Oleh : Ansori
(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)
A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)
Kata atau istilah Ahlussunnah wal Jama’ah diambil dari hadis Imam Thabrani sebagai
berikut:
وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين، افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة
ومن: قيل. الناجية منها واحدة والباقون هلكى، وستفترق أمتي على ثالث وسبعين فرقة، فرقة
ما انا عليه اليوم و أصحابه: وما السنة والجماعة؟ قال: قيل. أهل السنة والجماعة:الناجية ؟ قال
“orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, orang
Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum muslimin)
akan bergolong-golong menjadi 73 golongan. Yang selamat dari padanya satu
golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah
SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah
assunah wal jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku berada di atasnya, hari ini,
dan beserta para sahabatku (diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta
para sahabat).
Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya Ziyadah at-
Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون
بسنة النبي صلى هللا عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت
اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون و المالكيون والحنبليون
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan
sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama
mengatakan : Sungguh kelompok tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab
yang empat yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”
Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan pada
paham yag diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang
menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham
Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).
Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham Sunni
yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang
berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.
Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas
oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat)
madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).
Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang tashawwuf, NU
mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali at-Thusi
(w,505 H/ 1111M)
B. Mengapa NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah ?
Sebagaimana di jelaskan di atas, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah pada mulanya
adalah terkait dengan perbincangan masalah akidah yang menengahi dua paham yang
saling
bertentangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dianggap sebagai paham yang moderat yaitu
meyakini ke-Maha Kuasa-an Alloh dan menghargai ikhtiyar (akal) manusia.
Demikian juga dalam bidang fikih, pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan para
pengikut/muridnya dianggap paling moderat yaitu mengabungkan antara dalil naqly (al-
Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (ijtihad : ijma’ dan qiyas).
Dalam bidang tashawwuf, ajaran-ajaran al-Junaidi dan al-Ghazali dianggap moderat,
yaitu menggabungkan antara syariah/fikih dan haqiqat/substansi.
Selain dianggap sebagai model berpikir moderat (wasathiyyah) dan ihtiyath (kehati-
hatian/antisapatif) dalam bidang ibadah, alasan NU mengikuti Ahlussunnah wal
Jama’ah juga dikarenakan para sahabat Nabi perlu diikuti, karena merekalah yang
mengetahui dan memahami terhapa semua yang dilakukan oleh Nabi.Oleh karena itu
Nabi mengatakan : ما انا عليه اليوم و أصحابه. Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa
mereka (para sahabat) dijamin masuk surga.
Hal ini dikuatkan oleh hadis :
ى هللا عليه وسلم َّ صل َ ِل هللا ُ س ْو ُ َو َعظَ َنا َر: ل َ ساري َة َرضي هللا عنه َقا َ ن ِ ن َأبِي نَجِ ْيحٍ ا ْل ِع ْربَاضِ ْب ْ َع
،ص َنا
ِ ْ و َأ َ
ف ، ع د و م ة َ ظع و م ا ه نَأكَ ، ِهللا ل وس ر ا ي : ا ن ْ
ل قف َ ،ن و ي ع ْ
ل ا ا ه نم ت َ
ف َرذ و ، ب و ل
ُ قلْ ا ا ه نم ت َ لج و ً
ة َ ظعِ َم ْو
ٍ ّ ِ َ ُ ُ ِ ْ َ َ َّ َ ْ ُ َ َ َ ُ ُ ُْ ُ َ ِْ ْ ِ َ ُ ْ ُ َ ِْ ْ ِ َ
ُم
ْ ش ِم ْنك ْ ن يَ ِع ْ َفِإنَّ ُه َم، َع ْب ٌد ُم َأ
ْ ة َوِإنْ تَ َّم َر َعلَ ْيك ِ معِ َوالطَّا َع ْ السَّ َو،ل َّ ج َ ُم بِ َت ْق َوى هللاِ َع َّز َو ْ ص ْيك ُأ
ِ ْو: ل َ َقا
،ج ِذ َ ُّ
ِ ن َعضوا َعل ْي َها بِال َّن َوا َ م ْه ِديِ ّ ْي ْ
َ ن ال َ ش ِد ْيِ خل َفا ِء ال َّراَ ْ
ُ ة ال ِ س َّن ُ س َّنتِي َو ُ ُِم ب َ َ ً ً
ْ ف َعل ْيك.اختِال َفا كثِ ْيرا ً ْ سيَ َرى َ َف
حديث حسن صحيح: ة [ َر َواه داود والترمذي وقال ٌ َضالَل َ ة َّ َفِإنَّ ُك،ح َدثَاتِ ْاُأل ُم ْو ِر
ٍ ل بِ ْد َع ْ َو ُم ُم ْ َوِإيَّاك
Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami
bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya Rasulullah, seakan-
akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada
Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin
kalian adalah seorang budak. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan
menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh
terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah
(genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara
yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.
(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menurut NU
(ASWAJA AN-NAHDHIYYAH) adalah mengikuti pola pikir Abu Hasan al-Asy’ari dan
Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti pola pikir Imam Syafi’i dalam
fikih (beribadah dan bermuamalah), dan mengikuti al-Junaidi dan al-Ghazali dalam
bertashawwuf, yang kesemuanya pola pikirnya adalah moderat, tawasut, tawazun,
atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para sahabat Nabi.
C. Implementasi (pengamalan) Ahlussunnah wal Jama’ah
Prinsip moderat yang ada dalam ASWAJA AN-NAHDHIYYAH itu dalam tataran yang
lebih riil dapat dicontohkan serbagai beikut :
a. Bidang akidah
Dalam menjalani kehidupan atau menghadapi persoalan-persoalan, orang NU tidak
boleh hanya bergantung pada kekuasaan Alloh (pasrah) atau sebaliknya hanya
mengandalkan kemampuan akal (teori atau ilmu pengetahuan). Kaduanya harus
dilakukan secara bersamaan.
b. Bidang Fikih (Ibadah)
Dalam memegangi hukum fikih, NU tidak boleh “HANYA” berpegang/berlandaskan
pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga harus memperhatikan dan
mengetahui perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan (manhajiy). Motode berpikir
ini diputuskan dalam MUNAS NU di Lampung dan prinsip ini ada dalam ungkapan :
المحافظة على القديم الصالح واألخذ بالجديد األصلح
“Tetap menjaga/ berpegang pada pendapat/tradisi lama (ulama’ terdahulu,
salafussholih) yang baik (relevan), namun tetap mengambil pendapat-pendapat baru
yang baik (yang lebih relevan/susuai dengan kondisi zaman dan ilmu pengetahuan)”.
Dalam beribadah warga NU juga harus berimbang antara ibadah mahdhoh (ritual,
individual, vertikal) dan ibadah ghairu mahdhah (basyariyyah, insaniyyah,
ijtimaiyyah, sosial, kemanusiaan, kemasyarakatan, horisontal)
c. Bidang Tashawwuf
Dalam menjalankan ibadah, warga NU harus menggabungkan antara hakikat dan
syariat. Aturan-aturan fikih (syarat dan rukun) tetap harus dipenuhi, namun di sisi lain
penghayatan terhadap isi, makna, hakikat, tetap harus diperhatikan.
Demikian juga dalam bertsahwwuf (menjalankan amaliyah dzikir/wirid, mengikuti
thoriqat) tidak boleh melupakan urusan umat dan keluarga.
Adapun menjaga tradisi (amaliyah) para sabahat, oleh NU – dalam bidang ibadah-
antara lain adalah dengan tetap mempertahankan Tarawih minimal 23 rakaat, adzan
Jumat dua kali, dan lain-lain serta pola pikir/metode ijtihad yang dilakukan oleh para
sahabat Nabi terutama khulafaurrasyidun.
Mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat, meskipun tidak dilakukan oleh Nabi,
BUKAN BID’AH. Karena hadis di atas jelas bahwa Rosul memerintahkan agar
berpegang kepada sunnahnya dan “sunnah” (amaliyah, tradisi, apa yang dilakukan)
oleh para sahabat. Maka pengertian “bid’ah” dalam hadis ل َّ َفِإنَّ ُك،ح َدثَاتِ ْاُأل ُم ْو ِر
ْ َو ُم ُم
ْ َوِإيَّاك
ٌ َضالَل
ة َ ة
ٍ بِ ْد َعyang disampaikan oleh Rasul setelah ن ِ خلَ َفا ِء ال َّرا
َ ش ِد ْي ُ ة ا ْل
ِ س َّنُ س َّنتِي َو ُ ِفعليكم ب
berarti di luar yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat.
Puncaknya yang ingin dicapai NU dari asas ASWAJA AN-NAHDHIYYAH adalah
prinsip tawasuth/moderat dan merawat sunnah Rasul dan “sunnah” para sahabat.
Bidang Akidah
Nama lengkap Al-Asyâ™ari adalah Abu Hasan â˜Ali bin Ismaâ™il bin Ishaq bin Salim bin
Iâ™smail bin â˜Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asyâ™ari.
Menurut beberapa riwayat, Al-Asyâ™ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Beliau wafat
di Baghdad pada tahun 324H/935M. (Dr. H. Achmad Mihibbin Zuhri, 2013)
Al-Asyâ™ari merupakan salah satu murid dari tokoh Muâ™tazilah Abu â˜Ali
Alâ™Jubbai. Namun hanya sampai usia 40 tahun Al-Asy;ari menganut paham Muâ™tazilah.
Menurut Ibn â˜Asakit latar belakang ia keluar dari paham Muâ™tazilah adalah ia bermimpi
bertemu dengan Rasuulullah SAW sebanyak 3 kali. Dan ia diperingatkan oleh Rasulullah agar
segera meninggalkan paham tersebut dan segera mengikuti paham/ajaran yang telah
diriwayatkan Rasulullah dan sahabatnya. Alasan lainnya karena pada saat perdebatan Al-
Jubbaâ™i diam dan tidak dapat menjawab pertanyaan dari Al-Asyâ™ari (muridnya)
mengenai kedudukan mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat nanti. Hal tersebutlah yang
membuat Al-Asyâ™ari merasa ragu dan tidak puas lagi dengan ajaran Muâ™tazilah lalu
memutuskan untuk keluar dan menyusun teologi baru sesuai dengan ajaran Rasulullah dan
sahabat, yang dikenal dengan Al-Maturidiyah.
Berikut adalah pemikiran-pemikiran penting Al-Asyâ™ari:
Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang
mengupayakannya (muktasib).
3) Qadimnya Al-Qurâ™an
Al-Qurâ™an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi
Allah dan tidak qadim.
Dalam menghadapi persialan yang memperoleh penjelasan kontradiktif, serta dalam menentukan
baik dan buruk, Al-Asyâ™ari lebih mengutamakan wahyu daripada akal.
5) Melihat Allah
Allah dapat dilihat di akhirat kelak, tetapi tidak dapat digambarkan. Dan kalau dikatakan Allah
dapat dilihat, itu tidak mengandung pengertian seperti bahwa apa yang bisa dilihat harus bersifat
diciptakan.
Orang mukmin yang berdosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur. Dalam kenyataan, iman adalah lawan dari kufur, predikat seseorang
harus berada satu diantaranya. Jika tidak mukmin, maka ia kafir.
7) Keadilan
Allah memiliki kekuasaan mutlak, taka da satupun yang wajib bagi-Nya dan Allah berbuat
sekehendaknya.
Bernama lengkap Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al- Maturidi, lahir di
Maturid, daerah Samarkand (Uzbekistan). Lahir sekitar pertengahan abad ke-3H. wafat pada
tahun 333H/944M.
Murid dari Nasyr bin Yahya al-Balakhi seorang guru dalam bilang fiqh dan teologi, Abu
Manshur juga merupakan pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan
keagamaannya, sehingga banyak persamaan dalam sistem teologi yang ditimbulkannya namun
termasuk dalam golongan teori Ahli Sunnah yang kemudian dikenal dengan nama al-
Maturidiyah.
Literatur dari ajaran Abu Manshur tidak sebanyak Al-Asyâ™ari. Banyak karangan Al-
Maturidi yang belum dicetak dan kemungkinan masih dalam bentuk manuskrip antara lain
kitab al-Tauhid dan kitab Taâ™wil Al-Qurâ™an. Selain itu, ada pula karangan-
akan dan diduga ditulis oleh Al-Maturidi, antara lain Risalah fi Al- Aqaid dan Syarh Fiqh Al-
Akbar.
Dalam pemikiran teologi, Al-Maturidi mendasar pada Al-Qurâ™an dan akal, namun porsi yang
diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan pada Al-Asyâ™ari.
2) Perbuatan manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-
Nya, beliau mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat Allah
sebagai pencipta perbuatan manusia.
3) Melihat Allah
Manusia dapat melihat Allah. Namun mellihat Allah, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya
(bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
4) Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat Qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak
dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengan (bila kaifa) tidak di ketahui,
kecuali dengan suatu perantara.
Orang dengan dosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia meninggal
sebelum bertaubat. Hal ini karena Allah telah menjanjikan dan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan amal perbuatannya. Perbuatan dosa besar selain syirik tidak menjadikan
seorang kafir atau murtad.
Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
Sesungguhnya ajaran-ajaran akidah Islam Imam Abu al-Hasan Al-Asyâ™ari dan Imam Abu
Mansur berada pada jalan yang sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan antara
Asyâ™ariyah dan Maturidiyah yaitu pada masalah-masalah cabang akidah (Furuâ™ al-
â˜Aqidah). Hal ini tidak menjadikan kedua kelompok ini berdebat.
Beliau bernama asli Hasan Al-Basriadalah Abu Saâ™id Al Hasan bin Yasar. Beliau merupakan
anak dari Khoiroh dan Yasaar, budak Zaid bin Tsabit tepatnya pada tahun 21 H di kota Madinah
setahun setelah perang shiffin, sumber lain menyatakan beliau lahir dua tahun sebelum
berakhirnya masa pemerintahan Khalifah Umar bin Al- Khattab.
2. Bidang Akhlak/Tasawuf
A. Imam al-Ghazali
Beliau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali.
Beliau merupakan orang Persia asli. Lahir di Thus sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran)
pada tahun 450H/1058M dan wafat pada tahun 505H/1111M.
3) Qowaâ™id Al-Aqoâ™id, karya teologi yang mendeskripsikan materi akidah yang benar
menurut paham Aswaja.
4) Ihya Ulumuddin, karya Al-Ghazali yang terbesar yang memuat ide-ide sentral Al-Ghazali
untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam termasuk teologi.
Bernama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd Al- Khazzaz Al-
Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq dan wafat pada tahun 297H/910M. Berasal
dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Al-Junaid
merupakan seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih.
Menurut Al-Baghdadi, tasawuf adalah hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
Ajarannya dengan melakukan semua akhlak yang baik menurut sunnah Rasul dan meninggalkan
semua akhlak yang butuk dan melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah serta merasa
tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah ï·». Tasawuf Al-
Junaid al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syariâ™at dan
hakikat.
3. Bidang Fiqh
A. Imam Hanafi
Bernama lengkap An-Nuâ™man bin Tsabit bin Zauta bin Maha At-Taymiy. Abu Hanafi lahir
di Kufahm Iraq pada tahun 80H/699M. Abu Hanifah membangun mazhabnya di atas Al-Kitab,
Al-Sunnah, ijmaâ™, qiyas dan istihsan. Aliran mazhab Imam Abu Hanifah dikenal dengan
nama Mazhab Hanafi.
Mazhab Hanafi ialah mazhab rasmi Dawlah â˜Usmaniyyah dan masih berpengaruh di negara-
negara bekas jajahan Dawlah â˜Usmaniyyah seperti Mesir, Syria, Lubnan, Bosnia, dan Turki.
Karya dari Abu Hanifah antara lain Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absat, Kitab Al-
Risalah, Kitab Al-â˜Alim wa Al-Mutaâ™allim dan Kitab Al- Washiyyah.
B. Imam Maliki
Memiliki nama lengkap Abu Abdullah Malik bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin
Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi. Lahir di Madinah pada tahun 712M dan wafat
pada tahun 796M. Imam Maliki meninggalkan mazhab fikih dikalangan Islam Sunni, yang biasa
disebut dengan Mazhab Maliki.
C. Imam Syafiâ™i
Bernama lengkap Abu â˜Abdullah Muhammad bin Idris al-Shafiâ™i atau Muhammad bin
Idris asy-Syafiâ™i. lahir di Ashkelon, Gaza, Palestina pada tahun 150H/767M bertepatan
dengan tahun wafatnya seorang ulama besar Sunni, Imam Abu Hanifah). Beliau wafat pada
bulan Syaâ™ban tahun 204H diumur 54 tahun.
D. Imam Hanbali
Bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Lahir pada bulan
Rabiâ™ul Awwal tahun 164H/780M dan wafat pada 12 Rabiâ™ul Awwal 241H/855H.
b. Ajaran Aswaja
Islam adalah agama allah yang diturunkan untuk seluruh manusia di dalamnya terdapat pedoman
dan aturan demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Ada 3 hal yang menjadi
sendi utama dalam agama Islam itu yaitu iman, islam, dan ihsan. Dalam sebuah hadis dijelaskan
bahwa iman adalah orang yang beriman kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari kiamat, dan qadar (ketentuan)Allah yang baik dan yang buruk. Islam adalah
orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah,
mengerjakan sholat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Ihsan
adalah orang yang menyembah Allah SWT seolah-olah kamu melihat-Nya.
Dari sisi keilmuan, semula ketiganya merupakan satu-kesatuan yang tidak terbagi-bagi namun
selanjutnya para ulama’ mengadakan pemisahan, sehingga menjadi ilmu tersendiri bagian-bagian
itu mereka gabungkan sehingga menjadi bagian ilmu yang berbeda, iman memunculkan ilmu
tauhid atau ilmu kalam islam menghadirkan ilmu fiqih atau ilmu hukum islam. Dan ihsan
menghadirkan ilmu tasawuf atau ilmu ahlak.
Meskipun telah menjadi ilmu tersendiri, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa
melakukan perbedaan. Misalnya orang yang sedang sholat dia harus mengesakan Allah disertai
kenyakinan bahwa hanya Allah yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun
sholat (islam), dan sholat harus dilakukan dengan khusyu’ den penuh penghayatan (ihsan).
Dalam perkembangan sejarah umat islam, terdapat aspek lain yang dapat membedakan
ajaran aswaja dengan kelompok lain. Aspek tersebut adalah aspek politik. Aspek politik ini
dengan sendirinya melengkapi inti ajaran aswaja (terutama bila diperbandingkan dengan ajaran
kelompok lainya), selain aspek aqidah atau teologi dan fiqih atau hukum
c. Ciri Khas Aswaja
Ciri khas akidah aswaja antara lain menyakini bahwa allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Hal ini diantaranya yang membedakan Aswaja dengan aliran lain. Allah SWT berfirman:
َ َل
َشي ٌء،يس َك ِمثلِ ِه
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS. Al-Syura :11)
Ayat ini adalah ayat yang paling tegas dalam menjelaskan kesucian Allah SWT secra mutlak
tidak menyerupai mahluk-Nya dari aspek apapun.
Ulama Aswaja menjelaskan bahwa alam(mahkluk Allah) terbagi atas dua bagian, yaitu:
1) Al-jauhar al-fard, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas
terkecil.
2) Jims, yaitu benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian. Benda ini juga terbagi lagi
menjadi dua macam, yaitu:
a) Benda lathif, yaitu sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, roh, angin,
dan sebagainya.
b) Benda katsif, sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda
padat (jamad) dan sebagainya.
Dalil berikut ini juga menunjukkan bahwa Allah itu tanpa arah dan tanpa tempat, yaitu hadis
shahih:
) (رواه البخاري.ُ َكانَ هللا َولَم يَ ُكن َشي ٌءغَي ُره:ال َرسُو ُل هللاِ صلي هللا علي ِه وسلم
َ َض َي هللاُ عَنهُ َماق
ِ صي ٍن َر َ عَن ِعم َرانَ ب ِن ُح
Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Allah ada pada
azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya.” (HR. Al-Bukhari :
2953).
Hadis diatas menjelaskan bahwa Allah SWT itu pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan,
Arsy, lagit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. AllahSWT juga tidak berubah dari
wujud semula yani tetap ada tanpa tempat dan arah. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga
mengatakan:
ٌ جري َعلَي ِه زَ َم
ان ِ َان َوالَي ِ ََوَأج َمعُواعَلي َأنَّهُ الَي
ٌ حوي ِه َم َك
“Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahawa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan
tidak dilalui oleh zaman.”
1. LATAR BELAKANG
Aliran Ahlussunah Wal Jamaah merupakan aliran yang dijanjikan Rasulullah akan
masuk kedalam surga. Berdasarkan hadist Nabi:
عبــد هللا بن عن عبــد الــرحمن بن زيــاد األفــريقي عن ســفيان الثــوري عن أبــو داود الحفــري حــدثنا محمــود بن غيالن حــدثنا
حــذو النعــل بــني إســرائيل ليـأتين على أمــتي مـا أتى على قـال رسـول هللا صــلى هللا عليــه وســلم قال عبد هللا بن عمرو عن يزيد
تفـرقت على ثنـتين وسـبعين ملـة بـني إسـرائيل حتى إن كان منهم من أتى أمه عالنية لكان في أمـتي من يصـنع ذلـك وإن بالنعل
قــال أبــو وتفترق أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول هللا قال ما أنا عليه وأصحابي
]1[عيسى هذا حديث حسن غريب مفسر ال نعرفه مثل هذا إال من هذا الوجه
“Mahmud bin Ghoilan menceritakan kepada kami, Abu Dawud Al-Chaqari menceritakan
kaepada kami, dari Sufyan Al-Tsauriy dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy dari
Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Umar, Ia berkata “Rasulullah SAW. Bersabda
“Niscaya akan datang kepada ummatku suatu perbuatan yang dilakukan juga kaum
Israil, nyaris laksana langkah sepasang sandal, sehingga jika salah seorang kaum Israil
berzina dengan ibunya dengan terang-terangan maka hal itu juga akan terjadi di
ummatku. Sesungguhnya kaum Israil akan bercerai-berai menjadi 72 aliran, dan
ummatku pecah menjadi 73 aliran, semua masuk neraka kecuali satu,” Sahabat
bertanya “Siapa yang satu itu wahai Rasulullah?” Beliau menajwab “ialah mereka yang
berpegang teguh pada aqidah yang sama dengan aku dan sahabatku” (HR. Tirmidzi,
No 2641)
Dalam masalah Aqidah Menurut Abdul Qahir termasuk dalam tujuh puluh tiga golongan
tersebut yaitu Rowafidl terbagi menjadi dua puluh, Khawarij terbagi menjadi dua puluh,
Qadariyah terbagi menjadi dua puluh[2], Murji’ah terbagi menjadi dua puluh, Najariyah
terbagi menjadi tiga, Bakriyah, Dlororiyah, Jahmiyah, Karamiyah, Dan yang terakhir
yaitu Ahlussunah Wal Jamaah[3].
Mengacu hadist diatas, setiap golongan dalam Islam mengaku bahwa aliran/ajaran
merekalah yang disebut Nabi sebagai golongan yang akan masuk surga, atau yang
biasa dikenal sebagai Ahlussunah Wal Jamaah. Akan tetapi Aqidah maupun Syari’ah
mereka berbeda-beda, dan yang benar hanyalah satu.
Dari keputusan tersebut bisa diambil pengertian bahwa golongan Ahlussunah Wal
Jamaah yaitu golongan yang dalam teologi(Aqidah) mengikuti faham As’ariyah atau
Maturidliyah, dalam bidang Fiqh Mengikuti salah satu dari Madzahibul Arbaah yaitu
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iah dan Hanabalah. Sedangkan dalam bidang tasawuf
mengikuti Imam Junaidi, atau yang sepaham dengan beliau, yang masyhur yaitu
mengikuti Imam Al-Ghazali.
Dalam masalah teologi ketuhanan, Ahlussunah wal Jamaah meyakini bahwa Tuhan
memiliki banyak sifat. Sifat-sifat yang wajib diketahui oleh umat islam adalah sebagai
berikut:
Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah sebagai sifat yang wajib
dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki Allah. Jumlah keseluruhan sifat diatas berjumlah
empat puluh, dan ditambah satu sifat lagi, yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh menciptakan
sesuatu dan tidak menciptakanya. Maksudnya Allah mempunyai hak preogatif atas
semua ciptaanNya. Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran
Mu’tazilah menafikan (tidak meyakini) bahwa Allah memiliki sifat-sifat Azali , mereka
mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat Qudrah, ilmu, iradah, dan hayat.[9]
Malaikat
Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk yang tidak
bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk tersebut bernama malaikat.
Malaikat merupakan ciptaan Allah yang ditugaskan mengatur seluruh jagat raya dengan
tugas masing-masing yang diberikan tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah.
Jumlah malaikat tidak terhitung, akan tepapi malaikat yang wajib diketahui berjumlah
sepuluh, dengan tugas masing-masng.
Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap umat
islam. Sedangkan malaikat-malaikat lain umat islam hanya wajib mempercayai bahwa
ada malaikat lain yang ditugaskan oleh Allah dengan tugas masing-masing, seperti
malaikat Rahmat yang bertugas membagikan belas kasih Allah kepada hambaNya.
Kitaab Allah
Aliran aswaja meyakini bahwa Allah menurunkan mukjizat kepada sebagian NabiNya
yang berupa kitab, sebagai tuntunan hidup manusia. Kitab yang diturunkan Allah
berjumlah banyak, karena Rasul berjumlah banyak. Tetapi Kitab suci yang wajib
diketahui oleh umat islam berjumalah empat:
Itulah keempat kitab yang wajib diketahui oleh umat islam. Sedangkan kitab yang lain,
seperti shuhuf Nabi Ibrahim As. Umat islam tidak wajib mengetahui secara terperinci.
Rasul juga memiliki beberapa sifat yang wajib diyakini kebenaranya. Rasul memiliki
empat sifat wajib dan empat sifat mustahil(tidak mungkin dimiliki), yaitu :
Keseluruhan Dari sifat wajib yang dimiliki Allah, yang mustahil dimiliki Allah, jaiz, sifat
wajib Rasul, sifat mustahil Rasul dan sifat jaiz Rasul berjumlah lima puluh sifat, yang
biasa disebut dengan ‘aqoid seket (lima puluh aqidah).
Hari Kiamat
Umat Islam wajib meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia ada kehidupan lain, yaitu
kehidupan akhirat. Dimana semua manusia dihidupkan kembali dan dimintai
pertanggung jawaban atas semua perbuatanya di dunia, kemudian menerima
balasanya, berupa surga dan neraka. Aswaja juga meyakini bahwa kenikmatan surga
bersifat kekal, begitu juga siksa neraka bagi orang yang menyekutukan Allah[16].
Berbeda dengan pendapat Aliran ‘Amraiyah yang termasuk pecahan dari golongan
mu’tazilah yang berpendapat bahwa semua ciptaan Allah akan sirna, termasuk
kenikmatan surga dan neraka[17]. Namun sebelum berlangsungnya kehidupan akhirat
aliran Aswaja meyakini bahwa akan terjadi yaum al-akhir (hari akhir)[18], atau yang
biasa disebut dengan hari kiamat.
Jadi pada akhir kehidupan ini akan terjadi kiamat, yakni hari dimana semua manusia
akan mati, kemudian dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatan
mereka didunia dan menerima balasanya.
Qadha’ Dan Qadar
Aliran Aswaja meyakini bahwa semua yang terjadi pada makhluk, baik berupa keadaan
maupun perbuatan tidak lepas dari Qadha Dan Qadar Allah. Berbeda halnya dengan
pendapat mayoritas Aliran Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa Allah tidak
menciptakan perbuatan manusia, semua yang dilakukan manusia adalah kehendak
mereka sendiri, bahkan Allah tidak mampu merubahnya. Bahkan mereka berpendapat
bahwa Allah tidak mampu menetapkan sesuatu yang telah menjadi hak manusia[20].
Dalam bidang teologi aliran Aswaja menganut dua madzhab, yakni Madzhab Asyariyah
dan Maturidliyah. Munculnya Asyariyah dan Maturidliyah merupakan upaya
pendamaian antara aliran Jabariyah yang fatalistik dan Qadariyah yang mengagungka
manusia sebagai penentu seluruh kehidupan[21]. Kedua madzhab ini menerapkan
sikap tawasuth (moderat) dalam beraqidah, sikap ini sangat diperlukan untuk
merealisasikan kebijaksanaan dalam Islam. Berikut penjelasan
kedua madzhab tersebut.
1. AL-ASYARIYAH
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Bin Ismail bin Abi Bisyr bin Salim bin Ismail bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asyari. Nama al-
Asyari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qahthan
yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman[23]. Negri Yaman yang
memiliki peradaban yang relatif lebih maju pada masa awal-awal Islam, melebihi daerah
lain di semenanjung Arabia, memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan kultur
dan karakter penduduk Yaman, yang mudah mematuhi dan menerima kebenaran,
menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan selalu berpikir positif terhadap
keadaan yang dihadapi[24]. Ia lahir di Basrah pada tahun 260 H/873 M, setelah berusia
lebih dari 40 tahun ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935
M[25].
Tuhan dan sifatNya. Al-Asyari dihadapkan pada dua pandangan yang extrem,
yakni sifatiyah (Pemberi sifat[29]), mujasimiyah (antropomosif[30]), dan
kelompok musyabihin (penyamaan).[31] Disisi lain ia berhadapan dengan
Mu’tazilah yang tidak mempercayai sifat Allah[32]. Al-Asyari berpendapat bahwa
Allah memiliki sifat, tetapi sifat-sifat allah tidak seperti makhluknya. Sedangkan
sifat yang disebutkan dalam alQuran hanya sebagai simbolis. Seperti
makna yadullah secara harfiyah bermakna tangan Allah, akan tetapi yang
dimaksud kata tersebut yaitu kekuasaan Allah, kata tangan sebagai simbol dari
kuasa Allah.
2. AL-MATURIDLIYAH
Pendiri aliran ini adalah Abu Manshur ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi. Yang
mana nisbat dari nama beliau menjadi nama dari faham yang ia bawa. Madzhab ini
berhadapan langsung dengan berbagai faham kelompok-kelompok yang banyak.
Seperti Mu’tazilah, Mujasimiyah, Qaramithhah dan juga Jahmiyah. Juga kelompok non
muslim seperti Yahudi, Majusi dan Nasani.
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi dilahirkan di sebuah
kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturidi, di wilayah Transoziana di Asia
Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahiranya tidak diketahui
secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad k3-3 hijriyah. Ia wafat pada
tahun 333 H/944 M. Gurunya di bidang fiqh dan teologi adalah Nasyr bin Yahya al-
Balakhi. Al-Maturidi hidup pada masa Khalifah al-Muawakil yang memerintah pada
tahun 232-274 H[38].
Akal dan Wahyu. Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam bab
ini, pandanganya hampir sama dengan Asyari[40]. Maturidi berpendapat bahwa
suatu kesalahan jika kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql)
[41], sama juga salah apabila larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio
(akal)[42]. Jadi konsep yang diiambil oleh al-Maturidli adalah
pendamaian/penyeimbangan antara akal dan wahyu (naqli dan ‘aqli), walaupun
al-Maturidi tetap berpendapat bahwa wahyu harus diterima secara penuh, tapi
penggunaan akal sama pentingnya untuk mendalami wahyu dan kuasa Allah.
Perbuatan Manusia. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan
Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaanNya. Dalam hal ini
al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia
dan qadrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia[43]. Jadi al-Maturidi
merumuskan bahwa manusia diberi kehendak bebas (ikhtiar) untuk memilih dan
berbuat, akan tetapi semua hal tersebut tidak lepas dari qadrat
Sifat Allah. Kepercayaan Al-Maturidi mengenai sifat-sifat Allah sama dengan al-
Asyari, yakni Allah memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan. Tetapi
mengenai pengertian sifat menurut al-Asyari dan al-Maturidi sedikit berbeda,
menurut al-Asyari, sifat Allah adalah sesuatu yang bukan dzat, melainkan
melekat pada dzat. Sedangkan menurut al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai
esensiNya dan bukan pula lain dari esensiNya mulazamah (ada bersama) dzat
tanpa terpisah[44]. Perbedaan tersebut hanya dalam memaknai letak sifat Allah,
tapi keduanya sama-sama meyakini bahwa Allah memiliki sifat.
Melihat Allah. Al-Maturidi juga mempercayai bahwa di akhirat nanti, seorang
hamba mampu melihat tuhanya. Namun tidak dalam sebuah bentuk atau
gambaran, karena kehidupan akhirat berbeda dengan dunia.
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat kalam Allah itu tidak berupa huruf, kata,
maupun suara. Berbeda dengan kalam manusia yang membutuhkan kata atau
suara. Kalam Allah ini disebut sebagai kalam nafsi. Sedangkan kalam yang
membutuhkan kata atau suara disebut kalam hadits.
Pelaku dosa besar tidak termasuk orang kafir dan tidak kekal dalam neraka,
walaupun ia mati sebelum bertaubat[45].
Pengutusan Rasul. Al-Maturidi berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-
tengah umatnya adalah kewajiban Allah agar manusia dapat berbuat baik dan
terbaik dalam kehidupan. Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber
informasi[46].
Hukum syariat islam bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah yang mana keduanya
turun beangsur-angsur berdasarkan kebutuhan masyarakat ketika itu. Ketika Rasulullah
masih hidup jika ada permasalahan agama bisa langsung diselesaikan dihadapan
Rasulullah. Setelah Rasulullah wafat, banyak terdapat permasalahan yang belum
dijelaskan secara tegas dalam al-Quran dan al-Sunnah, untuk memecahkan persoalan
tersebut perlulah dilakukan ijtihad untuk istimbath hukum. Orang yang mampu berijtihad
biasa disebut mujtahid, seorang yang mampu berijtihad secara mandiri dan mampu
mempolakan pemahaman (manhaji) tersendiriterhadap sumber pokok islam, yakni al-
Quran dan al-Sunnah disebut mujtahid muthlaq mustaqil. Pola pemahaman ajaran
islam dengan melalui ijtihad para mujtahid lazim disebut madzhab.pola pemahaman
dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak
mampu melaksanakan ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang
dimiliki. Orang yang mengikuti hasil ijtihad para mujtahid muthlaq disebut bermadzhab
atau taqlid[47]. Dengan sistem bermadzhab ini ajaran Islam dapat terus dikembangkan,
disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam bidang fiqih dan amaliyah faham Aswaja mengikutipola bermadzhab dengan
mengikuti salah satu madzhab fiqih yang di deklarasikan oleh para ulama’ yang
mencapai tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqih yang pernah eksis dan
diikuti oleh kaum muslim Aswaja ialah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Sufyan
al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ibn Jarir, Dawud al-Zahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i,
Abu Tsaur dan lain-lain[48]. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, dari sekian
banyak madzhab fiqih hanya empat yang tetap eksis digunakan oleh aliran Aswaja,
yaitu madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Alasan kenapa empat
madzhab ini yang tetap dipilih oleh Aswaja yaitu:
Kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur.
Keempat Imam Madzhab tersebut merupakan Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu
Imam mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola,
metode, proses dan proses istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan.
Para Imam tersebut mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan
mengembangkan madzhabnya yang didukung dengan buku induk yang masih
terjamin keasliana.
Keempat Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual
diantara mereka[49].
1. Hanafiyah
Madzhab Hanafi didirikan oleh al-Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit al-Kufi.
Beliau lahir pada tahun 80 H, dan wafat pada 150 H di Baghdad. Abu Hanifah berdarah
Persia. Imam Hanifah digelari al-Imam al-A’zham (Imam Agung), Beliau menjadi tokoh
panutan di Iraq. Menganut aliran ahl al-ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya.
Diantara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Istihsan. Fiqih Abu hanifah yang
menjadi rujukan Madzhab Hanafiyah ditulis oleh dua orang murid utamanya, yitu Abu
Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani[50]. Pada mulanya
madzhab ini diikuti oleh kaum muslim yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran
Imam Abu Hnifah. Setelah muridnya, Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung pada
masa Daulah Abasiyyah, madzhab Hanafi menjadi populer di negara-negara Persia,
Mesir, Syam, dan Maroko. Dewasa ini, madzhab Hanafi diikuti oleh kaum Muslim di
negara-negara Asia Tengah, yang dalam refrensi klasik dikenal dengan negri sebrang
Sungai Jihun (Sungai Amu Daria dan Sir Daria), negara Pakistan, Afganistan, India,
Banglades, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain. Dalam bidang teologi mayoritas
pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi.[51]
2. Malikiyah
Madzhab maliki dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu al-Imam Malik bin al-Ashbahi[52].
Beliau lahir pada tahun 93 H, dan wafat pada 173 H di madinah. Imam Malik dikenal
sebagai “Imam Dar al-Hijrah”. Imam Malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal,
sehingga kitab monumentalnya yang berjudul al-Muwatha’ dinilai sebagai kitab hadits
hukum yang paling shahih sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Imam
Malik juga mempunyai manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang, Kitabnya
berjudul al-Mahlahah al-Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah[53]. Madzhab ini diikuti
mayoritas kaum Muslim di negara-negara Afrika seperti Libia, Tunisia, Maroko, Aljazair,
Sudan, Mesir dan lain-lain. Dalam bidang teologi seluruh Madzhab Maliki mengikuti
faham al-Asyari, tanpa terkecuali. Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin al-
Subki[54].
3. Syafi’iyah
Madzhab ini didirikan oleh al-Imam Abu ‘Abdillah muhammad bin Idris al-Syafi’i. Lahir
pada 150 H di Gaza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai
latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra’yi. Karena
cukup lama menjadi murid Imam Maliki dan Imam Muhammad bin Hasan (Murid besar
Imam hanafi) di Baghdad. Metodologi istinbathnya ditulis menjadi buku pertama dalam
bidang Ushul al-Fiqh yang berjudul al-Risalah. Pendapat Imam Syafi’i ada dua macam,
yang disampaikan selama di Baghdad disebut al-Qoul al-Qadim (pendapat lama), dan
yang disampaikan di mesir disebut al-qaul al-Jadid (pendapat baru)[55]. Madzhab
Syafi’i diakui sebagai madzhab fiqih terbesar jumlah pengikutnya diseluruh dunia, yang
diikuti oleh mayoritas kaum muslim Asia Tenggara, seperti Indonesia, India bagian
selatan seperti daerah Kirala dan Kalkutta, mayoritas negara syam seperti Siria,
Yordania, Lebanon, Palestina, sebagian besar penduduk Yaman, mayoritas penduduk
Kurdistan, kaum Sunni Iran, mayoritas penduduk mesir dan lain-lain. Dalam bidang
teologi mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti al-Asyari, sebagaimana yang
ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin al-Subki[56].
4. Hanabali
Imam Ahmad ibn Hambal, biasa disebut Imam Hambali, lahir pada tahun 164 H, di
Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Beliau merupakan murid
Imam Syafi’i selama di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Imam Hambali
mewariskan sebuah kitab hadist yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad
Ahmad[57]. Madzhab ini paling sedikit pengikutnya, karena tersebarnya madzhab ini
berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan mengakar di tengah
masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas penduduk Najd dan sebagian kecil
penduduk Mesir dan Syam[58]. Dalam bidang teologi mayoritas ulama’ Hambali
mengikuti aliran al-Asyari.
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi kaumnya.
Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil posisi yang
moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu,
jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-
Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja
mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang
jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah
merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf
telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan
menemukan kebenaran.”[59]
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian
juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan
oleh tabi’in, tabi’ut tabi’insampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami
sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat
dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-
an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir
yang dilakukan mereka.[60] Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan
berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan
semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan
manusia lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja
An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-
kewajiban syari’at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya
“ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).[61]
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini
termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah Sumi
merupakan keturunan Rasulullah Saw., melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika
Ibunya berkata, “Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan
Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan.”[62]
Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad.
Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain Ibnu Aqil, Abul
Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim. Beliau menimba
ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M,
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada
masyarakat. Tidak butuh waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25
tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.[63]
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah, sebuah istilah
yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus berkembang dan banyak
diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari
pergerakan Tarekat tersebut, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim
lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk
Indonesia.
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-
Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di kota Baghdad
tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang
pecah belah, sementar Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-
Saqathi (w.235 H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi gurunya. Al-
Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela telah mampu mengeluarkan
fatwa. Semua kalangan menerima madzhab yang dibangunnya, dan beliau disepakati
sebagai penyandang gelar “Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru
dan Pemimpin kaum sufi).
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota Thus (daerah Khurasan)
tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari desa
Ghazalah, atau ada yang menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena
ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol. Masa kecil dan masa muda al-Ghazali
dipenuhi dengan belajar ilmu agama, dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru
ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi,
Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin
Abdllah al-Juwaini yang merupakan ulama terkemuka Madzhab Syafi’i.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar aslinya
seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis puluhan
kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran
Islam). Melalui kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman
perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam
mengembangkan paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan syariah.[65]
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-Baghdadi,
kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat
menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan
sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal
semacam ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo.
Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat
yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh
kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan ketertundukan
Kira-kira pada abad ke-7 H, tepatnya sejak masa-masa awal keruntuhan Dinasti
Abbasiyah, Islam sudah masuk ke Indonesia. Dan, sekitar 7 (tujuh) abad kemudian,
tepatnya pada 1344 H, Nahdlatul Ulama (NU) lahir di Surabaya.
Syaikh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, ulama terkemuka yang lahir di Sambas,
Kalimantan Barat, sejak masa mudanya sudah menunjukkan semangat menggebu-gebu
untuk mendalami ilmu ilmu keislaman, sehingga beliau berketetapan hati untuk
bermukim lebih lama di Makkah al-Mukarramah.
Pasalnya, iklim politik di Nusantara waktu itu tidak kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Syaikh Ahmad Khatib Sambas muncul sebagai tokoh sufi dan perintis
kombinasi autentik dua tarekat besar, “Qadiriyah wa Naqsyabandiyah”, Tarekat
Qadiriyah dan Naqsabandiyah.
Tarekat Qadiriyah digagas oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi
Shaleh Zangi Dost al-Jailani (w. 1166 M) yang mengacu pada tradisi mazhab Iraqi yang
dibangun Imam al-Junaid.
Kedua jenis tarekat inilah yang dengan brilian diramu dan diracik oleh Syaikh Sambas
dalam satu kesatuan yang bulat seperti dikenal kalangan umat Islam sekarang ini.
Pelanjut tradisi Aswaja kemudian adalah ulama besar Syaikh Nawawi Banten (1813-
1897). Beliau adalah seorang ulama yang telah mencapal derajat “mujtahid mazhab”.
Beliau telah menulis sejumlah kitab keagamaan yang hingga kini masih digunakan di
lingkungan pesantren di Nusantara dan negeri Islam lainnya. Syaikh Nawawi merupakan
wujud dari geliat dan pergumulan Islam lokal yang lahir di tengah keterbatasan
Nusantara.
Dia akhirnya menetap di Makkah sebagai bentuk protesnya atas kondisi kolonialisme
Belanda. Nawawi mencapai puncak kariernya sebagai mujtahid mazhab di bidang fikih.
Dia telah meninggalkan lebih dari seratus karya tulis dan muridnya tersebar di seluruh
dunia, terutama di negara negara penganut mazhab Syafi’i.
Penerus Awaja berikutnya adalah Syaikh Mahfudz Termas (w. 1919) Ahli hadis ini
merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan Syaikh Nawawi
Banten, Kitab Manhaj Dzawi al-Nasar sebuah kitab metodologi autentisitas hadis yang
hingga kini diajarkan di Universitas al-Azhar, Mesir.
Buku ini merupakan komentar atas karya Imam Abdur Rahman al-Suyuthi (w.911 H).
Mandzhumat Ilm al-Atsar. Selain Mahfudz Termas ulama tersohor lainnya yang
meneruskan tradisi Aswaja adalah Kiai Khalil Bangkalan (1819-1925).
Beliau adalah ahli gramatika Arab dan guru dari KH. Hasyim Asy’ari. Meskipun dari sisi
pemikiran tidak cukup dikenal, Kiai Khalil Bangkalan berhasil mencapai puncak
popularitas dan kharisma sehingga menjadi rujukan ulama Jawa pada masanya.
Ulama periode berikutnya adalah Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan (1901-1952) ulama
asal Kediri yang intens mendalaml tasawuf. Dia mengarang kitab Sirajut al-
Thalibin sebuah komentar cukup luas atas kitab Minhajul al-‘Abidin karya Al-Ghazali.
Kitab Ini menjadi kajian penting di beberapa negara berpenduduk Muslim, tidak
terkecuali di komunitas al-Azhar Mesir dan beberapa negara di Afrika Barat.
Dengan demikian, dalam kesinambungan garis tradisi Aswaja ini dari belahan barat dan
timur Dunia Islam, terletak posisi krusial NU. Kekukuhan NU berpegang pada tradisinya
ini bertolak dari kesinambungan mata rantai khazanah keislaman yaug menghubungkan
Timur Tengah, Asia, Afrika, hingga Nusantara.
Deretan ulama tadi adalah generasi awal yang berjasa dalam meletakkan landasan corak
keagamaan Nahdlatul Ulama, Khazanah Itulah yaug dikenal dengan Ahlussunnah
Waljamaah atau Aswaja.
Seperti dikemukakan tadi, paham ini awalnya ditata oleh Imam Hasan al-Bashri sebagal
generasi tabi’in pasca Rasulullah Saw. yang bersikap moderat di tengah krisis
berkepanjangan yaug menimpa umat Islam akibat al-fitnah al-kubra.
Satu abad kemudian, muncul al-Muhasibi, al-Qalauisi, dan Ibn Kullab yang membangun
dasar-dasar wacana berpikir umat Islam dalam memasuki abad ke-3 H.
Langkah tersebut diteruskan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi, hingga Imam Abu Hamid al-Ghazali, Lalu dikembangkan di Indonesia pada
awal abad ke-20 melalui wadah jam’iyyah Nahdlatul Ulama.