Anda di halaman 1dari 39

Materi Diskusi kelompok MK Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah)

1. Menjelaskan/Memahami konsep dan sejarah kemunculan Aswaja


 Memahami definisi Aswaja
 Memahami sejarah Aswaja dari Abu Hasyim Asy’ari
 Memahami sejarah Aswaja dari Abu Hasan Al-Maturidi
2. Menjelaskan Prinsip dan nilai aswaja
 Prinsip dan nilai Tawassuth
 Prinsip dan nilai Tasamuh
3. Menjelaskan prinsip dan nilai aswaja
 Prinsip dan nilai Tawazun
 Prinsip dan nilai Ta’dul
4. Menjelaskan firqoh-firqoh dalam Islam dan kedudukan Aswaja dalam firqoh yang ada
 Menjelaskan sejarah munculnya macam-macam firqoh dalam Islam.
 Menjelaskan pemikiran masing-masing firqoh tentang: sifat Allah, perbuatan
manusia, status pendosa besar, mukmin dan kafir dll.
5. Menjelaskan metodologi aswaja di bidang Fiqih beserta tokoh2nya
6. Menjelaskan metodologi aswaja di bidang Akidah beserta tokoh2nya
7. Menjelaskan metodologi aswaja di bidang Tasawuf beserta tokoh2nya
8. Menjelaskan penyebaran aswaja di Indonesia
 Menjelaskan proses penyebaran Aswaja di Indonesia.
 Menjelaskan peran dan metode berdakwah Wali Songo.
9. Menjelaskan sumber-sumber hukum aswaja (Al-Qur’an, Hadis, Ijma, qiyas)
10. Menjelaskan kedudukan sosial politik dan keagamaan dalm konsep aswaja
 Memahami konsep imamah dan khilafah Aswaja
 SYIAH. Menurut etimologi, Syiah berarti pengikut atau. pendukung. ...
 KHAWARIJ. Secara bahasa: khawarij bentuk plural dari. kharijah, artinya
kelompok yang menyempal.
 MURJIAH. Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad. ...
 MUTAZILAH. Secara bahasa, Mutazilah. ...
 QADARIYAH. Aliran. ...
 JABARIYAH.
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami
suksesi kepemimpinan dari Utsman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. ... Di masa
pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara
pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya

Madzhab itu berhubungan dg rujukan ilmu fiqih; misal ada orang yg menjadikan


syafi'iyyah sebagai rujukan fiqih, atau pada hanafiah, muhammadiyah, salafiyah dsb.
Sedangkan firqah (kelompok) itu adl sekelompok orang2 yg sepaham dlm perkara2
agama; biasanya mengenai aqidah

Oleh : Ansori
(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)
A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)
Kata atau istilah Ahlussunnah wal Jama’ah diambil dari hadis Imam Thabrani sebagai
berikut:
‫ وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين‬، ‫افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬
‫ ومن‬:‫ قيل‬.‫ الناجية منها واحدة والباقون هلكى‬،‫ وستفترق أمتي على ثالث وسبعين فرقة‬، ‫فرقة‬
‫ ما انا عليه اليوم و أصحابه‬:‫ وما السنة والجماعة؟ قال‬:‫ قيل‬.‫ أهل السنة والجماعة‬:‫الناجية ؟ قال‬
“orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71  atau 72 golongan, orang
Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum muslimin)
akan bergolong-golong menjadi 73 golongan.  Yang selamat dari padanya satu
golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah
SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah
assunah wal jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku berada di atasnya, hari ini,
dan beserta para sahabatku (diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta
para sahabat).
Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya  Ziyadah at-
Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
‫أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون‬

‫بسنة النبي صلى هللا عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت‬
‫اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون و المالكيون والحنبليون‬
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan
sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama
mengatakan : Sungguh kelompok tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab
yang empat yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”
Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan pada
paham yag diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang
menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham
Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).
Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham Sunni
yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang
berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.
Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas
oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat)
madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).
Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang tashawwuf, NU
mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali at-Thusi
(w,505 H/ 1111M)
B. Mengapa NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah ?
Sebagaimana di jelaskan di atas, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah pada mulanya
adalah terkait dengan perbincangan masalah akidah yang menengahi dua paham yang
saling
bertentangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dianggap sebagai paham yang moderat yaitu
meyakini ke-Maha Kuasa-an Alloh dan menghargai ikhtiyar (akal) manusia.
Demikian juga dalam bidang fikih, pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan para
pengikut/muridnya dianggap paling moderat yaitu mengabungkan antara dalil naqly (al-
Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (ijtihad : ijma’ dan qiyas).
Dalam bidang tashawwuf, ajaran-ajaran al-Junaidi dan al-Ghazali  dianggap moderat,
yaitu menggabungkan antara syariah/fikih dan haqiqat/substansi.
Selain dianggap sebagai model berpikir moderat (wasathiyyah) dan ihtiyath (kehati-
hatian/antisapatif) dalam bidang ibadah, alasan NU mengikuti Ahlussunnah wal
Jama’ah juga dikarenakan para sahabat Nabi perlu diikuti, karena merekalah yang
mengetahui dan memahami terhapa semua yang dilakukan oleh Nabi.Oleh karena itu
Nabi mengatakan : ‫ما انا عليه اليوم و أصحابه‬. Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa
mereka (para sahabat) dijamin masuk surga.
Hal ini dikuatkan oleh hadis :
‫ى هللا عليه وسلم‬ َّ ‫صل‬ َ ِ‫ل هللا‬ ُ ‫س ْو‬ ُ ‫ َو َعظَ َنا َر‬: ‫ل‬ َ ‫ساري َة َرضي هللا عنه َقا‬ َ ‫ن‬ ِ ‫ن َأبِي نَجِ ْيحٍ ا ْل ِع ْربَاضِ ْب‬ ْ ‫َع‬
،‫ص َنا‬
ِ ْ ‫و‬ ‫َأ‬ َ
‫ف‬ ، ‫ع‬ ‫د‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ة‬ َ ‫ظ‬‫ع‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ن‬‫َأ‬‫ك‬َ ، ِ‫هللا‬ ‫ل‬ ‫و‬‫س‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫ي‬ : ‫ا‬ ‫ن‬ ْ
‫ل‬ ‫ق‬‫ف‬ َ ،‫ن‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ع‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ن‬‫م‬ ‫ت‬ َ
‫ف‬ ‫َر‬‫ذ‬ ‫و‬ ، ‫ب‬ ‫و‬ ‫ل‬
ُ ‫ق‬‫ل‬ْ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ن‬‫م‬ ‫ت‬ َ ‫ل‬‫ج‬ ‫و‬ ً
‫ة‬ َ ‫ظ‬‫ع‬ِ ‫َم ْو‬
ٍ ّ ِ َ ُ ُ ِ ْ َ َ َّ َ ْ ُ َ َ َ ُ ُ ُْ ُ َ ِْ ْ ِ َ ُ ْ ُ َ ِْ ْ ِ َ
‫ُم‬
ْ ‫ش ِم ْنك‬ ْ ‫ن يَ ِع‬ ْ ‫ َفِإنَّ ُه َم‬،‫ َع ْب ٌد‬  ‫ُم‬ ‫َأ‬
ْ ‫ة َوِإنْ تَ َّم َر َعلَ ْيك‬ ِ ‫معِ َوالطَّا َع‬ ْ ‫الس‬َّ ‫ َو‬،‫ل‬ َّ ‫ج‬ َ ‫ُم بِ َت ْق َوى هللاِ َع َّز َو‬ ْ ‫ص ْيك‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ ْو‬: ‫ل‬ َ ‫َقا‬
،‫ج ِذ‬ َ ُّ
ِ ‫ن َعضوا َعل ْي َها بِال َّن َوا‬ َ ‫م ْه ِديِ ّ ْي‬ ْ
َ ‫ن ال‬ َ ‫ش ِد ْي‬ِ ‫خل َفا ِء ال َّرا‬َ ْ
ُ ‫ة ال‬ ِ ‫س َّن‬ ُ ‫س َّنتِي َو‬ ُ ِ‫ُم ب‬ َ َ ً ً
ْ ‫ ف َعل ْيك‬.‫اختِال َفا كثِ ْيرا‬ ً ْ ‫سيَ َرى‬ َ ‫َف‬
‫ حديث حسن صحيح‬: ‫ة [ َر َواه داود والترمذي وقال‬ ٌ َ‫ضالَل‬ َ ‫ة‬ َّ ‫ َفِإنَّ ُك‬،‫ح َدثَاتِ ْاُأل ُم ْو ِر‬
ٍ ‫ل بِ ْد َع‬ ْ ‫ َو ُم‬  ‫ُم‬ ْ ‫ َوِإيَّاك‬  
Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami
bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya Rasulullah, seakan-
akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada
Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin
kalian adalah seorang budak. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan
menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh
terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah
(genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara
yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.
(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)
Dengan demikian dapat dikatakan  bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menurut  NU
(ASWAJA  AN-NAHDHIYYAH) adalah mengikuti pola pikir Abu Hasan al-Asy’ari dan
Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti pola pikir Imam Syafi’i dalam
fikih (beribadah dan bermuamalah), dan mengikuti al-Junaidi dan al-Ghazali dalam
bertashawwuf, yang kesemuanya pola pikirnya adalah moderat, tawasut, tawazun,
atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para sahabat Nabi.
C. Implementasi (pengamalan) Ahlussunnah wal Jama’ah
Prinsip moderat yang ada dalam ASWAJA AN-NAHDHIYYAH itu dalam tataran yang
lebih riil dapat dicontohkan serbagai beikut :
a. Bidang akidah
Dalam menjalani kehidupan atau menghadapi persoalan-persoalan, orang NU tidak
boleh hanya bergantung pada kekuasaan Alloh (pasrah) atau sebaliknya hanya
mengandalkan kemampuan akal (teori atau ilmu pengetahuan). Kaduanya harus
dilakukan secara bersamaan.
 b. Bidang Fikih (Ibadah)
Dalam memegangi hukum fikih, NU tidak boleh “HANYA” berpegang/berlandaskan
pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga harus memperhatikan dan
mengetahui perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan (manhajiy). Motode berpikir 
ini diputuskan dalam MUNAS NU di Lampung dan prinsip ini ada dalam ungkapan :
 ‫المحافظة على القديم الصالح واألخذ بالجديد األصلح‬
    “Tetap menjaga/ berpegang pada pendapat/tradisi lama (ulama’ terdahulu,
salafussholih) yang baik (relevan), namun tetap mengambil pendapat-pendapat baru
yang baik (yang lebih relevan/susuai dengan kondisi zaman dan ilmu pengetahuan)”.
Dalam beribadah warga NU juga harus berimbang antara ibadah mahdhoh (ritual,
individual, vertikal) dan ibadah ghairu mahdhah (basyariyyah, insaniyyah,
ijtimaiyyah, sosial, kemanusiaan, kemasyarakatan, horisontal)
c. Bidang Tashawwuf
Dalam menjalankan ibadah, warga NU harus menggabungkan antara hakikat dan
syariat. Aturan-aturan fikih (syarat dan rukun) tetap harus dipenuhi, namun di sisi lain
penghayatan terhadap isi, makna, hakikat, tetap harus diperhatikan.  
Demikian juga dalam bertsahwwuf (menjalankan amaliyah dzikir/wirid, mengikuti
thoriqat) tidak boleh melupakan urusan umat dan keluarga.
Adapun menjaga tradisi (amaliyah) para sabahat, oleh NU – dalam bidang ibadah-
antara lain adalah dengan tetap mempertahankan Tarawih minimal 23 rakaat, adzan
Jumat dua kali, dan lain-lain serta pola pikir/metode ijtihad yang dilakukan oleh para
sahabat Nabi terutama khulafaurrasyidun.
Mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat, meskipun tidak dilakukan oleh Nabi,
BUKAN BID’AH. Karena hadis di atas jelas bahwa Rosul memerintahkan agar
berpegang kepada sunnahnya dan “sunnah” (amaliyah, tradisi, apa yang dilakukan)
oleh para sahabat. Maka pengertian “bid’ah” dalam hadis ‫ل‬ َّ ‫ َفِإنَّ ُك‬،‫ح َدثَاتِ ْاُأل ُم ْو ِر‬
ْ ‫ َو ُم‬  ‫ُم‬
ْ ‫َوِإيَّاك‬
ٌ َ‫ضالَل‬
‫ة‬ َ ‫ة‬
ٍ ‫ بِ ْد َع‬yang disampaikan oleh Rasul setelah   ‫ن‬ ِ ‫خلَ َفا ِء ال َّرا‬
َ ‫ش ِد ْي‬ ُ ‫ة ا ْل‬
ِ ‫س َّن‬ُ ‫س َّنتِي َو‬ ُ ِ‫فعليكم ب‬
berarti di luar yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat.
Puncaknya yang ingin dicapai NU dari asas ASWAJA AN-NAHDHIYYAH adalah
prinsip tawasuth/moderat dan merawat sunnah Rasul dan “sunnah” para sahabat.

 Bidang Akidah

A. Abu Hasan Al-Asy’ari

Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
I’smail bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.
Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Beliau wafat
di Baghdad pada tahun 324H/935M. (Dr. H. Achmad Mihibbin Zuhri, 2013)

Al-Asy’ari merupakan salah satu murid dari tokoh Mu’tazilah Abu ‘Ali
Al’Jubbai. Namun hanya sampai usia 40 tahun Al-Asy;ari menganut paham Mu’tazilah.
Menurut Ibn ‘Asakit latar belakang ia keluar dari paham Mu’tazilah adalah ia bermimpi
bertemu dengan Rasuulullah SAW sebanyak 3 kali. Dan ia diperingatkan oleh Rasulullah agar
segera meninggalkan paham tersebut dan segera mengikuti paham/ajaran yang telah
diriwayatkan Rasulullah dan sahabatnya. Alasan lainnya karena pada saat perdebatan Al-
Jubba’i diam dan tidak dapat menjawab pertanyaan dari Al-Asy’ari (muridnya)
mengenai kedudukan mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat nanti. Hal tersebutlah yang
membuat Al-Asy’ari merasa ragu dan tidak puas lagi dengan ajaran Mu’tazilah lalu
memutuskan untuk keluar dan menyusun teologi baru sesuai dengan ajaran Rasulullah dan
sahabat, yang dikenal dengan Al-Maturidiyah.
Berikut adalah pemikiran-pemikiran penting Al-Asy’ari:

1) Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat-sifat (bertentangan dengan


Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu tidak boleh diartikan secara harfiah tetapi secara simbolis.

2) Kebebasan dalam berkehendak

Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang
mengupayakannya (muktasib).

3) Qadimnya Al-Qur’an

Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi
Allah dan tidak qadim.

4) Akan dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Dalam menghadapi persialan yang memperoleh penjelasan kontradiktif, serta dalam menentukan
baik dan buruk, Al-Asy’ari lebih mengutamakan wahyu daripada akal.

5) Melihat Allah

Allah dapat dilihat di akhirat kelak, tetapi tidak dapat digambarkan. Dan kalau dikatakan Allah
dapat dilihat, itu tidak mengandung pengertian seperti bahwa apa yang bisa dilihat harus bersifat
diciptakan.

6) Kedudukan orang yang berdosa

Orang mukmin yang berdosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur. Dalam kenyataan, iman adalah lawan dari kufur, predikat seseorang
harus berada satu diantaranya. Jika tidak mukmin, maka ia kafir.

7) Keadilan

Allah memiliki kekuasaan mutlak, taka da satupun yang wajib bagi-Nya dan Allah berbuat
sekehendaknya.

B. Abu Manshur al-Maturidi

Bernama lengkap Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al- Maturidi, lahir di
Maturid, daerah Samarkand (Uzbekistan). Lahir sekitar pertengahan abad ke-3H. wafat pada
tahun 333H/944M.
Murid dari Nasyr bin Yahya al-Balakhi seorang guru dalam bilang fiqh dan teologi, Abu
Manshur juga merupakan pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan
keagamaannya, sehingga banyak persamaan dalam sistem teologi yang ditimbulkannya namun
termasuk dalam golongan teori Ahli Sunnah yang kemudian dikenal dengan nama al-
Maturidiyah.

Literatur dari ajaran Abu Manshur tidak sebanyak Al-Asy’ari. Banyak karangan Al-
Maturidi yang belum dicetak dan kemungkinan masih dalam bentuk manuskrip antara lain
kitab al-Tauhid dan kitab Ta’wil Al-Qur’an. Selain itu, ada pula karangan-

karangan yang dikat

akan dan diduga ditulis oleh Al-Maturidi, antara lain Risalah fi Al- Aqaid dan Syarh Fiqh Al-
Akbar.

Berikut adalah pemikiran Al-Maturidi:

1) Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologi, Al-Maturidi mendasar pada Al-Qur’an dan akal, namun porsi yang
diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan pada Al-Asy’ari.

2) Perbuatan manusia

Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-
Nya, beliau mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat Allah
sebagai pencipta perbuatan manusia.

3) Melihat Allah

Manusia dapat melihat Allah. Namun mellihat Allah, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya
(bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

4) Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat Qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak
dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengan (bila kaifa) tidak di ketahui,
kecuali dengan suatu perantara.

5) Pelaku dosa besar

Orang dengan dosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia meninggal
sebelum bertaubat. Hal ini karena Allah telah menjanjikan dan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan amal perbuatannya. Perbuatan dosa besar selain syirik tidak menjadikan
seorang kafir atau murtad.

6) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

Sesungguhnya ajaran-ajaran akidah Islam Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu
Mansur berada pada jalan yang sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan antara
Asy’ariyah dan Maturidiyah yaitu pada masalah-masalah cabang akidah (Furu’ al-
‘Aqidah). Hal ini tidak menjadikan kedua kelompok ini berdebat.

C. Imam Abu Hasan al-Basri

Beliau bernama asli Hasan Al-Basriadalah Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar. Beliau merupakan
anak dari Khoiroh dan Yasaar, budak Zaid bin Tsabit tepatnya pada tahun 21 H di kota Madinah
setahun setelah perang shiffin, sumber lain menyatakan beliau lahir dua tahun sebelum
berakhirnya masa pemerintahan Khalifah Umar bin Al- Khattab.

2. Bidang Akhlak/Tasawuf

A. Imam al-Ghazali

Beliau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali.
Beliau merupakan orang Persia asli. Lahir di Thus sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran)
pada tahun 450H/1058M dan wafat pada tahun 505H/1111M.

Karya-karya Imam al-Ghazali, antara lain:

1) Al-Iqtisad fi Al-I’tiqad (480H), karya kelam terbesar Al-Ghazali untuk mempertahankan


akidah Aswaja secara rasional.

2) Al-Risalat Al-Qudsiyyah, karya Al-Ghazali yang disajikan secara ringan untuk


mempertahankan akidah Aswaja.

3) Qowa’id Al-Aqo’id, karya teologi yang mendeskripsikan materi akidah yang benar
menurut paham Aswaja.

4) Ihya Ulumuddin, karya Al-Ghazali yang terbesar yang memuat ide-ide sentral Al-Ghazali
untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam termasuk teologi.

B. Imam Junaid al-Baghdadi

Bernama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd Al- Khazzaz Al-
Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq dan wafat pada tahun 297H/910M. Berasal
dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Al-Junaid
merupakan seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih.

Menurut Al-Baghdadi, tasawuf adalah hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
Ajarannya dengan melakukan semua akhlak yang baik menurut sunnah Rasul dan meninggalkan
semua akhlak yang butuk dan melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah serta merasa
tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah ï·». Tasawuf Al-
Junaid al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan
hakikat.

3. Bidang Fiqh

A. Imam Hanafi

Bernama lengkap An-Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Maha At-Taymiy. Abu Hanafi lahir
di Kufahm Iraq pada tahun 80H/699M. Abu Hanifah membangun mazhabnya di atas Al-Kitab,
Al-Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Aliran mazhab Imam Abu Hanifah dikenal dengan
nama Mazhab Hanafi.

Mazhab Hanafi ialah mazhab rasmi Dawlah ‘Usmaniyyah dan masih berpengaruh di negara-
negara bekas jajahan Dawlah ‘Usmaniyyah seperti Mesir, Syria, Lubnan, Bosnia, dan Turki.
Karya dari Abu Hanifah antara lain Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absat, Kitab Al-
Risalah, Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim dan Kitab Al- Washiyyah.

B. Imam Maliki

Memiliki nama lengkap Abu Abdullah Malik bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin
Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi. Lahir di Madinah pada tahun 712M dan wafat
pada tahun 796M. Imam Maliki meninggalkan mazhab fikih dikalangan Islam Sunni, yang biasa
disebut dengan Mazhab Maliki.

C. Imam Syafi’i

Bernama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris al-Shafi’i atau Muhammad bin
Idris asy-Syafi’i. lahir di Ashkelon, Gaza, Palestina pada tahun 150H/767M bertepatan
dengan tahun wafatnya seorang ulama besar Sunni, Imam Abu Hanifah). Beliau wafat pada
bulan Sya’ban tahun 204H diumur 54 tahun.

D. Imam Hanbali

Bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Lahir pada bulan
Rabi’ul Awwal tahun 164H/780M dan wafat pada 12 Rabi’ul Awwal 241H/855H.

 PENGERTIAN, AJARAN, CIRI KHAS DAN DASAR AKIDAH ASWAJA


a.      Pengertian Aswaja
1)   Pengertian secara bahasa
Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk
istilah tersebut, yaitu :
a)    Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut.
b)   Al-Sunnah, secara bahasa bermakna al-thariqah-wa-law-ghaira mardhiyah (jalan atau cara
walaupun tidak diridhoi).
c)    Al-Jama’ahberasal dari kata jama’a artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan
sebagian ke sebagian lain.Jama’ahberasaladri kata ijtima’ (perkumpulan), lawan kata
daritafarruq (perceraian) danfurqah(perpecahan). Jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan
dikatakan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.
2)   Pengertian secara istilah,
Menurut istilah, “Sunnah” adalah suatu nama untuk cara yang diridloi oleh agama yang di
tempuh oleh Rasullallah selainya dari kalangan orang yang mengerti tentang islam, seperti para
sahabat Rasullallah. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah:
‫عَلي ُكم بِ ُسنَّتي َو ُسنَّ ِة ال ُخلفـا ِءالرَّا ِش ِدينَ ِمن بَع ِدي‬
“ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa Rasyidin setelahku”
Menurut Hasyim Asy’ari, dalam istilah syariat (fikih) “Sunnah” artinya sesuatu yang dianjurkan
untuk dilakukakan tetapi tidaak wajib.
Menurut para ulama Ushul Fiqh, kata “Sunnah” berarti apapun yang dilakukan, dikatakan, atau
ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw, yang dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan
suatu hukum syar’i.
Menurut para ahli kalam (para teolog), “Sunnah” ialah kenyakinan (i’tiqad) yang didasarkan
pada dalil naql (al-quran, hadis, qawl atau ucapan shahabi, bukan semata bersandar pada
pemahaman akal (rasio).
Menurut para ahli polotik, “Sunnah” ialah jejak yang ditinggalkan oleh Rasulullah dan
para Khulafa Rasyidin.
Sedangkan jama’ah secara istilah adalah kelompok kaum muslimin dari para dahulu dari
kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari
kiamat. Mereka berkumpul berdasarkan Al-quran dan Sunnahdan mereka berjalan sesuai dengan
yang telah ditempuh oleh Rasulullah baik secara lahir maupun batin. Definisi lain berdasarkan
hadis Rasullallah jama’ah adalah apa yang telah disepakati oleh sahabat Rosul pada
masa Khulafau Rosidi. Pada hadis Nabi ketika menjawab pertanyaan sahabat tentang (akan)
adanya perpecahan menjadi 71 atau 72 golongan, dan yang selamat hanya satu
golongan,.yaitu al-jama’ah. Rasulullah bersabda:
َ‫َمن َأراَ َدبُحبو َحةَال َجنَّةَ فَليَلزَ ِم ال َجما َعة‬
“Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai disurga, maka hendaklah ia
mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjadi kebersamaan).” (HR. Al-Tirmidzi (2091), dan al-
Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Dengan demikian Aswaja adalah golongan pengikut setia Nabi Muhammad SAW dan
sahabatnya,jadi Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada
sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan,
amalan-amalan lahiriyah serta ahlak baik dan islam murni yang langsung dari Rasullallah
kemudian diteruskan oleh sahabatnya.
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/ 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya
Ziyadat Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:
ِ ‫ث َوالفِق ِه فِإنَّهُم ال ُمهتَ ُدونَ ال ُمتَ َم ِّس ُكونَ بِ ُسنَّ ِة النَّيِي صلي هللا علي ِه وسلم وال ُخلَفَا ِءبَع َدهُ الر‬
َ‫َّاشـ ِدين‬ ِ ‫َأ َّماَأه ُل ال ُّسنَ ِة فَهُم َأه ُل التَّف ِسي ُر َوال َح ِدي‬
َ ‫ب َأربَ َع ٍة‬
َ ‫الحنَفِيُّونَ َوال َّشافِ ِعيُّونَ َوال َمالِ ِكيُّونِ َو‬
َ‫الحنبَليُّون‬ َ ‫َوهُم الطَّا ِءفَةُ النَّا ِجيَةُقَالُو َوقَد اجتَ َم َعت اليَو َم فِي م َذا ِه‬
“Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi Muhammad saw dan
sunnah Khufaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-
najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab
yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali.”
Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya
beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran Rasulullah dan para
sahabatnyayang murni.

b.      Ajaran Aswaja
Islam adalah agama allah yang diturunkan untuk seluruh manusia di dalamnya terdapat pedoman
dan aturan demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Ada 3 hal yang menjadi
sendi utama dalam agama Islam itu yaitu iman, islam, dan ihsan. Dalam sebuah hadis dijelaskan
bahwa iman adalah orang yang beriman kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari kiamat, dan qadar (ketentuan)Allah yang baik dan yang buruk. Islam adalah
orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah,
mengerjakan sholat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Ihsan
adalah orang yang menyembah Allah SWT seolah-olah kamu melihat-Nya.
Dari sisi keilmuan, semula ketiganya merupakan satu-kesatuan yang tidak terbagi-bagi namun
selanjutnya para ulama’ mengadakan pemisahan, sehingga menjadi ilmu tersendiri bagian-bagian
itu mereka gabungkan sehingga menjadi bagian ilmu yang berbeda, iman memunculkan ilmu
tauhid atau ilmu kalam islam menghadirkan ilmu fiqih atau ilmu hukum islam. Dan ihsan
menghadirkan ilmu tasawuf atau ilmu ahlak.
Meskipun telah menjadi ilmu tersendiri, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa
melakukan perbedaan. Misalnya orang yang sedang sholat dia harus mengesakan Allah disertai
kenyakinan bahwa hanya Allah yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun
sholat (islam), dan sholat harus dilakukan dengan khusyu’ den penuh penghayatan (ihsan).
            Dalam perkembangan sejarah umat islam, terdapat aspek lain yang dapat membedakan
ajaran aswaja dengan kelompok lain. Aspek tersebut adalah aspek politik. Aspek politik ini
dengan sendirinya melengkapi inti ajaran aswaja (terutama bila diperbandingkan dengan ajaran
kelompok lainya), selain aspek aqidah atau teologi dan fiqih atau hukum
c.       Ciri Khas Aswaja
Ciri khas akidah aswaja antara lain menyakini bahwa allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Hal ini diantaranya yang membedakan Aswaja dengan aliran lain. Allah SWT berfirman:
َ َ‫ل‬
‫ َشي ٌء‬،‫يس َك ِمثلِ ِه‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS. Al-Syura :11)
Ayat ini adalah ayat yang paling tegas dalam menjelaskan kesucian Allah SWT secra mutlak
tidak menyerupai mahluk-Nya dari aspek apapun.
Ulama Aswaja menjelaskan bahwa alam(mahkluk Allah) terbagi atas dua bagian, yaitu:
1)      Al-jauhar al-fard, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas
terkecil.
2)      Jims, yaitu benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian. Benda ini juga terbagi lagi
menjadi dua macam, yaitu:
a)      Benda lathif, yaitu sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, roh, angin,
dan sebagainya.
b)      Benda katsif, sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda
padat (jamad) dan sebagainya.
Dalil berikut ini juga menunjukkan bahwa Allah itu tanpa arah dan tanpa tempat, yaitu hadis
shahih:
) ‫ (رواه البخاري‬.ُ‫ َكانَ هللا َولَم يَ ُكن َشي ٌءغَي ُره‬:‫ال َرسُو ُل هللاِ صلي هللا علي ِه وسلم‬
َ َ‫ض َي هللاُ عَنهُ َماق‬
ِ ‫صي ٍن َر‬ َ ‫عَن ِعم َرانَ ب ِن ُح‬
Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Allah ada pada
azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya.” (HR. Al-Bukhari :
2953).
Hadis diatas menjelaskan bahwa Allah SWT itu pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan,
Arsy, lagit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. AllahSWT juga tidak berubah dari
wujud semula yani tetap ada tanpa tempat dan arah. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga
mengatakan:
ٌ ‫جري َعلَي ِه زَ َم‬
‫ان‬ ِ َ‫ان َوالَي‬ ِ َ‫َوَأج َمعُواعَلي َأنَّهُ الَي‬
ٌ ‫حوي ِه َم َك‬
“Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahawa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan
tidak dilalui oleh zaman.”

d.      Dasar Akidah Aswaja


Pokok-pokok kenyakinan yang berkaitan dengan tauhid dan lain-lain menurut Aswaja harus
dilandasi oleh dalil dan argumentasi yang definitif (qath’i) dari Al- Quran, hadis, ijma’ ulama
dan rgumentasi akal yang sehat.
Berikut ini rincian dalil-dalil tersebut secara hirarkis.
1.    Al-Quran
Al-quran Al-Karim adalah pokok dari semua argumen dan dalil. Al-qur’an adalah dalil yang
membuktikan kebenaran risalah nabi muhammad SAW, dalil yang membuktikan benar dan
tidaknya suatu ajaran. Al-Quran juga merupakan kitab Allah yang terakhir yang menegaskan
pesan-pesan dari kitab-kitab samawi sebelumnya.
ِ ‫فَِإن تَنَآ َز ْعتُم فِي َشي ٍءفَ ُر ُّدوهُ اِلَي هللاِ َوال َّرس‬
‫ُول‬
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (A-
Quran) dan Rasul (Sunnahnya).” (QS. Al-Nisa’ :59)
Mengembalikan persoalan kepada Allah SWT, berarti mengembalikan kepada Al-Quran.
Sedangkan mengembalikan kepada Rasul, berarti mengembalikannya kepada sunnah Rasul yang
shahinh.
2.    Hadits
Hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya disepakati
dan dapat dipercaya para  ulama. Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah
adalah hadits muttawatir. Hadits muttawatir ialah hadits yang disampaikan oleh sekelompok
orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai kepada penerima hadits
tersebut, baik penerima kedua maupun ketiga melalui jalur kelompok yang banyak pula.
Dibawah hadits muttawatir ada hadits mustafidh atau hadits masyhur, dan ada lagi hadits yang
dibawahnya masyhur, hadits  masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh  tiga orang atau lebih
dari generasi pertama hingga generasi selanjutnya dan dapat dijadikan argumen dalam
menetapkan akidah.
3.    Ijma’ ulama
Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran ahlul haqq dapat dijadikan argument dalam menentukan
aqidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat allah itu qaddim
(tidak ada pemulaanya) adalah ijma’ ulama yang qath’i.
4.    Akal
Dalam ayat-ayat al-qur’an allah SWT telah mendorong hamba-hambanya agar merenungkan
semua yang ada di alam jagad raya ini, agar dapat mengantar pada kenyakinan tentang
kemahakuasaan allah, menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat
membuktikan kebenaran syara’, bukan sebagai dasar dalam menetapkan aqidah-aqidah dalam
agama. Meski demikian hasil penalaran akal yang sehat tidak akan keluar dan bertentangan
dengan ajaran yang dibawa oleh syara’.

2.    SEJARAH KEMUNCULAN ASWAJA(FAKTOR RELIGIUS, SOSIAL DAN POLITIK),


Ketika nabi wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang mereka jalani, kecuali
orang-orang munafik yang luarnya menyatakan islam, sedangkan hatinya menyembunyikan
kemunafikan. Klasifikasi social yang ada pada saat itu terdiri dari tiga golongan, orang muslim,
orang kafirdan orang munafik. Namun begitu nabi wafat, perselisihan dikalangan mereka segera
terjadi tentang seorang pemimpin yang akan menjadi pengganti nabi. Kau manshar
menginginkan kepemimpinan berada ditangan pemimpin mereka yaitusa’ad bin ubadah.
Sedangkan kaum muhajirin menghendaki kepemimpinan berada di tangan abu  bakar. Mereka
pada kesepakatan untuk memilih abu bakar al shiddiq sebagai khalifah.
Setelah abu bakar al-shiddiq wafat, khalifah berpindah ketangan umar bin al khaththab, sahabat
nabi terbaik setelah abu bakar.Pada masa pemerintaha numar, islam semakin kuat dan negri
muslim semakin luas berkat proses penyebaran islam yang berjalan dengan efektif dengan
ditaklukanya negeri Persia dan romawi, dua Negara terbesar didunia pada saat itu dan kemudian
ditaklukanya negeri-negeri di sekitarnya kebawah naungan daulah islamiah dalam proses sejarah
yang dikenal dengan istilah al-futuhat al-islamiyyah (penaklukan-penaklukan islam), hingga
akhirnya khalifah umar menemui ajalnya setelah ditikam oleh seorang budak Persia, yaitua
bulu’lu’ah al-majusi.
Setelah umar wafat, khalifah berpindah ketangan utsman bin affan,  menantu nabi Muhammad
SAW yang menyandang gelar Dzunnurain (pemilik dua cahaya) yaitu satu-satunya orang yang
mempunyai dua seorang putrid soeorang  nabi, rukiayah dan umu kultsum. Dari jalur nasab,
ustman masih termasuk keponakan rasullah, melalui jalur ibunya, Arwah binti Kuraiz yang
masih sepupu rasullallah.Disamping itu uztman juga sahabat rasullallah terbaik setelah wafatnya
ummar.
Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan utsman, gejolak politik seputar kebijakan-kebijakan
ustman mulai muncul kepermukaan dan menjadi sasaran kritik sebagian masyarakat ustman dari
jabatanya melalui gerakan yang dibungkus dalam kemasan amarma’ruf dan nahimunkar
sehingga hal tersebut berakhir dengan terbunuhnya ustman dikaum pembrontak. Kemudian
khalifah berpindah ketangan ali bin abi thalib menantu dan sepupu rasullallah serta sahabat
terbaik setelah wafatnya ustman. Namun beragam kekacauan yang terjadi pada masa ustman
sangat berpengaruh terhadap pemerintahan ali bin abi thalib.
Lahirnya nama ahli sunnah waljama’ah, sebagian kalangan berasumsi bahwa nama aswaja
muncul pada masa imam madzhab yang empat, ada pula yang berasumsi, muncul pada masa al
imam dan al mathuridi. Dan ada pula yang berasumsi muncul pada sekitar abad ketujuh
hijriyah.Tentu saja asumsi itu keliru dan tidak memiliki landasan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan maka pada periode akhir generasi sahabat rasullallah istilah aswaja
mulai diperbincangkan sebagai nama bagi kaum mulimin yang masih setia kepada ajaran islam
yang murni dan tidak terpengaruh pada ajaran-ajaran baru.
Pada beberapa ulama salah mengatakan bahwa aswaja adalah mereka yang hanya memiliki
hubungan dengan sunnah nabi rasullallah kita tidak akan mampu memastikan sejak kapan titik
permulaan aswaja itu kecuali apabila kita mengakatan permulaan ajaranya adalah titik permulaan
ajaran islam itu sendiri,
Disisi lain istilah aswaja memiliki dua sasaran obyek yang berbeda
1.      Aswaja dalam kontek yang bersifat umum yaitu menjadi nama bagi mereka yang bukan
pengikut aliransi’ah seperti aliran Mu’tazilah, Murjiah, Karramiyah, Wahhabi dan lai-lain.
2.      Aswaja dalam Konteks yang bersifat khusus yaitu menjadi nama bagi mereka yang mengikuti
ajaran rasullallah dan sahabat secara penuh seperti, Mu’tazilah, Murjiah, Karramiyah,
Wahhabi,Si’ah dan lain-lain

3.    PERBEDAAN ASWAJA DAN KELOMPOK LAIN DI BIDANG AQIDAH, FIQH DAN


POLITIK
Ikhtisar Perbedaan Ajaran Antar Kelompok
·      Dalam bidang teologi (Aqidah)
ASPEK ASWAJA SYI’AH KHAWARIJ
Rukun 1.   Syahadat 1.    Shalat Lebih pada gerakan
Islam 2.   Shalat 2.    Puasa politik
3.   Puasa 3.    Zakat
4.   Zakat 4.    Haji
5.   Haji 5.    Wilajah
Rukun Iman kepada : 1.    Tauhid Lebih pada gerakan
Iman 1.   Allah 2.    Nubuwwah politik
2.   Para malaikat3.    Imamah
allah 4.    Al-‘Ald
3.   Kitab-kitap allah 5.    Al-Ma’ad
4.   Para rosul allah
5.   Hari akhir
6.   Qadha’ dan qadar
Keberadaa Meyakini bahwa Meyakini bahwa al- Meyakini khalq al-
n al-Qur’an al-qur’an tetap qur’an tidak orisinil qur’an (penciptaan
orisinal. dan sudah diubah al-quran), karena
oleh para sahabat itu al-qur’an tidak
(dikurangi dan suci.
ditambah)
Surga dan Surga Surga diperuntukkan Setiap orang dari
neraka diperuntukkan bagi bagi orang-orang umat nabi
orang-orang yang yang cinta kepada muhammad yang
taat kepada allah imam ali. Neraka telah melakukan
dan rosul-nya. diperuntukkan bagi dosa dikategorikan
Neraka orang-orang yang sebagai orang kafir
diperuntukkan bagi memusuhi imam ali. dan ia akan kekal
orang-orang yang di dalam neraka
tidak taat kepada
allah dan rosul
Nya
Rujukan Rujukan hadistnya Rujukan haditsnya  Hanya mengambil
hadits adalah al-kutub al- adalah Al-kutub al- hadits-hadits yang
sittah. arba’ah yaitu (1) al diriwayatkan oleh
1.   Shahih bukhari kafi,(2) al-istibshar, para pemimpin
2.   Shahih muslim (3) man la mereka
3.   Sunan abu dawud yahdhuruhu al faqih,
4.   Sunan turmudzi (4) at-tahdzib
5.   Sunan ibnu majah
6.   Sunan al-nasa’i

Dalam bidng hukum (fiqh)


ASPEK ASWAJA SYI’AH KHAWARIJ
Mashadir al- Al-qur’an dan
1.      al-qur’an dan sunnah meyakini hukum
tasyri’ sunnah nabi.
2.      sima(pendengaran)dari hanya milik allah (la
Sebagian rasulullah hukma illa lilah),
menambah al-
3.      kitab ali,disebut al- karena itu
ijma (konsensus jami ah menghukumi
ulama) dan al- 4.      al-isy-raqat al- sesuatu dengan
qiyas (analogi ilahiyah. selain hukum allah
hukum) menurut mereka
adalah kufur.
Ijtihad Potensi ijtihad Potensi ijtihad terbuka
1.      potensi ijtihad
terbuka dalam dalam ranah selain terbuka, namun
ranah yang imamah. kesalahan dalam
belum dijelaskan ijtihad dapat
oleh nash al- menjadikan
qur’an dan seseorang kafir
sunnah 2.      hammasah dan
hanya berpegang
teguh pada zhahir
lafal atau teks dalil.
Rujukan fikih Mengambil fikih Mengambil fikih dari Terutama sekte
dari imam pada imam syi’ah ibadhiyah, memiliki
madzhab empat ulama dan kitab-
yaitu abu hanafi, kitab fikih yang
malik, syafi’i, diambil para imam
dan ahmad bin mereka.
hanbal

Dalam Bidang Politik


ASPEK ASWAJA SYI’AH KHAWARIJ
Khulafa’ur Khulafaur Ketiga khalifah -menyatakan keluar
Rasyidin rasyidin yang (abu bakar, umar, dari kepemimpinan
diakui (sah) usman) tidak diakui ali bin abi thalib
adalah oleh syiah (keculi (yang sudah
1.      Abu bakar oleh syiah disahkan oleh ahl
2.      Umar zaidiyyah). Karena hal wa al-‘aqd dan
3.      Usman dianggap telah
telah dibaiat rakyat)
4.      Ali merampas setelah terjadinya
kekhalifahan ali bin
peristiwa takim
abi thalib -mengkafirkan ali,
usman,
mu’awiyah,orang-
orang yang terlibat
dalam perang jamal,
dua pihak yang
menyepakati
perjanjian tahkim,
serta orang-orang
yang mendukung
kedua pihak tersebut
Imamah Pemimpin atau Kepemimpinan Memiliki pemimpin
imam tidak terbatas pada 12 sendiri.
terbatas pada dua imam, dan percaya
belas imam, kepada 12 imam
sehingga percaya termasuk rukun
kepada imam- iman.
imam itu tidak
termasuk rukun
iman.
Ishmah Khalifah atau Para imam yang Pemimpin dapat
imam tidak jumlahnya 12 berbuat salah,
ma’shum, artinya tersebut bahkan kafir. Maka
mereka dapat mempunyai sifat bila pemimpin itu
berbuat salah atau maa’shum seperti kafir maka rakyat
dosa atau lupa. para nabi ikut kafir, karena itu
wajib keluar dari
kepemimpinan iman
yang mereka nilai
telah kafir
Cara pemimpin (imam) Pemimpin telah Khalifah harus
pengangkatan diangkat melalui ditntukan oleh dipilih melalui
pemimpin kesepakatan ahl Allah (nas ilahy) pemilihan yang
hal wa al-aqdi bukan pilihan bebas dan bersih,
atau orang yang rakyat. dilakukan oleh
mengangkat mayoritas kum
dirrinya sendiri muslimin, bukan
( dalam kondisi hanya sebagai
darurat) kemudian golongan dan
diaa dibaiat oleh kepemilihan
ahl haal wa al- khalifah terus sah
aqdi dan rakyat selama ia
menegakkan
keadilan dan syariat,
jauh dari kesalahan
dan kezaliman. Jika
ia berkhianat, wajib
dipecat atau
dibunuh.
Hukum Kpemimpinan Kepemimpinan Kelompok  khoarij
pengangkatan hukumnya wajib hukunya wajib bernama najdat
imam karena dalil-dalil berdasarkan nash berpendapat,
syariat. ilahy pengangkatan iman
(persamaan wajib karena
dengan khoarij : maslahat dan
harus ada kebutuhan, bukan
pemimpin untuk wajib karena dalil
mengelola dan syariat
mengamankan
negara. Menurut
khoarij, karena
maslahat).
Syarat  Pemimpin harus Pemimpin harus Kholifah tidak harus
pemimpin memenuhi empat berasal dari ahlul dari suku qurasy
syarat yaitu: bait juga tidak harus dari
1.    Berasal dari bangsa arab. Mereka
suku quarisy mengangkat
(pada tahap Abdullah bin Wahab
berikutnya terjadi al-Rasi (bukan dari
perbedaan quraisy) sebagai
pendapat dalam kholifah dan
hal ini) menyebutnya amir
2.    Baiat al-mukminin.
3.    Syura
4.    Adil

4.    PANDANGAN ASWAJA TERHADAP HUBUNGAN SYARA DENGAN AKAL, ILMU


KALAM DAN FILSAFAT
a.      Hubungan Syara dan Akal
Problem Hubungan Syara dan Akal ini menyita perhatian dan perdebatan panjang baikdari
kalangan intelektual Muslim bahkan kalangan intelektual yunaani dan kristen pada abad
pertengahan di Eropa. Dikalangan kaum teolog muslimin yang berupaya mengkaji akidah-akidah
islam ada tiga yaitu:
1.      Aliran mu’tazilah yang berpandangan bahwa akal didahulukan daripada syara.
2.      Aliran hasyawiyah, zhahiriyah dan semacamnya yang hanya mengakui dominasi syara dan
tidak memberikan peran terhadap berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dibwa dengan syara.
3.      Aliran aswaja mengambil sikap moderat (tawassuth) dan seimbang tawazun, tidak melepaskan
peran akal dari syara sebagaimana halnya.
b.      Ilmu Kalam dan Filsafat
Ilmu kalam dianggap negatif oleh kalangan agamawan karena identik dengan ilmu filsafat
yunani.
Perbedaan ilmu kalam dengan ilmu filsafat meliputi metodologi (manhaj) :
1.      Dari segi metodologi, ilmu filsafat menjadikan akal sebagai pokok bagi keyakinan tanpa
mempertimbangkan prinsip-prinsip yang dibawa oleh para nabi. Demikian ini berbeda dengan
ilmu kalam yang membicarakan hal-hal dalam konteks akal sebagai satu-satunya perangkat
untuk membuktikan kebenaran ajaran yang datang dari Allah dan ajaran yang dibawa oleh para
Nabi.
2.      Dari segi objek (maudhu’). Dalam pandangaan ahli kalam, ajaran-ajaran yang diterima dari
syariah itu dianggap menjadi titik permulaan kajiannya. Hal ini berbeda dengan para filosof,
karenaa dalam asumsi mereka kebenaaran itu masih misterius dan belum diketahui secara pasti
ketika kejadian mereka mulai.
3.      Dari segi tujuan, seorang ahli ilmu kalam memiliki tujuan yang kongkret yaitu bertujuan
memperkokoh dan memperkuat akidah yang menjadi keyakinan dalam agama.  

5.    MENGENAL TOKOH-TOKOH ASWAJA


Sebelumnya perlu kita pahami, bahwa ahlussunnah wal jama’ah dalam realita sekarang, dalam
bidang fiqih mengikuti salah satu madzhab yang empat.
Dalam bidang fiqih dan amaliah, Ahlussunnah wal jama’ah mengikuti pola bermadzhab dengan
mengikuti salah satu madzhab fiqh yang dideklarasikan oleh para ulama yang mencapai
tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqh yang sempat eksis dan diikuti oleh kaum
Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah ialah madzhab Hanafi. Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab
Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, ibn Jarir, Dawud al-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i,
Abu Tsaur dan lain-lain. Namun kemudian dalam perjalanan panjang sejarah Islam, sebagian
besar madzhab-madzhab tersebut tersisih dalam kompetisi sejarah dan kehilangan pengikut,
kecuali empat madzhab yang tetap eksis dan berkembang hingga dewasa ini. Pengikut empat
madzhab tersebut, diakui sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Berkaitan dengan hal tersebut, disini perlu dikemukakan sebuah pertanyaan, dimanakah letak
posisi madzhab al-Asy’ari di kalangan pengikut madzhab fiqh yang empat? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, marilah kita ikuti penjelasan berikut ini secara rinci tentang posisi madzhab
al-Asy’ari di kalangan pengikut madzhab fiqh yang empat.
1.      Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi ini didirikan oleh al-Imam abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit al-Kufi (80 –
150 H / 699-767 M). Pada mulanya madzhab Hanafi ini diikuti oleh kaum Muslimin yang tinggal
di Irak, daerah tempat kelahiran abu Hanifah, pendirinya. Namun kemudian, setelah Abu Yusuf
menjabat sebagai hakim agung pada masa Daulah Abbasiyyah, madzhab Hanafi menjadi
populer di negeri-negeri Persia, Mesir, Syam dan Maroko. Dewasa ini, madzhab Hanafi diikuti
oleh kaum Muslimin di Negara-negara Asia Tengah, yang dalam referensi klasik dikenal dengan
negeri seberang Sungai Jihun (sungai Amu Daria dan Sir Daria), Negara Pakistan, Afghanistan,
India, Bangladesh, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi.
Sedangkan ideologi madzhab al-Maturidi sama dengan ideologi madzha al-Asy’ari. Antara
keduanya memang terjadi perbedaan dalam beberapa masalah, tetapi perbedaan tersebut hanya
bersifat verbalistik (lafzhi), tidak bersifat prinsip dan substantif (haqiqi dan ma’nawi). Oleh
karena itu dapatlah dikatakan bahwa pengikut madzhab al-Maturidi adalah pengikut madzhab al-
Asy’ari juga. Demikian pula sebaliknya, pengikut madzhab al-Asy’ari adalah pengikut madzhab
al-Maturidi juga. Dalam hal tersebut al-Imam Tajuddin as-Subki mengatakan, “Mayoritas
pengikut Hanafi adalah pengikut madzhab al-Asy’ari, kecuali sebagian kecil yang mengikuti
Mu’tazilah.”
2.      Madzhab Maliki
Madzhab Maliki ini dinisbahkan kepada pendirinya, al-Imam Malik bin Anas al-Ashbahi
(93-179 H/712-795 M). Madzhab ini diikuti oleh mayoritas kaum muslimin di Negara-negara
Afrika, seperti Libya, Tunisia, Maroko, Aljazair, Sudan, Mesir, dan lain-lain. Dalam bidang
teologi, seluruh pengikut madzhab Maliki mengikuti madzhab al-Asy’ari tanpa terkecuali.
Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin as-Subki, belum ditemukan di kalangan pengikut
madzhab Maliki, seorang yang mengikuti selain madzhab al-Asy’ari.
3.      Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
(150-204 H/767-820 M). Madzhab Syafi’i ini diakui sebagai madzhab fiqh terbesar jumlah
pengikutnya di seluruh dunia. Tidak ada madzhab fiqh yang memiliki jumlah beitu besar seperti
madzhab Syafi’i, yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin Asia Tenggara seperti Indonesia,
Malaysia. Filipina, Singapura, Thailand, India bagian Selatan seperti daerah Kirala dan Kalkutta,
mayoritas Negara-negara Syam seperti Syiria, Yordania, Lebanon, Palestina, sebagian besar
penduduk Kurdistan, Kaum Sunni di Iran, mayoritas penduduk Mesir dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti madzhab al-Asy’ari
sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin as-Subki, kecuali beberapa gelintir tokoh yang
mengikuti faham Mujassimah dan Mu’tazilah.
4.      Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal al-Syaibani (164-241 H/780-855 M). Madzhab Hanali ini adalah madzhab yang paling
sedikit jumlah pengikutnya, karena tersebarnya madzhab ini berjalan setelah madzhab-madzhab
lain tersosialisasi dan mengakar di tengah masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas
penduduk Najd, sebagian kecil penduduk Syam dan Mesir. Dalam bidang ideologi, mayoritas
ulama Hanbali  yang utama (fudhala’), pada abad pertengahan dan sebelumnya, mengikuti
madzhab al-Asy’ari. Di antara tokoh-tokoh madzhab Hanbali yang mengikuti madzhab al-
Asy’ari ialah al-Imam ibn Sam’un al-Wa’izh, Abu Khaththab al-Kalwadzani, Abu al-Wafa bin
‘Aqil, al-Hafizh ibn al-Jawzi dan lain-lain. Namun kemudian sejak abad pertengahan terjadi
kesenjangan hubungan antara pengikut madzhab al-Asy’ari dengan pengikut madzhab Hanbali.
Berdasarkan penelitian al-Hafizh ibn Asakir al-Dimasyqi, pada awal-awal metamorfosa
berdirinya madzhab al-Asy’ari, para ulama Hanbali bergandengan tangan dengan para ulama al-
Asy’ari dalam menghadapi kelompok-kelompok ahli id’ah seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij,
Murji’ah dan lain-lain. Ulama Hanbali dalam melawan argumentasi kelompok-kelompok ahli
bid’ah, biasanya menggunakan senjata argumentasi ulama al-Asy’ari. Dalam bidang teologi dan
ushul fiqh, para ulama Hanbali memang belajar kepada ulama madzhab al-Asy’ari. Hingga
akhirnya terjadi perselisihan antara madzhab al-Asy’ari dan madzhab Hanbali pada masa al-
Imam Abu Nashr al-Qusyairi dan pemerintahan Perdana Menteri Nizham al-Mulk. Sejak saat itu,
mulai terpolarisasi kebencian antara pengikut madzhab al-Asy’ari dan madzhab Hanbali.

DOKTRIN AQIDAH, FIQIH DAN TASAWUF

AHLUSSUNAH WAL JAMAAH

1. LATAR BELAKANG

Aliran Ahlussunah Wal Jamaah merupakan aliran yang dijanjikan Rasulullah akan
masuk kedalam surga. Berdasarkan hadist Nabi:

‫عبــد هللا بن‬ ‫عن‬ ‫عبــد الــرحمن بن زيــاد األفــريقي‬ ‫عن‬ ‫ســفيان الثــوري‬ ‫عن‬ ‫أبــو داود الحفــري‬ ‫حــدثنا‬ ‫محمــود بن غيالن‬ ‫حــدثنا‬
‫حــذو النعــل‬ ‫بــني إســرائيل‬ ‫ليـأتين على أمــتي مـا أتى على‬ ‫قـال رسـول هللا صــلى هللا عليــه وســلم‬ ‫قال‬ ‫عبد هللا بن عمرو‬ ‫عن‬ ‫يزيد‬
‫تفـرقت على ثنـتين وسـبعين ملـة‬ ‫بـني إسـرائيل‬ ‫حتى إن كان منهم من أتى أمه عالنية لكان في أمـتي من يصـنع ذلـك وإن‬ ‫بالنعل‬
‫قــال أبــو‬ ‫وتفترق أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول هللا قال ما أنا عليه وأصحابي‬
]1[‫عيسى هذا حديث حسن غريب مفسر ال نعرفه مثل هذا إال من هذا الوجه‬

“Mahmud bin Ghoilan menceritakan kepada kami, Abu Dawud Al-Chaqari menceritakan
kaepada kami, dari Sufyan Al-Tsauriy dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy dari
Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Umar, Ia berkata “Rasulullah SAW. Bersabda
“Niscaya akan datang kepada ummatku suatu perbuatan yang dilakukan juga kaum
Israil, nyaris laksana langkah sepasang sandal, sehingga jika salah seorang kaum Israil
berzina dengan ibunya dengan terang-terangan maka hal itu juga akan terjadi di
ummatku. Sesungguhnya kaum Israil akan bercerai-berai menjadi 72 aliran, dan
ummatku pecah menjadi 73 aliran, semua masuk neraka kecuali satu,” Sahabat
bertanya “Siapa yang satu itu wahai Rasulullah?” Beliau menajwab “ialah mereka yang
berpegang teguh pada aqidah yang sama dengan aku dan sahabatku” (HR. Tirmidzi,
No 2641)

Dalam masalah Aqidah Menurut Abdul Qahir termasuk dalam tujuh puluh tiga golongan
tersebut yaitu Rowafidl terbagi menjadi dua puluh, Khawarij terbagi menjadi dua puluh,
Qadariyah terbagi menjadi dua puluh[2], Murji’ah terbagi menjadi dua puluh, Najariyah
terbagi menjadi tiga, Bakriyah, Dlororiyah, Jahmiyah, Karamiyah, Dan yang terakhir
yaitu Ahlussunah Wal Jamaah[3].

Mengacu hadist diatas, setiap golongan dalam Islam mengaku bahwa aliran/ajaran
merekalah yang disebut Nabi sebagai golongan yang akan masuk surga, atau yang
biasa dikenal sebagai Ahlussunah Wal Jamaah. Akan tetapi Aqidah maupun Syari’ah
mereka berbeda-beda, dan yang benar hanyalah satu.

Berdasarkan Muktamar Internasional Ulama Islam, untuk memperingati haul al-Syahid


Presiden Syaikh Ahmad Haji Kadyrov dengan tema: “Siapakah Ahlussunnah Wal
Jamaah? Penjelasan Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah; Akidah, Fikih dan Akhlak serta
Dampak Penyimpangan darinya di Tataran Realitas.” Pada malam Kamis 21
Dzulqa’dah 1437 H  (25 Agustus dua puluh16. Memutuskan bahwa Ahlussunnah Wal
Jamaah adalah Asyairah dan Maturidiyah dalam akidah, empat mazhab Hanafi, Maliki,
Syafii dan Hambali dalam fikih, serta ahli tasawuf yang murni –ilmu dan akhlak—sesuai
manhaj Imam Junaeid dan para ulama yang meniti jalannya. Itu adalah manhaj yang
menghargai seluruh ilmu yang berkhidmah kepada wahyu (Al-Quran dan Sunnah), dan
telah benar-benar menyingkap tentang ajaran-ajaran agama ini dan tujuan-tujuannya
dalam menjaga jiwa dan akal, menjaga agama dari distorsi dan permainan tangan-
tangan jahil, menjaga harta dan kehormatan manusia, serta menjaga akhlak yang
mulia.[4]

Dari keputusan tersebut bisa diambil pengertian bahwa golongan Ahlussunah Wal
Jamaah yaitu golongan yang dalam teologi(Aqidah) mengikuti faham As’ariyah atau
Maturidliyah, dalam bidang Fiqh Mengikuti salah satu dari Madzahibul Arbaah yaitu
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iah dan Hanabalah. Sedangkan dalam bidang tasawuf
mengikuti Imam Junaidi, atau yang sepaham dengan beliau, yang masyhur yaitu
mengikuti Imam Al-Ghazali.

1. AQIDAH AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH

Aqidah (‫عقيدة‬, keyakinan[5]) dalam Islam bisa dikelompokan menjadi 6 pembahasan,


yaitu : tentang Ketuhanan, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir dan Qada’
qadar[6]. Hal ini berdasarkan dengan Hadist Nabi :
 ‫قــال رســول هللا صــلى هللا‬ ‫قــال‬ ‫أبي هريــرة‬ ‫عن‬ ‫أبي زرعة‬ ‫عن‬ ‫عمارة وهو ابن القعقاع‬ ‫عن‬ ‫جرير‬ ‫حدثنا‬ ‫زهير بن حرب‬ ‫حدثني‬
‫ال تشـرك باهلل شـيئا وتقيم‬ ‫عليه وسلم سلوني فهابوه أن يسألوه فجاء رجل فجلس عند ركبتيه فقـال يـا رسـول هللا مـا اإلسـالم قـال‬
‫قال صدقت قال يا رسول هللا ما اإليمان قال أن تؤمن باهلل ومالئكته وكتابه ولقائه ورســله‬ ‫الصالة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان‬
‫وتؤمن بالبعث وتؤمن بالقدر كله قال صدقت قال يا رسول هللا ما اإلحسان قال أن تخشى هللا كأنك تراه فإنك إن ال تكن تراه فإنــه‬
‫يراك قال صدقت‬

“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada


kami Jarir dari Umarah -yaitu Ibnu al-Qa’qa’- dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah dia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalian bertanyalah
kepadaku’. Namun mereka takut dan segan untuk bertanya kepada beliau. Maka
seorang laki-laki datang lalu duduk di hadapan kedua lutut beliau, laki-laki itu bertanya,
‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan
berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai
Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman
kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman
kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai
Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.’ Dia berkata, ‘Kamu benar’.”[7](HR. Muslim)

Jadi pembahasan aqidah (teologi) meliputi keyakinan mengenai Ketuhanan beserta


sifat-sifatNya, Malaikat beserta tugas-tugasnya, Kitab Suci beserta sifat kewahyuanya,
Rasul, Hari Akhir dan takdir Allah, yang baik maupun yang buruk. Qada’ qadar.

1. DOKTRIN TEOLOGI AJARAN AHLUSSUNAH WAL JAMAAH


 Ketuhanan (Tauhid)

Dalam masalah teologi ketuhanan, Ahlussunah wal Jamaah meyakini bahwa Tuhan
memiliki banyak sifat. Sifat-sifat yang wajib diketahui oleh umat islam adalah sebagai
berikut:

1. Wujud. Allah itu ada, Mustahil ia tidak ada.


2. Allah tidak berpermulaan adaNya. Mustahil bila ada yang mendahuluinya.
3. Baqa’. Allah kekal selama-lamanya. Mustahil bila Ia sirna.
4. Mukhalafatu lil hawadisi. Tuhan berbeda dengan makhlukNya. Mustahil Allah
menyerupai makhlukNya.
5. Qiyamuhu bi nafsihi. Allah berdiri sendiri. Mustahil bila Allah membutuhkan
perkara lain.
6. Allah Maha Esa. Mustahil Allah berbilangan.
7. Allah Mahakuasa. Mustahil Ia Lemah.
8. Allah Berkehendak. Mustahil bagi Allah
9. ‘Ilmu. Allah bersifat dengan ilmu(berpengetahuan). Mustahil bagiNya tidak
memiliki ilmu.
10. Allah hidup, Mustahil Ia mati.
11. Sama’. Allah mempunyai sifat mendengar. Mustahil Ia tuli.
12. Allah memiliki sifat melihat. Mustahil Allah buta.
13. Allah memiliki sifat berkata. Mustahil Ia bisu.
14. Kaunuhu Qadiran. Allah tetap dalam keadaan berkuasa. Mustahil ia dalam
keadaan lemah.
15. Kaunuhu Muridan. Allah tetap selalu dalam keadaan menghendaki. Mustahil Ia
dalam keadaan tidak menghendaki.
16. Kaunuhu ‘Aaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan mengetahui. Mustahil Ia
dalam keadaan tidak mengetahui.
17. Kaunuhu Hayyan. Allah tetap selalu keadaan hidup. Mustahil Ia dalam keadaan
mati.
18. Kaunuhu Sami’an. Allah tetap selalu dalam keadaan mendengar. Mustahil ia
dalam keadaan tuli.
19. Kaunuhu Bashiran. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat. Mustahil Ia dalam
keadaan buta.
20. Kaunuhu Mutakaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat. Mustahil Ia
bisu[8].

Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah sebagai sifat yang wajib
dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki Allah. Jumlah keseluruhan sifat diatas berjumlah
empat puluh, dan ditambah satu sifat lagi, yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh menciptakan
sesuatu dan tidak menciptakanya. Maksudnya Allah mempunyai hak preogatif atas
semua ciptaanNya. Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran
Mu’tazilah menafikan (tidak meyakini) bahwa Allah memiliki sifat-sifat Azali , mereka
mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat Qudrah, ilmu, iradah, dan hayat.[9]

 Malaikat

Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk yang tidak
bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk tersebut bernama malaikat.
Malaikat merupakan ciptaan Allah yang ditugaskan mengatur seluruh jagat raya dengan
tugas masing-masing yang diberikan tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah.
Jumlah malaikat tidak terhitung, akan tepapi malaikat yang wajib diketahui berjumlah
sepuluh, dengan tugas masing-masng.

 Jibril, bertugas mengantarkan wahyu kepada Nabi.


 Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia, seperti mengatur hujan,
angin, tanah, dan kesuburanya.
 Isrofil, Bertugas dalam persoalan akhirat, seperti meniup terompet tanda
kiyamat, dibangkitkan dari kubur, berkumpul di padang masyar dan lain
sebagainya.
 Izra’il, bertugas mencabut nyawa.
 Munkar dan Nakir, bertugas menanyai orang yang telah mati didalam kubur.
 Rakib, bertugas mencatat amal baik.
 ‘Atid, Bertugas mencatat amal buruk.
 Malik, Bertugas menjaga neraka.
 Ridwan, bertugas menjaga surga[10].

Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap umat
islam. Sedangkan malaikat-malaikat lain umat islam hanya wajib mempercayai bahwa
ada malaikat lain yang ditugaskan oleh Allah dengan tugas masing-masing, seperti
malaikat Rahmat yang bertugas membagikan belas kasih Allah kepada hambaNya.

 Kitaab Allah

Aliran aswaja meyakini bahwa Allah menurunkan mukjizat kepada sebagian NabiNya
yang berupa kitab, sebagai tuntunan hidup manusia. Kitab yang diturunkan Allah
berjumlah banyak, karena Rasul berjumlah banyak. Tetapi Kitab suci yang wajib
diketahui oleh umat islam berjumalah empat:

 Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa As.


 Zabur, diturunkan kepada Nabi Daud As.
 Injil, diturunkan kepada Nabi Isa As.
 Al-Quran, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[11]

Itulah keempat kitab yang wajib diketahui oleh umat islam. Sedangkan kitab yang lain,
seperti shuhuf  Nabi Ibrahim As. Umat islam tidak wajib mengetahui secara terperinci.

 Nabi Dan Rasul

Dalam menyampaikan syari’at kepada hambanya, Allah memilih sebagian manusia


untuk mengabarkan dan mengajak manusia agar melaksanakan syari’at yang
dibawanya, orang tersebutlah yang dinamakan Rasul(Utusan Allah). Sedangkan yang
hanya mendapatkan wahyu tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan syariat
tersebut kepada manusia disebut nabi. Jumlah Nabi banyak, dan yang termasuk rasul
berjumlah tiga ratus tida belas[12]. Akan tetapi yang wajib diketahui oleh
orang mukallaf[13] berjumlah dua puluh lima, yakni: 1) Adam. 2) Idris 3) Nuh 4) Hud 5)
Sholih 6) Ibrahim 7) Luth 8) Ismail 9) Ishaq 10) Ya’qub 11) Yusuf 12) Ayub 13) Syu’aib
14) Musa 15) Harun 16) Zulkifli 17) Daid 18) Sulaiman 19) Ilyas 20) Ilyasa’ 21) Yunus
22) Zakariya 23) Yahya 24) Isa 25) Muhammad ‘alaihim al-salam. [14]

Rasul juga memiliki beberapa sifat yang wajib diyakini kebenaranya. Rasul memiliki
empat sifat wajib dan empat sifat mustahil(tidak mungkin dimiliki), yaitu :

 Sidq (Benar), mustahil ia pendusta.


 Amanah (Dipercaya), mustahil ia khianat.
 Tabligh (Menyampaikan), mustahil ia menyembunyikan.
 Fathanah (pintar), mustahil ia dungu.
Rasul juga memiliki sifat jaiz , yaitu Rasul juga memiliki sifat-sifat manusia yang tidak
merendahkan drajat Rasul, seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya.[15]

Keseluruhan Dari sifat wajib yang dimiliki Allah, yang mustahil dimiliki Allah, jaiz, sifat
wajib Rasul, sifat mustahil Rasul dan sifat jaiz Rasul berjumlah lima puluh sifat, yang
biasa disebut dengan ‘aqoid seket (lima puluh aqidah).

 Hari Kiamat

Umat Islam wajib meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia ada kehidupan lain, yaitu
kehidupan akhirat. Dimana semua manusia dihidupkan kembali dan  dimintai
pertanggung jawaban atas semua perbuatanya di dunia, kemudian menerima
balasanya, berupa surga dan neraka. Aswaja juga meyakini bahwa kenikmatan surga
bersifat kekal, begitu juga siksa neraka bagi orang yang menyekutukan Allah[16].
Berbeda dengan pendapat Aliran ‘Amraiyah yang termasuk pecahan dari golongan
mu’tazilah yang berpendapat bahwa semua ciptaan Allah akan sirna, termasuk
kenikmatan surga dan neraka[17]. Namun sebelum berlangsungnya kehidupan akhirat
aliran Aswaja meyakini bahwa akan terjadi yaum al-akhir (hari akhir)[18], atau yang
biasa disebut dengan hari kiamat.

Jadi pada akhir kehidupan ini akan terjadi kiamat, yakni hari dimana semua manusia
akan mati, kemudian dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatan
mereka didunia dan menerima balasanya.

 Qadha’ Dan Qadar

Qodha menurut faham Aswaja adalah ketetapan Tuhan pada zaman azali tentang


sesuatu[19]. Sedangkan realisasi dari qadha’  tersebut dinamakan qadar. Jadi bisa
diambil kesimpulan bahwa yang dinamakan Qadha ialah rencana Allah yang telah
ditetapkan terhadap sesuatu sebelum menciptakanya, sedangkan Qadar ialah
pelaksanaan dari ketetapan tersebut. Contoh: Allah menetapkan Fulan dilahirkan di
Indonesia sebelum Allah menciptakanya, inilah yang dinamakan Qadha. Kemudian
Fulan dilahirkan di Indonesia, inilah yang dinamakan Qadar.

Aliran Aswaja meyakini bahwa semua yang terjadi pada makhluk, baik berupa keadaan
maupun perbuatan tidak lepas dari Qadha Dan Qadar Allah. Berbeda halnya dengan
pendapat mayoritas Aliran Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa Allah tidak
menciptakan perbuatan manusia, semua yang dilakukan manusia adalah kehendak
mereka sendiri, bahkan Allah tidak mampu merubahnya.  Bahkan mereka berpendapat
bahwa Allah tidak mampu menetapkan sesuatu yang telah menjadi hak manusia[20].

2. MADZHAB AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH DALAM BIDANG AQIDAH

Dalam bidang teologi aliran Aswaja menganut dua madzhab, yakni Madzhab Asyariyah
dan Maturidliyah. Munculnya Asyariyah dan Maturidliyah merupakan upaya
pendamaian antara aliran Jabariyah yang fatalistik dan Qadariyah yang mengagungka
manusia sebagai penentu seluruh kehidupan[21]. Kedua madzhab ini menerapkan
sikap tawasuth (moderat) dalam beraqidah, sikap ini sangat diperlukan untuk
merealisasikan kebijaksanaan dalam Islam. Berikut penjelasan
kedua madzhab tersebut.

1. AL-ASYARIYAH

Madzhab Asyariyah adalah madzhab  teologis yang dinisbatkan terhadap pendirinya,


Al-Imam Abu Hasan Al-Asyari. Madzhab ini diikuti mayoritas kaum Ahlussunah Wal
Jamaah[22]. Madzhab ini lahir pada masa perkembangan pengetahuan Islam, dimana
kebebasan berpikir sangat terbuka ketika itu.IOGRAFI IMAM ABU HASAN AL-AS’ARIY

Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Bin Ismail bin Abi Bisyr bin Salim bin Ismail bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asyari. Nama al-
Asyari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qahthan
yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman[23]. Negri Yaman yang
memiliki peradaban yang relatif lebih maju pada masa awal-awal Islam, melebihi daerah
lain di semenanjung Arabia, memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan kultur
dan karakter penduduk Yaman, yang mudah mematuhi dan menerima kebenaran,
menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan selalu berpikir positif terhadap
keadaan yang dihadapi[24]. Ia lahir di Basrah pada tahun 260 H/873 M, setelah berusia
lebih dari 40 tahun ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935
M[25].

Al-Asyari mengikuti aliran Mu’tazilah hingga berusia 40 Tahun. Namun kemudian


setelah sekian lama menjadi tokoh Mu’tazilah dan tidak jarang mewakili gurunya Ali al-
Jubba’i dalam forum-forum perdebatan, akhirnya ia keluar dari Aliran Mu’tazilah dan
kembali pada aliran Aswaja. Ia mengumumkan di hadapan jamaah Masjid Bashrah
bahwa dirinya telah meninggalkan Mu’tazilah dan akan menunjukan keburukan-
keburukanya[26].

Alasan al-Asyari meninggalkan mu’tazilah diantaranya :

1. Ketidakpuasan al-Asyari terhadap ideologi Mu’tazilah yang selalu mendahulukan


akal tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan
argumentasi yang sama[27].
2. Rasulullah sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, 20 dan 30 bulan
Ramadan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah memperingatkan agar segera
meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah
diriwayatkan dari beliau.[28]

POKOK AJARAN IMAM ABU HASAN AL-AS’ARIY


Faham Asyariyah merupakan jalan tengah diantara kelompok-kelompok yang
berkembang pada masa itu. Yaitu faham Jabariyah dan Qadariyah, keduanya saling
bersebrangan. Berikut beberapa pokok pemikiran al-Asyari:

 Tuhan dan sifatNya. Al-Asyari dihadapkan pada dua pandangan yang extrem,
yakni sifatiyah (Pemberi sifat[29]), mujasimiyah (antropomosif[30]), dan
kelompok musyabihin (penyamaan).[31] Disisi lain ia berhadapan dengan
Mu’tazilah yang tidak mempercayai sifat Allah[32]. Al-Asyari berpendapat bahwa
Allah memiliki sifat, tetapi sifat-sifat allah tidak seperti makhluknya. Sedangkan
sifat yang disebutkan dalam alQuran hanya sebagai simbolis. Seperti
makna yadullah secara harfiyah bermakna tangan Allah, akan tetapi yang
dimaksud kata tersebut yaitu kekuasaan Allah, kata tangan sebagai simbol dari
kuasa Allah.

 Kebebasan dalam berkehendak. Al-Asyari berpendapat bahwa Allah adalah


Sang Pencipta perbuatan manusia adalah yang mengupayakanya[33].
Menurutnya perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, akan tetapi manusia
memiliki peranan dalam perbuatanya[34]. Pendapat ini menegahi antara faham
Qadariyah dan Jabariyah, jadi manusia tetap dituntut untuk aktif dan kreatif
dalam bertindak. Akantetapi tetap meyakini kuasa Allah.
 Akal dan wahyu. Al-Asyari lebih mengutamakan wahyu dari pada akal,
sementara Mu’tazilah mengutamakan akal dari pada wahyu[35]. Jadi
menurutnya wahyu adalah sumber dari Islam, tetapi ia tidak mengesampingkan
akal, karena akal juga tetap diperlukan dalam memahami wahyu tersebut.
 Al-Quran itu Qadim. Ia berpendapat bahwa al-Quran merupakan manifestasi
dari kalam Allah, yang berarti Al-Quran bukanlah makhluk, karena kalam Allah
bersifat Hal ini berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang mengatakan Al-
Quran adalah makhluk.
 Melihat Allah. Al-Asyari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak digambarkan[36].
 Al-Asyari berpendapat bahwa Allah itu adil. Akan tetapi berbeda pemahaman
dengan Mu’tazilah yang mengatakan Allah adil, Allah akan membalas perbuatan
baik dengan nikmat dan perbuatan buruk dengan siksa, akan tetapi Allah tidak
berkuasa untuk merubahnya. Menurut sebagian Mu’tazilah, yakni golongan
Nadzamiyah, Allah tidak mampu mengurangi nikmat surga dan menambah siksa
neraka, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan Allah[37]. Bagi mereka,
Allah wajib memasukan orang yang berbuat baik kedalam surga dan orang yang
buruk dalam neraka. Allah tidak mampu menetapkan selain itu.sedangkan bagi
Ahlussunah Wal Jamaah Allah memiliki hak mutlak terhadap semua cptaanya.
Menurut Aswaja seseorang yang mendapatkan siksa merupakan keadilan dari
Allah, sedangkan kenikmatan adalah Anugrah dari Allah.
 Kedudukan Orang yang berdosa. Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah (al-
manzil baina al-manzilataini).

2. AL-MATURIDLIYAH
Pendiri aliran ini adalah Abu Manshur ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi. Yang
mana nisbat dari nama beliau menjadi nama dari faham yang ia bawa. Madzhab ini
berhadapan langsung dengan berbagai faham kelompok-kelompok yang banyak.
Seperti Mu’tazilah, Mujasimiyah, Qaramithhah dan juga Jahmiyah. Juga kelompok non
muslim seperti Yahudi, Majusi dan Nasani.

 BIOGRAFI IMAM ABU MANSHUR AL-MATURIDLI

Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi dilahirkan di sebuah
kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturidi, di wilayah Transoziana di Asia
Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahiranya tidak diketahui
secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad k3-3 hijriyah. Ia wafat pada
tahun 333 H/944 M. Gurunya di bidang fiqh dan teologi adalah Nasyr bin Yahya al-
Balakhi. Al-Maturidi hidup pada masa Khalifah al-Muawakil yang memerintah pada
tahun 232-274 H[38].

 POKOK AJARAN IMAM ABU MANSHUR AL-MATURIDLI

Pada prinsipnya aqidah Maturidi memiliki keselarasan dengan konsep aqidah


Asyariyah.  Yang sedikit membedakan antara keduanya yakni bahwa Asyariyah fiqnya

menggunakan Madzhab Imam Syafi’i dan Imam Maliki, sedangkan Maturidi


menggunakan Madzhab Imam Hanafi[39].

Berikut beberapa pokok pemikiran Imam al-Maturidi dalam aqidahnya:

 Akal dan Wahyu. Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam bab
ini, pandanganya hampir sama dengan Asyari[40]. Maturidi berpendapat bahwa
suatu kesalahan jika kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql)
[41], sama juga salah apabila larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio
(akal)[42]. Jadi konsep yang diiambil oleh al-Maturidli adalah
pendamaian/penyeimbangan antara akal dan wahyu (naqli dan ‘aqli), walaupun
al-Maturidi tetap berpendapat bahwa wahyu harus diterima secara penuh, tapi
penggunaan akal sama pentingnya untuk mendalami wahyu dan kuasa Allah.
 Perbuatan Manusia. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan
Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaanNya. Dalam hal ini
al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia
dan qadrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia[43]. Jadi al-Maturidi
merumuskan bahwa manusia diberi kehendak bebas (ikhtiar) untuk memilih dan
berbuat, akan tetapi semua hal tersebut tidak lepas dari qadrat
 Sifat Allah. Kepercayaan Al-Maturidi mengenai sifat-sifat Allah sama dengan al-
Asyari, yakni Allah memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan. Tetapi
mengenai pengertian sifat menurut al-Asyari dan al-Maturidi sedikit berbeda,
menurut al-Asyari, sifat Allah adalah sesuatu yang bukan dzat, melainkan
melekat pada dzat. Sedangkan menurut al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai
esensiNya dan bukan pula lain dari esensiNya mulazamah (ada bersama) dzat
tanpa terpisah[44]. Perbedaan tersebut hanya dalam memaknai letak sifat Allah,
tapi keduanya sama-sama meyakini bahwa Allah memiliki sifat.
 Melihat Allah. Al-Maturidi juga mempercayai bahwa di akhirat nanti, seorang
hamba mampu melihat tuhanya. Namun tidak dalam sebuah bentuk atau
gambaran, karena kehidupan akhirat berbeda dengan dunia.
 Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat kalam Allah itu tidak berupa huruf, kata,
maupun suara. Berbeda dengan kalam manusia yang membutuhkan kata atau
suara. Kalam Allah ini disebut sebagai kalam nafsi. Sedangkan kalam yang
membutuhkan kata atau suara disebut kalam hadits.
 Pelaku dosa besar tidak termasuk orang kafir dan tidak kekal dalam neraka,
walaupun ia mati sebelum bertaubat[45].
 Pengutusan Rasul. Al-Maturidi berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-
tengah umatnya adalah kewajiban Allah agar manusia dapat berbuat baik dan
terbaik dalam kehidupan. Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber
informasi[46].

2. FIQH AHLUSSUNAH WAL JAMAAH

Hukum syariat islam bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah yang mana keduanya
turun beangsur-angsur berdasarkan kebutuhan masyarakat ketika itu. Ketika Rasulullah
masih hidup jika ada permasalahan agama bisa langsung diselesaikan dihadapan
Rasulullah. Setelah Rasulullah wafat, banyak terdapat permasalahan yang belum
dijelaskan secara tegas dalam al-Quran dan al-Sunnah, untuk memecahkan persoalan
tersebut perlulah dilakukan ijtihad untuk istimbath hukum. Orang yang mampu berijtihad
biasa disebut mujtahid, seorang yang mampu berijtihad secara mandiri dan mampu
mempolakan pemahaman (manhaji) tersendiriterhadap sumber pokok islam, yakni al-
Quran dan al-Sunnah disebut mujtahid muthlaq mustaqil. Pola pemahaman ajaran
islam dengan melalui ijtihad para mujtahid lazim disebut madzhab.pola pemahaman
dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak
mampu melaksanakan ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang
dimiliki. Orang yang mengikuti hasil ijtihad para mujtahid muthlaq disebut bermadzhab

atau taqlid[47]. Dengan sistem bermadzhab ini ajaran Islam dapat terus dikembangkan,
disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah oleh semua lapisan masyarakat.

Dalam bidang fiqih dan amaliyah faham Aswaja mengikutipola bermadzhab dengan
mengikuti salah satu madzhab fiqih yang di deklarasikan oleh para ulama’ yang
mencapai tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqih yang pernah eksis dan
diikuti oleh kaum muslim Aswaja ialah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Sufyan
al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ibn Jarir, Dawud al-Zahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i,
Abu Tsaur dan lain-lain[48]. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, dari sekian
banyak madzhab fiqih hanya empat yang tetap eksis digunakan oleh aliran Aswaja,
yaitu madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Alasan kenapa empat
madzhab ini yang tetap dipilih oleh Aswaja yaitu:
 Kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur.
 Keempat Imam Madzhab tersebut merupakan Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu
Imam mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola,
metode, proses dan proses istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan.
 Para Imam tersebut mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan
mengembangkan madzhabnya yang didukung dengan buku induk yang masih
terjamin keasliana.
 Keempat Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual
diantara mereka[49].

Berikut penjelasan singkat mengenai empat madzhab tersebut:

1. Hanafiyah

Madzhab Hanafi didirikan oleh al-Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit al-Kufi. 
Beliau lahir pada tahun 80 H, dan wafat pada 150 H di Baghdad. Abu Hanifah berdarah
Persia. Imam Hanifah digelari al-Imam al-A’zham (Imam Agung), Beliau menjadi tokoh
panutan di Iraq. Menganut aliran ahl al-ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya.
Diantara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Istihsan. Fiqih Abu hanifah yang
menjadi rujukan Madzhab Hanafiyah ditulis oleh dua orang murid utamanya, yitu Abu
Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani[50]. Pada mulanya
madzhab ini diikuti oleh kaum muslim yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran
Imam Abu Hnifah. Setelah muridnya, Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung pada
masa Daulah Abasiyyah, madzhab Hanafi menjadi populer di negara-negara Persia,
Mesir, Syam, dan Maroko. Dewasa ini, madzhab Hanafi diikuti oleh kaum Muslim di
negara-negara Asia Tengah, yang dalam refrensi klasik dikenal dengan negri sebrang
Sungai Jihun (Sungai Amu Daria dan Sir Daria), negara Pakistan, Afganistan, India,
Banglades, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain. Dalam bidang teologi mayoritas
pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi.[51]

2. Malikiyah

Madzhab maliki dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu al-Imam Malik bin al-Ashbahi[52].
Beliau lahir pada tahun 93 H, dan wafat pada 173 H di madinah. Imam Malik dikenal
sebagai “Imam Dar al-Hijrah”. Imam Malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal,
sehingga kitab monumentalnya yang berjudul al-Muwatha’ dinilai sebagai kitab hadits
hukum yang paling shahih sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Imam
Malik juga mempunyai manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang, Kitabnya
berjudul al-Mahlahah al-Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah[53]. Madzhab ini diikuti
mayoritas kaum Muslim di negara-negara Afrika seperti Libia, Tunisia, Maroko, Aljazair,
Sudan, Mesir dan lain-lain. Dalam bidang teologi seluruh Madzhab Maliki mengikuti
faham al-Asyari, tanpa terkecuali. Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin al-
Subki[54].

3. Syafi’iyah
Madzhab ini didirikan oleh al-Imam Abu ‘Abdillah muhammad bin Idris al-Syafi’i. Lahir
pada 150 H di Gaza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai
latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra’yi. Karena
cukup lama menjadi murid Imam Maliki dan Imam Muhammad bin Hasan (Murid besar
Imam hanafi) di Baghdad. Metodologi istinbathnya ditulis menjadi buku pertama dalam
bidang Ushul al-Fiqh yang berjudul al-Risalah. Pendapat Imam Syafi’i ada dua macam,
yang disampaikan selama di Baghdad disebut al-Qoul al-Qadim (pendapat lama), dan
yang disampaikan di mesir disebut al-qaul al-Jadid (pendapat baru)[55]. Madzhab
Syafi’i diakui sebagai madzhab fiqih terbesar jumlah pengikutnya diseluruh dunia, yang
diikuti oleh mayoritas kaum muslim Asia Tenggara, seperti Indonesia, India bagian
selatan seperti daerah Kirala dan Kalkutta, mayoritas negara syam seperti Siria,
Yordania, Lebanon, Palestina, sebagian besar penduduk Yaman, mayoritas penduduk
Kurdistan, kaum Sunni Iran, mayoritas penduduk mesir dan lain-lain. Dalam bidang
teologi mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti al-Asyari, sebagaimana yang
ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin al-Subki[56].

4. Hanabali

Imam Ahmad ibn Hambal, biasa disebut Imam Hambali, lahir pada tahun 164 H, di
Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Beliau merupakan murid
Imam Syafi’i selama di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Imam Hambali
mewariskan sebuah kitab hadist yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad
Ahmad[57]. Madzhab ini paling sedikit pengikutnya, karena tersebarnya madzhab ini
berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan mengakar di tengah
masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas penduduk Najd dan sebagian kecil
penduduk Mesir dan Syam[58]. Dalam bidang teologi mayoritas ulama’ Hambali
mengikuti aliran al-Asyari.

3. TASAWUF AHLUSSUNAH WAL JAMAAH

Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi kaumnya.
Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil posisi yang
moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.

Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti


meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang
kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam
emenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional.

Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu,
jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-
Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja
mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang
jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah
merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf
telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan
menemukan kebenaran.”[59]

Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian
juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan
oleh tabi’in, tabi’ut tabi’insampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami
sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat
dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-
an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir
yang dilakukan mereka.[60]  Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan
berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan
semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan
manusia lainnya.

Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja
An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-
kewajiban syari’at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya
“ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).[61]

Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat,


yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah sebagaimana sudah
dicontohkan al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

1. Abdl Qadir al-Jailani

Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini
termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah Sumi
merupakan keturunan Rasulullah Saw., melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika
Ibunya berkata, “Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan
Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan.”[62]

Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad.
Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain Ibnu Aqil, Abul
Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim. Beliau menimba
ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M,
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada
masyarakat. Tidak butuh waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25
tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.[63]
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah, sebuah istilah
yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus berkembang dan banyak
diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari
pergerakan Tarekat tersebut, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim
lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk
Indonesia.

2. Abu al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi

Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-
Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di kota Baghdad
tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang
pecah belah, sementar Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-
Saqathi (w.235 H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi gurunya. Al-
Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela telah mampu mengeluarkan
fatwa. Semua kalangan menerima madzhab yang dibangunnya, dan beliau disepakati
sebagai penyandang gelar “Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru
dan Pemimpin kaum sufi).

Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Saefuddin Chalim,


[64] mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan al-Junaid
menjadi satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut sehingga diakui
sebagai acuan dan standar dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.

1. Konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid terhadap al-


Qur’an dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya dalam membangun
madzhabnya di atas fondasi Islam yang kuat dan shahih. Beribadah tanpa
adanya pengetahuan yang memadai dianggap bisa membawa seseorang ke
dalam kesesatan. Oleh karenanya, al-Junaid begitu mengedepankan ilmu agama
sebagai pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.
2. konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum pernah
ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang tasawuf yang
bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang jika seorang sufi keluar
dari jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.
3. Kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di atas fondasi
akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama’ah.
4. Ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan ciri-ciri
tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa orang yang baik
bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara ia tidak
ikut berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada manusia.
Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem yang
beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifatatau
wali, maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi
baginya.
3. Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali

Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota Thus (daerah Khurasan)
tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari desa
Ghazalah, atau ada yang menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena
ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol. Masa kecil dan masa muda al-Ghazali
dipenuhi dengan belajar ilmu agama, dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru
ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi,
Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin
Abdllah al-Juwaini yang merupakan ulama terkemuka Madzhab Syafi’i.

Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar aslinya
seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis puluhan
kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran
Islam). Melalui kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman
perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam
mengembangkan paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan syariah.[65]

Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-Baghdadi,
kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat
menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan
sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal
semacam ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo.
Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat
yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh
kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan ketertundukan

Sejarah kelahiran aswaja di Indonesia tidak bisa dilepaskan sejarah kedatangan di


Indonesia. Secara histories Islam datang ke Indonesia pada abad ke tujuh. Hal ini dapat
dibuktikan dengan munculnya makam-makam di daerah barat di Nangroe Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Bani Umayah. Serta kabar dari cina mengenai
kedatangan Ta-Cheh di daerah Kalingga (Holing) pada masa pemerintahan
Szima.Kedatangan aswaja sendiri dari perspektif histories dapat dibuktikan dengan
adanya bukti-bukti sejarah yang ada, mulai adanya kabar dari Ibnu Batuta mengenai
Islam yang ada di Indonesia, nama-nama raja Samudra Pasai yang cenderung sesuai
dengan nama raja yang beraliran Syafi’i di Timur Tengah serta ditemukannya makam
Siti Fatimah binti Maimun Leran Gresik, pada abad XI ditambah pula dengan cerita dari
raja-raja / babad / tanah pada raja-raja Sunda (Banten) yang cenderung beraliran
Syafi’i.Kecenderungan aswaja yang beraliran Syafi’I, hal ini apabila perhatian lebih
kapada setting kedatangan Islam di Indonesia yang ternyata Islam dating kebanyakan
berasal dari daerah hadramaut dan yaman, bukan berasal dari Persia yang cenderung
bermadzab Hanafi.Sebagaimana dimaklumi Islam dikembangkan di Indonesia oleh para
pedagang. Sambil berdagang para mubaligh ini menyelenggarakan pesantren-
pesantren untuk membentuk kader-kader ‘ulama’-‘ulama’ yang sangat beperan dalam
pengembangan Islam pada masa berikutnya. Dan salah satu tradisi dalam proses
pengajaran agama Islam di pesantren adalah tradisi pengajaran melalui kajia-kajian
kitab-kitab klasik “Kitab Kuning”.Kandungan dari kitab-kitab di pesantren di indonesia
khususnya di Jawa adalah kitab fiqih dari madzab Syafi’I, dengan pola pengajaran kitab
fiqih madzab inilah sangat kuat pengaruhnya di Indonesia.Di Jawa berdasarkan bukti
sejarah para penyebar dan pembawa Islam khususnya daerah pesisir utara adalah para
mubaligh yang diberi gelar para wali, yang sangat popular disebut wali songo. Sesuai
dengan faham Islam yang dianutnya yaitu faham Ahlussunah Wal Jama’ah para wali
dalam misi dan dakwahnya selalu menerapkan prinsip tawasud, tasamuh, I’tidal.
Karakteristik ini tercermin dalam segala bidang baik aqidah, syari’at, akhlak, tasamuh,
dan mu’amalah diantara sesama manusia. Dengan prinsip-prinsip ini cara Islamisasi di
Indonesia ditempuh melalui cabang seni budaya seperti pertunjukan wayang gamelan
dan seni ukir. Adat istiadat dan kebiasaan yang telah berakar dalam masyarakat juga
dijadikan salah satu media dakwah. Kebiasaan sendiri dan keselamatan untuk orang-
orang yang telah meninggal dunia tetap dilestarikan dengan warna keislaman. Mereka
mengajarkan agama Islam dengan lemah lembut. Tanpa kekerasan menggunakan
bahasa dan budaya yang telah dimiliki oleh masyarakat.Keramah tamahan dalam
berdakwah inilah yang menyentuh nurani bangsa dan mempertanda bahwa Islam
adalah agama perdamaian, membawa persahabatan sesama umat semesta alam.
Keramah tamahan inilah yang diwariskan para ‘ulama’ aswaja untuk diteladani dalam
mengajarkan agama Islam. Demikian pula NU dalam anggaran dasar secara eksplisit
dirumuskan bahwa tujuan NU adalah mengembangkan serta melestarikan ajaran Islam
Ahlussunah Wal Jama’ah.

Visi transformasi yang dibangun Ahlussunnah Waljamaah dapat dilihat pada


proses penyebaran Islam di Nusantara. Sebagaimana dimaklumi, Islam
diperkenalkan Nabi Muhammad dan berkembang sejak fase hijrah dari Makkah ke
Madinah.

Kira-kira pada abad ke-7 H, tepatnya sejak masa-masa awal keruntuhan Dinasti
Abbasiyah, Islam sudah masuk ke Indonesia. Dan, sekitar 7 (tujuh) abad kemudian,
tepatnya pada 1344 H, Nahdlatul Ulama (NU) lahir di Surabaya.

Artinya, metodologi Ahlussunnah Waljamaah telah mendorong umat Islam di Indonesia


untuk menjadi bagian dari peradaban Islam di dunia.

Klaim NU sebagai pengusung tradisi Ahlussunnah Waljamaah dan secara otomatis


menjadi bagian dari peradaban Islam dunia didukung oleh fakta fakta historis.

Syaikh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, ulama terkemuka yang lahir di Sambas,
Kalimantan Barat, sejak masa mudanya sudah menunjukkan semangat menggebu-gebu
untuk mendalami ilmu ilmu keislaman, sehingga beliau berketetapan hati untuk
bermukim lebih lama di Makkah al-Mukarramah.

Pasalnya, iklim politik di Nusantara waktu itu tidak kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Syaikh Ahmad Khatib Sambas muncul sebagai tokoh sufi dan perintis
kombinasi autentik dua tarekat besar, “Qadiriyah wa Naqsyabandiyah”, Tarekat
Qadiriyah dan Naqsabandiyah.

Tarekat Qadiriyah digagas oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi
Shaleh Zangi Dost al-Jailani (w. 1166 M) yang mengacu pada tradisi mazhab Iraqi yang
dibangun Imam al-Junaid.

Sementara Tarekat Naqsyabandiyah dibangun oleh Syaikh Muhammad ibn Muhammad


Baha’uddin al-Uwaisyi al-Bukhari al Naqyabandi (w. 1189 M) yang didasarkan pada
tradisi al-Khurasani yang dipelopori oleh al-Bustami.

Kedua jenis tarekat inilah yang dengan brilian diramu dan diracik oleh Syaikh Sambas
dalam satu kesatuan yang bulat seperti dikenal kalangan umat Islam sekarang ini.

Kitabnya Fath al-‘Arifin menunjukkan integritas keilmuan Syaikh Ahinad Khatib


Sambas di lingkungan masyarakat Islam Tarekat Ahmad Khatib Sambas diamalkan oleh
masyarakat Islam di belahan dunia, terutama di negara-negara yang bermaahab Syafii dan
bertasawuf ala al-Bushtami dan al-Junaid.

Pelanjut tradisi Aswaja kemudian adalah ulama besar Syaikh Nawawi Banten (1813-
1897). Beliau adalah seorang ulama yang telah mencapal derajat “mujtahid mazhab”.

Beliau telah menulis sejumlah kitab keagamaan yang hingga kini masih digunakan di
lingkungan pesantren di Nusantara dan negeri Islam lainnya. Syaikh Nawawi merupakan
wujud dari geliat dan pergumulan Islam lokal yang lahir di tengah keterbatasan
Nusantara.

Dia akhirnya menetap di Makkah sebagai bentuk protesnya atas kondisi kolonialisme
Belanda. Nawawi mencapai puncak kariernya sebagai mujtahid mazhab di bidang fikih.

Dia telah meninggalkan lebih dari seratus karya tulis dan muridnya tersebar di seluruh
dunia, terutama di negara negara penganut mazhab Syafi’i.

Penerus Awaja berikutnya adalah Syaikh Mahfudz Termas (w. 1919) Ahli hadis ini
merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan Syaikh Nawawi
Banten, Kitab Manhaj Dzawi al-Nasar sebuah kitab metodologi autentisitas hadis yang
hingga kini diajarkan di Universitas al-Azhar, Mesir.
Buku ini merupakan komentar atas karya Imam Abdur Rahman al-Suyuthi (w.911 H).
Mandzhumat Ilm al-Atsar. Selain Mahfudz Termas ulama tersohor lainnya yang
meneruskan tradisi Aswaja adalah Kiai Khalil Bangkalan (1819-1925).

Beliau adalah ahli gramatika Arab dan guru dari KH. Hasyim Asy’ari. Meskipun dari sisi
pemikiran tidak cukup dikenal, Kiai Khalil Bangkalan berhasil mencapai puncak
popularitas dan kharisma sehingga menjadi rujukan ulama Jawa pada masanya.

Ulama periode berikutnya adalah Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan (1901-1952) ulama
asal Kediri yang intens mendalaml tasawuf. Dia mengarang kitab Sirajut al-
Thalibin sebuah komentar cukup luas atas kitab Minhajul al-‘Abidin karya Al-Ghazali.

Kitab Ini menjadi kajian penting di beberapa negara berpenduduk Muslim, tidak
terkecuali di komunitas al-Azhar Mesir dan beberapa negara di Afrika Barat.

Dengan demikian, dalam kesinambungan garis tradisi Aswaja ini dari belahan barat dan
timur Dunia Islam, terletak posisi krusial NU. Kekukuhan NU berpegang pada tradisinya
ini bertolak dari kesinambungan mata rantai khazanah keislaman yaug menghubungkan
Timur Tengah, Asia, Afrika, hingga Nusantara.

Deretan ulama tadi adalah generasi awal yang berjasa dalam meletakkan landasan corak
keagamaan Nahdlatul Ulama, Khazanah Itulah yaug dikenal dengan Ahlussunnah
Waljamaah atau Aswaja.

Seperti dikemukakan tadi, paham ini awalnya ditata oleh Imam Hasan al-Bashri sebagal
generasi tabi’in pasca Rasulullah Saw. yang bersikap moderat di tengah krisis
berkepanjangan yaug menimpa umat Islam akibat al-fitnah al-kubra.

Satu abad kemudian, muncul al-Muhasibi, al-Qalauisi, dan Ibn Kullab yang membangun
dasar-dasar wacana berpikir umat Islam dalam memasuki abad ke-3 H.

Langkah tersebut diteruskan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi, hingga Imam Abu Hamid al-Ghazali, Lalu dikembangkan di Indonesia pada
awal abad ke-20 melalui wadah jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Silsilah generasi pasca-Imam al-Ghazali berkesinambungan dalam bentuk silsilah atau


sanad-hingga ke pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari, melalui Imam Abdul Karim al-
Syahrastani, Imam al-Razi, al-Iji, al-Sanusi, al Bajuri, al-Dasuki, Syaikh Zaini Dahlan,
Syaikh Mahfuz Termas, terus ke K.H. Hasyim Asy’ari.
Pertama, NU telah merumuskan konsep mabadi’ khoiro ummat (prinsip dasar
umat terbaik) yang didasarkan pada orientasi moral sebagai perubahan sosial-
ekonomi masyarakat. Pengukuhan moralitas tersebut bertumpu pada as-shidq
(kejujuran) dan alamanah (tanggung jawab).
Kedua, dalam ranah keagamaan, NU telah berhasil merumuskan gagasan dasar
tentang tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan
i’tidal (keadilan).
Ketiga, NU telah memelopori penerimaan dan pengamalan Pancasila sebagai asas
bernegara dan bermasyarakat yang bisa diterima oleh warga negara Indonesia
yang majemuk.2 Atas dasar semua ini NU wajib memelihara dan
mempertahankan asas-asas dasar kenegaraan yang telah dirumuskan oleh para
pendahulu, melalui darah para syuhada dan tinta para ulama, selaku pewaris para
Nabi Allah

Anda mungkin juga menyukai