTP yang rendah tidak
berarti mereka memperoleh jaminan kesejahteraan yang rendah dari Pemerintah untuk barang
yang bersesuaian. Dalam konferensi internasional jaminan kesehatan sosial bagi negara
miskin, kemampuan membayar yang rendah berkorelasi dengan keinginan membayar.

Jika suatu WTP rumah tangga lebih rendah dari ATPnya hal ini menunjukkan pembelian
sesuatu yang tidak diinginkan dari pembuat keputusan pada rumah tangga itu untuk
membiayai pelayanan. ATP terlalu rendah itu sebagai gambaran dari ketidakmampuan rumah
tangga untuk suatu keinginan membayar dari suatu. Nilai ATP yang rendah dan nilai WTP
yang tinggi disebut sebagai masyarakat yang perlu dukungan pengaturan keuangan
(favourable financial arrangement). ATP yang rendah dengan WTP yang rendah juga disebut
masyarakat yang perlu dukungan keuangan dan motivasi.

Beberapa Hubungan ATP dan WTP adalah Sebagai Berikut :


1. Lama pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya
kemauan membayar.
2. Pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya kemauan
membayar atas pelayanan yang ditawarkan dikembangkan, sedangkan terhadap
kemauan membayar sesuai kondisi pelayanan saat ini, tingkat pendapatan tidak
berpengaruh secara signifikan.
3. Jarak tempat tinggal pasien ke RSUD tidak berpengaruh secara sinifikan
terhadap kemauan membayar.
4. Pengalaman berobat yang meliputi kekerapan berobat ke RSUD dan
pengalaman berobat ke RS lain berpengaruh secara signifikan terhadap
kemauan membayar sesuai kondisi pelayanan saat ini. Demikian pula terhadap
besarnya kemauan membayar atas pelayanan yang ditawarkan dikembangkan
dipengaruhi oleh variabel pengalaman berobat yang meliputi kekerapan berobat
ke fasilitas kesehatan lain,baik swasta maupun Pemerintah serta pengalaman
berobat ke poliklinik spesialis swasta.
5. Sumber informasi berpengaruh signifikan terhadap kemauan membayar sesuai
kondisi pelayanan saat ini.
6. Ada pengaruh yang signifikan antar persepsi pasien terhadap mutu pelayan dan
besarnya kemauan membayar sesuai kondisi pelayanan saat ini, sebaliknya
terhadap kemauan membayar atas pelayanan yang ditawarkan dikembangkan,
tidak dipengaruhi secara signifikan oleh persepsi pasien terhadap mutu
pelayanan.
7. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi pasien terhadap manfaat
pelayan dan besarnya kemauan membayar.
8. Kemampuan membayar yang berdasarkan pengeluaran nonesensial seperti
rokok, minuman ringan/beralkohol, jajanan, dll, tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemauan membayar.
9. Kemampuan membayar yang berdasarkan pengeluaran nonesensial seperti
piknik, pesta, upacara adat, dll berpengaruh secara signifikan terhadap besar
nya kemauan membayar.
10. Kemampuan membayar yang berdasarkan pengeluaran nonesensial seperti
piknik, pesta, upacara adat, dll, adalah variabel yang paling berpengaruh
terhadap besarnya kemauan membayar.

Keterpaksaan Membayar/FTP (Forced To Pay)

Pengertian :

Keterpaksaan membayar (Force To Pay) merupakan biaya yang telah dikeluarkan oleh


pasien tetapi tidak dalam keadaan mau membayar atau tarif pelayanan yang telah
dibayar ke provider sebenarnya berada di bawah kemampuannya untuk membayar
(ATP) pasien lebih kecil dari tarif.
Karena kemiskinan Indonesia sudah berkepanjangan, kenyataan adanya Force To Pay bagi
orang yang menderita sakit, yang bukan keinginan atau kesalahan, sama sekali belum ada
keinginan atau kesalahannya, sama sekali belum menjadi perhatian pemerintah.

Beberapa Kasus di Indonesia antara lain :

- Seorang ibu mengalami kecelakaan di Lampung, namun sesampainya di rumah


sakit keluarganya diminta membayar uang muka sebesar Rp 5 juta rupiah.
Karena keluarganya tidak memiliki uang tunai sebanyak itu, perawatan
terpaksa urung. Dalam perjalan mencari pengobatan di tempat lain, ia
meninggal dunia.
- Di Sulawesi, seorang ibu terpaksa menjual pakaiannya untuk mengobati
anaknya ke sebuah puskesmas. Anak tersebut ternyata harus dirawat di rumah
sakit. Sang ibupun membawa anaknya ke sebuah rumah sakit, namun ia harus
membayar uang muka, sementara uang hasil jual pakaiannya tidak lagi
mencukupi. Ia pun terpaksa membawa kembali anaknya untuk mencari uang
tambahan. Ajal memang datang tak terduga, anak tersebut meninggal sebelum
ia bisa kembali ke rumah sakit.

Fakta bahwa alasan dari sebagian pasien/masyarakat masuk ke rumah sakit justru terkait erat
dengan lemahnya kemampuan memikul beban ekonomi, misalnya, tidak ada/kurangnya
pemeriksaan secara teratur, penyakit yang terundatunda diperiksakan, kurangnya perawatan
kesehatan diri, kurang gizi, dan alasan-alasan lain yang disebabkan karena
kekurangan/ketiadaan biaya. Dan ketika pasien masuk rumah sakit malah bertemu lagi
dengan kesulitan ekonomi berikutnya, beratnya pembiayaan, sehingga mengakibatkan beban
ekonomi yang ada makin berat saja. Patut diduga, pasien/masyarakat yang tidak mau/tidak
mampu membayar merupakan sampel sebagian besar kondisi obyektif dari lemahnya
kemampuan ekonomi mas yarakat membiayai kesehatannya, sehingga pasien/masyarakat
menggunakan jasa pelayanan kesehatan karena terpaksa (apabila penyakit sudah berada pada
stadium lanjut.

Faktor FTP :

- Dalam keadaan yang mendesak (Penyakit sudah parah)


- Adanya pelayanan yang tidak seharusnya diinginkan tetapi pihak RS tetap
memberikan dengan alasan hal tersebut harus diberikan ke pasien

Sumber :

Fauziyyah, I. (2016). Analisis ATP (Ability To Pay) dan WTP (Willingness To Pay) Terhadap
Keputusan Penentuan Kelas Iuran Jaminan Kesehatan Pada Sopir Angkot di Kota
Semarang (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Semarang).

Rosyidah, M., Yulianto, B., & Legowo, S. J. (2017). Analisis potensi demand, abillity to pay
(atp) dan willingness to pay (WTP) BST Koridor 1 dengan adanya sistem contra flow di Jalan
Brigjen Slamet Riyadi pada instansi pemerintah. Matriks Teknik Sipil, 5(1).
Sudirman, I. S., & Sulaeman, U. (2021). Faktor yang Berhubungan dengan ATP (Willingness
To Pay) dan WTP (Willingness To Pay) dengan Keputusan Penentuan Kelas Iuran BPJS
Kesehatan. Window of Public Health Journal, 426-435.

Annaafia, Y., Witcahyo, E., & Utami, S. (2020). Kemampuan dan Kemauan Pasien Umum
Rawat Inap Dalam Membayar Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Kaliwates Kabupaten Jember. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 4(2).

Abadi, M. Y., Darmawansyah, B., Nurhayani, D. S. M., Suryaman, R., & Rahmadani, S.
PENENTUAN TARIF RASIONAL BERDASARKAN UNIT COST, ATP, WTP, DAN FTP
PADA RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA KOTA PALU.

Mulyatno, N. FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAUAN MEMBAYAR


(WILINGNESS TO PAY) DAN KEMAMPUAN MEMBAYAR (ABILITY TO PAY)
PASIEN POLI UMUM PADA RSUD KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN
METODE CONTINGENT VALUATION.

Rosyidah, M., Yulianto, B., & Legowo, S. J. (2017). Analisis potensi demand, abillity to pay
(atp) dan willingness to pay (WTP) BST Koridor 1 dengan adanya sistem contra flow di Jalan
Brigjen Slamet Riyadi pada instansi pemerintah. Matriks Teknik Sipil, 5(1).

LISNAWATY, L. (2008). RASIONALISASI TARIF BERDASARKAN ANALISIS BIAYA


SATUAN, ATP, WTP DAN FTP SEBAGAI DASAR PEMBERIAN SUBSIDI SILANG DI UNIT
RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN MUNA SULAWESI
TENGGARA (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

Anda mungkin juga menyukai