Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

BAB I..........................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................2
A. Latar Belakang.................................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................2
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
A. Akad Istisnha’.................................................................................................................................4
B. Akad Ijarah......................................................................................................................................8
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................18

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk Ijarah Dan Istisnha sebagai jasa
untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan
pada konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah
menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna’ lebih mungkin banyak di gunakan di
lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini di sebabkan karena barang yang di pesan oleh
nasabah attau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu di buatkan terlebih
dahulu di bandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis, barang yang sudah jadi
telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu di pesan terlebih dahulu pada saat hendak
membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan istisna’ menjadi salah satu
solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
Akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna’ dapat dilakukan langsung antara dua belah
pihak antara pemesan atau penjual seperti atau melalui perantara. Jika dilakukan melalui
perantara maka akad disebut dengan akad istishna’ paralel.

B. Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang Diatas Penulis Mengambil Rumusan Masalah Sebagai Berikut:
1. Apa pengertian Istishna’ ?
2. Bagaimana rukun dan syarat istishna’ ?
3. Bagaimana dasar hukum istisna’?
4. Bagaimana ruang lingkup istisna’?
5. Apa Pengertian Ijarah?
6. Bagaimana Dasar Hukum Ijarah?
7. Bagaimana Rukun dan Syarat-syarat Ijarah?
8. Bagaimana Upah dalam Pekerjaan Ibadah?
9. Bagaimana Menyewakan Barang Sewaan?

2
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui pengertian Istishna’
2. Untuk Mengetahui rukun dan syarat istishna’
3. Untuk Mengetahui dasar hukum istisna’
4. Untuk Mengetahui ruang lingkup istisna’
5. Untuk Mengetahui Pengertian Ijarah
6. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Ijarah
7. Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
8. Untuk Mengetahui Upah dalam Pekerjaan Ibadah
9. Untuk Mengetahui Barang Sewaan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Akad Istisnha’
1. Pengertian Istishna’
Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh(jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat
muslim sejak awal masa tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Dalam fatwa DSN-MUI,
dijelaskan bahwa jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria
dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahi’) dan penjual
(pembuat, shani’)
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula seperti
transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah di mana barang
diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang
diserahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama di bayar secara cicilan.
Dengan demikian, metode pembayaran pada jual beli murabahah muajjal sama pesis
dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna’, yakni sama-sama dengan sistem
angsuran(installment). Satu-satunya hal yang membedakan antara keduanya adalah waktu
penyerahan barangnya. Dalam murabahah muajjal, barang di serahkan di muka, sedangkan

3
dalam istishna’ barang di serahkan di belakang, yakni pada akhir periode pembiayaan. Hal ini
terjadi, karena biasanya barangnya belum di buat/belum wujud.
Seperti halnya praktik salaam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna’ dalam
perbankan syariah cenderung dilakukan dalam format istishna’ paralel. Hal ini dapat di pahami
karena pertama, kegiatan istishna’ oleh bank syariah merupakan akibat dari adanya permintaan
barang tertentu oleh nasabah, dan kedua bank syariah bukanlah produsen dari barang dimaksud.
Secara umum tahapan praktik istishna’(dan istishna’ paralel) di perbankan syariah adalah sama
dengan tahapan praktik salam. Perbedaannya terletak pada car pembayaran yang tidak di lakukan
secara sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap (angsuran).
Dari hasil telaahan atas Standar Operasi Prosedur produk istisna’, terdapat beberapa hal
yang dapat di cermati lebih jauh, yaitu :1
1. Secara umum pemahaman bank syariah terhadap akad istishna’ adalah berkaitan dengan
pembelian suatu benda yang memiliki nilai besar dan di produksi secara bertahap, misalnya,
bangunan, pesawat terbang, dan sebagainya.
2. Sama halnya dengan praktik salam, praktik akad istishna’ di bank syariah hampir selalu
dilakukan dalam format istishna’ paralel. Dengan demikian praktik istishna’ di perbankan
syariah lebih terorientasi pada upaya pencarian marjin antara harga akad I dan akad II.
3. Sama halnya dengan praktik salam, praktik istishna’ di industri perbankan syariah lebih
mencerminkan kegiatan utang piutang (penyediaan dana) dari pada kegiatan jual beli.
Implikasinya adalah pengakuan piutang istishna’ lebih mencerminkan piutang uang (sebagai
akibat kegiatan penyediaan dana) dari pada piutang barang (sebagai akibat kegiatan
penyediaan dana) dari pada piutang barang (sebagai akibat kegiatan jual beli).
2. Rukun dan Syarat Istishna’
Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :2
1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan memesan barang,
dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.

1
Aprilia, ‘Istisnha Makalh”https://syafaatmuhari.wordpress.com/2011/07/03/ba’i-istishna’/ Diakses Tanggal 12-
Oktober-2020 Jam 2:10

2
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali pers, Jakarta, 2013, Hlm 67

4
2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman),
dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga mengharuskan tercukupinya
segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun
terpenting, yaitu modal dan barang.
1. Modal transaksi ba’i istishna’
i. Modal harus di ketahui
ii. Penerimaan pembayaran salam
2. Al-muslam fiihi (barang)
a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
b. Harus bisa di identifikasi secara jelas
c. Penyerahan barang harus di lakukan di kemudian hari
d. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu
kemudian, tetapi madzhab syafi’i
e. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang
f. Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain

3. Dasar Hukum Istisna’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas petunjuk Al-
Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
1. Al-Quran

ِّ ‫َأح َّل اللَّهُ الَْب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الربا‬ َ ‫ َو‬      
3
”Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275“

3
RI, Departemen Agama. Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Depok: Penerbit. Hlm 34

5
      Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama'
menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-
nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2.      As-Sunnah

‫ب ِإلَى ال َْع َج ِم فَِقي َل لَ هُ ِإ َّن‬ َ ُ‫اد َأ ْن يَ ْكت‬ َ ‫َأن نَبِ َّى اللَّ ِه ص َكانَ ََأر‬
َّ ‫س رض ي اهلل عن ه‬ ٍ َ‫ َع ْن َأن‬  
َ َ‫ق‬.‫ض ٍة‬
‫ َك َأنِّى َأنْظُ ُر ِإلَى‬:‫ال‬ َّ ‫اص طَنَ َع َخاتَ ًم ا ِم ْن ِف‬ ِ ِ
ْ َ‫ ف‬.‫ال َْع َج َم الََي ْقَبلُ و َن ِإالَّ كتَابً ا َعلَْي ه َخ اتِ ٌم‬
‫ رواه مسلم‬.‫اض ِه فِى يَ ِد ِه‬ ِ ‫بي‬
ََ
     Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang
tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak.
Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di
tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi buktinya tabah wa akad istishna' adalah akad yang
dibolehkan.
3.   Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto
telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun
yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
4. Ruang Lingkup Istisna’
Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang
melakukan transaksi istishna ' baik sebagai penjual maupun pembeli.
Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
1. Perbankan syariah sebagaiman ayang dimaksud dalam peraturan  perundang-undangan yang
berlaku.
2. Lembaga keuangan syariahnon bank
seperti asuransi,  lembaga  pembiayaan, dan dana pensiun; dan
3. Lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang undangan yang
berlaku untuk menjalankan transaksi istishna’.

6
           Selanjutnya dalam konteks pengaturan dalam Pernyataan ini istilah entitas akan digunaka
n dalam pengertian meliputi lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah.Pernyataan ini tidak 
mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah(sukuk)yangmenggunakan akad i
stishna'.
5. Penelitian Relevan
Pembayaran Dalam Akad Istisnha’ Adalah pembiayaan suatu barang dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara Nasabah dan penjual atau pembuat barang.
Akad istishna adalah akad jual-beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan  (pembeli) dan penjual
(pembuat).
1. Manfaat
 Manfaat pembiayaan yaitu Bank dapat memberikan pembiayaan kepada Nasabah untuk
pembelian barang yang dipesan. Biasanya dipakai untuk bisnis manufacturing atau
konstruksi.
2. Fitur
 Pemesanan barang dari Nasabah kepada Bank.
 Akad pembiayaan Istishna’.
 Bank menyediakan barang pesanan Nasabah.
 Barang disampaikan oleh Bank kepada Nasabah.
 Nasabah berhutang kepada Bank.
3. Syarat dan Ketentuan
 Diperuntukan bagi nasabah perorangan dan nasabah badan usaha (usaha milik
perorangan, badan usaha seperti CV atau Fa dan badan hukum seperti PT, Koperasi atau
Yayasan).
 Penetapan harga jual kepada nasabah telah memperhitungkan biaya atau nilai asset, mana
saja yang nilainya lebih rendah ditambah marjin keuntungan Bank.
 Self financing minimal 30% dari Harga Jual pada saat akad.
 Jangka waktu pengembalian maksimal 10 tahun.4
4
Kurnia ,Esa, “Pengaruh Pembiayaan Murabahah Dan Istisnha’ Terhadap Pendapatan Penyaluran Dana Di PT.
Bank Bukopin Syariah ”Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam , Uin Sunan Gunung Jati Bandung: 2018 Hlm
125

7
B. Akad Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah ‫بيع المنفعة‬ (menjual manfa’at).  Al-ijarah berasal dari kata al-
ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah
ganti dan upah. Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab ijarah berasal dari kata ‫اجر‬ yang
sinonimnya:5
1. ‫ا‬yang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat ‫اجرالشئ‬ (menyewakan sesuatu)
2. ‫اعطا ه اجرا‬yang artinya ia member upah, seperti dalam kalimat ‫(اجرفالناعلى ك[ذا‬ia memerikan
kepada si fulan upah sekian)
3. ‫ اثابه‬yang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimat‫(اجرهللا عب[[ده‬Allah memberikan
pahala kepada hamba-Nya)
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah
ٍ ْ‫َع ْق ٌد َعلَى ال ُمنَافِ ِع بِ َعو‬
‫ض‬
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asyafi’iyah
‫ض َم ْعلُوْ ٍم‬
ٍ ْ‫بِ َعو‬  ‫َع ْق ٌد َعلَى َم ْنفَ َع ٍة َم ْقصُود ٍة َم ْعلُو َم ٍة ُمبَا َح ٍة قَابِلَ ٍة لِلبَ ْد ِل َواِإل بَا َح ِة‬
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan
mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
ٍ ْ‫اح ٍة ُم َّدةً َم ْعلُوْ َمةً بِ َعو‬
‫ض‬ َ َ‫ك َمنَافِ ِع َشي ٍء ُمب‬
ُ ‫تَ ْملِ ْي‬
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu
dengan pengganti.”
d. Menurut syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijaroh
ialah:
“Akad atas manfa’at yang diketahui dan disengaja untuk member dan
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.

5
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali pers, Jakarta, 2013, Hlm 34

8
e. Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijaroh adalah:
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
f. Menurut Sayyid Sabiq bahwa Ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.
g. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah adalah:
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu  pemilikan
manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”6
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar
sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa
dan upah-mengupah, sewa menyewa adalah:
‫بيع المنافع‬
“Menjual manfaat”
Dan upah mengupah adalah
‫بيع القوة‬
“Menjual tenaga atau kekuatan.”
Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu mu’jir, musta’jir,
ma’jur dan ajru atau ijarah.ma’jir ialah pemilik benda yang menerima uang (sewa) atas suatu
manfaat. Musta’jir ialah orang yang memberikan uang atau pihak yang menyewa. Ma’jur ialah
pekerjaan yang diakadkan manfaatnya. Sedangkan ajr atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima
sebagai imbalan atas manfaat yang diberikan.
2. Dasar Hukum ijarah
Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’
1. Dasar hukum ijarah dalam alqur’an adalah
)‫فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطالق‬
Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-
Thalaq: 6).
2. Dasar hukum ijarah dari al-hadits adalah
‫اعطو ااالجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه‬

6
Fairuz, Makalah Ijarah’, http://firafairuz.blogspot.com/2013/10/makalah- ijarah.html Diakses Tanggal 12-
Oktober-2020 Jam 2:10

9
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu
Majah)
Landasan Ijma’nya ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang
berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.
3. Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang
bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1. Dua orang yang berakad
2. Sighat (ijab dan qabul)
3. Sewa atau imbalan
4. Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:7
1. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah
disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan
dikemudian hari
4. Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
5. Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7. Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
8. Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas
4. Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Para ulama berbeda sudut pandang dalam hal upah atau imbalan terhadap pekerjaan-
pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah. Madzhab hanafi
berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan kepada Allah seperti menyewa
orang lain untuk sholat, puasa, haji atau membaca alqur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada
orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa, menjadi muadzin, menjadi imam,

7
Adiwarman karim, Bank Islam analisis fiqih dan keuangan,PT Raja Grafindo, Jakarta, 2006, Hlm 10

10
dan lain-lain yang sejenis haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut berdasarkan
sabda Rasulullah SAW:8
‫اقرؤالقران والتاؤكلوابه‬
“bacalah olehmu alqur’an dan janganlah kamu cari makan dengan jalan itu”.
Perbuatan seperti adzan, shalat, haji, puasa, membaca alqur’an dan dzikir adalah tergolong
perbuatan untuk taqarrub kepada Allah, karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan
itu selain dari Allah.
Menurut madzhab Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar
alqur’an dan sejenisnya, jika tujuannya termasuk untuk mewujudkan kemaslahatan. Tetapi haram
hukumnya mengambil upah jika tujuannya termasuk kepada taqqrrub kepada Allah.
Madzhab maliki, Syafi’I dan ibnu Hazm, membolehkan mengambil upah sebagai iambalan
mengajar aklqur’an dan kegiatan-kegiatan sejenis, karena hal ini termasuk jenis imbalan dari
perbuatan yang diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan
bahwa mengambil upah sebagai imbalan mengajar alqur’an dan kegiatan sejenis, baik secara
bulanan atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya.
5. Menyewakan Barang Sewaan
Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada
orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan
ketika akad awal. Sementara itu, menurut Hendi Suhendi bila ada kerusakan pada benda yang
disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir) dengan syarat
kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-musta’jir maka yang bertanggung
jawab adalah penyewa atau al-musta’jir itu sendiri.
6. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua
belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad
seperti salah satu pihak sudah wafat atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.
Adapun jumhur ulama dalam hal ini mengatakan bahwa akad ijaraj itu seperti mengikat
kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat berbeda pendapat ini dapat

8
Ibid Hlm 15

11
diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiah, apabila salah
seorang meninggal dunia maka akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan
tetapi jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-
mal). Oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.
Selanjutnya sampai kapankah akad ijarah itu berakhir?. Menurut al-kasani dalam kitab al-
Bada’iu ash-shanaa’iu, menyatakan bahwa akad ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1. Objek ijarah hilang atau musnah
2. Tenggang waktu yang disepakati dala akad ijarah telah berakhir
3. Wafatnya salah seorang yamh berakad
4. Apabila ada udzur dari salah satu pihak
Sementara itu, menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal
sebagai berikut:9
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
2. Rusaknya barang yang disewakan
3. Rusaknya barang yang diupahkan
4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan
selesainya pekerjaan
5. Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah jika ada
kejadian-kejafian yang luar biasa.
6. Pengembalian Barang Sewaan
Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban
mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang
bergerak) seperti kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya langsung pada
pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat berpindah (barang yang tidak dapat
bergerak) seperti rumah, tanah, bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya
dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula. Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika
ijarah telah berakhir penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian
mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan. Selanjutnya mereka juga

9
Muhammad, Sistem dan prosedur Operasional Bank Syari’ah, UII Press, Yogjakarta, 2000, Hlm 43

12
berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa
disengaja, maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.10
7. Penelitian Relevan
Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) merupakan kombinasi antara akad sewa (ijarah)
dengan hak opsional jual beli atau hibah di akhir masa sewa yang sifatnya tidak mengikat. Meski
terjadi perbedaan pendapat apakah Ijarah Muntahiya Bittamlik termasuk kedalam akad gabungan
(murakab) yang dilarang oleh Nabi atau bukan, namun mayoritas ulama sepakat untuk
memperbolehkan praktik akad/perjanjian Ijarah Muntahiya Bittamlik. Sementara itu Ijarah
Muntahiya Bittamlik jika ditinjau dari perspektif hukum positif (KUHPerdata), akad Ijarah
Muntahiya Bittamlik merupakan perjanjian tidak bernama (Pasal 1319) yang timbul dari asas
kebebasan berkontrak (Pasal 1338) dan perjanjian Ijarah Muntahiya Bittamlik juga telah
memenuhi syarat-syarat sah dari perjanjian (Pasal 1320) serta unsur-unsur perjanjian lainnya.
Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan dari akad perjanjian Ijarah Muntahiya Bittamlik
adalah adanya hak dan kewajiban bagi mereka yang melakukannya.11

10
MuhammadSyafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori kePraktik/ Penulis, Gema Insani, Jakarta, 2001 ,
Hlm 76
11
Prihutama, Nugraha, “Penerapan Akad Ijarah Muntahiya Bitamlik Dalam Sistem Pembiayaan Barang Modal Di
Bank Syariah Mandiri Cabang Solo”Skripsi, Fakultas Hukum , Universitas Sebelas Maret Solo: 2015, Hlm 49

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula seperti
transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah di mana barang
diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang
diserahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama di bayar secara cicilan.

Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya


menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan
beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :

Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain
dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut Jumhur ulama , rukun Ijarah ada 4, yaitu :
-                     ‘Aqid (orang yang akad)
-                     Shighat akad
-                     Ujrah (uprah
-                     Manfaat
Syarat Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu
syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat  an-nafadz (syarat pelaksanaan akad),
syarat sah dan syarat lazim. Macam-macam Ijarah :
1.             Ijarah ‘Ala Al-Manfi’ Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat atau
benda. Seperti contoh, menyewakan mobil atau kendaraan, menyewakan rumah dan
lain-lain, Yang perlu di perintahkan adalah tidak boleh menjadikan obyek sebagai
tempat yang manfaatnya dilarang oleh syara’
2.             Ijarah ‘Ala Al-‘Amal ijarahYaitu ijarah yang obyek akadnya adalah jasa atau
pekerjaan. Contohnya adalah penjahit atau jasa insiyur dalam pembangunan dan
lain-lain. Dan tentunya manfaat yang diberikan tidak keluar atau dilarang oleh
syara’. Akad ijarah ini, terkait erat dengan masalah upah mengupah.
Beberapa pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :

14
1.             Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-
Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat
atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari
pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
2.             Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai
imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan
perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
3.             Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat,
mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak
boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk
kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram
mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an,
shalat dan ibadah yang lainnya.
4.             Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung,
khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan,
memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan
membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak
boleh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai beriku
a)    Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
b)    Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
c)    Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan
untuk dijahitkan;
d)    Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan
dan selesainya pekerjaan;
e)    Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang
menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka
ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

15
B.     Saran
        Demikian makalah yang dapat pemakalah paparkan. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi
kita semua, khususnya bagi pembaca. Dan tidak lupa kritik dan saran sangat kami harapkan
untuk memperbaiki makalah selanjutnya. Terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

RI, Departemen Agama. Mushaf Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Depok: Penerbit.


Adiwarman karim, Bank Islam analisis fiqih dan keuangan,PT Raja Grafindo, Jakarta, 2006
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali pers, Jakarta, 2013
Aprilia, ‘Istisnha Makalh”https://syafaatmuhari.wordpress.com/2011/07/03/ba’i-istishna’/ Diakses
Tanggal 12- Oktober-2020 Jam 2:10
Fairuz, Makalah Ijarah’, http://firafairuz.blogspot.com/2013/10/makalah-ijarah.html Diakses Tanggal
12- Oktober-2020 Jam 2:10
Kurnia ,Esa, “Pengaruh Pembiayaan Murabahah Dan Istisnha’ Terhadap Pendapatan Penyaluran
Dana Di PT. Bank Bukopin Syariah ”Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam , Uin Sunan
Gunung Jati Bandung: 2018
MuhammadSyafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori kePraktik/ Penulis, Gema Insani, Jakarta, 2001.
Muhammad, Sistem dan prosedur Operasional Bank Syari’ah, UII Press, Yogjakarta, 2000.
Prihutama, Nugraha, “Penerapan Akad Ijarah Muntahiya Bitamlik Dalam Sistem Pembiayaan Barang
Modal Di Bank Syariah Mandiri Cabang Solo”Skripsi, Fakultas Hukum , Universitas Sebelas
Maret Solo: 2015,

17

Anda mungkin juga menyukai