Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS STUDI KASUS TERHADAP TEORI ETIK


“UTILITARIANISME DALAM KEPERAWATAN”

MAKALAH
Mata Kuliah: Etik dan Hukum Keperawatan (KEP81107)
Fasilitator: Dr. Enie Novieastari SKp., MSN

KELOMPOK 4 KELAS C

ANDI AMALIA WILDANI (1606859235)


MOH HERI KURNIAWAN (1606859526)
AHMAD SAHURI (1606947181)
CICILIA IKA WULANDARI (1606947282)
PETRUS. K. S. TAGE (1606947591)
VENNY ARDITA (1606947736)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN
1

DEPOK, 28 SEPTEMBER 2016

Universitas Indonesia
2

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

Pembahasan pada bab ini tentang sejarah, pengertian, bentuk dan kerangka
berpikir utilitarianisme.

1.1 Sejarah Utilitarianisme


Pembahasan dalam sejarah utilitarianisme terbagi atas dua yaitu sejarah awal dan
perkembangan lanjutan dari utilitarianisme.

1.1.1 Sejarah Awal Utilitarianisme


Jejak pemikiran utilitarianisme dapat ditemukan dalam karya-karya Plato dan
Aristoteles tetapi tidak terlalu tegas berdiri sebagai sebuah teori (Eggleston,
2005). Kemudian berkembang beberapa pemikir utilitarianisme awal adalah
utilitarian yang berasaskan teologi seperti Richard Cumberland (1631-1718) dan
John Gay (1699-1745). Mereka melihat utilitarianisme dalam kerangka agama
bahwa manusia memiliki sebuah kewajiban dan tugas untuk mewujudkan
kebahagiaan bagi sesama karena merupakan perintah Allah (Stanford
Encyclopedia of Philosophy, 2009).

1.1.2 Perkembangan Lanjutan Utilitarianisme


Berikutnya secara sistematis utilitarianisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham
(1748-1832). Bentham melihat utilitarianisme sebagi perilaku yang sesuai moral
dan tidak akan merugikan orang lain, melainkan untuk meningkatkan
kebahagiaan. Menurut Bentham (1972) manusia diperintah oleh dua tuan
berdaulat yang memerintah kita saat melakukan sesuatu. Dua tuan tersebut yakni
kenikmatan dan rasa sakit. Manusia mencari kesenangan dan menghindari rasa
sakit.

Atas dasar mencari kenikmatan manusia selalu melakukan tindakan yang paling
baik yang memungkinkan dirinya mencapai kebahagian. Tindakan bisa dikatakan
baik apabila mempromosikan kebahagiaan, atau kesenangan, dan tidak baik ketika
memiliki kecenderungan untuk menyebabkan ketidakbahagiaan atau sakit. Pada
tahun 1864, John Stuart Mill dalam bukunya utilitarianism memperbaiki prinsip

Universitas Indonesia
3

utilitarianisme menjadi lebih kuat dengan merumuskan prinsip kegunaan (utility)


sebagai moralitas yang paling dasar. Suatu tindakan dianggap baik apabila
menimbulkan kebahagiaan serta dianggap salah apabila menimbulkan
ketidakbahagiaan (Bosek & Savage, 2007).

Ashcroft, Dawson, Draper, dan McMillan (2007) dalam bukunya Principles Of


Health Care Ethics mengenalkan sebuah aliran utilitarianisme dalam dunia
kesehatan yang dinamakan bioutilitarianisme hal ini dikarenakan adanya kasus
spesifik dalam dunia kesehatan yang sulit dijelaskan oleh teori utilitarian secara
umum. Menurut mereka dunia kesehatan tidak hanya berfokus pada soal
menghasilkan kebaikan dan juga kebahagiaan tetapi juga mempromosikan bentuk
kulitas hidup.

1.2 Pengertian Utilitarianisme


Pada era 80-an utilitarianisme diartikan sebagai cara bertindak sehingga
menghasilkan keseimbangan terbesar antara kebaikan dan keburukan (Mappes &
Zembaty, 1981). Selain itu Suseno (1982) mendefinisikan utilitarianisme sebagai
sebuah teori teleologis universalis, dikatakan teologis karena utilitarianisme
merupakan suatu aliran yang mengukur betul atau salah, baik atau buruknya
tindakan manusia berdasarkan manfaat akibat yang dipertimbangkan tidak hanya
bagi pelaku, melainkan bagi semua orang yang terkena tindakan itu. Kemudian
pada era 2000-an, utilitarianisme diartikan salah satu pendekatan yang paling kuat
dan persuasif tentang etika normatif dalam sejarah filsafat (Driver, 2009).
Sedangkan Eggleston (2005) mengartikan utilitarianisme sebagai teori etika yang
melihat kebenaran dan kesalahan suatu tindakan berdasarkan fakta atau hasil dari
sebuah tindakan dan ada adegium bahwa utilitarian adalah etik dengan dengan
frasa kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar.

Berdasarkan dari pengertian utilitarianisme yang telah dijabarkan oleh beberapa


ahli, dapat disimpulkan bahwa utilitarianisme adalah suatu pandangan moral yang
menilai bahwa tindakan yang diambil akan baik apabila bisa memberikan
kebahagiaan dan mengandung asas kegunaan atau juga bisa disimpulkan bahwa

Universitas Indonesia
4

utilitarianisme adalah bentuk konsekuensialisme artinya tindakan yang tepat


dipahami sepenuhnya berdasarkan konsekuensi yang dihasilkan.

1.3 Bentuk Utilitarianisme


Bentuk Utilitarianisme terdiri dari tindakan dan peraturan (act and rule
utilitarianisme). Utilitarianisme tindakan berfokus pada tindakan yang dilarang di
masyarakat, misalnya tidak boleh membunuh, mencuri, menipu, dan lain-lain
serta dikur dalam konsekuensi sedangkan utilitarianisme peraturan lebih
memegang prinsip aturan norma dan moral yang ada dimasyarakat mengenai apa
yang baik dan benar dan apa yang dilarang dan tidak termasuk peraturan didalam
agama serta diukur dalam kegunaan (Donagan, 1968).

1.4 Kerangka Berpikir Utilitarianisme


Kerangka berpikir utilitarianisme dirancang dengan mempertimbangkan
konsekuensi suatu tindakan, bagaimana jika tidak dilakukan dan bagaimana jika
dilakukan. Pertimbangan konsekuensi berisikan dampak, hasil, kemungkinan, cara
lain, dan biaya yang dikeluarkan (Cranmer & Nhemachena, 2013). Konsekuensi
sendiri memiliki beberapa tipe yaitu actual merupakan akibat dari tindakan yang
sudah dilakukan. Probable adalah kemungkinan yang akan terjadi jika tindakan
dilakukan. Possible adalah mungkin dapat terjadi akibat dari suatu tindakan.
(Ashcroft, Dawson, Draper, dan McMillan, 2007).

Universitas Indonesia
5

BAB 2
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pembahasan pada bab ini berisikan tentang uraian kasus, pembahasan kasus dan
kesimpulan.

2.1 Uraian Kasus


KUPANG - Nasib malang menimpa Edwin Riwoe (16). Remaja kelas 3 SMU 6
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini harus menghembuskan napas terakhir di
RSU Prof. Johannnes, Kupang, pada Rabu (3/12). Edwin yang menderita sakit
limpa ini meninggal diduga karena kecerobohan perawat yang lupa melakukan
transfusi darah untuknya. Sebelum Edwin menghembuskan napasnya, sang ayah
Edson Riwoe sempat menuliskan pesan di akun Facebooknya yang menyebut
pelayanan buruk di rumah sakit itu. "Hari ini anak saya harus transfusi darah, tapi
ternyata ditunggu sampai malam tidak ada transfusi darah. Ketika tanya perawat
mereka hanya menjawab “lupa untuk pengadaan darah yang dicuci untuk
transfusi" tulis Edson di akunnya.

Edson menyayangkan metode pelayanan RSU yang sedemikian ceroboh. Bahkan


tanpa beban sang perawat menjawab lupa atas hal tersebut. Padahal Dokter pun
sudah sempat mengingatkan agar setiap hari anaknya harus melewati proses
transfusi darah. "Bagaimana ini, tolong ibu Direktur RSU pertimbangkan lagi
SDM perawat macam begini," tulisnya lagi. Edson yang kelabakan mengetahui
kondisi anaknya yang belum ditransfusi, langsung mencari sumbangan golongan
darah A untuk anaknya.

Selain mencari ke kantor PMI Kota Kupang, ia juga menyebar pesan melalui
media sosial pada teman-temannya. Mengharapkan agar lima orang dapat
menyumbangkan darah untuk anaknya. Namun Tuhan berkehendak lain, belum
juga memenuhi kebutuhan tersebut,  Edwin sudah lebih dulu dipanggil Yang
Kuasa. Anak sulungnya itu bahkan pergi menghadap Sang Khalik setelah
menunggu seharian sumbangan darah golongan darah A. "Terimakasih Tuhan,
Edwin Riwoe sudah tenang bersama Bapa di sorga, Hadiah Natal yang indah,"
tulis Edson setelah kepergian anaknya.

Universitas Indonesia
6

Kecerobohan perawat RSU itu pun menuai kecaman dan kritik dari masyarakat
Kota Kupang di akun Facebook. Kerabat Edson yang dihubungi JPNN, Mario
Sonbay pun membenarkan peristiwa itu. Ia turut menyayangkan pihak RSU yang
ceroboh dalam pelayanan kepada pasien. "Waktu itu trombosit darahnya turun.
HB-nya 5 makanya butuh transfusi darah. Kasihan, dia baru ulangtahun sekarang
sudah meninggal. Kami semua terpukul," ujar Mario pada JPNN. Mario
menambahkan, keluarga berharap pihak RSU ke depan tidak lagi melakukan
kesalahan yang sama dalam melayani pasien. Pengelola rumah sakit diminta
melakukan evaluasi terhadap sumber daya perawat sehingga tidak lalai dalam
menjalankan tugas.
Sumber berita: http://www.jpnn.com/read/2014/12/05/273875/Edwin-Meninggal-
karena-Perawat-RS-Lupa-Transfusi-Darah

2.2 Pembahasan Kasus


Profesi keperawatan memerlukan kompetensi di semua tingkatan praktik
keperawatan untuk menghasilkan asuhan keperawatan yang berkualitas bagi
masyarakat. Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
memenuhi syarat bekerja sehingga dapat meberikan pelayanan berkualitas
(Zhang, Luk, Arthur & Wong, 2001). Kemudian Jormsri, Kunaviktikul, Ketefian,
dan Chaowalit (2005) membagi kompetensi dalam beberapa bagian. Pertama
kompetensi klinis yaitu keterampilan, penilaian klinis, dan keterampilan teknis.
Kedua komunikasi yaitu berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Ketiga
kompetensi moral yaitu kemampuan individu untuk hidup dengan cara yang
konsisten dengan kode dan peran moral yang berlandaskan tanggung jawab
pribadi. Ketiga kompetensi diatas harus dipenuhi karena praktik keperawatan
tidak hanya tergantung pada pengetahuan teknis dan keterampilan, tetapi juga
pada nilai-nilai, keyakinan dan etika yang memainkan peran penting dalam
membentuk keputusan perawat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gastmans
(2002) bahwa praktik keperawatan memiliki makna moral, karena didasarkan
pada persyaratan moral saat mempromosikan kesejahteraan pasien.

Wright (1987) menjelaskan bahwa nilai-nilai individu dapat mempengaruhi


keputusan etis seorang perawat dalam melakukan asuhan keperawatan. Bagi

Universitas Indonesia
7

seorang perawat saat membuat sebuah keputusan etis dalam melakukan asuhan
keperawatan ia harus memiliki kompetensi etik. Salah satu kompetensi etik adalah
kemampuan untuk mencerna setiap kasus dari berbagai teori etik salah satunya
adalah utilitarianisme.

Etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan,


kebijaksanaan dalam bertindak. Etika utilitarianisme sebagai standar penilaian
bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dan akan dilakukan. Berdasarkan
kasus pada berita tersebut jika dilihat dari prinsip utilitarianisme yang
menekankan konsekuensi berupa manfaat atau kegunaan, perilaku perawat dalam
kasus tersebut telah mengabaikan prinsip utilitarianisme karena perilakunya tidak
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada pasien.

Kelakuan perawat yang lupa mengadakan kantong darah transfusi dinilai oleh
keluarga pasien telah mengakibatkan kematian anaknya Edwin Riwoe (16).
Kematian adalah konsekuensi yang buruk dan jelas terlihat sebagai sebuah
kerugian bagi orang lain. Pertanyaannya apakah dengan prinsip utilitarianisme
perawat tersebut secarah utuh melakukan pelanggaran etik?

Persoalan lanjutan juga mesti dilihat ketika menggunakan prinsip etik


utilitarianisme dalam membedah persoalan etik perawat tersebut, ada hal yang
perlu diperhatikan dalam kasus ini bahwa teori utilitarianisme memiliki
kelemahan substansial yakni tidak pernah menganggap serius tindakan pada diri
perawat dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan yang diterima pasien
dengan akibatnya berupa kematian pasien. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Chaplin (2002) bahwa kelemahan utilitarianisme adalah tidak memperhitungkan
motif di balik tindakan manusia. Tindakan dinyatakan benar hanya dipandu oleh
konsekuensinya.

Selain tidak menganggap posisi perawat, kelemahan yang kedua pada pandangan
utilitarianisme adalah seperti yang disebut oleh Moore (1969) sebagai kesalahan
naturalisme dimana selalu menganggap bahwa yang baik adalah yang memberi

Universitas Indonesia
8

kebahagaiaan padahal kebaikan tidak selalu yang menyenangkan karena jika


demikan maka kita akan jatuh kedalam hedonisme.

Pada kasus terlihat perawat tak memiliki posisi tawar untuk bersikap jika dilihat
dari teori utilitarianisme karena sikapnya telah merampas kebahagian pasien dan
keluarga sehingga bisa dijustifikasi sebagai prilaku yang tidak baik. Skelton
(2011) dan Suseno (2006) dalam penjelasan filsafat Morre mengatakan bahwa
ketika melihat kebahagian sama dengan kebaikan sebetulnya kita telah mereduksi
makna dari kebaikan karena kebaikan memiliki sebuah defenisi yang luas.

Mengukur sebuah kesalahan hanya berasaskan hasil akhir dan dalam arti yang
sempit tidaklah bijak, kita harus melihat perjalanan sampai sebuah masalah terjadi
secara utuh, disinilah fungsi manajemen dan kepemimpinan dimanfaatkan, yaitu
fungsi kepemimpinan etis. Ncube dan Washburn (2006) menyatakan bahwa
kepemimpinan etis harus menggabungkan deontologi (Kant), etika moralitas
(Aristoteles) dan utilitarianisme (Bentham dan Mill). Pendekatan seperti ini akan
memperhitungkan kebutuhan seluruh anggota organisasi, dalam rangka
memaksimalkan hubungan yang harmonis dalam organisasi.

Gastmans (2002) mengatakan bahwa dalam mengurai problem etik dalam


keperawatan orang kita harus memahami sebuah problem secara utuh dan dari
berbagai sudut pandang karena manusia pada dasarnya hidup dalam sebuah
hubungan yang terbuka, terlibat dengan realitas di mana mereka hidup, dan
membentuk sebuah kausalitas.

Dion (2012) mengatakan bahwa beberapa teori etika tidak kompatibel antara satu
dengan yang lainnya atau tak bisa secara utuh digunakan untuk mengurai sebuah
problem tetapi bisa dicampur bersama-sama, atau digunakan secara terpisah. Pada
kasus kematian pasien Edwin Riwoe di atas ketika hendak diuraikan masalahnya
perlu mempertimbangkan keefektifan penggunaan teori etik.

Universitas Indonesia
9

Dunia keperawatan mengenal berbagai macam bentuk kepemimpinan salah satu


bentuknya adalah pemimpin transformasional yang salah satu poin pentingnya
adalah memiliki tanggung jawab etik. Menurut Sama dan Shoaf (2008), pemimpin
transformasional membantu pengikutnya untuk memiliki tanggung jawab etik,
tanggung jawab etik dapat berupa kemampuan untuk melihat sebuah problem etik
dengan berbagai macam gagasan sehingga menghasilkan keputusan etik yang
tepat dalam sebuah masalah etik. Lebih lanjut Kanungo (2001) menyatakan
bahwa bertindak dengan rasa kewajiban terhadap orang lain adalah ciri dari
pemimpin transformasional.

Kasus yang terjadi jelas membutuhkan jiwa kepemimpinan transformasional dari


seorang perawat karena ada sebuah keharusan untuk melihat masalah etik
kematian anak Edwin Riwoe dalam kerangka tanggung jawab etik berupa
penempatan teori etik yang tepat sebagai kunci untuk mengurai problem dan
kewajiban untuk melihat prinsip kedalian secara utuh, baik itu kepada perawat
tersebut, pasien maupun kepada keluarga pasien.

2.3 Kesimpulan
Utilitarianisme adalah teori etik yang menilai sebuah perilaku moral berasaskan
pada kebahagiaan, kegunaan, dan konsekuensi sehingga dalam suatu kasus
menggunakan teori utilitas terkadang ada hambatan dan tidak menjawab sebuah
persoalan secara utuh dan berkeadilan, pada titik ini kompetensi penilaian etik
sangat dibutuhkan oleh seorang perawat untuk melihat sebuah masalah secara
utuh dan berkeadilan. Fleksibilitas pendekatan sangat dibutuhkan untuk
mengatasi masalah etik demikian juga fungsi leadearship yang tepat akan
menghasilkan penilaian moral yang tepat.

Universitas Indonesia
10

DAFTAR PUSTAKA

Ashcroft, R. E., Dawson, A., Draper, H., & McMillan, J. (Eds.). (2007).
Principles of health care ethics. John Wiley & Sons.

Bentham, J. (1972). An introduction to the principles of morals and legislation


(Chapters I–V) (pp. 17-51). Blackwell Publishing Ltd.

Bosek & Savage. (2007). The ethnical component of nursing education:


Integrating ethics into clinical experience. Philadelphia: Lippincott.

Cranmer & Nhemachena. (2013). Ethics for nurses theory and practise. England:
Open University.

Chaplin, C. J. (2002). What is best for the patient: the ethical experiences,
reasoning and decision making of nurses (Doctoral dissertation, University
of London).

Dion, M. (2012). Are ethical theories relevant for ethical leadership. Leadership
& Organization Development Journal, 33(1), 4-24.

Donagan, A. (1968). Is there a credible form of utilitarianism. Contemporary


utilitarianism, 187, 188.

Driver, J. (2009). The history of utilitarianism.

Eggleston, B. (2005). Reformulating consequentialism: Railton’s normative


ethics. Philosophical Studies, 126(3), 449-462.

Gastmans, C. (2002). A fundamental ethical approach to nursing: some proposals


for ethics education. Nursing ethics, 9(5), 494-507.

Jormsri, P., Kunaviktikul, W., Ketefian, S., & Chaowalit, A. (2005). Moral
competence in nursing practice. Nursing Ethics, 12(6), 582-594.

Kanungo, R. N. (2001). Ethical values of transactional and transformational


leaders. Canadian Journal of Administrative Sciences/Revue Canadienne
des Sciences de l'Administration, 18(4), 257-265.

Mappes, T. A., & Zembaty, J. S. (1981). Biomedical ethics (p. 54). New York:
McGraw-Hill.

Moore, G. E. (1969). Critique of Mill’s Utilitarianism. Mill’s Utilitarianism: Text


and Criticism, 95-109.

Universitas Indonesia
11

Ncube, L. B., & Wasburn, M. H. (2006). Strategic collaboration for ethical


leadership: A mentoring framework for business and organizational decision
making. Journal of Leadership & Organizational Studies, 13(1), 77-92.

Sama, L. M., & Shoaf, V. (2008). Ethical leadership for the professions: Fostering
a moral community. Journal of Business Ethics, 78(1-2), 39-46.

Skelton, A. (2011). Ideal utilitarianism: Rashdall and moore.

Stanford Encyclopedia of Philosophy.(2009). The history of utilitarianism.


(September 23, 2016). http://plato.stanford.edu/entries/utilitarianism-
history/

Suseno, M., F. (1982). Etika umum. Jakarta: Diktat untuk STF Drijarkara.

Suseno, M., F. (2006). Etika abad ke-20 (12 teks kunci). Yogyakarta: Kanisius.

Wright, R. A. (1987). Human values in health care the practice of ethics.

Zhang, Z. X., Luk, W., Arthur, D., & Wong, T. (2001). Nursing competencies:
personal characteristics contributing to effective nursing performance.
Journal of advanced nursing, 33(4), 467-474.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai