Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA By. S DENGAN DIAGNOSA BBLR + B20


DI RUANG PERINATOLOGI
RSUD LABUANG BAJI

DISUSUN OLEH:
NORMAWATI, S.Kep.
NIM. 7117811630

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
FAMIKA MAKASSAR
T.A 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
BAYI BARU LAHIR DENGAN DIAGNOSA B20
DI RUANG PERINATOLOGI
RSUD LABUANG BAJI

DISUSUN OLEH:
NORMAWATI, S.Kep.
NIM. 7117811630

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
FAMIKA MAKASSAR
T.A 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFENISI
Human Immunodeficiency Virus atau HIV yaitu sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. Virus HIV akan masuk ke dalam sel darah putih dan
merusaknya, sehingga sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya sistem kekebalan tubuh menjadi lemah
dan penderita mudah terkena berbagai penyakit. Kondisi ini disebut AIDS. AIDS
singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yaitu kumpulan gejala
penyakit (sindrom) yang didapat akibat turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh HIV. Ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh, maka
semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh dengan mudah (infeksi oportunistik).
Oleh karena itu sistem kekebalan tubuhnya menjadi sangat lemah, maka penyakit
yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya.

B. EPIDEMIOLOGI
AIDS pada anak-anak hampir selalu didapat dari ibu yang terinfeksi, baik lewat
penularan intrauterin atau intrapartum. Ibu menjadi terinfeksi karena merupakan
anggota salah satu kelompok beresiko seperti; pemakai obat intravena yang memakai
jarum suntik bersama-sama dengan individu yang terinfeksi HIV; pelacur yang
mendapat penyakit dari salah satu mitranya; atau yang kurang umum, menerima
transfusi darah terkontaminasi; dan wanita yang menikah dengan pria yang seropositif
HIV, termasuk penderita hemofilia laki- laki yang diobati dengan faktor VII
mengandung HIV .
Distribusi geografis AIDS perinatal di Amerika Serikat terpusat terutama pada
daerah metropolitan pantai, seperti New York/New Jersey, Miami, dan Los Angeles,
daerah yang mencakup kebanyakan wanita dengan AIDS. Studi epidemiologis
memberi keterangan bahwa sekitar 7.000 wanita seropositif HIV di Amerika Serikat
akan menjadi hamil pada tiap tahunnya. Angka penularan pada janin atau bayi baru
lahir tergantung pada faktor-faktor ibu, seperti keparahan penyakit dan tingkat
viremianya. Pada beberapa wanita hamil dengan AIDS, angka infeksi janin dan
perinatal dapat mendekati 70%. Namun, angka penularan janin secara vertikal pada
wanita yang diketahui seropositif-HIV sekitar 25%. Pada keadaan khusus dimana
wanita tertular infeksi HIV prime saat awal kehamilan, risiko bagi penularan janin
nampak lebih tinggi daripada 25%. Banyak contoh infeksi HIV pada trimester kedua
yang diketahui melalui isolasi virus jaringan.
Ada lebih sedikit contoh-contoh penularan transplasenta vertikal selama trimester
pertama, namun antigen dan asam nukleat HIV telah ditemukan pada jaringan yang
berasal dari tiga janin berumur 8 minggu. Telah ditemukan mekanisme penularan HIV
intrauterin. Pertama, virus di dalam sistem ibu dilepaskan dari sel desidua, selanjutnya
difagositosis oleh sinsitiotrofoblas. Kedua, trofoblas yang menginvasi jaringan
desidua berkontak dengan limfosit Cluster of Disease atau CD4 ibu yang terinfeksi-
HIV. Ketiga, makrofag ibu yang terinfeksi menginvasi stroma vilus. Fagositosis dapat
merupakan mekanisme yang lebih penting pada penularan intrauterin daripada
kejadian yang diperantai reseptor CD4 spesifik karena sel bernukleus yang
mengekspresikan molekul permukaan sel CD4 belum pernah diamati hingga minggu
12-14 kehamilan.

C. PROSES REPLIKASI HIV


Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang
dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat lingkaran terdapat
untaian Ribonucleic Acid atau RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan
komponen fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag, pol dan env. Gag
berarti grup antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah kepanjangan dari
envelope. Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse
transcriptase, protease dan integrase. Gen env mengode komponen struktural HIV
yang dikenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi
virus, yaitu : rev, nef, vif, vpu dan vpr.

Gambar 2.1 Struktur HIV.


Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek;
hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel pejamu baru untuk
mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan
pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membran mukosa dan kulit pada
24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi akan membuat jalur ke nodus
limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selam 5 hari setelah paparan,
dimana replikasi virus menjadi cepat. Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase,
yaitu :
1. Masuk dan mengikat;
2. Reverse transcriptase;
3. Replikasi;
4. Budding;
5. Maturasi.
Proses Replikasi HIV, sel CD4 berperan sebagi koordinator sistem imun,
menjadi sasaran utama HIV. HIV merusak sel-sel CD4 sehingga sistem kekebalan
tubuh menjadi porak-poranda. Berbeda dengan bakteri, misalnya : Mycobacterium
tuberculosis yang berkembang-biak dengan membelah diri, maka HIV sebagai
retrovirus butuh sel hidup untuk memperbanyak dirinya. Sel yang jadi sasaran adalah
sel-sel CD4, memasuki dan menggunakannya sebagai mesin fotokopi untuk
memperbanyak diri. Replikasinya begitu cepat, bisa mencapai jutaan setiap harinya,
sekaligus merusakkan sel CD4 yang digunakan sebagai host atau inang.
Cara Penularan HIV dari ibu kepada bayi yang dikandungnya dapat melalui:

1. Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum).

Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya, cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal,
transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu
bayi terpapar darah ibu;

2. Selama persalinan (intrapartum),

Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan sevikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir;

3. Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi,

Pada ibu yang erinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan
aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan, besarnya paparan pada jalan lahir
sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara
persaliinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaaan dinding vagina, infeksi cairan
ketuban, ketuban pecah dini,persalinan prematur, penggunaan eletrode pada
kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar
CD4 pada ibu, ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan
meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat;

4. Bayi tertular melalui pemberian ASI,

ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak,


konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah
1 per 104 sel, partikel virus ini dapat mempengaruhi risiko transmisi HIV melalui
ASI antara lain mastitis atau luka di putting, lesi di mukosa mulut bayi,
prematuritis dan respon imun bayi, penularan HIV melalui ASI diketahui
merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko
transmisi dua kali lipat.

Ibu dengan viral load HIV yang tinggi lebih mungkin meularkan infeksi pada
bayinya. Kebanyakan ahli menganggap bahwa risiko penularan bayi sangat amat
rendah bila viral load ibu dibawah 1000 waktu melahirkan. Walaupun janin dalam
kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi dalam proses melahirkan.
Bayi lebih mungkin tertular jika persalinan berlanjut lama. Selama persalinan, bayi
dalam keadaan berisiko tertular oleh darah ibunya.

D. Diagnosis HIV pada Bayi

Penyebaran virus HIV/AIDS di sejumlah provinsi di tanah air dalam beberapa


tahun terakhir telah memasuki populasi umum, yakni kaum ibu dan bayi. Setiap hari,
hmapir 1800 bayi di dunia telah terinfeksi HIV. Di Indonesia, jika tanpa intervensi
diperkirakan 3000 bayi lahir dengan HIV per tahun. Biasanya bayi dan ank terinfeksi
HIV melalui:

1. Penularan dari ibu ke anak,

Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum), selama persalinan


(intrapartum), bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
(postpartum), bayi tertular melalui pemberian Air Susu Ibu atau ASI.
2. Penularan melalui darah transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV,

Penggunaan alat yang tidak steril di sarana pelayanan kesehatan, penggunaan


alat yang tidak steril di sarana pelayanan kesehatan tradisional misalnya tindik,
sirkumsisi, dan lain-lain

3. Penularan melalui hubungan seks,

Pelecehan seksual pada anak, pelacuran anak.

Bayi yang terrtular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystisis carinii. Gejala umum yang ditemukan
pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral,
diare kronis, atau hepatosplenomegali (perbesarah hepar dan lien) .

Mengingat antibodi ibu bisa dideteksi pada bayi sampai usia 18 bulan, maka
tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes
ini berdasarkan ada tidaknya antibodi terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR untuk DNA HIV. Kultur HIV yang positif juga
menunjukkan pasien terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan Polymerase Chain Reaction
atau PCR, bayi harus dilakukan pengambilan sampel darah untuk tes PCR pada dua
saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes
ini kurang sensitif selama periode satu bulan setelah lahir. Centers for Disease Control
atau CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat
bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negatif, maka bayi tidak terinfeksi HIV.

Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI maka bayi beresiko terular HIV
sehinggga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan,
pemeriksaan yang lain.

E. Diagnosa HIV pada anak

Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosa dengan menggunakan


kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV
sering mengalami infeksi kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wasting,
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dengan tes konfirmasi
lain seperti pada orang dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk
mendiagnosa bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO.

CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan
derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini
memungkinkan adanya surveilansi serta perawatan pasien yang lebih baik. Pada
klasifikasi pediatri, kategori E berarti bayi terinfeksi HIV secara vertikal dari ibu, tapi
statusnya masih belum jelas. Bila jumlah limfosit CD4+ normal dan tidak ada tanda-
tanda infeksi HIV, maka bayi dan anak tersebut diklasifikasikan dalam N1.

Anak yang masuk dalam kategori C diklasifikasikan dalam AIDS. Penyakit paru
seperti Limfoid Intertitial Penumonitis atau LIP dan Pulmonary Lymphoid
Hyperplasia atau PLH menandakan bahwa si anak telah terrinfeksi AIDS, tetapi bukan
pada orang dewasa. Kedua penyakit ini diklasifikasikan CDC dalam kategori B.
Beberapa penyakit lain seperti virus sitomegalo, Herpes simplex, dan toksoplasmosis
otak hanya menunjukkan AIDS pada anak usia lebih dari satu bulan dan orang dewasa.

Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan
dalam satu kategori, maka klasifikasi ini tidak berubah meskipun telah terjadi
perbaikan status karena pemberian terapi atau faktor lain. Seorang bayi yang terinfeksi
HIV dari ibunya dikategorikan dalam status E, status ini menjadi awalan untuk kode
klasifikasi yang sesuai (misalnya EN1) .

Tabel 2.1 Klasifikasi HIV pada Pediatri : Kategori Imunologi


Usia, CD4 dan presentasinya.17

Kategori < 12 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun

imun No/mm³ (%) No/mm³ (%) No/mm³ (%)

Kategori ≥1500 ≥25% ≥1000 ≥25% ≥500 ≥25%


1: tidak
ada
suspensi
Kategori 750- 15- 500-99 15- 200-499 15-24%
2:
1499 24% 24%
suspensi
sedang

Kategori 3 <750 15% <500 <15% <200 <15%

: suspensi
berat

WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis


dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam keiteria mayor dan minor.
Seorang anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa didiagnosis
HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain. Beberapa
negara seperti Swiss memodifikasi kriteria ini menjadi 2 gejala mayor dan satu
gejala minor atau 3 gejala minor dengan faktor resiko/paparan HIV.
Berikut ini adalah tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosa
HIV berdasrkan klasifikasi WHO:
1. Gejala mayor seperti, gagal tumbuh atau penurunan berat badan, diare kronis,
demam memanjang tanpa sebab, tuberkulosis
2. gejala minor seperti limfadenopati generalisata, kandidiasis oral, batuk menetap,
distres pernafasan/pneumonia, infeksi berulang, infeksi kulit generalisata.

F. Terapi Anti Retroviral


HIV menyebabkan terrjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien
rentan terhadap serangan opportunistik. ARV bisa diberikan pada pasien untuk
menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya
infeksi opportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV
tidak menyembuhkan pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan
memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV & AIDS. Obat ARV terdiri atas
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor
protease.
Untuk memulai pengobatan ARV, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh penderita. Syarat yang harus dipenuhi untuk mencegah putus obat dan menjamin
efketifitas pengobatan antara lain adalah infeksi HIV telah dikonfirmasi dengan hasil
tes (positif) yang tercatat, memiliki indikasi medis, dan tidak memulai pengobatan
ARV, jika tidak memenuhi indikasi klinis, mengulangi pemeriksaan CD4 dalam 4
bulan jika memungkinkan, pasien yang memenuhi kriteria dapat memulai di
pelayanan kesehatan, jika infeksi opportunistik telah diobati dan sudah stabil, maka
pasien telah siap untuk pengobatan pengobatan ARV, adanya tim medis AIDS yang
mampu memberikan perawatan kronis dan menjamin persediaan obat yang cukup.
Obat-obatan ARV yang beredar saat ini sebagian besar bekerja berdasarkan
siklus replikasi HIV, sementara obat-obat baru lainnya masih dalam penelitian. Jenis
obat-obat ARV mempunyai target yang berbeda pada siklus replikasi HIV yaitu :
1. entry (saat masuk).
HIV harus masuk ke dalam sel T untuk dapat memulai kerjanya yang merusak.
HIV mula-mula melekatkan diri pada sel, kemudian menyatukan membran luarnya
dengan membran luar sel. Enzim reverse transcriptase dapat dihalangi oleh obat
AZT, ddC, 3TC, dan D4T, enzim integrase mungkin dihalangi oleh obat yang
sekarang sedang dikembangkan, enzim protease mungkin dapat dihalangi oleh
obat Saquina, Ritonivir, dan Indinivir.
2. early replication.
Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetik sel T. setelah bergabung
dengan mesin genetik sel T. Setelah bergabung dengan sebuah sel, HIV
menaburkan bahan-bahan genetiknya ke dalam sel. Disini HIV mengalami masalah
dengan kode genetiknya yang tertulis dalam bentuk yang disebut RNA, sedangkan
pada manusia kode genetik tertulis pada DNA. Untuk mengatasi maslah ini, HIV
membuat enzim reverse transcriptase (RT) yang menyalin RNA-nya ke dalam
DNA. Obat Nucleose RT inhibitors (NRTI) menyebabkan terbentuknya enzim
reverse transcriptase yang cacat. Golongan non-nucleoside RT inhibitors memiliki
kemampuan untuk mengikat enzim reverse transcriptase sehingga membuat enzim
tersebut menjadi tidak berfungsi,
3. late Replication.
HIV harus menggunting sel DNA utnuk kemudian memasukkan DNA-nya
sendiri ke dalam guntingan tersebut dan menyambung kembali helaian DNA
tersebut. Alat penyambung itu adalah enzim integrase, maka obat integrase
inhibitors diperlukan untuk menghalangi penyambungan ini
4. assembly (perakitan/penyatuan).
Begitu HIV mengambil alih bahan-bahan genetik sel, maka sel akan diatur
untuk membuat berbagai potongan sebagai bahan untuk membuat virus baru.
Potongan ini harus dipotong dalam ukuran yang benar yang dilakukan enzim
protease HIV, maka pada fase ini, obat jenis protease inhibitors diperlukan untuk
menghalangi terjadinya penyambungan ini.

Obat ARV terdiri atas ;


1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI).
Obat ini dikenalsebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan
RNA virus menjadi DNA (proses ini dilakukan oleh virus HIV agar bisa
bereplikasi) Nucleotide reverse transcriptase inhibitors. (NTRTI). Yang termasuk
golongan ini adalah Tenofovir (TDF).
2. Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI),
Golongan ini juga bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA
menjadi DNA dengan cara mengikat reverse transcriptase sehingga tidak
berfungsi.
3. Protease inhibitor (PI),
Menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi memotong DNA yang
dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk meproduksi virus baru,
contoh obat golongan ini adalah indinavir (IDV), nelvinavir (NFV), squinavir
(SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV), dan loponavir /ritonavir (LPV/r).
4. Fusion inhibitor,
Yang termasuk golongan ini adlah Enfuvirtide (T-20), ARV bekerja secara
berbeda- beda pada siklus hisup HIV untuk mencegah virus memperbanyak diri.

Semakin cepat pengobatan dimulai, semakin baik hasilnya. Obat akan bekerja
dengan baik bila sistem kekebalan juga bekerja dengan baik melawan virus. Namun
demikian, waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena
terapi ARV diberikan dalam jangka panjang. Indikasi lain pemberian ARV:

1. Profilaksis.

Obat ARV diberikan pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang
mengadung HIV (pot-exposure prophylaxis)

2. pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.

ARV diberikan untuk mencegah penularan pada saat proses melahirkan,


melalui ASI ataupun saat kehamilan melalui plasenta.

G. Pencegahan Penularan HIV & AIDS


Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan melalui kegiatan
komprehensif yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu;
1. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
2. pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
3. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
4. dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu
yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya.

 Prong 1
Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun).
Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah penularan
HIVmenggunakan strategi “ABCD”, A (Abstinence) Absen seks atau tidak
melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah. B (Be Faithful),
artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti
pasangan). C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
denganmenggunakan kondom. D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan
narkoba.

 Prong 2

Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV.


Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang
dikandungnya jika hamil.Karena itu, ODHA perempuan disarankan untuk
mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi
yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.

Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada


ibu dengan HIV antara lain: Mengedukasi tentang HIV-AIDS dan perilaku seks
aman, menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan, melakukan upaya
pencegahan dan pengobatan Infeksi Menular Seksual atau IMS, melakukan
promosi penggunaan kondom, memberikan konseling pada perempuan dengan
HIV untuk ikut KB dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat,
memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV yang ingin
merencanakan kehamilan.

 Prong 3

Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya. Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah
terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup
kegiatan sebagai berikut: layanan ANC atau Ante Natal Care terpadu termasuk
penawaran dan tes HIV, diagnosis HIV, pemberian terapi antiretroviral, persalinan
yang aman, tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak, menunda dan
mengatur kehamilan, pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak,
pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.

 Prong 4

Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan kepada Ibu dengan


HIV beserta Anak dan Keluarganya. Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di
tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan psikologis, social dan perawatan sepanjang
waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan
diskriminasi masyarakat terhadap ODHA.
DAFTAR PUSTAKA

Fact sheet 2014 statistic. (2014). UNAIDS. WHO [online] Available at:
http://www.unAIDS.org/sites/default/files/media_asset/20140714_FS_MDG6_R eport_en.pdf

Global HIV and AIDS statistics. (2014). AVERT, pp.1-2.

HIV and AIDS in Asia & the Pacific regional overview - See more at: http:// www.avert.
org/professionals/HIV-around-world/asia- pacific /overview #sthash. acJ4Xt7j.dpuf

Pusat data informasi kemenkes 2014 Infodatin HIV AIDS

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI 2014 Pusat data dan Informasi Kemenkes
RI. (2014). InfoDATIN HIV AIDS.

Prevention of mother-to-child transmission (PMTCT) of HIV – See more at:


http://www.avert.org/professionals/HIV-programming/prevention/prevention- mother-child

Rencana Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak (PPIA). (2013).

Situasi dan Analisis HIV. (2014). InfoDATIN, pp.1-3.

Anda mungkin juga menyukai