Anda di halaman 1dari 23

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kegawatdaruratan Obstetri


Kegawatdaruratan Obstetri adalah Perdarahan yang mengancam nyawa selama
kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal
kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan
perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta previa,
solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea,
retensio plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan
koagulopatiobstetri.
Kegawatdaruratan obstetri adalah suatu keadaan yang datangnya tibatiba, tidak
diharapkan, mengancam jiwa, sehingga perlu penanganan yang cepat dan tepat untuk
mencegah morbiditas maupun mortalitas. Kegawatdaruratan obstetri diantaranya
disebabkan oleh pendarahan, eklampsia, infeksi, persalinan lama akibat distosia, dan
keguguran.
B. Klasifikasi Kegawatdaruratan Obsetetri
1. Abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang dari 20
minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
adanya amenore, tanda-tanda kehamilan, perdarahan hebat per vaginam, pengeluaran
jaringan plasenta dan kemungkinan kematian janin.
Abortus diklasifikasikan menjadi :
a. Abortus spontan
1) Abortus Imminens
Pendarahan dari uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu, hasil konsepsi
masih di dalam uterus dan tidak ada dilatasi serviks. Pasien akan atau tidak
mengeluh mules-mules, uterus membesar, terjadi pendarahan sedikit seperti
bercakbercak darah menstruasi tanpa riwayat keluarnya jaringan terutama
pada trimester pertama kehamilan. Pada pemeriksaan obstetrik dijumpai tes
kehamilan positif dan serviks belum membuka. Pada inspekulo dijumpai
bercak darah di sekitar dinding vagina, porsio tertutup, tidak ditemukan
jaringan.
Penatalaksanaan : Tirah baring total, tidur berbaring merupakan unsur penting
dalam pengobatan karena cara ini akan mengurangi rangsangan mekanis dan
menambah aliran darah ke rahim.
2) Abortus Insipiens
Perdarahan kurang dari 20 minggu karena dilatasi serviks uteri meningkat dan
hasil konsepsi masih dalam uterus. Pasien akan mengeluhkan mules yang
sering dan kuat, keluar darah dari kemaluan tanpa riwayat keluarnya jaringan,
pendarahan biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan, darah berupa
darah segar menglair. Pada inspekulo, ditemukan darah segar di sekitar
dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Dilakukan tindakan kuretase bila umur kehamilan kurang
dari 12 minggu yang disertai dengan perdarahan.
3) Abortus Inkomplit
Pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih
terdapat sisa hasil konsepsi tertinggal dalam uterus. Pada anamnesis, pasien
akan mengeluhkan pendarahan berupa darah segar mengalir terutama pada
trimester pertama dan ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir.
Penatalaksanaan : Bila disertai dengan syok akibat perdarahan maka pasien
diinfus dan dilanjutkan transfusi darah. Setelah syok teratasi, dilakukan
kuretase, bila perlu pasien dianjurkan untuk rawat inap.
4) Abortus Komplit
Keadaan di mana semua hasil konsepsi telah dikeluarkan. Pada penderita
terjadi perdarahan yang sedikit, ostium uteri telah menutup dan uterus mulai
mengecil. Apabila hasil konsepsi saat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa
semua sudah keluar dengan lengkap. Pendarahan biasanya tinggal bercak-
bercak dan anamnesis di sini berperan penting dalam menentukan ada
tidaknya riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir Pada inspekulo, ditemukan
darah segar di sekitar dinding vagina, portio terbuka, tidak ditemukan
jaringan.
Penatalaksanaan : Tidak memerlukan penanganan penanganan khusus, hanya
apabila menderita anemia ringan perlu diberikan tablet besi dan dianjurkan
supaya makan makanan yang mengandung banyak protein, vitamin dan
mineral.
b. Abortus Habitualis
Abortus yang terjadi sebanyak tiga kali berturut-turut atau lebih. Pada anamnesis
akan dijumpai satu atau lebih tanda-tanda abortus, riwayat menggunakan IUD
atau percobaan aborsi sendiri, dan adanya demam.
c. Abortus Infeksius
Abortus yang disertai infeksi organ genitalia.
d. Abortus Septik
Ditandai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritonium. Hasil
diagnosis ditemukan: panas, lemah, takikardia, sekret yang bau dari vagina, uterus
besar dan ada nyeri tekan dan bila sampai sepsis dan syok (lelah, panas,
menggigil)
e. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan kematian embrio atau fetus dalam kandungan >8
minggu sebelum minggu ke-20. Pada anamnesis akan ditemukan uterus
berkembang lebih rendah dibanding usia kehamilannya, bisa tidak ditemukan
pendarahan atau hanya bercak-bercak, tidak ada riwayat keluarnya jaringan dari
jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan bercak darah di sekitar dinding vagina,
portio tertutup, tidak ditemukan jaringan. Dari beberapa jenis abortus, abortus
inkomplit dapat menimbulkan banyak perdarahan yang membahayakan bagi tubuh
ibu.
Oleh karena itu, perlu penatalaksanaan yang benar untuk menghindari perdarahan
yang berlebihan. Abortus inkomplit ditatalaksana dengan rawat ekspektatif,
pembedahan, maupun medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif berkisar
antara 52%- 81% setelah follow up 2 minggu. Perbaiki keadaan umum yaitu
volume intravaskuler efektif harus dipertahankan untuk memberikan perfusi
jaringan yang adekuat. Terapi medikamentosa dengan misoprostol menunjukkan
efektivitas 80% ke atas.
2. Mola Hidatidosa (hamil anggur)
Mola Hidatidosa (hamil anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan di dalam rahim
yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa merupakan kehamilan abnormal,
dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa
juga dihubungkan dengan edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya
tidak disertai fetus yang intak. Secara histologist, ditemukan proliferasi trofoblast
dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan,
membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah.
3. Kehamilan Etopik
Terganggu Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar
rongga uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi
kehamilan ektopik,sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba,jarang terjadi
implantasi pada ovarium,rongga perut,kanalis servikalis uteri,tanduk uterus yang
rudimenter dan divertikel pada uterus.
4. Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah
uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir.
5. Antonia Uteri
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak berkontraksi dalam 15detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).
6. Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta yang
berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan sebelum anak lahir.
7. Retensio plasenta
Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit` setelah bayi lahir.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan tidak yakin
apakah plasenta lengkap.
8. Ruptur Uteri
Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh dinding uterus dan
isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen (komplit), atau dapat pula ruptur hanya
meluas ke endometrium dan miometrium, tetapi peritoneum di sekitar uterus tetap
utuh (inkomplit).
9. Pre eklamsia dan eklamsia
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang
disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri. Preeklampsia adalah timbulnya
hipertensi, edema disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20
minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu
bila terjadi penyakit trofoblastik. Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil,
dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma.
Sebelumnya wanita tersebut menunjukkan gejala-gejala preeklampsia.
C. Etiologi
Etiologi kegawatdaruratan obstetri berdasarkan klasifikasinya :
1. Abortus
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan inilah yang paling umum
menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur kehamilan 8 minggu.
Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan ini antara lain : kelainan
kromoson/genetik, lingkungan tempat menempelnya hasil pembuahan yang tidak
bagus atau kurang sempurna dan pengaruh zat zat yang berbahaya bagi janin
seperti radiasi, obat obatan, tembakau, alkohol dan infeksi virus.
b. Kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa berupa gangguan pembentukan
pembuluh darah pada plasenta yang disebabkan oleh karena penyakit darah tinggi
yang menahun.
c. Faktor ibu seperti penyakit penyakit kronis yang diderita oleh sang ibu seperti
radang paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi virus toxoplasma.
d. Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada mulut rahim,
kelainan bentuk rahim terutama rahim yang lengkungannya ke belakang (secara
umum rahim melengkung ke depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada
rahim
2. Mola hidatidosa
Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang mungkin
dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola, antara lain:
a. Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi
terlambat dikeluarkan
b. Imunoselektif dari trofoblast
c. Keadaan sosioekonomi yang rendah
d. Paritas tinggi
e. Kekurangan protein
f. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
3. Kehamilan Etopik
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor penyebab yang terjadi pada tuba yang
dapat mendukung terjadinya kehamilan ektopik:
a. Faktor dalam lumen tuba :
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga
lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia
uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping.
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan sterilisasi
yang tidak sempurna.
b. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam
tuba
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur
yang dibuahi ditempat itu.
c. Faktor diluar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan distorsiatau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur.
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
d. Faktor lain : `
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri- atau
sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus.
Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi prematur.
b) Fertilisasi in vitro.
4. Plasenta Previa
Mengapa Plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat diterangkan,
bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atrofi pada dosidua akibat
persalinan yang lampau dan dapat menyebabkan plasenta previa tidak selalu benar,
karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar
pada penderita dengan paritas fungsi, memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran
darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan
kembar. Plasenta yang letaknya normal sekalipun akan meluaskan permukaannya,
sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir.
5. Antonia uteri
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan
pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta.
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak
berkontraksi.Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri antara :
a) Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik uterus.
b) Partus lama : kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang lemah,
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan
kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
c) Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak besar dengan BB >
4000 gr).
d) Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja tidak
efisien dalam semua kala persalinan.
e) Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi dan
retraksi miometrium.
f) Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi miometrium
yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri dan
perdarahan postpartum.
g) Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba mempercepat kala III,
dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan
plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang
mengakibatkan perdarahan.
6. Solusio plasenta
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi nya, antara lain:
a) Penyakit hipertensi menahun
b) Pre-eklampsia
c) Tali pusat yang pendek
d) Trauma
e) Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
f) Uterus yang sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan
ganda pada waktu anak pertama lahir.
Di samping hal-hal di atas, ada juga pengaruh dari:
a) Umur lanjut
b) Multiparitas
c) Ketuban pecah sebelum waktunya
d) Defisiensi asam folat
e) Merokok, alkohol, kokain
f) Mioma uteri
7. Retensio plasenta
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum tindakan. Beberapa
penyebab retensio plasenta adalah :
a) His kurang kuat (penyebab terpenting).Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar
karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (ostium uteri) akibat
kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata).
b) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat
kecil).Plasenta yang sukar lepas karena penyebab ini disebut plasenta adhesiva.
Plasenta adhesiva ialah jika terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan fisiologis.
8. Ruptur uteri
Penyebab kejadian ruptur uteri, yakni:
a) Tindakan obstetric
b) Ketidakseimbangan fetopelvik,
c) Letak lintang yang diabaikan
d) Kelebihan dosis obat bagi nyeri persalinan atau induksi persalinann
e) Jaringan parut pada uterus
f) Kecelakaan.
9. Pre eklamsia dan eklamsia
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Banyak
teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan tentang penyebabnya. Teori yang dapat diterima harus dapat
menerangkan hal-hal sebagai berikut:
a) Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, dan
mola hidatidosa.
b) Bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan.
c) Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin intrauterin.
d) Jarangnya ditemukan kejadian preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
e) Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.
D. Patofisiologi
1. Abortus
Abortus terjadi karena adanya perdarahan desidua basalis yang berdampak terjadi
nekrosis jaringan sekitar sehingga sebagian atau seluruh hasil konsepsi keluar dan
menyebabkan uterusmenjadi berkontraksi. Hasil konsepsi kurang dari umur
kehamilan 8 minggu dapat keluar seluruhnya, sedangkan hasil konsepsi dengan umur
kehamilan 8–14 minggu maka hasil konsepsi keluar sebagian atau seluruhnya.
Pengeluaran hasil konsepsi umumnya ditandai dengan perdarahan.
2. Mola hitadidosa (hamil anggur)
Patofisiologi mola hidatidosa berkaitan dengan gangguan proliferasi trofoblas saat
pembentukan plasenta. Mola hidatidosa merupakan bentuk hiperplasia trofoblas difus,
dimana vili-vili yang terbentuk sebagian besar bersifat hidropik. Bagaimana
terjadinya masalah saat proliferasi hingga kini belum dapat dijelaskan secara pasti,
tetapi faktor mutasi genetik diduga berperan. Sekitar 5-6 hari setelah konsepsi pada
manusia, zigot yang terbentuk akan berkembang menjadi blastosis. Sel perifer dari
blastosis ini akan berdiferensiasi menjadi dua lapisan yaitu trofoblas seluler
(sitotrofoblas) dan sinsitiotrofoblas yang kemudian menginvasi endometrium dan
pembuluh darah uterus. Kedua jaringan yang berkaitan dengan mesoderm
ekstraembrional ini merupakan awal mula terbentuknya plasenta. Ketika proliferasi
yang terjadi tidak terkontrol, sel-sel trofoblas dapat menjadi mola hidatidos
3. Kehamilan Etopik Terganggu
Patofisiologi kehamilan ektopik (ectopic pregnancy) didasari oleh adanya cacat pada
proses fisiologis organ reproduksi sehingga hasil konsepsi melakukan implantasi dan
maturasi di luar uterus. Hal ini paling sering terjadi karena sel telur yang sudah
dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium mengalami hambatan, sehingga
embrio sudah berkembang terlebih dulu sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya
akan tumbuh di luar kavum uteri. Hal lain yang juga dapat menyebabkan kehamilan
ektopik walaupun jarang terjadi adalah terjadinya pertemuan antara ovum dan sperma
di luar organ reproduksi, sehingga hasil konsepsi akan berkembang di luar uterus.
Apabila kehamilan ektopik terjadi di tuba, pada proses awal kehamilan dimana hasil
konsepsi tidak bisa mencapai endometrium untuk proses nidasi, ia dapat tumbuh di
saluran tuba dan kemudian akan mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan
normal. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan
embrio, maka pertumbuhan ini dapat mengalami beberapa kemungkinan, yaitu hasil
konsepsi mati dini dan diresorbsi, abortus dalam lumen tuba, ataupun terjadi ruptur
dinding tuba.
4. Plasenta Previa
Patofisiologi plasenta previa (placenta previa) adalah gangguan implantasi karena
vaskularisasi endometrium yang abnormal akibat adanya atrofi atau scaring akibat
trauma dan inflamasi. Hal ini menyebabkan plasenta berimplantasi pada segmen
bawah rahim, dan seiring perkembangan kehamilan, plasenta dapat menutup jalan
lahir. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu
bagian desidua basalis yang bertumbuh. Seiring dengan perkembangan kehamilan,
isthmus uteri akan melebar menjadi segmen bawah rahim. Apabila plasenta
berimplantasi pada segmen bawah rahim, pergeseran ini akan mengakibatkan laserasi
akibat pelepasan tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar
(effacement) dan membuka (dilatation).
5. Antonia uteri
Patofisiologi dari perdarahan postpartum disebabkan oleh beberapa faktor, namun
sebelum membahas mengenai patofisiologi, perlu diketahui bahwa selama masa
kehamilan volume darah ibu meningkat hingga 50% atau setara dengan 4-6 liter.
Volume plasma mengalami peningkatan hingga melebihi kadar total sel darah merah
(red blood cell / RBC), sehingga menimbulkan kesan penurunan konsentrasi
hemoglobin dan penurunan jumlah hematokrit. Peningkatan volume darah ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perfusi uteroplasenta serta agar dapat
menggantikan volume perdarahan yang akan terjadi pada saat proses persalinan. Pada
saat persalinan terjadi, plasenta akan terpisah secara spontan dari tempat
implantasinya beberapa menit setelah bayi lahir. Dibalik tempat melekatnya plasenta
terdapat pembuluh-pembuluh darah uterus yang melintas di antara serat-serat otot
miometrium. Selama proses melahirkan, otot-otot ini akan mengalami kontraksi dan
retraksi. Proses kontraksi dan retraksi akan mengkompresi pembuluh-pembuluh darah
tersebut sehingga perdarahan dapat berhenti. Hal ini ini sering kali disebut sebagai
“jahitan fisiologis” atau mekanisme pertahanan tubuh pada wanita hamil tanpa
penyulit ataupun komplikasi.
6. Solusio plasenta
Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu
keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat
implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. oleh karena itu
patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas
karena robeknya pembuluh darah desidua. Dalam banyak kejadian perdarahan berasal
dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia.
7. Retensio plasenta
Patofisiologi retensio plasenta sampai sekarang belum diketahui pasti. Akan tetapi,
berbagai studi menyatakan bahwa patofisiologi retensio plasenta dapat dibagi menjadi
tiga mekanisme, yaitu plasentasi invasif, hipoperfusi plasenta, dan kontraktilitas
inadekuat. Plasentasi invasif abnormal umumnya terjadi akibat trauma pada
endometrium. Tindakan operasi pada uterus (seperti sectio caesarea) dapat
menyebabkan gangguan integritas endometrium uterus dan lapisan miometrium.
Serabut miometriuetrium setelah dilakukannya tindakan operasi di sekitar luka
operasi sering kali mengalami perubahan degeneratif dengan peningkatan jaringan
fibrosa disertai infiltrasi sel inflamasi.
8. Ruptur uteri
Patofisiologi ruptur uteri adalah pemisahan jaringan uterus dengan jaringan serosa
secara spontan atau karena penyebab iatrogenik dan traumatik. Hal ini menyebabkan
isi rahim keluar dari rongga uteri dan masuk ke rongga peritoneum. Ketika ada
robekan, darah dan isi dari rahim akan mengisi ruang peritoneum sehingga
menyebabkan aliran darah ke fetal menjadi terganggu. Faktor risiko yang dapat
memicu terjadinya pemisahan antara jaringan uterus dengan jaringan serosa misalnya
trauma pada abdomen, riwayat sectio caesarea, atau penggunaan forceps saat
persalinan.
9. Pre eklamsia dan eklamsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada
sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan
iskemia . Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan
respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang
dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan
pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala
dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju
filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler
menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.
E. Manifestasi klinis
1. Abortus
a) Sudah terjadi abortus dengan mengeluarkan jaringan tetapi sebagian masih berada
dalam uterus.
b) Merupakan ancaman terjadi perdarahan.
c) Pada pemeriksaan dalam mungkin teraba jaringan sisa dan mungkin perdarahan
bertambah setelah pemeriksaan dalam.
d) Tes kehamilan mungkin masih positif, tetapi kehamilan tidak dapat dipertahankan
2. Mola hitadidosa (hamil anggur)
a) Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
b) Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. merupakan gejala
utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama berapa
minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi
besi.
c) Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia
kehamilan.
d) Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun ballottement.
e) Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
f) Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24 7) Keluar jaringan mola seperti
buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti
g) Gejala Tirotoksikosis
3. Kehamilan ektopik
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi sangat penting
dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan kehamilan di trimester
pertama. Namun, hanya 50% pasien dengan kehamilan ektopik ini yang menampilkan
gejala-gejala tersebut secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul gejala-gejala
yang umumnya terjadi pada masa kehamilan awal termasuk mual, lelah, nyeri
abdomen ringan, nyeri bahu, dan riwayat disparenu barubaru ini. Sedangkan gejala
dan tanda kehamilan ektopik terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda,
dari yang khas sampai tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral (abortus tuba),
hebat dan akut (ruptur tuba), ada nyeri tekan abdomen yang jelas dan menyebar.
Kavum douglas menonjol dan sensitive terhadap tekanan. Jika ada perdarahan intra-
abdominal, gejalanya sebagai berikut:
1) Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada abdomen
bagian atas.
2) Abdomen tegang.
3) Mual.
4) Nyeri bahu.
5) Membran mukosa anemis.
Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di bawah 100
mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama hidung, keringat
dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin terjadi gangguan kesadaran.
4. Plasenta previa
a) Perdarahan tanpa nyeri
b) Perdarahan berulang
c) Warna perdarahan merah segar
d) Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
e) Timbulnya perlahan-lahan
f) Waktu terjadinya saat hamil
g) His biasanya tidak ada
h) Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi
i) Denyut jantung janin
j) Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
k) Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul
l) Presentasi mungkin abnormal.
5. Antonia uteri
Gejala dan tanda yang selalu ada :
1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2) Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan primer)
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada : Syok (tekanan darah rendah,denyut nadi
cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual,dan lain-lain).
6. Solusio plasenta
1) Solusio Plasenta Ringan
Ruptura sinus marginalis sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun
janinnya. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitaman dan
jumlahnya sedikit sekali. Perut mungkin terasa agak sakit atau terus menerus agak
tegang. Uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus menerus apakah akan
menjadi lebih tegang karena perdarahan terus menerus. Bagian bagian janin masih
mudah teraba.
2) Solusio Plasenta Sedang
Plasenta telah lepas lebih dari seperempatnya tapi belum sampai duapertiga luas
permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, atau mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang
disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam tampak
sedikit, mungkin perdarahan telah mencapai 1000ml. Dinding uterus teraba tegang
terus menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar diraba. Bila
janin masih hidup, bunyi jantungnya sukar didengar dengan stetoskop biasa, harus
dengan stetoskop ultrasonic. Tanda-tanda persalinan biasanya telah ada dan akan
selesai dalam waktu 2 jam. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal
mungkin telah terjadi, walaupun biasanya terjadi pada solusio plasenta berat.
3) Solusio Plasenta Berat
Plasenta telah lepas lebih dari dua pertiga permukaannya. Terjadi sangat tiba-tiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam syok dan janin telah meninggal. Uterus sangat
tegang seperti papan, sangat nyeri, perdarahan pervaginam tidak sesuai dengan
keadaan syok ibu, malahan mungkin, perdarahan pervaginam belum sempat
terjadi. Besar kemungkinan telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan
ginjal.
7. Retensio plasenta
Gejala utama ditandai dengan tertahannya plasenta di dalam rahim setelah ibu
melahirkan. Gejala utama akan diikuti dengan sejumlah gejala berikut ini:
a) Rasa nyeri pada perut yang terjadi dalam waktu lama.
b) Keluarnya cairan berbau busuk dari dalam vagina.
c) Perdarahan hebat setelah keluarnya janin.
d) Kenaikan suhu tubuh.
Ketika retensio plasenta terjadi, langkah utama yang paling tepat dilakukan adalah
mengeluarkan plasenta dari rahim menggunakan tangan. Namun, cara ini memerlukan
kehati-hatian yang ekstra, karena risiko ibu mengalami infeksi sangat besar. Selain
menggunakan tangan, dokter dapat memberikan obat suntik, guna membantu ibu
berkontraksi, sehingga plasenta bisa keluar.
8. Ruptur uteri
1) Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa sakit yang luar biasa, menjerit
seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar
keringat dingin sampai kolaps.
a) Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
b) Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum
c) Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur
d) Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak, lebih-lebih
kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan
lahir.
e) Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah dan
dibahu.
f) Kontraksi uterus biasanya hilang.
g) Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi kembung dan
meteoristis (paralisis khusus).
2) Jika dipalpasi, maka akan teraba :
a) Pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim.
b) Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP
c) Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut, maka
teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di sampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
d) Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
e) Pada ruptur uteri iminens dikenal dengan ring van Bandl yang semakin tinggi
dan segmen bawah rahim yang tipis.
3) Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit
setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk kerongga
perut.
4) Jika dilakukan pemeriksaan dalam :
a) Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah dapat
didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak
banyak.
b) Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim
dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka dapat diraba
usus, omentum dan bagian-bagian janin.
c) Kateterisasi hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung
kemih.
9. Pre eklamsia dan eklamsia
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi dan proteinuria,
merupakan kelainan yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil. Pada waktu
keluhan seperti oedema, sakit kepala, gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium
mulai timbul, kelainan tersebut biasanya sudah berat. Pada eklampsia umumnya
kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri
kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan
hiperefleksia.
F. Komplikasi
1. Abortus
Komplikasi yang mungkin timbul adalah
a. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal,
diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan,
dapat pula timbul lama setelah tindakan.
b. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah
seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat kemungkinan
adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik harus dilakukan
dengan teliti.
c. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus.
Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung
udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di
endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak
menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah
dapat memastikan dengan segera.
d. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan tanpa
anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat terjadi
akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan yang
terlalu panas atau terlalu dingin.
e. Keracunan obat / zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal
seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat
mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obatobatan
seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan
histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi
memerlukan waktu.
2. Mola hidatidosa
1) Komplikasi segera
a) Perdarahan dan syok Penyebab perdarahan antara lain akibat pemisahan
vesikel dengan ikatannya pada desidua, perdarahan ini dapat tersembunyi atau
tidak tersembunyi; perdarahan intraperitoneal yang masif akibat dari perforasi
mola; dan perdarahan selama evakuasi mola akibat atonik uterus atau cedera
uterus.
b) Sepsis Meningkatnya risiko sepsis disebabkan antara lain karena tidak adanya
membrane pelindung sehingga organisme vagina dapat masuk ke dalam
rongga rahim; adanya degenerasi vesikel, pengelupasan desidua dan darah
yang lama merupakan tempat kesukaan bakteri untuk tumbuh; dan
meningkatnya intervensi selama operasi.
c) Perforasi uterus Uterus mungkin terluka dikarenakan perforasi mola yang
menyebabkan perdarahan intraperitoneal yang masif; selama evakuasi vagina
terutama dengan metode konvensional atau selama kuretase vakum.
d) Preeklampsia dengan kejang jarang ditemukan.
e) Insufisiensi pulmonar akut diakibatkan embolisasi paru dari sel trofoblas
dengan atau tanpa stroma vili. Gejala biasanya dimulai dalam waktu 4-6 jam
setelah evakuasi.
f) Kegagalan koagulasi dikarenakan embolisasi paru dari sel trofoblas
menyebabkan deposisi fibrin dan trombosit.
2) Komplikasi lanjut
Perkembangan mola hidatidosa menjadi koriokarsinoma berkisar antara 2-10%.
Faktor risikonya antara lain pasien berusia ≥ 40 tahun dan < 20 tahun, paritas ≥ 3,
serum hCG > 100.000 mIU/mL, ukuran uterus > 20 minggu, riwayat kehamilan
mola sebelumnya dan kista teka lutein yang besar (diameter > 6 cm)
3. Kehamilan ektopik
Kehamilan ektopik bisa berakibat fatal jika tidak mendapatkan perawatan yang tepat.
Misalnya, falopi bisa pecah, menyebabkan perdarahan internal perut, syok, dan
kehilangan darah yang serius. Komplikasi kehamilan ektopik lebih mungkin terjadi
jika diagnosis atau pengobatan tidak segera dilakukan (ditunda), atau jika kondisinya
tidak diketahui (belum terdiagnosis). 
1) Perdarahan Internal. Seorang wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik
dan tidak menerima diagnosis atau pengobatan tepat waktu lebih mungkin
mungkin mengalami perdarahan internal yang parah. Kondisi ini dapat
menyebabkan syok dan dampak yang serius. 
2) Kerusakan Tuba Falopi: Menunda pengobatan juga dapat menyebabkan
kerusakan tuba falopi, secara signifikan meningkatkan risiko kehamilan ektopik di
masa mendatang. 
3) Depresi: Hal ini dapat terjadi akibat perasaan berduka karena keguguran dan
mengkhawatirkan kehamilan di masa depan. 
4. Plasenta previa
1) Prolaps tali pusat
2) Prolaps plasenta
3) Plasenta melekat sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu dibersihkan
dengan kuretase
4) Robekan-robekan jalan lahir karena tindakan
5) Perdarahan post partum
6) Infeksi karena perdarahan yang banyak
7) Bayi prematur atau lahir mati
8) Anemia
5. Antonia uteri
Atonia uteri adalah komplikasi yang menjadi penyebab terbanyak pada kasus
perdarahan pascamelahirkan.
Perdarahan ini biasanya terjadi setelah plasenta berhasil dikeluarkan. Beberapa
komplikasi dari atonia uteri antara lain adalah sebagai berikut:

 Hipotensi ortostatik dengan gejala pusing karena rendahnya tekanan darah

 Anemia

 Kelelahan

 Peningkatan risiko perdarahan pasca-melahirkan pada kehamilan berikutnya

Anemia dan kelelahan setelah melahirkan juga dapat meningkatkan risiko seorang ibu
mengalami depresi postpartum.Komplikasi yang paling serius dari atonia uteri adalah
terjadinya syok akibat perdarahan yang hebat. Kondisi ini bahkan dapat mengancam
nyawa ibu.

6. Solusio plasenta
Solusio plasenta dapat menyebabkan masalah yang berakibat fatal bagi ibu dan bayi.
Bagi ibu, solusio plasenta dapat menyebabkan komplikasi berikut:

 Syok karena kehilangan darah.

 Gangguan pembekuan darah (koagulasi intravascular diseminata).

 Kebutuhan akan transfusi darah.

 Gagal ginjal atau organ lainnya akibat kehilangan darah yang signifikan.

Bagi bayi, solusio plasenta bisa menyebabkan masalah:

 Gangguan pertumbuhan karena tidak mendapatkan nutrisi yang cukup.

 Lahir prematur.

 Tidak mendapatkan oksigen yang cukup.

 Meninggal saat dilahirkan.

7. Retensio plasenta
Retensi plasenta menyebabkan pembuluh darah yang melekat pada plasenta terus
terbuka dan mengeluarkan darah. Kondisi ini menyebabkan perdarahan
pascamelahirkan yang dapat mengancam nyawa pasien.
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah:
 Infeksi rahim atau endometritis
 Subinvolusi uteri, yaitu kondisi ketika rahim tidak kembali ke ukuran normal
setelah melahirkan
 Polip plasenta atau tumbuhnya jaringan tidak normal pada plasenta
8. Ruptur uteri
Komplikasi yang paling menakutkan dan dapat mengancam hidup ibu dan janin
adalah ruptura uteri. Ruptura uteri pada jaringan parut dapat dijumpai secara jelas atau
tersembunyi. Secara anatomis, ruptura uteri dibagi menjadi ruptura uteri
komplit(symptomatic rupture) dan dehisens (asymptomatic rupture). Pada ruptura
uteri komplit,terjadi diskontinuitas dinding uterus berupa robekan hingga lapisan
serosa uterus dan membran khorioamnion. Sedangkan disebut dehisens bila terjadi
robekan jaringan parut uterus tanpa robekan lapisan serosa uterus, dan tidak terjadi
perdarahan.Ketika ruptura uteri terjadi, histerektomi, transfusi darah masif, asfiksia
neonatus, kematian ibu dan janin dapat terjadi. Tanda ruptura uteri yang paling sering
terjadi adalah pola denyut jantung janin yang tidak menjamin, dengan deselerasi
memanjang. Deselerasi lambat, variabel, bradikardi, atau denyut jantung hilang sama
sekali juga dapat terjadi. Gejala dan tanda lain termasuk nyeri uterus atau perut,
hilangnya stasion bagian terbawah janin, perdarahan pervaginam, hipotensi.
9. Preeklampsia dan eklampsia
1. Komplikasi pada Ibu
a) Jantung
Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat
hipertensi dan aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan intravaskular
ke ekstraselular terutama paru. Terjadi penurunan cardiac preload akibat
hipovolemia
b) Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau
beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina
yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan
berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan6 . Skotoma,
diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang
menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan
aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina
c) Paru Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang
mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan.
Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang sangat banyak, penurunan
tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai
pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang diproduksi oleh hati
d) Hati Dasar perubahan pada hepar ialah vasoospasme,iskemia, dan perdarahan.
Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel
hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di
bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma
e) Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis, yaitu
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan
perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya
meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil
dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus
tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin
plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil
(sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin
plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau
berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat
vasospasme yang hebat1,9 . Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria
akibat retensi garam dan air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju
filtrasi natrium di glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien
preeklampsia terjadi penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena
meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa
glomerulopati, terjadi karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar
protein dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan
transferin. Protein – protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus6 .
f) Darah
Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular (DIC) dan
destruksi pada eritrosit. Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat
sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/µl ditemukan pada 15 – 20 %
pasien. Level fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia dibandingkan
dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level fibrinogen
yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan dengan
terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption). Pada 10 % pasien
dengan preeklampsia dapat terjadi HELLP syndrome yang ditandai dengan
adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah
g) Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit
Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang,
proses sekresi aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan kadar aldosteron
didalam darah. Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik
atrium juga meningkat. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume yang
menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskular
perifer6 . Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler
ke interstisial yang disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas
darah dan penurunan volume plasma. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia6 .
2. Komplikasi Pada Janin
Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth restriction
(IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir
rendah, dan solusio plasenta. Studi jangka panjang telah menunjukkan bahwa bayi
yang IUGR lebih rentang untuk menderita hipertensi, penyakit arteri koroner, dan
diabetes dalam kehidupan dewasanya.
G. Penatalaksanaan
1. Evakuasi
a) Perbaiki keadaan umum
b) Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap. Bila kanalis
sevikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12 jam kemudian dilakukan kuret
c) Memberikan obat – obatan antibuotik, uterotonika dan perbaiki keadaan umum
penderita.
d) 7 – 10 hari setelah kerokan pertama dilakukan kerokan kedua untuk
membersihkan sisa jaringan
e) Histerektomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih dari 30 tahun.
Paritas 4 atau lebih dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi pusat atau lebih
2. Pengawasan lanjutan
a) Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai kontrasepsi oral pill
b) Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2 – 3 tahun, yaitu setiap minggu pada
triwulan pertama, setiap 2 minggu pada triwulan kedua, setiap bulan pada 6 bulan
berikutnya.
c) Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan : gejala klinis, keadaan umum dan
perdarahan
H. Pemeriksaan penunjang
1. USG
2. CT Scan
3. Pemeriksaan laboratorium
4. Pemeriksaan ultrasonografi
5. Pemeriksaan histologis

Anda mungkin juga menyukai