Pengembangan e-governance di daerah 3 t dalam mewujudkan good governance
Percepatan pembangunan Daerah Tertinggal (DT) merupakan perwujudan dari
dimensi pemerataan dan kewilayahan yang tersalin khusus pada Nawacita ketiga, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pemerintah kemudian membuat program prioritas untuk mendukung kebijakan tersebut diantaranya pengembangan ekonomi lokal, peningkatan aksesibilitas/konektivitas, pemenuhan pelayanan dasar publik, serta peningkatan Sumber Daya Manusia(SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi(Iptek).
Perkembangan teknologi informasi memberikan model baru dalam layanan publik.
Berbagai media menjadi sarana baru dalam layanan publik di daerah maju maupun daerah berkembang. Namun pada daerah tertinggal, penerapan teknologi informasi ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Padahal dengan adanya teknologi informasi, berbagai layanan publik bisa didapatkan dengan mudah oleh masyarakat.
Penerapan E-governance di daerah tertinggal masih menjadi proyek besar bagi
pemerintah untuk karena banyaknya tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan E- governance di daerah 3T. Adapun kendala yang pada umumnya dihadapi dalam penerapan E- governance di daerah tertinggal yaitu dari sisi kualitas sumber daya manusianya yang lemah baik masyarakatnya maupun aparatur pemerintahnya. Budi Raharjo (Pakar Telematika dari ITB), pernah menjabarkan bahwa teknologi informasi merupakan sebuah bidang baru. Pemerintah umumnya jarang memiliki SDM yang handal di bidang ini. SDM yang handal dan mau mempelajari bidang baru, biasanya berada di lingkungan bisnis dan industri. Sehingga keterbatasan pemerintah dalam bidang ini sering dimanfaatkan oleh oknum bisnis dengan menjual solusi yang salah atau mahal. Menurut Sosiawan (2008) Permasalahan ketersediaan SDM yang memiliki standar kompetensi dibidang ICT adalah lebih sulit dibandingkan dengan masalah teknologinya. Pada sejumlah kantor pemerintah daerah, PNS yang mempunyai kemampuan di ICT hanya berkisar 3-5 orang saja, beberapa diantaranya belum tentu berlatar belakang pendidikan sarjana bidang Informatika atau Elektro. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan pada 10-20 tahun yang lalu pemerintah daerah jarang bahkan tidak pernah merekrut pegawai baru dengan latar belakang bidang ICT karena pada masa itu belum ada gamabaran ke depan tentang pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi. Dari sisi manajerial ternyata secara umum SDM yang menangani teknologi informasi dan komunikasi sebagian besar adalah eselon III dan eselon II, sehingga akses ke pimpinan pemerintahan daerah cukup sulit. Artinya secara komunikasi organisasi aliran komunikasi dalam hal pengelolaan e-government masih terbentur jalur birokrasi, kondisi ini akan semakin buruk bila terjadi kurangnya perhatian dan kepedulian pejabat pemerintah di dalam pembangunan dan pengembangan e-government.
Kendala lainnya seperti sulitnya telekomunikasi karena tidak meratanya
pembangunan, Lokasi daerah tertinggal yang jauh dari layanan publik yang kemudian dipersulit dengan akses jalan yang tidak memadai, pendapatan perkapita masyarakat yang rendah yang menyebabkan kemampiuan dalam membeli perangkat komunikasi juga rendah, masyarakat yang enggan berubah karena kenyamanan kondisinya saat ini serta terkadang di beberapa daerah tertinggal tidak adanya aliran listrik.
Daftar Pustaka
Sosiawan, E. A (2008) Tantangan dan Hambatan Dalam Implementasi E-Government di
Nurhadryani, Yani. 2009. Memahami Konsep E-governance Serta Hubungannya Dengan E-
govemment Dan E-Demokrasi Seminar Nasional Informatika. (semnas IF 2009) ISSN: 1979-2328. UPN “Veteran” Yogyakarta. http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/semnasif/article/view/990