Anda di halaman 1dari 135

#DRAFT

Buku Panduan
Implementasi Pencegahan Ekstremisme Kekerasan di Satuan
Pendidikan PAUD dan Taman Kanak-kanak

DAFTAR ISI

Bab I PENDAHULUAN
A. Rasional/Latarbelakang
B. Tujuan
C. Manfaat
D. Sasaran
E. Ruang Lingkup

Bab II Strategi Pencegahan Ekstrimisme

A. Mengidentifikasi Apa dan Bagaimana Ekstremisme Berbasis Kekerasan


A.1.Definisi Ekstremisme Berbasis Kekerasan
A.2.Mengenali Tahapan radikalisasi: Intoleransi-Radikalisme-Ekstremisme-Terorisme
A.3.Proses Radikalisasi dan Cuci Otak (Brain Wash)
A.4.Faktor-faktor Terjadinya Radikalisasi menuju Ekstremisme Kekerasan
A.5.Mengenali Gejala Ekstremisme di Indonesia
A.6.Proses Radikalisasi di sekolah

B. Langkah Strategis Pencegahan Masuknya Ekstremisme Berbasis Kekerasan di Sekolah


B.1. Melalui Kebijakan Sekolah.
B.2. Kegiatan Belajar-Mengajar (Intrakurikuler dan Kokurikuler) dan
Kurikulum
B.3. Kegiatan Ekstrakurikuler
B.4. Penggunaan Internet dan Media Sosial.

1
C. Internalisasi Nilai-nilai positif sebagai upaya pencegahan ekstremisme di Sekolah
C.1. Nilai-nilai 18 Karakter
C.2. Pendidikan Karakter
C.3. Profil Pelajar Pancasila
C.4. Moderasi Beragama di Sekolah
C.5. Berpikir Kritis dan ICT literacy

D. Monitoring dan Evaluasi


E. Tindak Lanjut

Bab III Praktik Baik Implementasi Pencegahan Ekstrimisme di PAUD dan TK

A. Kurikulum Operasional Sekolah


B. Intra dan Ko-Kurikuler
C. Ektra Kurikuler
D. Pembiasaan dan Pembudayaan
E. Bimbingan Konselling
F. Kemitraan

Bab IV Penutup

2
Bab I Latar Belakang
A. Mengapa Perlu Buku panduan
Indonesia telah dibangun oleh para pendiri bangsa di atas fondasi
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Untuk
merawat empat dasar ini, terutama kebinekaan yang menjadi ciri khas bangsa ini,
demokrasi dijadikan sebagai sistem terbaik dalam mengelola bangsa dan Negara
ini, yang memungkinkan kebinekaan dapat dirawat dengan baik. Semua golongan
yang beragam yang menjadi penghuni bumi Nusantara ini dapat berpartisipasi
secara setara tanpa diskriminasi dalam sistem yang demokratis.
Namun demikian, setidaknya dalam 15 tahun terakhir, kita dihadapkan
pada ancaman kelompok-kelompok intoleran, sektarian, radikalis dan ekstremis
yang telah merongrong kehidupan demokrasi kebangsaan dewasa ini. Cara pandang
yang radikal, sektarian, dan intoleran tersebut merupakan parasit yang
menggerogoti proses demokratisasi. Bahkan, pada batas dan kasus tertentu,
cara pandang yang radikal tersebut berujung pada aksi ekstremisme berupa
terorisme yang mengoyak kemanusiaan.
Dalam perjalanannya, cara pandang intoleran, radikal dan monolitik
yang dimotori oleh kelompok radikal ini didiseminasi dan diinternalisasikan
melalui berbagai model dan cara yang disesuaikan dengan konteks sosial,
ekonomi dan politik di Indonesia yang sedang berubah (transisi). Di antaranya
mereka menginfiltrasi bahkan mengambil alih beberapa institusi milik organisasi
masyarakat Islam seperti sekolah dan mesjid (Abdurrahman Wahid ed.el. 2008),
bahkan saat ini sudah juga merambah pada Lembaga-lembaga negara, termasuk
berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di dunia Pendidikan, kelompok radikal-ekstremis telah mempengaruhi
bahkan berhasil melakukan kaderisasi dan menguasai beberapa institusi pendidikan
umum baik negeri maupun swasta untuk menginjeksi ideologi radikalisme-
ekstremisme yang mereka bawa. Akibat pengaruh gerakan radikal ini, muncul
gejala sekolah-sekolah menengah atas menjadi pusat penyemaian intoleransi,
eksklusifitas, anti-kebinekaan, bahkan kekerasan dalam berbagai bentuknya (Farha
Ciciek: 2008; MAARIF Institute: 2011).
Kasus intoleransi sebagai tahap awal masuknya radikalisme-ekstremisme

3
di lingkungan sekolah bukanlah hal yang sulit ditemukan. Pada tahun 2019,
kita

4
mendengarkan adanya kasus intoleransi yang dilakukan oleh pengurus sebuah
kegiatan ekstrakurikuler berbasis keagamaan di sebuah SMU Negeri di Sragen.
Mereka memaksa agar seorang siswi di sekolah tersebut memakai jilbab. Mereka
melakukan pemaksaan dan intimidasi melalui pesan media Whatsapp. Selama
kurang lebih 4 bulan (September-Desember 2019) pesan-pesan bernada
intimidasi dan terror tersebut diterima oleh sang siswi. Pada awal Januari 2020,
orangtua siswi tersebut melaporkan intimidasi dan terror yang diterima putrinya
kepada pihak sekolah.1
Kasus intoleransi terkait dengan jilbab ini juga mencuat di sebuah Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri di Sumatera Barat, pada awal tahun 2021.
Bahkan di sekolah ini, pemaksaan untuk memakai jilbab dilakukan terhadap
peserta didik perempuan non-Muslim. Kasus ini mencuat dan menjadi viral di
kalangan publik, sehingga memaksa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI bersama dua kementerian lainnya (Kemendagri dan Kemenag RI)
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang “Penggunaan
Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga
Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah
pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”2. Fenomena intoleransi di institusi
Pendidikan seperti ini merupakan sebuah fenomena gunung es. Ada upaya
penyeragaman terhadap kebinekaan dan perbedaan yang ada di dalam lingkungan
institusi sekolah. Dan upaya penyeragaman itu dilakukan
dengan cara-cara pemaksaan, intimidasi, dan bahkan teror.
Tentu kasus-kasus intoleransi yang mengarah pada ekstremisme bukan
menjadi milik satu komunitas agama tertentu. Di Indonesia, beberapa kasus
intoleransi juga dilakukan oleh beberapa komunitas agama lain, yang kebetulan
menjadi mayoritas di daerahnya. Kasus intoleransi dalam bentuk pelarangan pakaian
bernuansa keagamaan misalnya terjadi di beberapa sekolah seperti di Denpasar
(Bali), Manokwari (Papua Barat), dan Kab Sikka NTT. Fenomena intoleransi di
lingkungan institusi pendidikan kerap terjadi ketika kelompok mayoritas menjelma
menjadi kelompok tiranik yang

1
Lihat Tarmy, A. (2020), ‘Begini Kronologi Siswi SMA Sragen yang Diteror Gegara Tak Berjilbab’,

5
detiknews, 20 January, Available online: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4866820/begini-
kronologi- siswi-sma-sragen-yang-diteror-gegara-tak-berjilbab
2
Kemdikbud RI, Siaran Pers Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan RI: Pemerintah Terbitkan
Keputusan Bersama Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga
Kependidikan di Lingkungan Sekolah Negeri, 3 Februari 2021

6
memaksakan kehendak kelompoknya kepada kelompok lain yang minoritas dan
cenderung terpinggirkan.
Di Manokwari, Papua Barat, pada Desember 2019 sebuah SD Inpres
melakukan pelarangan penggunaan jilbab bagi siswinya yang Muslimah3. Berdasarkan
laporan dari perwakilan Ombudsman Papua Barat, adanya pelarangan ini
didasarkan pada aturan yang telah dibuat oleh kepala sekolah setempat pada
periode-periode sebelumnya. Namun yang patut disayangkan, kebijakan yang
diskriminatif itu malah dilanjutkan pada periode berikutnya.
Di Denpasar, Bali, kasus pelarangan jilbab bahkan ditenggarai sudah
terjadi dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan temuan Komnas HAM,
banyak sekolah negeri di Bali telah menerapkan aturan (baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis) terkait penggunaan jilbab dan penutup kepala bagi siswi-siswinya4.
Di beberapa sekolah negeri ditemukan adanya pelarangan pemakaian jilbab bagi
siswi-siswi Muslimah. Aturan itu berbunyi pelarangan pakaian identitas
keagamaan. Namun di pihak lain siswa-siswi yang mayoritas beragama tertentu
didorong untuk menggunakan pakaian- pakaian bernuansa keagamaan dalam
perayaan hari raya persembahyangan agamanya (Abdul Azis, dkk, 2017:181).
Terkait fenomena radikalisme dan ekstremisme di sekolah, sudah banyak
data yang disampaikan oleh beberapa lembaga riset dan survey yang
mengungkap adanya proses radikalisasi (radikalisme dan ekstremisme) di
sekolah serta mengukur tingkat paparan radikalisme dan ekstremisme di kalangan
siswa, terutama siswa pada jenjang pendidikan menengah. Beberapa lembaga
riset dan kajian seperti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta,
LAKIP, Setara Institute, Wahid Foundation, MAARIF Institute, dan Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjak) Badan Penelitian
dan Pengembangan Kemendikbud RI telah menemukan fakta-fakta tersebut.
Dalam pengantar ini, perlu disinggung sedikit hasil riset yang dilakukan
oleh Puslitjak Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud RI pada tahun
2017 yang menemukan adanya fakta radikalisme dan ekstremisme yang menyusup
melalui peran

3
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--larangan-penggunaan-hijab-pada-sd-inpres-22-wosi-
manokwari-ombudsman-temui-kepala-sekolah-
4
https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/n1c9xr-komnas-ham-pelarangan-jilbab-terjadi-

7
hampir-di-seluruh-bali

8
guru di dua sekolah jenjang pendidikan menengah Negeri di Jawa Tengah.
Indikasi fenomena tersebut didapati melalui adanya upaya penyebaran paham
ekstremisme – dari kelompok yang telah dilarang oleh Negara– oleh beberapa
guru yang terafiliasi pada sebuah organisasi terlarang. Selain itu mereka juga
melakukan penolakan terhadap dasar negara Pancasila. Sikap ekstrim lain yang
muncul adalah adanya penolakan beberapa oknum guru untuk mengikuti upacara
bendera, hormat bendera, membaca Pancasila, dan menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Lebih jauh, yang patut disesalkan sikap ekstrem semacam ini salah satunya
dilakukan oleh oknum guru PPKn dan guru Bahasa Indonesia yang seharusnya
menjadi pelopor dan teladan bagi pembumian nilai-nilai Pancasila dan
semangat Nasionalisme di lingkungan sekolah. (Philip Suprastowo, dkk, 2018:
94)
Jika sikap-sikap semacam ini dibiarkan terpupuk dalam diri seseorang
(terutama generasi muda) dan memunculkan sikap lain yang lebih jauh, misalnya
keinginan untuk terlibat dalam kelompok-kelompok teror dan berkeinginan kuat
untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita kelompok radikal-teror tersebut,
maka hal itu sudah termasuk menjadi bagian dari ekstremisme.
Melihat data-data yang disodorkan di atas, dunia pendidikan kita
menghadapi sebuah tantangan yang tidak ringan. Infiltrasi ideologi radikal dan
ekstrem akan selalu dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstremis di kalangan
generasi muda, terutama di kalangan siswa dan lingkungan sekolah yang bagi
mereka cukup rentan untuk disusupi. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya untuk
menguatkan ketahanan dan daya tangkal (resiliensi) sekolah harus terus
ditingkatkan. Aspek kebijakan sekolah, kegiatan Intra dan Ko-kurikuler, dan
kegiatan ekstrakurikuler adalah diantara yang perlu menjadi perhatian bersama
untuk diperkuat agar dapat mencegah lebih awal proses radikalisasi yang membawa
pada ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada aksi terorisme.
Melalui Peraturan Presiden no. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi
Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang
Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024, program pencegahan ekstremisme
menjadi sangat penting dan krusial, terutama terkait upaya pencegahan yang bisa
dikontribusikan di sekolah melalui peran utama Kementerian Pendidikan dan

9
Kebudayaan.

10
Keberadaan Perpres ini menjadi sangat penting dan signifikan sebagai payung
bagi berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis
kekerasan yang mengarah pada terorisme, terutama pencegahan ekstremisme
yang menyasar generasi muda melalui lingkungan institusi Pendidikan.
Salah satu upaya pencegahan ekstremisme di kalangan dunia Pendidikan
adalah melalui penyusunan modul panduan implementasi kurikulum bagi warga
sekolah. Kebutuhan akan adanya Modul Panduan Implementasi Kurikulum
Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang
akan menjadi guideline bagi semua sekolah yang ada di Indonesia menjadi
sangat relevan dan dibutuhkan. Buku ini disusun untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.

B. Tujuan
Buku ini memiliki tujuan spesifik sebagai berikut
1. Memberi petunjuk praktis untuk melakukan pencegahan ekstremisme berbasis
kekerasan yang terjadi di sekolah
2. Buku ini mengidentifikasi dan mengenali gejala radikalisme dan
ekstremisme yang terjadi di lingkungan sekolah
3. Buku ini juga memberikan petunjuk bagaimana pihak manajemen sekolah
dapat mengambil langkah-langkah preemtif, preventif dan kuratif bila terjadi
gejala radikalisme-ekstremisme di sekolah

C. Manfaat
1. Bagi Dinas Pendidikan, Buku Panduan ini bermanfaat untuk dijadikan
panduan dalam menilai dan mengevaluasi muatan kurikulum operasional
(KTSP) sebagai upaya implementasi pencegahan ekstremisme berbasis
kekerasan yang mengarah pada terorisme di satuan pendidikan PAUD, SD,
SMP, dan SMA/SMK;
2. Bagi Pengawas, Buku Panduan ini bermanfaat untuk dijadikan panduan dalam
pendampingan, bimbingan, penilaian, evaluasi, dan supervise upaya implementasi
pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme

11
di satuan pendidikan PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK

12
3. Bagi Komite Sekolah, Buku Panduan ini bermanfaat untuk dijadikan panduan
dalam memberikan masukan dan bersama sekolah melakukan upaya-upaya
pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme
pada satuan pendidikan PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK
4. Bagi Kepala Sekolah, Buku Panduan ini bermanfaat sebagai acuan dalam
upaya- upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang
mengarah pada terorisme pada satuan pendidikan PUD, SD, SMP, dan
SMA/SMK;
5. Wakil Kepala Sekolah Buku Panduan ini bermanfaat sebagai acuan dalam
perumusan program dan kegiatan kesiswaan dalam upaya pencegahan
ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme pada satuan
pendidikan PUD, SD, SMP, dan SMA/SMK
6. Bagi Guru, Buku panduan ini bermanfaat untuk dijadikan panduan dalam
menyusun muatan kurikulum sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya
sebagai upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah
pada terorisme pada satuan pendidikan PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK;
7. Bagi Tenaga Kependidikan, Buku panduan ini bermanfaat untuk dijadikan panduan
dalam pelayanan di bidang pendidikan sebagai upaya pencegahan
ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme pada satuan
pendidikan PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK;
8. Bagi Gugus Tugas, Buku Panduan ini bermanfaat untuk dijadikan panduan
dalam melakukan monitoring, pengawasan, penyusunan dan pelaksanaan
program penguatan kehidupan kebinekaan di sekolah dalam upaya
pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada
terorisme pada satuan pendidikan PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK;

D. Sasaran
Buku panduan Implementasi Pencegahan Ekstremisme berbasis Kekerasan di satuan
Pendidikan ini dapat dipergunakan oleh para stakeholder Pendidikan dalam komunitas
sekolah di semua satuan Pendidikan dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan
SMK, sebagaimana berikut;
a. Kepala Sekolah

13
b. Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan

14
c. Guru
d. Tenaga Pendidik
e. Gugus Tugas yang dibentuk secara adhoc oleh sekolah dalam upaya
pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan di sekolah
f. Pengawas Sekolah
g. Komite Sekolah

E. Ruang Lingkup
Buku ini terdiri atas 4 bab pembahasan.
Bab pertama pendahuluan menjelaskan tentang latarbelakang, tujuan,
sasaran, dan ruanglingkup buku modul pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan
di satuan Pendidikan ini.
Bab kedua membahas Strategi Pencegahan Ekstremisme berbasis
kekerasan yang terdiri dari 5 hal: 1. Identifikasi Apa dan Bagaimana
Ekstremisme Berbasis Kekerasan, 2. Strategi Pencegahan Masuknya
Ekstremisme Berbasis Kekerasan di Sekolah, 3. Program Internalisasi nilai-nilai
Positif, 4. Monitoring dan Evaluasi, 5.
Langkah Tindaklanjut Sekolah dalam bentuk mendirikan Gugus Tugas
Bab ketiga berisi uraian tentang Contoh terbaik Implementasi
Pencegahan Ekstremisme di sekolah dalam berbagai aspek, yakni aspek
Kurikulum Operasional Sekolah, Intra dan Ko-Kurikuler, Kegiatan
Ekstrakurikuler, Pembiasaan dan Pembudayaan, Bimbingan Konseling dan
Kemitraan.
Bab keempat terdiri dari penutup dan simpulan.

15
Bab II Strategi Pencegahan Ekstrimisme Melalui Muatan Kurikulum

Pengantar
Pada bagian ini, akan dijelaskan tentang tiga narasi besar pencegahan ekstremisme
berbasis kekerasan di sekolah harus dilakukan: Pertama, pencegahan dengan
melakukan identifikasi, pengenalan, dan pendalaman tentang apa itu ekstremisme
kekerasan, apa ciri-ciri dari ekstremisme yang berbasis kekerasan, bagaimana kita
mengetahui gejala dari ekstremisme kekerasan di dunia Pendidikan. Kedua, Langkah-
langkah strategis pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan di lingkungan sekolah di
semua satuan Pendidikan. Ketiga, pencegahan dilakukan dengan melakukan
pengarusutamaan nilai-nilai positif dalam hal ini nilai-nilai yang mendorong terpeliharanya
kebinekaan di lingkungan sekolah, sehingga komunitas (warga sekolah) memiliki imun
dan ketahanan agar tidak terpapar dari radikalisme-ekstremisme yang berkembang.

A. Mengidentifikasi Apa dan Bagaimana Ekstremisme Berbasis Kekerasan


A.1.Definisi Ekstremisme Berbasis Kekerasan
Ekstremisme didefinisikan sebagai pemikiran dan gerakan politik yang bertujuan menciptakan
masyarakat homogen berdasarkan doktrin ideologis yang kaku dan dogmatis. Kelompok
ekstremis bisa dikategorikasikan sebagai kelompok politik yang menolak pluralisme
dalam masyarakat dan menentang aturan hukum yang berlaku. Kaum ekstremis
bertujuan mewujudkan masyarakat homogen, kompromis, dan anti terhadap perbedaan.
Mereka akan menekan kelompok oposisi dan menindas kelompok minoritas. Dalam
konteks masyarakat demokratis, lebih jauh kelompok ekstremis teridentifikasi memiliki
tujuan-tujuan dan cara-cara politis dengan berbagai elemen berikut: pertama, anti-
konstitusional, anti demokrasi, anti- pluralitas, dan cenderung otoriter. Kedua, Fanatis,
intoleran, non-kompromis, dan memiliki cara pandang monolitik hitam-putih. Ketiga,
menolak aturan hukum dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang
mereka miliki. Keempat, cenderung menggunakan politik kekerasan secara massif
terhadap kelompok yang berseberangan dengannya5.

5
Alex P. Schmid, Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual

16
Discussion and Literature Review, hal. 9

17
Dari penjelasan terakhir ini, ekstremisme diidentifikasi memiliki ciri khas dukungan
terhadap kekerasan. Meskipun demikian, para akademisi juga memandang ada ekstremisme
yang tidak mendorong penganutnya pada tindakan kekerasan. Oleh karena itu
Pemerintah Indonesia memberikan defisini yang cukup spesifik mengenai Ekstremisme yang
berbasis pada kekerasan bahkan yang mengarah pada Tindakan terorisme.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional
Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada
Terorisme Tahun 2020-2024, dinyatakan pada pasal 1 bahwa Ekstremisme Berbasis
Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang
menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan
mendukung atau melakukan aksi terorisme.

Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dari definisi di atas adalah keyakinan dan/atau
tindakan, cara-cara kekerasan, ancaman kekerasan ekstrem, mendukung atau melakukan
aksi terorisme. Keyakinan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Online adalah
kepercayaan dan sebagainya yang sungguh-sungguh; kepastian; ketentuan. Keyakinan juga
dijelaskan sebagai bagian agama atau religi yang berwujud konsep yang menjadi
keyakinan (kepercayaan) para penganutnya6. Sedangkan tindakan adalah sesuatu
yang dilakukan; perbuatan7.

Frase “keyakinan dan/atau tindakan” memiliki dua makna: (1) keyakinan dan Tindakan
yang keduanya dimiliki bersama; atau (2) keyakinan saja atau tindakan saja, yang keduanya
terpisah satu dengan lainnya. Dengan kata lain ekstremisme kekerasan dapat berwujud
keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang diekspresikan secara langsung
maupun melalui perantaraan/media tertentu. Keyakinan yang diekspresikan itu juga
memuat elemen “penggunaan kekerasan” atau “ancaman kekerasan ekstrem” yang
“mendukung aksi terorisme” atau “melakukan aksi terorisme”.

Adapun definisi “penggunaan kekerasan” berdasarkan pasal 1 ayat (3) UU no. 5 tahun
2018 adalah perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan
sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan

11
kemerdekaan

6
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/keyakinan
7
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tindakan

11
orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Contohnya, memukul
dengan tangan kosong atau memukul dengan kayu.
Adapun definisi “ancaman kekerasan”, berdasarkan pasal 1 ayat (4) UU no. 5 tahun 2018
adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar,
symbol, atau Gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam
bentuk elektronik atau non-elektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang
atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau
masyarakat. Contohnya, penyebaran video berisi pernyataan bahwa tindakan
terorisme yang telah membunuh beberapa orang di sebuah tempat adalah tidakan
yang dibenarkan sebagai balasan terhadap korban yang telah menghina ideologi atau
etnis tertentu. Aksi ini menebarkan ketakutan dan terror bagi yang menonton.

“Mendukung dan melakukan terorisme”. Mendukung berarti menyokong, membantu, dan


menunjang. Sedangkan melakukan berarti melaksanakan, mengerjakan, atau
mewujudkan. Dan terorisme sebagaimana didefinisikan dalam pasal 1 ayat (2) UU no. 5
tahun 2018 adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasan terror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan
korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek vital yang strategis. Lingkungan hidup, fasilitas public, fasilitas
internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Maka orang-orang
yang turut mendukung, menyokong, dan atau ikut berbuat, mengerjakan, melaksanakan,
dan mewujudkan perbuatan terorisme di atas, maka menjadi bagian dari definisi ini.

A.2.Mengenali Tahapan radikalisasi: Intoleransi-Radikalisme-Ekstremisme-Terorisme


Tahapan perubahan paham, sikap dan tindakan ini bisa digambarkan dalam proses
intoleran, radikal, dan teroris.
1. Intoleran memiliki suatu pandangan yang benci keragaman dan
perbedaan. Pada tahap ini intoleransi masih berujud pada paham. Ini awal masuk
paham radikal. Tidak menghargai perbedaan dan cenderung menyalahkan orang lain
(terpapar dari sisi pikiran/ pemahaman). Tahapan perubahan paham, sikap dan
tindakan ini bisa digambarkan dalam proses intoleran, radikal, dan teroris.

12
2. Radikal adalah suatu sikap yang mulai aktif menyalahkan orang lain
seperti menganggap orang lain sesat dan di luar kelompoknya tidak ada yang
benar, serta menebarkan kebencian kepada aliran yang berbeda (terpapar
dari sisi sikap).
3. Ekstremisme adalah satu sikap yang lebih tajam dari radikalisme yang
menghendaki kekerasan dalam menyikapi padangan-pandangan yang berbeda
dari yang ia pegang.
4. Terorisme adalah bentuk dari mewujudnya radikalisme dan ekstremisme dalam
tindakan dan aksi kekerasan. Menyikapi perbedaan dengan tindakan kekerasan
atau pembunuhan.

A.3.Proses Radikalisasi dan Cuci Otak (Brain Wash)


Proses radikalisasi secara personal yang dilakukan oleh kelompok ekstremis-radikal dilakukan
melalui proses cuci otak. Ada 3 tahap dalam proses cuci otak yang biasanya
dilakukan:

Pertama, tahapan membangun stigma. Awal dari kegiatan doktrinasi cuci otak akan
dilakukan menumpang pada kegiatan-kegiatan umum yang dianggap positif.
Misalnya melalui pertemuan-pertemuan terbatas yang seringkali dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi dan rahasia. Berdasarkan hasil wawancara dengan korban yang
terpapar, pada awalnya pertemuan dilakukan untuk membahas hal-hal yang bersifat
umum, dan mengkaji ajaran-ajaran keagamaan yang normatif. Tentu mengkaji hal-hal
tersebut adalah positif sepanjang sesuai dengan sumber-sumber yang otoritatif.
Namun seiring berjalannya waktu, kajian akan diarahkan pada persoalan politik.
Pada tahap ini proses radikalisasi diarahkan untuk membangun simpati dan
dukungan serta kesan baik bagi targetnya.
Jika simpati sudah terbentuk, maka lama kelamaan mereka akan berbicara pada isu
sosial politik. Dengan menunjukkan betapa jahatnya kelompok-kelompok di luar mereka, lalu
mereka mulai membangun dinamika kelompok, dengan membedakan anatara “kita” dan
“mereka”. Memberikan pesan bahwa “kita” sedang ditindas oleh “mereka”. Maka dalam
diri korban akan terbentuk identitas “kita” versus “mereka” yang berada di luar
kelompoknya. Kemudian melabeli “mereka” sebagai kelompok di luarnya sebagai kelompok

13
yang salah, keliru, sesat, dan lain sebagainya. Misalkan melabeli kelompok “mereka”
dengan kafir, thagut, bid’ah, atau dengan istilah lain yang lebih halus seperti “tidak
kaffah”, “belum pindah”, atau “tidak agamis”

14
Kedua, tahap doktrinasi radikalisme. Pada tahap ini biasanya jumlah orang dalam
kelompoknya akan lebih sedikit kecil dari proses sebelumnya, tergantung pada seberapa
banyak identitas yang terbentuk. Dalam tahap kedua ini, aktor yang melakukan
indoktrinasi akan membangun sentimen negatif dan buruk terhadap kelompok di luar
diri mereka. Mereka akan menyampaikan narasi bahwa kelompok di luar “kita”
adalah kelompok yang belum mendapatkan petunjuk Tuhan, atau belum mendapatkan
cahaya Tuhan, atau mereka masih berada dalam masa kegelapan, sedangkan kelompok
“kita” sudah mendapatkan petunjuk kebenaran dan harus berpindah pada kebenaran yang
dipegang. Narasi lain yang didoktrinkan pada proses ini adalah bahwa “mereka yang belum
mendapatkan petunjuk Tuhan” akan selalu mengancam “kita”. Ada klaim yang diyakini
bahwa “mereka” selalu memiliki niat buruk kepada “kita”. “Mereka” akan senantiasa
menindas “kita”. Ada juga narasi bahwa “mereka” yang telah membuat “kita” tidak maju
dan selalu kalah.
Pada tahap ini pembenaran terhadap perilaku-perilaku diskriminatif dan intoleran
mulai terbangun. Pembenaran ini akan dijustifikasi dengan karakter ideologinya, baik
melalui teks- teks keagamaan, narasi sejarah yang telah diselewengkan demi
kepentingan mereka, atau janji-janji kejayaan yang sebenarnya hanyalah bualan belaka. Jika
pada tahap ini berhasil, maka korban akan memiliki argumen dan dasar untuk
membenarkan tindakannya, meskipun hal itu salah dan jahat di mata publik. Sebagai
contoh kelompok ekstremis-teroris membenarkan laku merampok atau membunuh
dengan alasan bahwa saat ini masih berada pada jaman kegelapan/jahiliyah. Dalam
beberapa situasi, mereka juga mengajarkan bahwa mencuri harta atau uang orangtua
adalah sesuatu yang boleh dilakukan, karena orangtua dianggap sebagai kafir atau belum
menjalankan agama dengan benar sesuai yang diyakini kelompoknya. Artinya hukum agama
belum berlaku dan segala kejahatan boleh dilakukan untuk kepentingan mereka. Hukum
agama belum bisa diterapkan dan yang haram masih dianggap halal.

Ketiga, menegakan kebenaran absolut. Jika tahap sebelumnya telah berhasil dilakukan, maka
korban cuci otak akan mulai dimanfaatkan. Keyakinan mereka yang besar terhadap
doktrin yang dianutnya akan menempatkan semua orang di luar kelompoknya “salah”
atau “sesat”. Korban akan secara konsisten mulai melakukan tindakan-tindakan
intoleran, diskriminatif, permusuhan terhadap kelompok di luar kelompoknya, dan

15
cenderung mendukung cara-cara kekerasan terhadap kelompok di luarnya. Hal ini akan
dianggap sebagai sebuah hal yang mulia, dan merasa benar di jalan yang padahal
keliru.

16
A.4.Faktor-faktor Terjadinya Radikalisasi menuju Ekstremisme Kekerasan

Ekstremisme berbasis kekerasan terjadi didasarkan pada ideologi yang telah membelah
masyarakat pada kelompok “kami” dan kelompok “mereka/liyan” dan menjustifikasi
penggunaan kekerasan pada kelompok liyan atau mereka.

Sebuah riset yang dilakukan oleh National Institute of Justice menjelaskan bahwa proses
seseorang mengalami radikalisasi yang mengarah pada ekstremisme berbasis
kekerasan disebabkan oleh berbagai faktor potensial yang sangat beragam. Seseorang
bisa berproses menuju seorang ekstrimis yang cenderung melakukan kekerasan tidak
terjadi melalui satu faktor tertentu saja. Di bawah ini adalah beberapa (19) faktor kunci,
seseorang bisa dengan mudah mengalami radikalisasi yang berujung pada sikap
ekstremisme kekerasan, diantaranya adalah
1. Mengalami konflik identitas
2. Merasakan kehampaan makna dalam hidup
3. Pencarian status
4. Keinginan kuat untuk menjadi bagian dari kelompok radikal/ekstremis tertentu
5. Hasrat yang besar untuk melakukan petualangan
6. Pernah mengalami trauma
7. Mengalami masalah kesehatan mental, atau emosi yang labil
8. Sikap polos dan kering dalam pengetahuan agama dan ideologi
9. Memiliki keyakinan keagamaan yang menggebu
10. Memiliki banyak keluhan-keluhan (grievances) dalam hidup
11. Merasa berada di bawah ancaman tertentu
12. Memiliki pandangan fragmentasi yang kuat tentang “kami dan mereka”
13. Mendukung kekerasan dan cara-cara melawan hukum sebagai solusi atas sebuah
masalah
14. Pernah terlibat dalam perilaku kejahatan/kriminal
15. Mengalami banyak tekanan hidup seperti krisis keluarga, dipecat dari
pekerjaan, merasa tidak memiliki prestasi di sekolah
16. Mengalami ketidakadilan atau diskriminasi sosial
17. Terpapar/terlibat dengan individu atau kelompok ekstremis kekerasan

17
18. Terpapar narasi dan sistem keyakinan kaum ekstremis kekerasan
19. Memiliki anggota keluarga atau jaringan pertemanan yang terlibat dalam jaringan
kelompok ekstremis kekerasan.
Dari 19 faktor kunci yang potensial menggiring seseorang kepada ekstremisme
kekerasan ini, ada beberapa faktor saja yang paling dominan mengubah seseorang yang
teradikalisasi menjadi seorang ekstremis pendukung kekerasan, diantaranya adalah,
1. Memiliki hubungan dengan kelompok ekstremis dalam sebuah jaringan sosial individu.
Ini berarti bahwa jika seseorang memiliki anggota keluarga atau jaringan
pertemanan yang terlibat dalam jaringan kelompok ekstremis kekerasan, maka ia juga
akan sangat mudah untuk terpapar dan terlibat dalam ekstremisme kekerasan.
2. Konflik Pencarian Identitas. Ini terkait dengan proses pencarian jatidiri yang selama ini
dialami oleh para remaja usia sekolah. Pengalaman konflik identitas atau
kegamangan identitas, baik itu karena satu tuntutan untuk beradatasi dengan kultur
baru, atau tuntutan beradaptasi dengan satu tahap kehidupan yang baru (proses perubahan
dari masa kanak-kanak ke masa remaja), secara potensial akan mengarahkan seseorang
untuk terbuka menerima sesuatu (ide-ide, gagasan) yang baru tanpa melalui proses
pertimbangan yang matang dan pemikiran selektif yang ketat. Hal ini juga akan sangat
terkait dengan ide-ide radikal atau ekstrem yang diterima oleh seorang remaja.
3. Terpapar narasi dan sistem keyakinan kaum ekstremis kekerasan. Narasi dan sistem
ideologi yang disebarkan oleh kelompok ekstremis merupakan faktor yang sangat
determinan dalam proses radikalisasi terhadap seseorang dan mendorong seseorang
terjebak dalam kelompok ekstremisme kekerasan. Bahkan sebagian kalangan meyakini
sistem keyakinan dan pandangan keagamaan kaum ekstremis menjadi faktor sentral dan
daya tarik utama seseorang dapat terdorong menjadi bagian dari kelompok ekstremis
berbasis kekerasan. Seseorang yang cukup awam dengan diskursus keagamaan, misalnya,
akan sangat tertarik untuk meyakini kebenaran sistem “khilafah” sebagai sebuah sistem
politik, karena meyakini bahwa sistem tersebut bagian dari doktrin keagamaan yang harus
dipegang.
4. Dinamika Kelompok. Seseorang yang mengalami radikalisasi dan mengalienasi diri
dari masyarakat, akan membutuhkan dukungan dan afiliasi untuk bergabung pada
kelompok ekstrimis yang memiliki pandangan serupa dengannya. Dalam perkembangannya,
terlibatnya ia dalam kelompok ekstremis akan membentuk pandangan “us against them”,

18
kami versus mereka. Kami mengindikasikan kelompok yang ia masuki, yang memiliki
pandangan ekstrim

19
yang sama dan membentuk satu fanatisme buta terhadap kelompoknya. Ia meyakini
hanya ia dan kelompoknya saja yang benar. Sedangkan “mereka” atau “liyan” dalam
pandangan ini dipersepsi sebagai kelompok yang bertentangan dan menjadi musuh yang
harus dienyahkan. Dengan begitu “mereka” yang berbeda ini harus diperlakukan
dengan kebencian buta.

5. Terhubung dengan kelompok Ekstremis Kekerasan dan biasa mengakses ajaran-


ajaran mereka melalui internet dan sosial media. Hal ini menjadi factor yang menunjang
seseorang dapat mengarah pada paham ekstremisme berbasis kekerasan. Koneksi
virtual juga dapat menyediakan bagi seseorang tentang petunjuk praktis melakukan
kekerasan ekstremis. Bahkan menurut beberapa peneliti, adanya koneksi virtual
dengan kelompok ekstremis, akan mengarahkan seseorang untuk melihat adanya
kesamaan dirinya dengan para pelaku kekerasan. Dan dengan itu mereka seolah
mendapatkan legitimasi untuk terlibat lebih jauh pada ekstremisme berbasis
kekerasan.
6. Memiliki Keluhan-keluhan dalam hidup. Jika seseorang merasakan diperlakukan tidak
adil dalam hidupnya, atau mengalami hal-hal yang membuatnya kecewa dalam
menghadapi kehidupan ini, termasuk mengalami diskriminasi, atau mendapatkan
ancaman dari orang lain, maka hal tersebut dapat menyebabkan individu berkeinginan
melakukan balas dendam dengan cara-cara kekerasan atau terlibat dalam protes kekerasan
terhadap orang-orang yang mereka anggap telah menindas mereka. Maka sebaliknya, ketika
ada kesetaraan, keterlibatan warga, dan keamanan yang setara, tidak ada banyak
ruang untuk radikalisasi hingga ekstremisme kekerasan.
7. Pencarian makna hidup, secara potensial akan mengantarkan seseorang terbuka
untuk membuat perubahan besar dalam hidup mereka, termasuk kemungkinan
mengorbankan diri untuk suatu tujuan ideologis tertentu. Beberapa orang yang
terjebak pada situasi ini, melegitimasi aksinya untuk melakukan terorisme, karena
didasari keyakinan bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat dan mendapatkan pahala
surga ketika melakukan aksi tersebut, dibandingkan terus hidup dalam kesia-siaan di
dunia.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Justice
mengenai radikalisasi dan ekstremisme kekerasan, setidaknya ada beberapa karakteristik

20
atau indikator yang menunjukkan perilaku seseorang yang telah mengalami radikalisasi
(National Institute of Justice, 2015; 11). Di antara indikator tersebut adalah

21
1. Memiliki ketertarikan yang kuat, rasa ingin tahu yang besar, dan bersemangat
mencari informasi tentang ideologi radikal dan ekstremis kekerasan tanpa didasari
sikap kritis.
2. Menarik diri atau mengalienasi diri dari masyarakat dan relasi-relasi sosial yang
sudah terbina.
3. Terlibat dalam konflik dengan keluarga atau orang lain karena perbedaan
keyakainan dan ideologi. Ia cenderung untuk mengorbankan hubungan baik dengan keluarga
atau kerabat demi memperjuangkan ideologi yang ia pegang.
4. Membuat perubahan gaya hidup secara dramatis, misalnya dengan berhenti
bekerja dengan tidak diduga, bolos tidak masuk sekolah dengan alasan yang tidak
jelas, serta meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas.
5. Membenamkan diri dengan rekan sebaya yang terlibat kelompok radikal dan
ekstremis kekerasan.
6. Bergabung dengan organisasi ekstremis kekerasan
7. Membuat pernyataan publik tentang keyakinannya yang radikal dan ekstrem.
8. Mengekspresikan ancaman atau niat untuk terlibat dalam aktivitas terorisme
9. Terlibat dalam kegiatan persiapan yang terkait dengan terorisme, seperti mengikuti
pelatihan dengan kelompok teroris, mendapatkan senjata dan bahan peledak, dan
melakukan perekrutan.

A.5.Mengenali Gejala Ekstremisme di Indonesia

Menurut Sarlito Wirawan, dalam konteks Indonesia, ada delapan ciri individu yang
teridentifikasi terpapar ideologi ekstremisme berbasis kekerasan, diantaranya adalah
1. Menilai pemerintah Indonesia sebagai thagut (melampaui batas) karena tidak menjalankan
Syariat Islam.
2. Menolak menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tidak bersedia untuk hormat pada
bendera merah putih.
3. Memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan kelompoknya dibanding
dengan keluarga.
4. Mengikuti pertemuan keagamaan eksklusif yang dilakukan secara tertutup.
5. Kesanggupan menyerahkan sejumlah uang kepada kelompok, kendati dilakukan

22
dengan cara yang tidak benar, bahkan kriminal.

23
6. Berpakaian khas yang diklaim paling sesuaai dengan ajaran agamanya.
7. Suka melakukan takfiri (mengafirkan orang lain) yang tidak sepaham dengannya
8. Enggan mendengarkan pandangan keagamaan (ceramah) dari luar kelompoknya,
walau pengetahuannya tentang agama masih terbatas.

Untuk melengkapi informasi tersebut, menurut Badan Intelijen Nasional, berdasarkan


pendekatan pada keluarga dari pelaku yang terpapar ekstremisme, ada beberapa ciri
personal lain yang bisa diidentifikasi seseorang telah terpapar paham radikalisme-
ekstremisme, diantaranya adalah:
1. Perubahan karakter dari yang berwatak riang tiba-tiba berubah menjadi
pendiam.
2. Berkumpul dengan orang yang tidak lazim, yakni kelompok ekstremis-teroris yang
selama ini melakukan gerakan bawah tanah, bahkan orang tua atau keluarga
sama sekali tidak mengenali kelompok mana yang menjadi tempat seseorang
berinteraksi.
3. Seringkali pergi dari rumah dalam jangka waktu yang sangat lama, lalu ketika
pulang ke rumah seringkali berdiam diri di kamar (mendekam di kamar).
4. Sikapnya sering marah-marah apalagi ketika menghadapi orang yang
berbeda pandangan dengan dirinya.
5. Seringkali meminta uang pada orang tua dengan cara memaksa.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (2016) mengidentifikasi beberapa ciri
yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal dan ekstrim, yaitu
1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain),
2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah),
3) eksklusif dan
4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai
tujuan).
Beberapa karakteristik dan indikator yang menunjukkan seseorang telah mengalami
radikalisasi menuju ekstremisme kekerasan ini didasarkan pada temuan empiris dengan
para pelaku dan orang-orang yang terlibat dalam gerakan radikalisme dan terorisme.
Tentu ada unsur subjektifitas di dalamnya. Namun demikian, kita bisa menjadikan data-
data ini sebagai pijakan untuk menghadapi orang-orang atau kelompok teror dan
menyusun strategi pencegahan serta penanggulangan radikalisme yang dihadapi
24
oleh bangsa ini.

25
A.6.Proses Radikalisasi di sekolah
Proses terjadinya radikalisasi dan bagaimana kelompok radikal-ekstremis bekerja melakukan
infiltrasi (penyusupan) di sekolah, bisa diidentifikasi melalui beberapa aspek berikut:
1. Kebijakan internal sekolah.
Kebijakan internal sekolah telah dijadikan pintu masuk bagi kelompok-kelompok
radikal untuk menyusupkan pandangan-pandangan radikal di lingkungan sekolah.
Ada dua kecenderungan umumnya pada kebijakan internal yang menjadikan
proses radikalisasi mudah masuk di lingkungan sekolah. Pertama, kebijakan yang
ditelurkan oleh manajemen sekolah telah begitu permisif dan sangat terbuka
dan bahkan memberikan ruang selebarnya bagi kelompok radikal memainkan
peran di dalam sekolah. Misalnya hal ini ditemukan dalam kebijakan untuk
menjadikan oknum-oknum dari kelompok ini sebagai narasumber dalam kegiatan
pertemuan yang dilakukan setiap bulan. Contoh lain adalah begitu mudahnya
sekolah memberikan ruang bagi kelompok radikal dengan menjadikan kelompok
ini sebagai mentor/pendamping dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah,
terutama kegiatan ekstrakurikuler yang berbasis keagamaan, tanpa proses
seleksi yang cukup ketat. Kedua, lemahnya implementasi dan artikulasi
kebijakan yang menguatkan kebinekaan di sekolah. Sekolah seringkali abai
untuk menyuburkan kebijakan-kebijakan yang mendukung kehidupan
keragaman di sekolah. Hal ini ditandai dengan terjadinya diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok minoritas yang berbeda pada tiga prinsip: rekognisi,
representasi, dan redistribusi.

2. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.


Kegiatan ekstrakurikuler menjadi aspek penting dari proses radikalisasi yang terjadi
di sekolah. Radikalisasi ini bisa terjadi di semua kegiatan ekstrakurikuler.
Namun demikian ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang cukup rentan
untuk diinfiltrasi oleh kelompok-kelompok radikal yang dating dari luar sekolah.
Berdasarkan riset MAARIF Institute tahun 2017, Organisasi Siswa Intra Sekolah
(OSIS) –terutama melalui ekstrakurikuler berbasis keagamaan– menjadi medium
yang sangat signifikan dalam proses regenerasi kader-kader yang berafiliasi pada
kelompok-kelompok radikal- ekstremis dari luar sekolah, diantaranya adalah

26
kelompok yang mengusung ide khilafah yang pada tahun 2017 yang lalu telah
dibubarkan oleh pemerintah. Pola

27
radikalisasi yang terjadi pada kegiatan ekstrakurikuler ini bisa berupa pelatihan
semi- militer sebagaimana yang terjadi di sebuah sekolah di Jawa Barat, atau
yang paling sering dilakukan adalah melalui kegiatan mentoring yang seringkali
dilakukan di luar sekolah dan di luar jam sekolah dengan menggunakan modul-
modul yang bermuatan nilai-nilai anti-pancasila dan anti-kebinekaan, dimana
modul-modul tersebut diinternalisasikan di kalangan siswa tanpa
sepengetahuan pihak sekolah.

3. Kegiatan belajar-mengajar (intrakurikuler dan ko-kurikuler).


Kegiatan belajar mengajar (intrakurikuler dan kokurikuler) menjadi pintu masuk
yang cukup krusial dalam proses indoktrinasi ajaran-ajaran yang terindikasi
radikalisme bahkan ekstremisme. Polanya dilakukan melalui penyisipan pada
pembelajaran mata pelajaran tertentu. Bahkan yang cukup mencengangkan
adalah banyak dilakukan melalui mata pelajaran non-agama, dengan
memberikan muatan-muatan yang menyimpang dari kurikulum, silabus, dan
RPP yang telah disusun sebelumnya. Pada sebuah riset tahun 2007 misalnya,
ditemukan seorang guru mata pelajaran Sosiologi melakukan indoktrinasi ajaran
radikal dalam kegiatan belajar mengajar. Pada tahun yang sama ditemukan juga
seorang guru matapelajaran Bahasa asing (Jerman) melakukan infiltrasi ideologi
radikalisme di sebuah sekolah di Jawa Barat. Pada tahun 2017 juga ditemukan
bahwa seorang guru mata pelajaran Fisika di sebuah sekolah di Jawa Tengah
menjadi agen bagi kelompok pengusung ide khilafah dan
mengindoktrinasikan ideologinya pada proses pembelajaran di kelas.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan
dan Kebudayaan (Puslitjak) Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud RI
(2017), ditemukan pula guru PPKN dan Bahasa Indonesia di sekolah menengah
pertama negeri di Jawa Tengah terindikasi menyebarkan paham ekstremisme
dalam bentuk penolakan terhadap dasar negara Pancasila, penolakan untuk
mengikuti upacara bendera, hormat bendera, membaca Pancasila, dan
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ini membuktikan, bahwa meskipun temuan
ini bersifat kasuistik, namun radikalisasi bisa terjadi di dalam proses belajar
mengajar dengan melibatkan para guru dari beragam matapelajaran, tidak

28
terbatas hanya pada guru mata pelajaran tertentu saja.

4. Internet dan media sosial

29
Internet dan media sosial adalah media yang cukup krusial digunakan untuk
menginfiltrasi padangan ekstrem dan proses radikalisasi di kalangan generasi
muda. Berdasarkan riset program CONVEY (Countering Violence Extremism among
Youth) pada tahun 2017, didapati sebuah hasil yang cukup mengkhawatirkan
karena transmisi ide-ide radikal dan ekstrem dilakukan melalui 2 hal utama,
internet dan buku-buku keagamaan. Menurut survey ini ada 50,89%
responden (siswa dan mahasiswa) yang menjadikan media sosial sebagai sumber
pengetahuan keagamaan yang radikal dan ekstrem. Riset yang dilakukan oleh
National Institute of Justice mengkonfirmasi bahwa anak-anak muda usia
sekolah lebih mudah dan lebih sering terhubung dengan kelompok ekstremis
dan terpapar ideologi kaum ekstremis melalui koneksi internet dan media
sosial, termasuk media jejaring percakapan. Pola rekrutmen pun saat ini
telah berubah dari pertemuan fisik dengan kelompok ekstremis, menuju ke
arah pertemuan virtual melalui internet dan aplikasi jejaring sosial. Film
documenter “Jihad Selfie” telah membuktikan bahwa ketertarikan dan
keterlibatan seorang dalam kelompok ekstremis-teroris dilakukan melalui
platform media jejaring pertemanan.

B. Langkah Strategis Pencegahan Masuknya Ekstremisme Berbasis Kekerasan di Sekolah


B.1. Pertama, Melalui Kebijakan Sekolah.
Sekolah harus memiliki dan membuat kebijakan khusus terkait pentingnya
pencegahan infiltrasi intoleransi-radikalisme-ekstremisme di sekolah. Sekolah
harus menjadi zona yang aman dan nyaman dari berbagai unsur
intoleransi- radikalisme-ekstremisme baik pada aspek visi dan misi sekolah,
kepemimpinan dan manajemen sekolah, kapasitas SDM, kultur sekolah, proses
belajar mengajar (intrakurikuler-kokurikuler), aktivitas kesiswaan
(ekstrakurikuler), dan kolaborasi dengan mitra luar sekolah. Beberapa
Langkah yang dapat dilakukan terkait penguatan kebijakan di sekolah bisa
dilakukan sebagai berikut,
1. Memperkuat Visi sekolah yang sudah tentu harus mengandung
penanaman nilai-nilai positif yang bersifat universal yang menjadi bagian
dari upaya mensukseskan tujuan utama penyelenggaraan Pendidikan di

30
Indonesia. Upaya memperkuat visi sekolah ini didalamnya harus termuat
tentang pentingnya

31
mewaspadai pengaruh dan infiltrasi adanya fenomena intoleransi-radikalisme-
ekstremisme di lingkungan sekolah.
2. Sekolah perlu membentuk Gugus Tugas Pencegahan Intoleransi-Radikalisme-
Ekstremisme di sekolah. Fungsi pokok dari tim ini ada tiga (3): 1).
Melakukan Monitoring dan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya
gejala intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme di lingkungan sekolah yang
melibatkan warga sekolah. 2). Menyusun dan melaksanakan program penguatan
kehidupan kebinekaan di sekolah, termasuk di dalamnya memfasilitasi pelatihan-
pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM di sekolah dalam upaya
pencegahan radikalisme-ekstremisme di lingkungan sekolah. 3) Memberikan
saran dan masukan terkait kebijakan-kebijakan yang perlu dihadirkan dalam
upaya pencegahan radikalisme-ekstremisme di lingkungan sekolah, termasuk
melakukan monitoring dan evaluasi terkait efektivitas pencegahan radikalisme-
ekstremisme di lingkungan sekolah serta program penguatan kehidupan
kebinekaan di sekolah.
3. Membangun sistem dan mekanisme Deteksi Dini terhadap
kemungkinan adanya gejala intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme di
lingkungan sekolah.
4. Melakukan upaya dan Langkah-langkah preemtif, preventif, dan kuratif
terhadap adanya gejala intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme di
sekolah. Langkah-langkahnya bisa dilakukan dengan upaya berikut:
Preemtif- pengarusutamaan program-program yang bermuatan niai Pancasila,
program penguatan kehidupan majemuk di sekolah, dan penanaman Nilai
Moderasi Beragama di kalangan Warga Sekolah. Preventif- analisis faktor
terjadinya intoleransi-radikalisme-ekstremisme, analisis sumber jaringan
terjadinya intoleransi-radikalisme-ekstremisme, pengawasan kegiatan
sekolah yang melibatkan pihak luar, pengawasan kegiatan ekstrakurikuler,
observasi rutin- berkala, dan evaluasi. Kuratif- pendekatan persuasi, bimbingan
personal, bimbingan psikologi, bimbingan keagamaan, dialog dengan pikiran
dan hati terbuka.
5. Sekolah perlu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (Kepala Sekolah,
guru, tenaga kependidikan, siswa dan warga sekolah) terkait pencegahan

32
masalah intoleransi-radikalisme-ekstremisme, termasuk secara terbuka
mendiskusikan akar masalah intoleransi-radikalisme-ekstremisme di lingkungan
sekolah. Sekolah misalnya mengadakan pelatihan berkala untuk semua SDM
terkait peningkatan

33
pemahaman tentang intoleransi-radikalisme-ekstremisme, bagaimana
mengidentifikasi terjadinya radikalisasi dan muncunya ekstremisme di
lingkungan sekolah, bagaimana pola perekrutan terhadap generasi muda
(siswa) oleh kaum ekstremis, apa saja doktrin-doktrin, ajaran dan narasi
yang disampaikan oleh kelompok ekstremis yang menyasar guru atau siswa
di sekolah, bagaimana pola infiltrasi kelompok ekstremis di sekolah. Pihak
sekolah dan SDM yang ada di dalamnya juga harus memahami peta aktor
kelompok-kelompok radikal-ekstremis yang selama ini seringkali melakukan
infiltrasi ke institusi Pendidikan sekolah, termasuk narasi-narasi apa saja
yang disebarkan oleh kelompok tersebut di publik. Pemahaman tentang peta
kelompok ini sangat penting untuk mengidentifikasi apakah warga sekolah
ada yang terafiliasi dengan kelompok-kelompok tersebut atau tidak, termasuk
apakah warga sekolah ada yang telah terpapar narasi dan ideologi oleh
kelompok tersebut atau tidak.
6. Sekolah harus memiliki kebijakan praktis khusus terkait penguatan
kehidupan majemuk/kebinekaan, toleransi, dan anti-diskriminasi di dalam
lingkungan sekolah, melalui 3 prinsip: Rekognisi, Representasi, dan
Redistribusi. Kebijakan praktis ini diharapkana akan menjadi pola dan akhirnya
menjadi kultur yang dikembangkan secara konsisten dalam kehidupan di
sekolah.

Pertama, Rekognisi adalah pengakuan dan penghargaan terhadap kelompok lain


dan yang berbeda. Pada aspek ini, sekolah harus menjamin terpenuhinya
prinsip kesetaraan tanpa diskriminasi terhadap seluruh elemen dan warga
sekolah yang berbeda: Sekolah harus benar-benar dapat memenuhi akses
pendidikan bagi semua siswa di sekolah itu, misalnya akses untuk mendapatkan
pembelajaran keagamaan sesuai dengan agama yang dipeluknya tanpa
melihat jumlah prosentase kuantitasnya. Ketika dalam sebuah sekolah, terdapat
seorang siswa yang memeluk agama minoritas tertentu, maka siswa tersebut
berhak mendapatkan pembelajaran keagamaan sesuai dengan agama yang
dianutnya. Semua siswa juga dijamin oleh sekolah memiliki hak yang sama
dan setara untuk mengakses semua fasilitas pembelajaran yang disediakan

34
oleh sekolah. Rekognisi juga mewajibkan pihak sekolah memenuhi akses
pendidikan bagi warga sekolah yang difabel, akses siswa

35
terhadap fasilitas tempat ibadah, dan terhindarnya dari berbagai praktik
yang membatasi kelompok tertentu.

Kedua, Representasi adalah adanya keterwakilan yang menjadi sarana keterlibatan


semua warga dalam proses pengambilan keputusan bersama dalam komunitas
tertentu. Secara substantif, representasi adalah aktivitas untuk
memperjuangkan kepentingan tertentu pada ranah publik. Pada aspek
representasi ini, dalam konteks kehidupan bersama di sekolah, terutama di
sekolah umum negeri, sepatutnya komposisi struktur manajemen sekolah
dapat diisi oleh representasi warga sekolah yang majemuk/beragam, termasuk
representasi yang didasarkan pada perimbangan gender. Dalam konteks
kesiswaan, pengurus organisasi kesiswaan harusnya mencerminkan
keseimbangan representasi dari tiap kelompok siswa yang berbeda. Misalnya
keterwakilan dalam kepengurusan OSIS dan adanya hak bagi semua siswa untuk
mencalonkan diri dalam pemilihan OSIS, atau juga organisasi kesiswaan
lainnya.

Ketiga, Redistribusi adalah upaya memberikan akses seluas dan seterbuka


mungkin terhadap semua anggota komunitas tanpa diskriminasi, terkait
sumberdaya yang dimiliki komunitas. Dalam kehidupan di lingkungan sekolah,
maka kesetaraan akses bagi semua warga sekolah adalah hal yang utama yang
tidak boleh dicederai. Hal ini misalnya bisa terkait dengan bagaimana semua
siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat mengakses beasiswa
tanpa melihat latarbelakang agama, ras, dan aspek primordial lainnya. Selain
itu juga redistribusi juga harus secara adil menjangkau kelompok-kelompok
minoritas dalam sekolah, misalnya dalam praktik peringatan hari besar
keagamaan, maka pihak sekolah harus benar-benar memperhatikan semua
kelompok yang berbeda di sekolah tanpa terkecuali. Pada aspek ini
terkandung satu misi lain terkait internalisasi nilai-nilai kebaikan di
lingkungan sekolah yang diharapkan akan menjadi budaya sekolah.

7. Kolaborasi dengan Mitra Luar Sekolah. Untuk memperkuat upaya pencegahan

36
ekstremisme berbasis kekerasan di lingkungan sekolah, pihak sekolah
perlu bekerjasama dan mengundang berbagai pihak yang memiliki konsen
pada upaya

37
pencegahan radikalisme-ekstremisme di dunia Pendidikan, misalnya ormas-ormas
keagamaan moderat yang ada di Indonesia seperti Muhammadiyah dan NU,
atau juga bekerjasama dengan LSM-LSM yang selama ini memiliki konsen
yang sama di isu ini. Sekolah juga bisa menjalin kemitraan dengan sektor
swasta (private sector), komunitas budaya, dan lembaga-lembaga yang selama ini
aktif mengkampanyekan kebinekaan, internalisasi nilai-nilai Pancasila di
kalangan publik.

B.2. Kedua, Kegiatan Belajar-Mengajar (Intrakurikuler dan Kokurikuler) dan


Kurikulum.
Kegiatan belajar-mengajar (intrakurikuler dan ekstrakurikuelr) harus didasarkan
pada pengembangan kurikulum yang bermuatan pencegahan intoleransi-
radikalisme-ekstremisme. Yakni dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang
menyuburkan sikap toleransi dan penghormatan terhadap kebinekaan di
sekolah, terutama pada mata pelajaran yang bersifat humaniora dan
keagamaan. Meskipun juga tidak menutup kemungkinan pola pengembangan
kurikulum yang integratif ini juga dimasukkan pada mata pelajaran
matematika, bahasa inggris, ilmu pengetahuan alam, dan pelajaran
pendukung lainnya. Sebagai langkah awal pengembangan kurikulum yang
integratif dengan nilai dan muatan pencegahan intoleransi-radikalisme-
ekstremisme ini, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan
1. Sekolah harus menyepakati dan menetap nilai-nilai luhur yang positif yang
selama ini telah dikenalkan di dunia Pendidikan sebagai nilai utama yang
dijadikan payung dalam kurikulum pencegahan intoleransi-radikalisme-
ekstremisme di sekolah. Misalnya sekolah bisa mengadopsi nilai-nilai yang
selama ini telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI melalui 18 Nilai Karakter Bangsa (Pusat Kurikulum, 2009), atau 5 Nilai
Pendidikan Karakter, atau juga Nilai-nilai yang ditetapkan dalam Profil Pelajar
Pancasila, Prinsip-prinsip dalam Moderasi Beragama yang telah disusun
oleh Kementerian Agama, dan Pengembangan Nilai-nilai Pancasila secara
khusus. Nilai-nilai ini bisa diadopsi dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain yang
didasarkan pada kebutuhan dan konteks yang hidup di sekolah masing-

38
masing.

39
2. Sekolah perlu mengintegrasikan informasi tentang apa itu intoleransi,
radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dalam kegiatan pembelajaran intra
dan kokurikuler dan menunjukkan tentang bahaya isu-isu tersebut bagi
kemanusiaan, keutuhanan bangsa, dan agama. Dalam hal ini, sekolah harus
dapat secara terbuka mendiskusikan persoalan yang dianggap kontroversial ini,
sehingga warga sekolah terutama peserta didik mendapatkan informasi yang
cukup terkait masalah ini. Tentu peserta didik juga harus mendapatkan
informasi lain tentang bagaimana melakukan pencegahan agar tidak terpapar
pada ideologi yang mengantarkan pada intoleransi, radikalisme, ekstremisme,
dan terorisme. Peserta didik juga harus mendapatkan informasi yang
komprehensif tentang bagaimana menciptakan mekanisme ketahanan diri
(resiliensi) agar tidak terpapar ideologi tersebut.

3. Pada pembelajaran intrakurikuler, pihak sekolah harus memperkaya


muatan materi dan kurikulum yang mengarusutamakan nilai-nilai
kebinekaan/kemajemukan, terutama yang sesuai dan kontekstual dengan
kondisi daerah masing-masing. Penting juga untuk membahas kasus-kasus
intoleransi, agar menjadi perhatian bersama untuk dapat dihindari dalam
kehidupan sehari-hari baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.

4. Pada pembelajaran ko-kurikuler, pihak sekolah harus memfasilitasi


sesering mungkin model pembelajaran yang melakukan perjumpaan dan dialog
antar peserta didik yang berasal dari latarbelakang etnis, suku, ras, agama, dan
budaya, status sosial-ekonomi yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk lebih
memperkenalkan realitas kemajemukan yang ada di Indonesia dan memperkuat
sikap toleransi terhadap perbedaan di kalangan peserta didik.

5. Pihak sekolah perlu menyediakan sistem dan mekanisme yang memadai


agar proses belajar-mengajar di sekolah tidak mudah untuk disusupi dan
diinfiltrasi oleh adanya pandangan-pandangan intoleran dan ideologi radikal-
ekstrim. Misalnya Menciptakan sistem evaluasi pasca pembelajaran yang
dilakukan oleh murid terhadap apa yang telah disampaikan oleh gurunya.

40
Pihak sekolah dapat menyediakan formulir yang dapat diisi oleh siswa
setiapkali pelajaran selesai

41
dilakukan oleh guru, formulir tersebut berisi materi apa saja yang telah
disampaikan oleh guru. Pihak sekolah akan mengecek lebih lanjut kesesuai
materi yang disampaikan dengan silabus atau RPP yang telah disusun
sebelumnya. Apakah dalam materi yang disampaikan oleh guru di kelas ada
atau tidak penyimpangan dari materi yang seharusnya diajarkan. Hal lain yang
bisa dilakukan adalah sekolah menerapkan sistem observasi kelas, untuk
memastikan proses pembelajaran tidak mengalami penyimpangan dan sesuai
dengan kurikulum, silabus, dan RPP yang diterapkan.

B.3. Ketiga, Kegiatan Ekstrakurikuler.


Manajemen Sekolah perlu memberikan perhatian khusus terhadap
berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, karena berdasarkan hasil
riset, kegiatan ekstrakurikuler menjadi salah satu pintu masuk utama
infiltrasi radikalisme- ekstremisme di sekolah.
1. Perlu adanya pengawasan dan monitoring lebih ketat terhadap semua kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah, terutama kegiatan ekstrakurikuler bernuansa
keagamaan.

2. Sekolah perlu menciptakan sistem dan mekanisme perekrutan mentor


secara lebih selektif, dengan kriteria dan standar yang sesuai dengan visi
sekolah untuk mengarusutamakan nilai-nilai Pancasila, Moderasi Beragama,
dan penghargaan terhadap kebinekaan.

3. Berdasarkan hasil kajian Asosiasi Guru PAI Indonesia (AGPAII) (2018), mentor
yang ditugaskan untuk mendampingi kegiatan ekstrakurikuler bernuansa
keagamaan haruslah memiliki kriteria dan standar sebagai berikut: 1.
Memiliki kualifikasi sebagai Sarjana Pendidikan Agama atau Sarjana Agama, 2.
Diutamakan pernah mengikuti sekolah agama (pesantren). 3. Memiliki wawasan
keagamaan yang luas, tidak sektarian, lintas mazhab dan aliran. 4. Memiliki
paham keagamaan yang moderat, toleran, humanis, dan tidak radikal. 5.
Memiliki sikap terbuka dan sangat menghargai perbedaan. 6. Jika berasal
dari kalangan alumni sekolah, maka sebaiknya ia memiliki jaringan

42
pertemanan sesama alumni yang moderat dan nasionalis.

43
4. Sekolah perlu menyusun modul khusus sebagai acuan materi mentoring
dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang mengarusutamakan nilai-nilai
Pancasila, kebangsaan, dan moderasi beragama yang disesuaikan dengan
konteks daerah dan sekolahnya masing-masing.

5. Rentannya penyalahgunaan kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan di


luar jam sekolah dan bertempat di luar sekolah, seharusnya mendorong
pihak sekolah (bekerjasama dengan masyarakat, orang tua, dan stakeholder
terkait) untuk membuat kebijakan yang mempersempit ruang gerak
penyalahgunaan kegiatan ekstrakurikuler sekolah menjadi ajang proses
radikalisasi dan infiltrasi paham ekstrim oleh kelompok radikal-ekstremis dari
luar sekolah. Kebijakan fullday school yang pernah dicetuskan oleh
Kemendikbud di zaman Menteri Muhadjir Effendy, salah satunya ditujukan
agar jam-jam pulang sekolah tidak dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis
melakukan radikalisasi siswa sekolah. Sekolah perlu membuat kebijakan khusus
agar kegiatan ekstrakurikuler (seperti mentoring, liqa, mabit) tidak dilakukan di
luar area sekolah dan tidak dilakukan di luar jam sekolah, sehingga fungsi
pengawasan dan monitoring sekolah terhadap kegiatan ekstrakurikuler tetap
dapat dilakukan.

6. Pihak sekolah perlu mempertegas aturan yang telah dibuat oleh


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang menyatakan bahwa
kegiatan ekstrakurikuler sekolah tidak boleh berafiliasi atau berjejaring dengan
kelompok lain di luar sekolah. Hal ini seringkali dimanfaatkan dan disalahgunakan
untuk melakukan konsolidasi dan kaderisasi oleh oleh kelompok radikal
tertentu.

B.4. Keempat, penggunaan Internet dan Media Sosial.


Sejalan dengan semakin massifnya penggunaan internet dan media sosial, terutama
di kalangan generasi muda, kelompok-kelompok radikal-ekstremis juga melakukan
penyesuaian pola infiltrasi dan radikalisasi yang selama ini telah mereka lakukan,

44
mengarah pada penyalahgunaan internet dan media sosial sebagai medium yang
cukup efektif dalam melakukan radikalisasi. Pola-pola rekrutmen juga telah sering
dilakukan melalui berbagai

45
platform media sosial (Youtube, Facebook, Instagram, Twitter) dan platform media komunikasi
berjejaring (WhatsApp, Telegram, dll). Terkait dengan fenomena tersebut, maka
1. Sekolah hendaknya memiliki program pelatihan untuk penguatan kapasitas siswa
dalam penggunaan media secara lebih bijak dan positif. Pelatihan ini juga
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa, terutama dalam
menerima banjir informasi dari gawai yang mereka gunakan sehingga mereka tidak
mudah terpapar oleh narasi-narasi ideologis radikalisme-ekstremisme.
2. Sekolah melalui koordinasi Dinas Pendidikan atau Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI hendaknya bisa melakukan kerjasama dengan penyedia platform
media sosial seperti Google/Youtube, Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter dalam
upaya peningkatan skill siswa dalam penggunaan media sosial yang sehat.
3. Program penguatan kapasitas siswa juga bisa diarahkan pada pembuatan konten-
konten positif di media sosial, sehingga siswa bukan hanya lebih imun
terhadap paparan radikalisme-ekstremisme, tapi juga bisa lebih mewarnai media
sosial dengan konten-konten positif yang mengarusutamakan nilai-nilai
kebinekaan, Pancasila, dan Moderasi beragama.

C. Internalisasi Nilai-nilai positif sebagai upaya pencegahan ekstremisme di satuan


Pendidikan
C.1. Nilai-nilai 18 Karakter

Nilai Penjelasan Indikator


Religius sikap dan perilaku yang - Merayakan hari-hari besar keagamaan
patuh dalam - Menyediakan fasilitas yang dapat digunakan
melaksanakan ajaran untuk beribadah bagi warga sekolah sesuai
agama yang dianutnya, dengan agama yang dianutnya
toleran terhadap - Memberikan kesempatan kepada semua
pelaksanaan ibadah agama peserta didik untuk melaksanakan ibadah
lain, serta hidup rukun sesuai dengan agama yang dipercayainya
dengan pemeluk agama lain - Mengadakan wisata religi sesuai agama
dan
kepercayaan masing-masing

46
Melaksanakan kegiatan keagamaan untuk
meningkatkan keimanan sesuai dengan
agama yang dipeluk oleh warga sekolah
- Berdoa sebelum dan setelah pelajaran,
sesuai dengan agama yang dianutnya
- mengajarkan cara beribadah setiap agama
sesuai agama masing-masing
Jujur perilaku yang didasarkan - Menyediakan fasilitas tempat temuan
pada upaya menjadikan barang hilang, dan tempat
dirinya sebagai orang pengumuman bagi temuan barang
yang dapat dipercaya hilang.
dalam perkataan, - Transparansi laporan keuangan dan
tindakan, dan pekerjaan penilaian sekolah secara berkala
- Menyediakan kotak saran dan pengaduan
- Larangan mengganggu atau mengambil
sesuatu milik teman
- Menyediakan lembar evaluasi proses
pembelajaran/guru untuk diisi siswa
- Mengajarkan siswa untuk tidak berkata
bohong
- Menyerahkan hasil kerja siswa dilengkapi
dengan penilaian dari guru untuk dicek
siswa Kembali
Toleransi sikap dan tindakan yang - Menghormati setiap perayaan hari
menghargai perbedaan besar keagamaan warga sekolah yang
agama, suku, etnis, merayakan.
pendapat, sikap, dan - Membiasakan warga sekolah untuk saling
Tindakan orang lain yang bersilaturahmi pada perayaan hari besar
berbeda dari dirinya dan acara lainnya.
- Mendorong warga sekolah untuk saling
membantu dan bekerjasama dalam semua
pelaksanaan acara keagamaan yang
dilakukan
47
oleh sekolah

48
- Mengembangkan sikap saling menghargai
perbedaan yang dimiliki oleh warga sekolah
baik dalam hal agama, suku, etnis, status
ekonomi, sosial, dan pendapatan.
- Memberikan perlakuan yang sama (tanpa
diskriminasi) terhadap semua agama yang
ada dengan melaksanakan doa semua agama
pada upacara bendera dan upacara
nasional.
- Memberikan penghargaan dan kesempatan
mendapatkan Pendidikan yang sama dan
setara terhadap seluruh warga kelas
tanpa membedakan suku, agama, ras,
golongan, status sosial, dan status
ekonomi.
- Membiasakan peserta didik untuk bekerja
bersama-sama/bergotongroyong dalam
kelompok yang berbeda.
- Mengembangkan sikap saling
menghargai perbedaan yang dimiliki
peserta didik, baik dalam hal agama, suku,
etnis, status ekonomi, dan sosial.
- Mengajarkan untuk saling berbagi.
Membiasakan peserta didik untuk saling
memberi (dermawan)
- Menghibur teman yang sedang sedih.
- Membiasakan siswa dalam belajar agama
dengan melihat perbedaan perspektif dan
pendapat/pandangan yang ada.
- Membuat media pembelajaran dengan
belajar dari alam yang beragam untuk
menumbuhkan toleransi.

49
Mengajarkan pentingnya keberagaman
dengan menggunakan rumah tawon
sebagai
media dalam pembelajaran.
Disiplin Tindakan yang - Memiliki catatan kehadiran
menunjukkan perilaku - Memiliki peraturan dan tata tertib
sekolah
tertib dan patuh pada
- Menjalankan tugas dan kewajiban
berbagai ketentuan dan
masing- masing dengan baik dan
peraturan yang berlaku di
bertanggungjawab
sekolah dan di luar
- Menegakkan aturan dengan memberikan
sekolah
sanksi secara adil bagi pelanggar
peraturan dan tata tertib
- Menggunakan alat dan fasilitas kelas
secara
bertanggungjawab
Kerja keras, perilaku yang - Menciptakan suasana kompetisi yang sehat
ulet, dan menunjukkan upaya bagi semua warga sekolah untuk
tekun sungguh-sungguh dalam memacu semangat belajar
mengatasi berbagai - Memasang slogan dan motto tentang
hambatan belajar, tugas, semangat belajar dan bekerja di
dan tanggungjawab tempat- tempat yang dapat dilihat
lainnya dalam kehidupan warga sekolah
yang lebih luas - Memberikan motivasi kepada warga
sekolah untuk bekerja keras dalam
mencapai target yang direncanakan
- Mencitakan kondisi etos kerj, pantang
menyerah, dan daya tahan belajar
Kreatif dan berfikir dan melakukan - Memiliki suatu wadah berkumpul bagi
mandiri sesuatu dengan warga sekolah, orang tua, dan
menggunakan cara yang masyarakat untuk berdiskusi dan
baru dan inovatif serta mengembangkan daya berpikir dan
sikap yang menunjukkan bertindak yang kreatif.
perilaku yang tidak - Menciptakan situasi belajar yang bisa

50
mudah
menumbuhkan daya pikir dan bertindak
tergantung pada orang lain
kreatif.

51
dalam menyelesaikan tugas - Pemberian tugas yang menantang
untuk mencapai tujuan munculnya karya-karya baru baik yang
otentik maupun hasil modifikasi.
- Mengajak peserta didik untuk
berdiskusi Bersama untuk mengasah
kemampuan berpikir kreatif dan
inovatif.
- Penggunaan metode pembelajaran yang
stimulatif untuk menumbuhkan daya
pikir dan bertindak yang kreatif.
- Mengadakan kegiatan yang menantang
siswa untuk melakukan inovasi dengan
membentuk klub pembelajaran dan
kegiatan ekstrakurikuler.
- Menciptakan kegiatan ekstrakurikuler
berupa simpul siswa, penyiar radio,
kewirausahaan, mading, klub peneliti siswa,
dll.
- Menciptakan suasana kelas yang
memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk bekerja mandiri.
- Memberikan motivasi untuk membangun
kemandirian peserta didik serta membuat
peserta didik data bertanggungjawab atas
tugasnya.
- Menggunakan metode dalam
menyampaikan materi pembelajaran yang
dapat mengembangkan kemampuan
bekerja mandiri, baik untuk
menyelesaikan tugas atau tugas di dalam
sekolah maupun
di luar sekolah.

52
Demokratis cara berfikir, bersikap, dan - Melibatkan warga sekolah dalam setiap
bertindak yang pengambilan keputusan yang berhubungan
memberikan kesempatan dengan kepentingan Bersama sekolah.
dan - Menciptakan suasana sekolah yang
penghargaan yang sama menerima dan menghargai perbedaan.
bagi dirinya dan orang - Pemilihan kepengurusan OSIS dan
lain untuk berekspresi, panitia pelaksanaan acara sekolah secara
memberikan pendapat, terbuka, jujur, dan adil dengan
serta menjalankan hak memperhatikan prinsip rekognisi,
dan kewajiban, tnpa representasi, dan redistribusi.
membedakan suku, agama, - pemilihan guru teladan sekolah secara
ras, gender, status ekonomi, terbuka dengan melibatkan siswa.
status sosial, dan - Memberikan kesempatan pada warga
kemampuan khusus sekolah, orangtua dan masyarakat
untukmenyampaikan pendapat.
- Menyediakan kotak saran untuk menampung
aspirasi, kritik, dan saran dari warga
sekolah.
- Menyediakan sarana dan prasarana yang
memadai sebagai tempat berdiskusi dan
bermusyawarah.
- Mengambil keputusan kelas secara Bersama
berdasarkan asas musyawarah dan
mufakat. Pemilihan anggota
kepengurusan kelass secara
terbuka, jujur, dan adil.
- Melaksanakan kegiatan sekolah secara
terbuka
- Memberikan kesempatan bagi warga sekolah
untuk menyampaikan pendapat, berdiskusi,
dan bermusyawarah perihal sistem
pembelajaran yang sehat dan baik di

53
kelas.
- Melakukan kegiatan pendidikan pemilihan.

54
Kuriositas (rasa sikap dan perilaku yang - Menyediakan media informasi (media
ingin tahu) selalu berupaya untuk cetak atau elektronik) sebagai wadah
mengetahui lebih berekspresi warga sekolah
mendalam dan meluas - Memfasilitasi warga sekolah untuk
dari sesuatu yang dapat bereksplorasi dalam Pendidikan,
dipelajari, dilihat, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
didengar - Menciptakan suasana kelass yang
mengundang rasa ingin tahu
- Eksplorasi lingkungan secara terprogram
- Mengadakan studi wisata untuk warga
sekolah, terutama siswa.
Nasionalisme Cara berfikir, bersikap dan - Mendukung dan menggunakan produk
berbuat yang menunjukkan buatan dalam negeri dengan bangga.
kesetiaan, kepedulian, dan - Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik
penghargaan yang tinggi dan benar untuk berkomunikasi satu
terhadap Bahasa, sama lain di ranah public.
lingkungan fisik, sosial, - Menyediakan informasi (dari sumber
budaya, ekonomi, dan cetak , elektronik) tentang kekayaan
politik bangsa alam dan budaya Indonesia.
- Melestarikan dan memberdayakan
kebudayaan-kebudayaan daerah dan
nasional (seperti Bahasa, makanan, tradisi,
dsb) Indonesia yang hakikatnya majemuk
sehingga tidak musnah.
- memiliki program kunjungan ke tempat
bersejarah
- Mengaja warga sekolah untuk
menghindari perbuatan yang dapat
mencemarkan dan menghancurkan
nama baik bangsa
Indonesia.

55
- mengembangkan sifat dan perilaku
menghargai perbedaan untuk menjaga
integritas dan integrasi bangsa.
- Memajang: foto Presiden dan Wakil
Presiden RI, Bendera Negara, Lambang
Negara, Peta Indonesia, gambar kehidupan
masyarakat Indonesia.
- memperkenalkan pahlawan yang berjasa
dalam memperjuangkan Indonesia
melalui media visual.
- Memperkenalkan dan menyanyikan lagu-
lagu nasional.
- Memperkenalkan kebudayaan Indonesia
sejak dini kepada peserta didik.
- Mengajak peserta didik untuk aktif
melestarikan dan memberdayakan
kebudayaan Indonesia, baik yang bersifat
kedaerahan maupun yang Nasional.
- Menanamkan sikap anti-Korupsi.

Menghargai Sikap dan Tindakan yang - Memberikan penghargaan bagi siswa


Prestasi mendorong dirinyz untuk yang berprestasi berupa beasiswa sesuai
menghasilkan sesuatu yang prestasi yang dicapai.
berguna bagi masyarakat, - Memberikan penghargaan bagi guru
mengakui, dan teladan.
menghormati keberhasilan - Memberikan beasiswa untuk melanjutkan
orang lain Pendidikan bagi guru yang memiliki
dedikasi dan loyalitass terhadap
Pendidikan.
- Memberikan penghargaan bagi siswa
yang masuk ke PTN setelah menamatkan
sekolah
dari SMA dan SMK.

56
- Memberikan penghargaan kepada guru
yang mengabdi dalam rentang masa
tertentu.
- Memberikan penghargaan kepada siswa
yang berprestasi dalam bidang kegiatan
ekstrakurikuler.
- Memajang tanda-tanda penghargaan
prestasi.
- Memberikan dukungan baik secara materi
maupun moral/immateri kepada warga
sekolah yang mengikuti kompetisi
- Menyediakan sarana dan prasarana yang
dapat mendorong pencapaian prestasi para
warga sekolah yang optimal.
- Menciptakan suasana pembelajaran
untuk memotivasi peserta didik untuk
berprestasi.
- Membuat dan menunjukkan hasil karya
sendiri di depan kelas.
- Mengadakan pengumuman pada waktu
upacara bendera tentang prestasi yang
diperoleh siswa.
- Memberikan beasiswa bagi putra-putri
tenaga Pendidikan yang lulus PTN.
Bersahabat dan Tindakan yang - Suasana sekolah yang memudahkan
Komunikatif memperlihatkan rasa terjadinya interaksi yang harmonis
senang berkomunikasi, antar warga sekolah tanpa memandang
bergaul, dan bekerjasama perbedaan yang ada.
dengan orang lain tanpa - Berkomunikasi dengan Bahasa nasional
membeda-bedakan latar dengan santun.
belakang primordialnya - Saling menghargai dan menjaga
kehormatan.

57
- Pergaulan dengan cinta kasih, tidak
membeda-bedakan dan rela berkorban.
- Penyediaan sarana dan prasarana untuk
dapat mengembangkan kemampuan
berbahasa, baik dalam Bahasa Indonesia
maupun Bahasa daerah, maupun Bahasa
asing.
- Pengaturan kelas yang memudahkan
terjadinya interaksi yang berkualitas antar
peserta didik yang berbeda gender,
agama,
suku, ras, status sosial, dan status
ekonomi.
Cinta Damai sikap, perkataan, dan - Menciptakan suasana sekolah dan suasana
perilaku yang menyebabkan kerja yang nyaman, tenteram, dan
orang lain merasa senang harmonis
dan aman atas kehadiran - Membiasakan perilaku warga sekolah
dirinya yang anti kekerassan
- Mengembangkan pikiran dan perilaku
seluruh warga sekolah yang penuh
kasih saying dan menghargai perbedaan
yang ada.
- Mengembangkan pikiran dan perilaku
yang anti diskriminasi dan anti prejudusial
(penuh prasangka)
- Mengajarkan anak untuk saling menyayangi
dan mau bermain Bersama (berbaur)
dengan semua latarbelakang primordial
yang berbeda baik di lingkungan
sekolah
maupun di rumah.

58
Gemar kebiasaan menyediakan - Mencanangkan program wajib baca
Membaca waktu untuk membaca - Mengadakan kegiatan resensi buku
berbgai bacaan yang - Mendorong semua warga sekolah
untuk
memberikan manfaat bagi
meningkatkan frekuensi kunjungan ke
dirinya
perpustakaan.

59
- Memberikan daftar buku atau tulisan
yang dapat mengembangkan minat
dan kemampuan baca peserta didik.
- Mendorong peserta didik untuk saling
tukar bacaan
- Menciptakan suasana pembelajaran yang
memootivasi peserta didik untuk
menggunakan sistem referensi.
- Mengajarkan anak bercerita tentang
gambar yang disediakan atau dibuat
sendiri dengan urutan Bahasa yang benar.
- Membaca gambar yang memiliki kata
atau kalimat sederhana.
- -Membiasakan anak melakukan langsung
dalam penyelesain tugas.
- Menyediakan fasilitas dan menciptakan
suasana membaca yang
menyenangkan bagi semua warga
sekolah.
- - Menyediakan media baca yang
beragam baik dalam bentuk media
cetak ataupun elektronik untuk
meningkatkan minat baca dan
kemahiran menggunnakan berbagai
media dalam pembelajaran.
Peduli sikap dan perilaku yang - Pembiasaan memelihara kebersihan
lingkungan selalu berupaya mencegah dan kelestarian lingkungan sekolah
kerusakan pada - Menyediakan tempat pembuangan
lingkungan alam di sampah sesuai jenis dan kegunaan
sekitrnya dan sampah untuk memudahkan proses
mengembangkan upaya- pengolahan sampah.
upaya untuk memperbaiki - Menyediakan air bersih dan tandon
kerusakan alam yang sudah penyimpanan air
60
terjadi

61
- Menyediakan dan membersihkan kamar
mandi secara rutin dan berkala.
- Pembiasaan hemat energi.
- Membuat biopori di area sekolah.
- Membangun saluran pembuangan air
limbah dengan baik.
- Penugasan pembuatan kompos dari
sampah organic
- Mengurangi penggunaan kertas dalam
administrasi sekolah.
- Penanganan limbah hasil praktik
- Memprogram cinta bersih lingkungan
- Menggunakan material-material untuk
infrastruktur sekolah yang ramah
lingkungan
- Mempelajari secara mendalam tentang
situasi dan tantangan yang dihadapi
oleh lingkungan hidup beserta solusi
untuk menyelesaikan persoalan yang
ada.
Peduli sosial sikap dan Tindakan yang - Melakukan aksi sosial bagi warga sekolah
dan selalu ingin memberi dan masyarakat yang memerlukan
kesejahteraan bantuan pada warga - Menyusun program dan mekanisme
sekolah dan masyarakat dimana warga sekolah mengembangkan
yang membutuhkan sifat empati dan peduli sosial dengan
sukarela
- Melakukan kunjungan dan
mengumpulkan santunan untuk diberikan
ke panti-panti asuhan, panti jompo dan
rumah-rumah sosial.
- Berempati pada sesame teman kelas.
- Membangun kerukunan warga sekolah

62
- Melatih dan mendidik peserta didik agar
peduli terhadap sesame walaupun berbeda
latarbelakang agama, suku, ras, dan status
ekonomi.
- Memberikan Pendidikan gratis bagi siswa-
siswi yang kurang mampu melalui
program anak asuh.
- Memberikan keringanan uang sekolah
bagi siswa yang kurang mampu.
- Memberikan perlindungan asuransi jiwa
dan Kesehatan bagi tenaga pendidik dan
kependidikan.
- Memberikan paket bantuan pada acara hari
besar keagamaan.
Tanggungjawab sikap dan perilaku - Berani mengakui kesalahan dan
seseorang untuk menunjukkan prakarsa untuk mengatasi
melaksanakan tugas dan masalah dalam lingkup terdekat.
kewajibannya, yang - Menghindari kecurangan dalam pelaksanaan
seharusnya dia lakukan, tugas dan kewajiban.
terhadap diri sendiri, - Membuat laporan setiap kegiatan yang
masyarakat, lingkungan dilakukan dalam bentuk lisan maupun
(alam, sosial, dan budaya), tertulis.
negara dan Tuhan Yang - Pelksanaan tugas piket secara teratur.
Maha Esa - Peran serta aktif dalam kegiatan sekolah
- Mengajukan usul pemecahan masalah.
- Mengajarkan peserta didik untuk berani
mengakui kesalahannya sendiri.
Kesetaraan sikap dan perilaku - Menumbuhkan pikiran dan perbuatan yang
Gender seseorang untuk tidak anti diskriminasi, prejudisial, dan
membedakan antara laki- stereotifikal terhadap jender tertentu.
laki dan perempuan dalam
hak-hak dan kewajiban

63
dalam lingkungan keluarga, - Memberikan penghargaan dan perlindungan
seolah, dan masyarakat yang sama dan adil bagi semua warga
sekolah, tanpa membeda-bedakan
jendernya.
- Melakukan diskusi mengenai isu kesetaraan
jender (yang terkadang masih menuai
kontroversi dalam budaya Indonesia) untuk
meningkatkan pemahaman isu gender,
serta memperluas perspektif dalam
melihat isu tersebut.
- Memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam mengeluarkan pendapat tanpa
membedakan gender.
- Memberikan kesempatan yang sama bagi
peserta didik untuk menerima Pendidikan
yang berkualitas.
- Menghindari sikap indoktrinasi yang
mengagung-agungkan gender tertentu dan
merendahkan gender tertentu.
- Menciptakan suasana belajar yang
menentang pengelompokkan peran peserta
didik yang bias gender dan prejudusial di
dalam kelas.
- Menggunakan materi dan metode
pembelajaran yang tidak bersifat bias
gender dan diskriminatif.
- Tugas dan tanggungjawab piket Bersama.
- Pembentukan kelompok diskusi secara
Bersama.
- Memiliki kesempatan yang sama sebagai
pengurus kelas maupun pengurus OSIS
dan
kegiatan ekstrakurikuler.
64
- Memberikan kesempatan yang sama bagi
semua kelompok gender dalam mengisi
manajemen sekolah sebagai bagian dari
prinsip representasi.
pluralisme sikap dan perilaku yang - Memberikan penghargaan yang sama
mengakui, memahami, kepada semua warga sekolah, orang tua,
dan menghargai berbagai dan masyarakat tanpa memandang
perbedaan yang ada perbedaan yang ada.
yang meliputi suku, ras, - Memberikan perlakuan yang adil
agama, gender, status kepada semua warga sekolah, orang tua,
sosial, status ekonomi, dan masyarakat tanpa memandang
kondisi fisik, kemampuan perbedaan yang ada.
akademis, dan Bahasa - Memfasilitasi diskusi tentang isu
perbedaan dan ketidakadilan sosial yang
terjadi di masyarakat secara teratur, damai,
kritis, dan objektif atau tidak bias.
- Membiasakan perilaku warga sekolah
untuk secara aktif ikut melawan segala
bentuk kekerasan dan diskriminasi dengan
cara yang damai dan tidak anarkis.
- Buah pikiran dan perkataan serta sikap
dan Tindakan yang menunjukkan bahwa
keberagaman adalah anygerah Tuhan.
- Membiasakan warga kelas untuk
menghargai perbedaan yang ada.
- Memberikan penjelasan pada warga sekolah
tentang ketidakadilan sosial yang terjadi
dan dampak negatifnya kepada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di
Indonesia.

65
- Memfasilitasi terjadinya diskusi kelompok
mengenai isu perbedaan dan ketidakadilan
sosial yang terjadi serta cara untuk
mencegah terjadinya dampak negative dari
isu tersebut secara kritis, objektif, teratur,
dan tidak bias.
- Membaurkan tempat duduk siswa
berdasarkan suku, agama, dan ras.
- Pembentukan kelompok diskusi berdasarkan
pembauran.
- Memberikan perlakuan yang sama
terhadap siswa tanpa melihat perbedaan
suku, agama, ras, jenis kelamin, dan
status sosial.
- Menghindari sikap memaksakan suatu
paham tertentu kepada orang lain.
- Memberikan kesempatan yang sama bagi
semua warga kelas untuk memberikan
pendapat dan berekspresi dengan tertib
dan damai tanpa memandang suku,
agama, ras, status sosial-ekonomi,
keterampilan khusus, umur, dan lainnya.

C.2. Nilai Penguatan Pendidikan Karakter


Pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menggulirkan
program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Halini sebagai upaya
penerjemahan dari program Nawa Cita Pemerintah dalam upaya melakukan
revolusi karakter bangsa. Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter ini ditujukan
sebagai fondasi dan ruh utama Pendidikan. Tak hanya olah piker (literasi), PPK juga
mendrong agar pendidikan nasional memperkuat olah hati (etik dan spiritual),
olah rasa (estetik), dan juga olah raga (kinestetik). Oleh karena itu ada 5 nilai
karakter utama yang dikembangkan dalam program ini: religious, nasionalisme,
66
integritas, kemandirian, dan gotongroyong.

67
1. Nilai Religius
Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa
yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan
kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung
tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain,
hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Implementasi nilai
karakter religius ini ditunjukkan dalam sikap cinta damai, toleransi,
menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya
diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, anti perundungan
dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak,
mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.

2. Nilai Nasionalisme
Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa,
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. Sikap nasionalis ditunjukkan melalui sikap apresiasi budaya
bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul,
dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin,
menghormati keragaman budaya, suku, dan agama.

3. Nilai Integritas
Adapun nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki
komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Karakter
integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat
dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang
berdasarkan kebenaran. Seseorang yang berintegritas juga menghargai
martabat individu (terutama penyandang disabilitas), serta mampu
menunjukkan keteladanan.

68
4. Nilai Kemandirian

69
Nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada
orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk
merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Siswa yang mandiri memiliki etos
kerja yang baik, tangguh, berdaya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan
menjadi pembelajar sepanjang hayat.

5. Nilai Gotongroyong
Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat
kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin
komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-
orang yang membutuhkan. Diharapkan siswa dapat menunjukkan sikap
menghargai sesama, dapat bekerja sama, inklusif, mampu berkomitmen
atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, memiliki
empati dan rasa solidaritas, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap
kerelawanan.

C.3. Profil Pelajar Pancasila


Profil Pelajar Pancasila sesuai Visi dan Misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sebagaimana tertuang dalam dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Tahun 2020-2024:

Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang


hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan
berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar
kritis, dan kreatif

Keenam ciri tersebut dijabarkan sebagai berikut:


1. Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia
Pelajar Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak
mulia adalah pelajar yang berakhlak dalam hubungannya dengan Tuhan Yang

70
Maha Esa. Ia memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan
pemahaman tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Ada lima elemen
kunci beriman,

71
bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia: (a) akhlak beragama; (b)
akhlak pribadi; (c) akhlak kepada manusia; (d) akhlak kepada alam; dan
(e) akhlak bernegara.
2. Berkebinekaan global
Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitasnya,
dan tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain,
sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan kemungkinan
terbentuknya dengan budaya luhur yang positif dan tidak bertentangan
dengan budaya luhur bangsa. Elemen dan kunci kebinekaan global meliputi
mengenal dan menghargai budaya, kemampuan komunikasi interkultural
dalam berinteraksi dengan sesama, dan refleksi dan tanggung jawab
terhadap pengalaman kebinekaan.
3. Bergotong royong
Pelajar Indonesia memiliki kemampuan bergotong-royong, yaitu kemampuan
untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan suka rela agar
kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah dan ringan. Elemen-
elemen dari bergotong royong adalah kolaborasi, kepedulian, dan berbagi.
4. Mandiri
Pelajar Indonesia merupakan pelajar mandiri, yaitu pelajar yang bertanggung
jawab atas proses dan hasil belajarnya. Elemen kunci dari mandiri terdiri
dari kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta regulasi diri.
5. Bernalar kritis
Pelajar yang bernalar kritis mampu secara objektif memproses informasi baik
kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai
informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi dan menyimpulkannya. Elemen-
elemen dari bernalar kritis adalah memperoleh dan memproses informasi
dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksi
pemikiran dan proses berpikir, dan mengambil Keputusan.
6. Kreatif
Pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang
orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Elemen kunci dari kreatif
terdiri dari menghasilkan gagasan yang orisinal serta menghasilkan karya dan

72
tindakan yang orisinal.

73
C.4. Moderasi Beragama di Sekolah
Moderasi Beragama adalah sebuah program yang dikembangkan oleh
Kementerian Agama dalam upaya memperkuat nilai-nilai moderat dalam cara
pandang dan sikap beragama. Hal ini dilakukan sebagai upaya melawan
ekstremisme dan radikalisme yang berkembang di Indonesia.
Secara etimologis, moderat merupakan kata sifat turunan dari kata moderation,
yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang. Term moderasi sendiri berasal
dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti kesedangan (tidak berlebihan dan tidak
berkekurangan), dan seimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
moderasi diartikan dengan pengurangan kekerasan atau penghindaran
keekstriman.8 Ketika term moderasi digandeng dengan beragama menjadi
moderasi beragama itu merujuk pada sikap mengurangi kekerasan atau
menghindari keekstriman dalam cara pandang, sikap dan praktek beragama
Definisi secara etimologis ini mengarahkan bahwa tidak ekstrim merupakan kata
kunci dalam memahami moderasi beragama. Sebab, ekstrimitas dalam berbagai
bentuknya diyakini bertentangan dengan esensi ajaran agama dan merusak
tatanan kehidupan bersama, baik dalam konteks beragama maupun
berbangsa.
Sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) indikator ekstrimitas dalam
beragama. Pertama, mencederai nilai luhur kemanusiaan. Dalam setiap agama,
diyakini menjaga dan melindungi harkat martabat kemanusiaan merupakan salah
satu esensi ajaran agama. Kedua, bertentangan dengan kesepakatan bersama
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks Indonesia,
Pancasila dan UUD 1945 merupakan acuan dasar kesepakatan berbangsa yang
nilai-nilainya diambil dan selaras dengan nilai luhur agama. Ketiga, melanggar
ketentuan hukum yang menjadi panduan bermasyarakat dan bernegara guna
mewujudkan ketertiban sosial dan kemaslahatan bersama.9
Definisi moderasi beragama secara terminologis, sebagaimana dinyatakan
oleh Kementerian Agama, adalah “Cara pandang, sikap, dan praktek beragama
dalam

8
Lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/moderasi, diakses pada 23 Mei 2021.
74
9
Tim Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kemenrterian Agama RI, Peta Jalan (Roadmap) Penguatan
Moderasi Beragama Tahun 2020-2024, h . 20-21.

75
kehidupan bersama, dengan cara mengejewantahkan esensi ajaran agama, yang
melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum,
berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai
kesepakatan berbangsa”.10
Digunakannya terminologi moderasi beragama, bukan moderasi agama, ini
menegaskan bahwa yang dimoderasi bukanlah agama, sebab agama itu sendiri sudah
moderat. Yang dimoderasi adalah pemahaman dan pengamalan kita dalam beragama
sehingga terciptanya toleransi dan kerukunan kehidupan sehari-hari, baik dalam
tingkat lokal, nasional, regional dan global.
Sikap moderat dalam beragama itu harus diimplementasikan dalam
kehidupan sosial dan ruang publik, seperti di sekolah dan berbagai institusi
Pendidikan. Selain itu moderasi juga harus dilakukan dalam berinteraksi antara
satu komunitas dengan komunitas lain, dalam interaksi antar umat manusia. Sebab,
dalam konteks ruang publik inilah moderasi beragama itu sangat dipentingkan agar
terciptanya keharmonisan dan kedamaian untuk mewujudkan kemaslahatan kita
bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Moderasi beragama diimplementasikan dengan mengejawantahkan esensi
ajaran agama, yakni senantiasa melindungi martabat kemanusiaan dan
membangun kemaslahatan umum. Moderasi beragama harus mampu
menyadarkan kepada masyarakat bahwa hakikat beragama adalah memuliakan
manusia. Sebab, agama diturunkan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia.
Yang butuh terhadap agama adalah manusia, bukan Tuhan. Oleh karenanya,
kita patut menjadikan agama sebagai inspirasi atau pijakan dalam menyelesaikan
problem-problem kemanusiaan, bukan sebaliknya, yakni agama menjadi sumber
masalah bagi manusia. Oleh karenanya, pesan-pesan agama itu harus dapat
difahami dengan “bahasa-bahasa” kemanusiaan dan berdampak terhadap
kemasalahatan bagi manusia.
Untuk memahami moderasi beragama lebih lanjut, setidaknya terdapat
4 (empat) nilai utama atau indikator kunci dari moderasi beragama, selain
terbuka kemungkinan ada indikator lainnya.

76
10
Ibid., h. 16

77
1. Komitmen kebangsaan. Tinggi rendahnya penerimaan umat beragama
terhadap prinsip-prinsip berbangsa sebagaimana tertuang dalam
Pancasila, UUD 1945 dan regulasi turunannya menjadi indikator kuat
atas moderasi beragama. Demikian juga, kecintaan terhadap tanah air
bagi umat beragama merupakan bagian penting dari moderasi
beragama ini.
2. Toleransi, yang ditandai dengan menghormati perbedaan, memberi ruang
kepada orang lain untuk berkeyakinan serta berpendaat dan mengekspresikan
keyakinan dan pendapatnya itu dengan saling menghargai dan sedia
bekerjasama merupakan indikator penting dari moderasi beragama. Selain
itu, memperlakukan kesetaran kepada orang lain dengan menjunjung
hinggi hak- hak kemanusiaannya, yang tidak mendiskriminasikan perlakuan,
termasuk atas nama jenis kelamin, juga bagian penting dari moderasi
beragama.
3. Anti kekerasan, dengan melakukan penolakan terhadap tindakan
seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara
kekerasan, baik fisik maupun verbal dalam melakukan perubahan yang
diinginkan.
4. Penerimaan serta ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku
keagamaannya sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran
agama.

C.5. Berpikir Kritis dan ICT literacy


Berpikir kritis merupakan sebuah kemampuan penting yang harus dimiiki oleh peserta
didik. Kemampuan ini sangat penting untuk menanalisis, mengevaluasi, dan merasionalisasi
terhadap berbagai informasi yang diterima. Berpikir kritis didefinisikan sebagai suatu
sikap mau berpikir mendalam tentang persoalan dan hal-hal yang berada pada jangkauan
pengalaman seseorang. Berpikir kritis juga diartikan sebagai keterampilan (skill) untuk
menerapkan metode-metode pemeriksaan dan penalaran logis. Oleh karenanya berpikir
kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan
asumtif berdasarkan bukti pendukungnya.

78
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting dan fundamental bagi
kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi dalam semua aspek kehidupan. Siswa yang mampu
berpikir kritis akan mampu menolong dirinya atau orang lain dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi. Dengan kemampuan berpikir kritis, seseorang akan
memperoleh beberapa manfaat berikut: Pertama, Terhindar dari berbagai upaya
penipuan, manipulasi,

79
pembodohan, dan penyesatan. Dalam hal ini seorang yang memiliki kemampuan berpikir
kritis tidak akan menelan informasi secara mentah-mentah. Namu ia akan menelusuri
kebenaran dari informasi yang ia terima sehingga orang lain sulit membodohi atau
menipunya.

Kedua, ia akan mampu menyaring semua informasi yang diperoleh dari berbagai
sumber. Seseorang dengan kemampuan berpikir kritis akan mampu memilah informasi
dengan baik dan tidak akan menerima semuanya. Hal ini disebabkan tidak semua
informasi yang hadir adalah benar, dan tidak semua informasi juga salah. Maka orang
yang mampu berpikir kritis akan memilah mana informasi yang benar yang dapat
diterima oleh rasio, dan mana informasi yang salah yang harus ditolak.
Ketiga, terhindar dari berbagai kesalahan, seperti membuang waktu, uang, dan
melibatkan emosi dalam kepercayaan atau ajaran dan ideologi yang salah dan menyesatkan.
Seorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan selalu mempertimbangkan apa
yang akan ia lakukan sehingga tidak menyesali apa yang telah ia perbuat di
kemudian hari.
Keempat, mampu memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dalam hal menjelaskan
dan berargumentasi mengenai banyak isu atau fenomena yang sedang actual, serta
mampu memberikan informasi yang akurat pada orang lain yang didasarkan pada
pertimbangan akal sehat, kejujuran dan kebijaksanaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dahana (2017) menunjukkan bahwa profil siswa
yang memiliki kemampuan berpikir kritis memiliki ciri atau karakter sebagai berikut;
(1) mampu menganalisis suatu masalah atau argumen orang lain, (2) mampu berkomunikasi
dengan baik,
(3) mampu mencari tahu kebenaran dengan meneliti informasi yang datang, (4)
mampu menerima pendapat dari orang lain, (5) mampu memecahkan masalah dan
memberikan solusi,
(6) memiliki keingintahuan yang tinggi, (7) tidak mudah percaya pada informasi yang baru
datang, (8) senang bertanya dan bisa menjawab pertanyaan, (9) mampu membayangkan
kemungkinan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, dan (10) mampu menyampaikan
pendapat dengan baik.

80
Penelitian lain yang dilakukan oleh J. Boss (2010) menyatakan bahwa setidaknya ada 7
ciri dan karakter utama seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis. Diantaranya
adalah
1. Kemampuan analisis

81
Seorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis dituntut untuk mampu menganalisis
dan berpikir logis pada suatu masalah yang dihadapinya, hal ini dikarenakan apa yang
diungkapkan pada saat itu akan bergantung dengan pendapat yang telah disampaikan.
Oleh karena itu kemampuan analisis ini harus berlandaskan dengan teori-teori ilmiah yang
ada sehingga orang lain dapat memahami dan menerima pendapat yang telah
diungkapkan. Kemampuan analisis ini biasanya timbul dengan mempertanyakan
“mengapa” dan “bagaimana” masalah itu muncul, dengan begitu ia akan mencari
bukti, bertukar pendapat dengan orang lain, dan mengkaji teori yang berhubungan
dengan masalah tersebut.
2. Komunikasi yang efektif
Komunikasi merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang
atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Komunikasi yang baik
diperlukan untuk menciptakan berpikir kritis seseorang, kemampuan komunikasi
termasuk dalam hal mendengarkan, berbicara, dan kemampuan menulis seseorang.
Kemampuan yang komunikasi yang efektif ini akan memberikan nilai plus pada diri
seseorang untuk dapat berpikir kritis, penggunaan bahasa dalam kemampuan
komunikasi akan memberikan dampak yang baik dalam penuturan pendapat. Dengan
memiliki kemampuan komunikasi yang baik maka akan sangat membantu
perkembangan kemampuan berpikir kritis pada seseorang.
3. Keterampilan penelitian dan penyelidikan
Pemahaman dan mengatasi suatu masalah memerlukan keterampilan penelitian dan
penyelidikan, misalnya kompetensi dalam pengumpulan, mengevaluasi, dan mensintesiskan
suatu masalah. Sebagai seorang yang berpikir kritis perlu menghindari informasi yang
bias, perlu mengkonfirmasi informasi yang datang, dan menafsirkan data dalam
pandangan diri sendiri, hal ini yang memberikan pentingnya keterampilan penelitian dan
penyelidikan dalam berpikir kritis. Dengan begitu seorang yang berpikir kritis tidak
menerka-nerka atas jawaban atau solusi dari sebuah masalah dan hal tersebut sudah
terklarifikasi dengan baik dan secara ilmiah.
4. Fleksibilitas dan toleransi untuk ambiguitas
Seorang yang berpikir kritis hendaknya memiliki sikap fleksibel atau mudah dalam
beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada di sekitar. Sebuah ilmu yang ada di
sekitarnya akan semakin berkembang lebih maju sehingga seorang yang memiliki sikap kritis

82
akan mudah untuk menerima perubahan kemudian akan mengkaji lebih dalam lagi.
Disamping itu seorang yang kritis harus bertoleransi pada dua pilihan yang ambigu atau
dua hal yang saling bertentangan

83
sekalipun untuk mengambil keputusan masalah, sehingga tidak sedikit yang gagal dalam
mengevaluasi pandangan yang bertentangan.
5. Bepikiran terbuka pada keraguan
Seorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis bersedia untuk menggali atau
mengatasi prasangka pribadinya yang bias atau tidak jelas dengan mengkaji beberapa
pendapat orang lain dan mencari tahu keaslian dari informasi tersebut. Tindakan
terbuka pada keraguan ini menjadikan seorang berpikir kritis tidak menerima informasi
secara mentah-mentah dan harus melakukan checking pada informasi yang telah
diterima. Hal ini dimulai dengan pikiran terbuka dan sikap yang skeptisisme (meragukan)
pada suatu permasalahan yang ada. Dalam hal ini pemikir kritis ini akan mampu
menyeimbangkan keyakinan dan keraguannya atas permasalahan atau pertanyaan-
pertanyaan yang ada di sekitarnya, sehingga ia dapat menemukan jawaban dari
masalah yang sedang dihadapinya. Dengan begitu segala yang diucapkan, diberikan
olehnya mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
6. Pemecahan masalah secara kreatif
Seorang yang kritis memecahkan masalah secara kreatif, dengan kata lain ia dapat
melihat masalah dari perspektif ganda dan dating dengan solusi kreatif untuk masalah
yang kompleks. Menurut Judith (2010: 10) bahwa seorang yang kritis ini menggunakan
imajinasinya untuk membayangkan kemungkinan yang akan terjadi dan menyiapkan
rencana lainnya untuk menyikapi masalah secara efektif. Seorang yang memiliki
kemampuan berpikir kritis mencari solusi atau kebenaran pada suatu pertanyaan dan
pernyataan secara ilmiah. Kemampuan berpikir kritis tidak jauh dari berpikir kreatif,
seorang yang mampu berpikir kritis menyelesaikan masalah dengan sangat unik dan
mengkaji dari beberapa teori yang ada untuk mengenali masalah dan mampu
menghasilkan ide-ide baru.
7. Penuh perhatian, sadar, dan ingin tahu
Karakteristik yang harus dan selalu dimiliki oleh seorang pemikir kritis adalah penuh
perhatian, sadar, dan ingin tahu pada suatu masalah. Dalam hal ini penuh perhatian adalah
cara seseorang memperhatikan kelemahan dari sebuah masalah atau mencari celah
untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang ada. Kemudian rasa sadar akan pada
pertanyaan dan pernyataan yang mengganjal logika dan tidak sesuai dengan teori ilmiah.
Selain itu seorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis memiliki rasa ingin tahu yang

84
tinggi, sehingga ia tidak akan bosan dan akan terus mencari solusi atau kebeneran dari
pertanyaan atau pernyataan tersebut.

85
Seorang yang berpikir kritis secara intelektual memiliki rasa penasaran yang tinggi, ia
penuh perhatian dan sadar dengan apa yang tengah terjadi di sekitarnya. Pemikir kritis
yang baik tidak akan menolak tanpa alasan tanpa mengetahui kebenaran yang pasti dan
pandangan yang bertentangan dengannya. Namun sebaliknya seorang yang memiliki
kemampuan berpikir kritis akan menghormati keragaman dan bersedia untuk
mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada disekitarnya. Dengan begitu ia mampu
menyelesaikan masalah dan mengetahui kebenaran dari pernyataan tersebut.

D. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring merupakan kegiatan penggalian data dan informasi terkait
implementasi Strategi Pencegahan Radikalisme-ekstremisme dan penguatan kehidupan
kebinekaan di sekolah. Tujuan monitoring adalah untuk memastikan beberapa
Langkah dan program dalam Pencegahan Radikalisme-Ekstremisme di sekolah
berjalan sesuai dengan yang telah ditargetkan
Evaluasi merupakan mekanisme penggalian data dan informasi terkait
perencanaan dan implementasi Strategi Pencegahan Radikalisme-ekstremisme dan
program penguatan kehidupan kebinekaan di sekolah. Evaluasi dilakukan untuk
mengukur efektivitas dan dampak yang dihasilkan dari Strategi Pencegahan
Radikalisme- ekstremisme dan program penguatan kehidupan kebinekaan di
sekolah. Hasil evaluasi akan menjadi bahan laporan dan rekomendasi yang akan
disampaikan pada pihak sekolah, Suku DInas, DInas Pendidikan, Kemdikbud RI, dan
masyarakat luas. Evaluasi ini juga ditujukan untuk memberikan masukan-masukan
perbaikan bagi kebijakan yang ada di internal sekolah, kebijakan di tingkat Dinas
Pendidikan, maupun kebijakan di tingkat pusat

E. Tindak Lanjut
Membuat Gugus Tugas Penguatan Kehidupan Kebinekaan di Sekolah dan
Pencegahan Radikalisme-Ekstremisme
Gugus Tugas terdiri dari Semua unsur perwakilan stakeholder yang ada di
dalam sekolah, terdiri dari manajemen sekolah (Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah
Bidang Kesiswaan atau Guru Pembina Kesiswaan, Guru Bimbingan Konseling), Pengawas
Sekolah, Dewan Sekolah, Komite Sekolah, perwakilan Siswa pengurus OSIS. Gugus Tugas

86
memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

87
1. Menyusun dan melaksanakan program penguatan kehidupan kebinekaan di
sekolah.
2. Memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM di
sekolah dalam upaya pencegahan radikalisme-ekstremisme di lingkungan
sekolah.
3. Memberikan saran dan masukan terkait kebijakan-kebijakan yang perlu dihadirkan
dalam upaya pencegahan radikalisme-ekstremisme di lingkungan
sekolah.
4. Melakukan monitoring dan evaluasi terkait efektivitas pencegahan
radikalisme- ekstremisme di lingkungan sekolah serta program penguatan
kehidupan kebinekaan di sekolah.
5. Melakukan kemitraan dengan pihak luar sekolah (Ormas Keagamaan, NGO, pihak
swasta, aparat TNI/POLRI) dalam upaya memaksimalkan pencegahan
radikalisme- ekstremisme di lingkungan sekolah.
Sumber pendanaan Gugus Tugas ini berasal dari anggaran Kemdikbud, anggaran
Sekolah dan dana bantuan pihak lain yang tidak mengikat.

88
Bab III Praktik Baik Implementasi Pencegahan Ekstrimisme
A. Kurikulum Operasional Sekolah
Kurikulum Operasional Tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

No. Tema Sub-tema Kompetensi Dasar Nilai Karakter yang


dikembangkan
1. Binatang -Binatang yang hidup 1.1. Mempercayai adanya Tuhan melalui 1. relijius
di darat ciptaan-Nya 2. Rasa Ingin Tahu
-Binatang yang hidup 1.2 Menghargai diri sendiri, orang 3. Kebinekaan/
di air lain, dan lingkungan sekitar sebagai Pluralitas
-Bagian-bagian rasa syukur kepada Tuhan 4. toleransi
binatang 2.2. Memiliki perilaku yang 5. Rasa Ingin
-Perkembangbiakan mencerminkan sikap ingin tahu tahu (kuriositas)
binatang 2.3 Memiliki perilaku yang 6. tanggungjawab
-Guna binatang mencerminkan sikap kreatif 7. Disiplin
2.5.Memiliki perilaku yang 8. mandiri
mencerminkan sikap percaya diri 9. kreatif
2.6.Memiliki perilaku yang 10.bersahabat
2. Tanaman -Macam-macam mencerminkan sikap taar terhadap
tanaman aturan sehari-hari untuk melatih
-Bagian-bagian kedisiplinan
tanaman 2.7Memiliki perilaku yang
-Cara menanam mencerminkan sikap sabar, (mau
tanaman menunggu giliranmau mendengar ketika
-Manfaat tanaman orang lain berbicara, untuk melatih
kesabaran
2.8Memiliki perilaku
yang mencerminkan
3. Alam -tata surya kemandirian
Semesta -planet planet 2.9.Memiliki perilaku yang
-bintang mencerminkan sikap peduli dan
-meteor mau membantu jika diminta
bantuannya
2.10.Memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap menghargai dan
toleran kepada orang lain.

89
2.11.Memiliki perilaku yang
dapat menyesuaikan diri
2.12.Memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap tanggungjawab
2.13.Memiliki perilaku
yang mencerminkan
sikap jujur
2.14.Memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap rendah hati dan
santun kepada orang tua, pendidik,
dan teman
3.1 Mengenal kegiatan beribadah sehari-
hari
3.2. Mengenal perilaku baik sebagai
cerminan akhlak mulia
3.5 Mengetahui cara memecahkan
masalah sehari-hari dengan kreatif
3.6 Mengenal benda-benda di
sekitarnya (nama,warna, bentuk,
ukuran,pola,sifat,suara,tekstur,fungsi,dan
ciri lainnya
3.11 Memahami bahasa ekspresif
(mengungkapkan nbahasa secara verbal
dan non verbal)
3.14. Mengenali kebutuhan, keinginan,
dan minat diri
4.1Melakukan kegiatan sehari – hari
dengan tuntunan orang dewasa
4.2. Menunjukkan perilaku
santun sebagai cerminan
akhlak mulia
4.5 Menyelesaikan masalah sehari-hari
dengan kreatif
4.6 menyampaikan apa dan bagaimana
benda-benda di sekitar yang
dikenalnya (nama,warna, bentuk,
ukuran,pola,sifat,suara,tekstur,fungsi,dan
ciri lainnya) melalui berbagai hasil
karya

90
4.10. Menunjukkan kemampuan
berbahasa reseptif (menyimak dan
membaca)
4.11 Menunjukkan kemampuan bahasa
ekspresif (mengungkapkan bahasa secara
verbal dan non verbal)
4.13.Menunjukkan reaksi emosi
diri secara wajar
4.14.Mengungkapkan kebutuhan,
keinginan dan minat diri degan cara
yang
tepat.

B. Intra dan Ko-Kurikuler


Ada beberapa contoh praktik baik bagaimana pencegahan radikalisme-
ekstremisme dilakukan dalam kegiatan Intrakurikuler dan ko-kurikuler
di sekolah. Salah satu yang dipandang cukup berhasil dari apa yang telah
dilakukan oleh institusi Pendidikan Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
yang terletak di kota Medan Sumatera Utara. Sekolah ini telah berhasil
mengintegrasikan nilai-nilai kebinekaan dan multikultural dalam semua
aspek kehidupan di sekolah, terutama dalam proses belajar-mengajar
(Intra dan Ko-kurikuler). YPSIM telah berhasil menerapkan nilai-nilai
multikultur dalam pembelajaran dimana guru menyiapkan perangkat
pembelajaran berupa silabus dan Rencana Kegiatan Harian (RKH) untuk
tingkat TK serta silabus dan RPP (Kumpulan RKH, RPP, dan silabus) untuk
tingkat PAUD/TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Silabus, RKH, dan RPP ini
disusun berdasarkan dan dengan mengintegrasikan Nilai-nilai Kebinekaan
dan Indikator yang telah disusun sebelumnya.

Selain membuat silabus, RPP, dan RKH, guru juga mengaplikasikan RPP dan
RKH tersebut dalam praktik di kelas. Untuk itu guru membuat Langkah-
langkah pembelajaran berupa narasi singkat sehingga pembaca lebih mudah
memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam praktek
91
mengajar di kelas.

92
Contoh Pengembangan Silabus untuk PAUD/TK

Tema - Sub Tema – Tema Spesifik – Kegiatan Pembelajaran – RKM


(Rencana Kegiatan Mingguan) – RKH (Rencana Kegiatan Harian)

Pengembangan silabus tersebut berkaitan dengan tingkat pencapaian


perkembangan (Standar kompetensi), Capaian Perkembangan
(Kompetensi dasar), dan Indikator.

Sebagai contoh, untuk mempermudah pemaparan bagaimana guru TK


menerapkan nilai-nilai kebinekaan, maka akan diambil tema “Alam
Semesta” yang merupakan tema terakhir di semester II. Tema ini
mengandung potensi penerapan nilai-nilai kebinekaan, terutama terkait
sub-tema “Matahari, Bulan dan Bintang”.

Tanggapan/Usulan:
Tema Alam Semesta kurang tepat.
Menurut saya, tema yang lebih cocok dalam penerapan nilai-nilai
kebhinekaan adalah tema Tanah Airku (contoh: Negaraku, Lambang
Negara, Dasar Negara, Presiden dan Wakil Presiden, lagu-lagu
kebangsaan, lagu-lagu daerah, suku, ras, dan agama, makanan
tradisional).
Tema Diriku (bagian-bagian tubuh, warna kulit, hobi, dll). Tema
Lingkunganku (lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat)

Dalam prakteknya, guru dapat memulai pembelajaran tema ini dengan


menjelaskan apa itu matahari, bulan, dan bintang; dimana benda-benda
ini berada?; bagaimana bentuknya?; apa kegunaan/manfaatnya bagi
makhluk hidup yang ada di bumi?; serta yang sangat pentingnya adalah
siapa pencipta dari matahari, bulan, dan bintang.

Dari penjelasan tersebut, secara umum dapat ditemui beberapa nilai-


nilai kebinekaan yang menonjol seperti:
93
1) Religius: Matahari, bulan, dan bintang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa.
2) Rasa Ingin Tahu: Anak didik mengenal lebih jelas lagi mengenai ap
aitu matahari, bulan, dan bintang.
3) Pluralisme: Disini terlihat jelas nilai pluralismenya yaitu matahari, bulan,
dan bintang memberikan manfaatnya yaitu sinarnya yang
memberikan penerangan untuk semua makhluk hidup yang ada di bumi
ini, khususnya

94
manusia tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin, status ekonomi,
dan
warna kulit.
4) Mandiri dan kreatif: Di sini tampak keberanian dan kebebasan dalam
menjawab sesuai imajinasi anak didik.

Adapun penjelasan RKH sebagai


berikut
Tema : Alam Semesta
Subtema : Matahari, Bulan, dan
Bintang

Adapun nilai-nilai kebinekaan yang terkandung dalam tema ini


adalah
Religius
Jujur
Toleransi
Rasa Ingin tahu
Kreatif dan Mandiri
Kerja keras, tekun dan ulet
Demokratis
Tanggungjawab
Disiplin
Bersahabat/Komunikatif
Pluralisme
Kesetaraan Gender

I. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran TK dimulai dari kegiatan awal


yaitu:
1. Berbaris di halaman sekolah
Pukul 07.30 WIB bel sekolah berbunyi dan menandai anak TK untuk
berbaris di halaman sekolah. Begitu mendengarkan bel, anak-anak
sudah tahu dan langsung membentuk barisan sesuai dengan jenis kelamin,
misalnya anak laki- laki baris di barisan anak laki-laki, dan anak
perempuan baris di barisan kelompok gendernya. Di barisan anak-anak
saling berbaur, mereka berbaris

95
bukan hanya dengan teman sekelasnya saja, tetapi dengan teman lain
kelas tanpa membedakan suku, agama, dan warna kulit.

Anak-anak dibiasakan berbaris dengan rapi dan tertib sehingga


terciptanya kedisiplinan. Setelah barisan sudah rapi guru menyapa
anak-anak dan mengajak semua anak-anak untuk bernyanyi beberapa
lagu anak dengan keceriaan sehingga membangkitkan semangat anak
untuk memulai kegiatan pembelajaran di kelas masing-masing.

Setelah bernyanyi, guru memilih seorang anak memilih seorang anak


untuk memimpin barisan secara bergiliran (bergantian setiap hari). Di
sini guru melatih keberanian anak untuk menjadi seorang pemimpin
tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, dan warna kulit. Setelah
barisan disiapkan oleh pemimpin barisan, guru mengucapkan terima kasih
kepada pemimpin barisan atas keberhasilannya memimpin barisan.

Sebelum masuk ke dalam kelas, terlebih dahulu anak-anak mengucapkan


salam dan berkata “Guru, bolehkah saya masuk ke kelas?”. Guru
menjawab: “Ya. Tentu, silahkan masuk.” Kemudian guru memilih barisan
yang paling rapih untuk pertama masuk ke kelasnya masing-masing, dan
menyalami ibu atau bapak guru.

Di sini tampak nilai karakter utamanya, yaitu disiplin (anak-anak tahu


tentang ketepatan waktu), bersahabat/komunikatif (anak semuanya
bersahabat satu dengan lainnya), pluralisme (berbaris yang mana
dalam barisan tidak membedakan teman yang sekelas, suku, agama,
dan warna kulit, anak-anak merasakan semuanya sama seperti satu
kesatuan), kesetaraan gender (anak didik diberikan penjelasan bahwa yang
bisa menjadi seorang pemimpin bukan hanya anak laki-laki, anak
perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin).

2. Pra-Kegiatan:

96
A. Salam dan Bernyanyi,
Setelah masuk ke dalam kelas, guru menyapa kembali anak-anak
dengan penuh semangat, guru mengucapkan salam dan anak-anak
membalas salam, kemudian agar anak-anak lebih semangat lagi, guru
mengajak anak- anak bernyanyi sambal menggerakkan anggota
tubuh (menari bebas) dengan judul “MATAHARIKU”.

MATAHARIKU
Matahariku bersinarlah engkau
Kawan-kawanku akan ke sekolah
Burung berkicau bernyanyi dengan riang
Tanda hari sudah siang

Disini juga terlihat nilai karakter utama yang dikembangkan, yaitu


bersahabat dan komunikatif.

B. Berdoa sebelum memulai kegiatan


Guru mengajak anak-anak untuk berdoa sebelum memulai kegiatan,
agar Tuhan Yang Maha Esa memberi kepintaran kepada kita.
Sebelum guru menunjukkan cara berdoa sesuai dengan agama
masing-masing, seperti:
1. Anak yang beragama Islam menengadahkan kedua tangannya
2. Anak yang beragama Kristen melipat kedua tangannya
3. Anak yang beragama Budhha dan Hindu merangkapkan kedua
tangannya di depan dada.
4. Lalu guru memilih 3 anak (mewakili agama masing-masing)
maju ke depan untuk memimpin doa. Dalam hitungan 1, 2, 3,
doa dimulai, dan anak-anak membaca doa dalam 2 versi Bahasa
yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa agamanya masing-masing.

Dalam hal ini juga tampak nilai karakter utama yaitu relijius, toleransi
yang mana setiap anak menghargai perbedaan agama di dalam

97
3. Apresepsi
Setelah selesai berdoa, kegiatan pembelajaran pun dimulai, namun
sebelum masuk ke pembelajaran yang baru, guru menyegarkan
Kembali serta menguatkan daya piker anak-anak dengan tanya tawab
tentang kegiatan di hari sebelumnya. Biasanya anak yang aktif akan
menjawab dengan semangat.

Nilai karakter utamanya yaitu kerja keras, tekun, dan ulet (hal ini bisa
dilihat dari: apakah anak-anak mengulang pembelajaran di rumah atau
tidak), kreatif dan mandiri (bisa terlihat anak-anak menjawab
pertanyaan guru dengan berbagai versi).

4. Membahas Tema
Di sini guru menjelaskan ke anak-anak mengenai tema yang akan
dibahas. Berhubung yang dibahas adalah tema alam semesta, maka guru
bisa memulai dengan melakukan tanya jawab tentang alam semesta, isi
alam semesta yaitu matahari, bulan, dan bintang. Kemudian guru
memberitahukan kepada anak tentang siapa pencipta matahari, bulan,
dan bintang, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian guru menjelaskan
kepada anak-anak bahwa matahari berguna untuk menerangi dunia/bumi di
siang hari. Jika tidak ada matahari, dunia akan gelap gulita.

Setelah itu guru juga mengajak anak-anak menyebutkan tempat-


tempat ibadah sesuai dengan agama yang dianut, misalnya umat
Agama Islam beribadah di masjid, umat Kristen dan Katolik beribadah di
gereja, umat Budha beribadah di Vihara, umat Hindu beribadah di
Pura.

Nilai karakter utama yang terlihat di sini adalah religious (anak-anak tahu
yang menciptakan alam semesta ini adalah Tuhan Yang Maha Esa), rasa

98
ingin tahu (anak-anak banyak mengajukan pertanyaan terkait materi ini),
kreatif dan

99
materi (menjawab pertanyaan dengan berbagai versi), demokratis (anak diberi
kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi dengan guru)

5. Motivasi
Guru selalu memberikan motivasi ke anak dengan menggunakan
berbagai media yang bisa menarik perhatian anak-anak agar anak
bersemangat dalam melakukan kegiatan yang diberikan guru. Nilai yang
terkandung dalam motivasi ini adalah kreatif dan mandiri (setelah melihat
media yang diperlihatkan oleh guru, anak-anak menjadi terinspirasi
untuk lebih kreatif dan mandiri).

II. Langkah selanjutnya memasuki kegiatan Inti dengan tahapan berikut:


1. Tahap situasional
Di tahap ini guru memberitahukan anak-anak mengenai kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan hari ini.
a. Kegiatan pertama. Menggunting pola geometri yaitu lingkaran dan
segitiga yang sudah disediakan oleh guru.
b. Kegiatan kedua. Setelah menggunting pola geometri selanjutnya pola
tersebut ditempel membentuk gambar matahari, bulan, dan
bintang.
c. Kegiatan ketiga. Menghubungkan jumlah benda dengan bilangan/angka.

Nilai yang terkandung dalam proses ini adalah rasa ingin tahu
(anak bertransformasi dari tidak tahu menjadi tahu), kreatif dan
mandiri (anak bisa berkarya sendiri dan mandiri mengerjakan
tugasnya sendiri), kerja keras, tekun, dan ulet (anak berusaha
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru), tanggungjawab (anak
diberikan tanggungjawab untuk menyelesaikan tugasnya sampai
selesai).

2. Tahan Eksplorasi
Pada tahap ini guru menjelaskan lebih spesifik Langkah-langkah yang

10
0
akan dilakukan dalam kegiatan inti.

10
1
a. Kegiatan pertama. Guru menjelaskan dan menunjukkan cara
memegang dan menggunting pola lingkaran dan segitiga dari origami
dengan benar. Guru juga memberitahukan kepada anak tentang
kegunaan dan bahaya dari gunting, agar gunting tersebut tidak
sembarangan digunakan oleh anak. Selesai menjelaskan kepada anak
selanjutnya guru membagikan alat dan bahan yang akan digunakan
anak dalam mengerjakan kreatifitas tersebut, seperti gunting dan
kertas origami yang berpola lingkaran dan segitiga.

Nilai karakter utama dalam kegiatan ini adalah rasa ingin tahu
(anak menjadi tahu tentang kegunaan dan bahaya gunting, lalu ap
aitu kertas origami), bersahabat dan komunikasi (anak diberikan
kebebasan untuk bertanya pada temannya maupun gurunya tentang
kegiatan ini), kreatif dan mandiri (anak diberi kebebasan alam
menggunting pola tersebut dan secara mandiri menggunting pola
tersebut tanpa bantuan guru), kerjakeras dan tanggungjawab (anak
berusaha mengerjakan tugas yang diberikan sampai selesai).

b. Kegiatan kedua. Setelah selesai digunting, guru Kembali menjelaskan


Langkah selanjutnya dan mencontohkan cara membentuk gambar
matahari, bulan, dan bintang dari kepingan geometri, kemudian
guru membagikan lem dan buku gambar pada setiap anak.

Nilai yang terkandung pada kegiatan kedua ini adalah rasa ingin
tahu, kreatif, dan mandiri (anak kreatif membentuk gambar matahari,
bulan, dan bintang dengan mandiri tanpa bantuan guru),
bersahabat dan komunikatif (Anak boleh bertanya pada teman
dan guru
c. Kegiatan ketiga. Di kegiatan ini guru mengajak anak menghitung dari
1 sampai 20, kemudian guru menjelaskan dan mencontohkan di
papan tulis cara mengerjakan tugas yanga akan dikerjakan oleh anak.
Selanjutnya guru membagikan buku paket kepada setiap anak.

10
2
Nilai karakter utama yang dikembangkan dalam sesi ini adalah
mandiri (anak-anak mandiri dalam menjalankan tugasnya),
bersahabat dan komunikatif (anak bisa bertanya pada teman dan
gurunya), kerja keras dan tanggungjawab (anak berusaha
mengerjakan tugas hingga selesai).

3. Tahap Konfirmasi
Pada tahap ini guru hanya mengonfirmasi ulang kepada anak-anak mengenai
apa saja kegiatan yang baru dilaksanakan. Misal, guru bertanya mengenai
kegiatan membuat pola-pola geometri, apa saja yang ada di alam semesta,
siapa pencipta alam semesta, serta melafalkan angka dari 1 hingga 20.

III. Memasuki waktu istirahat, diisi dengan:


1. Mencuci tangan
2. Berdoa sebelum makan
3. Makan Bersama
4. Bermain Bersama

IV. Kegiatan Akhir berupa


1. Mengajak anak untuk menari bebas berpasangan dengan temannya
dengan diiringi musik
2. Bercakap-cakap Bersama anak-anak tentang manfaat dan pentingnya
saling membantu sesame teman tanpa melihat perbedaan suku,
agama, jenis kelamin, dan warna kulit
3. Tanya jawab terkait kegiatan hari ini.
4. Sebelum pulang, guru mengajak anak-anak untuk bernyanyi lagu
“Sayonara”
5. Berdoa sebelum pulang dan salam

Keterangan tambahan, pada tingkat SMP, SMA, dan SMK, pihak


sekolah/guru menyediakan evaluasi dari pihak siswa untuk

10
3
C. Ekstra Kurikuler
Ada beberapa praktik baik yang bisa diangkat dalam kegiatan
ekstrakurikuler yang ada di satuan Pendidikan setingkat PAUD/TK dalam
upaya penguatan internalisasi nilai-nilai kebinekaan dan kebangsaan
sekaligus sebagai upaya pencegahan ideologi radikalisme-ekstremisme di
lingkungan sekolah. Beberapa praktik baik itu bisa diuraikan sebagai
berikut
1. Parade Budaya Nusantara.
Melakukan parade budaya dengan menampilkan busana adat dari
beragam suku yang ada di Indonesia. Parade budaya ini ditujukan agar
anak-anak PAUD/TK dapat mengenal kebinekaan budaya, suku, dan adat
istiadat yang dimiliki oleh bangsa ini. Dalam parade ini juga akan dinilai
mana penampilan busana adat tradisional yang terbaik dan paling rapi
yang ditampilkan oleh anak-anak PAUD dan TK. Mereka juga
diberitahu mengenai jenis busana yang mereka pakai, asal dari busana
adat tersebut, dan makna-makna dan ciri khas yang terkait dengan
busana adat tradisional tersebut.
2. Parade Kuliner Nusantara.
Sekolah PAUD dan TK juga bisa mengadakan parade kuliner Nusantara
yang menyajikan berbagai kuliner dari berbagai daerah yang ada di
Indonesia. Kegiatan ini diadakan untuk mengenalkan pada anak-anak
PAUD dan TK sedini mungkin tentang kekayaan dan keragaman
panganan dan kuliner yang dimiliki oleh bangsa ini. Di dalam kegiatan
ini dapat dikenalkan asal dan rasa dari makanan asli suatu daerah.
3. Saung/Kampung Dolanan.
Sekolah juga bisa mengajak anak-anak untuk mengunjungi tempat-
tempat yang memiliki fasilitas dan kegiatan berisi permainan anak
tradisional. Dengan ini, anak-anak diperkenalkan dengan beragama

10
4
hasil kreatifitas bangsa ini dalam hal permainan dan hiburan bagi anak-
anak. Kampung DOlanan misalnya terdapat di Kawasan Babatan
Wiyung Surabaya, Jawa

10
5
Timur. Di kampung tersebut dikenalkan 9 jenis permainan
tradisional, seperti hulahop, egrang bamboo, Lompat Tali, Balap
Karung, gangsing, hingga membuat mainan dari botol bekas. Di Bogor,
tepatnya di Sindang Barang juga terdapat Kampung Budaya yang
secara berkala menggelar festival permainan tradisional untuk anak-
anak. Festival ini diberi nama “Lomba Kaulinan Budak Lembur” (Lomba
Permainan Anak Kampung). Festival ini menampilkan berbagai macam
permainan tradisional seperti gatrik, boyboyan, ranjau, jepret jengkol,
sokolok gaplok, anggrang batok, gugusuran, gangsing, dan
pepeletokan.
4. Kunjungan Wisata.
Kunjungan wisata dilakukan oleh pihak sekolah ke tempat-temoat yang
memiliki nilai historis, atau memiliki nilai-nilai kebudayaan bangsa.
Kunjungan bisa dilakukan ke museum-museum yang mempertunjukkan
jejak-jejak perjuangan bangsa, atau juga dilakukan ke tempat-tempat
yang memiliki nilai budaya, seperti museum rumah adat, atau
Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, Saung Angklung Udjo di
Bandung, Komunitas Tanoker Kampung Enggrang Ledokombo
Jember, atau tempat-tempat serupa di berbagai daerah di Indonesia
yang bisa mengenalkan anak-anak PAUD pada keanekaragaman
bangsa serta perjuangan bangsa Indonesia di masa-masa lampau.

D. Pembiasaan dan Pembudayaan


Bagi Yayasan Perguruan Sutan Iskandar Muda, budaya di dalam
lingkungan sekolah dapat dikelompokkan menjadi dua: budaya sekolah
dan budaya kelas. Dalam hal pembiasaan dan pembudayaan nilai-nilai
kebinekaan, YPSIM telah melakukannya ke dalam dua hal tersebut. Kultur
sekolah bagi YPSIM merupakan refleksi dari filsafat Pendidikan yang
dianut oleh sebuah sekolah. Dengan menciptakan kultur sekolah yang
sistematis dan sesuai dengan landasan dan arah Pendidikan yang ingin
dicapai, visi dan misi sekolah dapat lebih mudah untuk direalisasikan.
Di YPSIM, budaya sekolah yang dibentuk oleh nilai-nilai kebinekaan

10
6
telah direalisasikan melalui beberapa program berikut:

10
7
1. Penyediaan Rumah Ibadah dan Pendopo yang terletak di dalam
Kawasan Sekolah. Melalui program ini, YPSIM ingin merealisasikan
nilai “saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama dan
keyakinan yang berbeda”. Program ini juga sebagai upaya
pengejawantahan nilai toleransi yang menjadi salah satu nilai utama
dalam Pendidikan karakter. Untuk mendukung penguatan nilai
toleransi yang selama ini telah didiskusikan tersebut, YPSIM
mendirikan rumah-rumah ibadah (masjid, gereja, vihara, dan pura)
yang jaraknya antar satu rumah ibadah dengan rumah ibadah lainnya
tidak lebih dari 30 meter. Tujuannya, selain memenuhi prinsip
rekognisi dan representasi tehadap semua kelompok yang ada, juga
agar para warga sekolah dapat menjalankan ibadahnya sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. Selain itu, mereka juga bisa saling
mengenal antar satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain melalui
keberadaan rumah ibadah dan berbagai aktivitas yang ada di
dalamnya.

2. Perayaan hari-Hari Besar Agama dan malam Bhinneka Tunggal Ika.


YPSIM menyadari bahwa penanaman nilai-nilai kebinekaan tidak bisa
hanya dilakukan melalui pembelajaran teoritis di kelas, terutama melalui
mata pelajaran yang relevan seperti PKN, Sejarah, dan Sosiologi. Oleh
karena itu sebagai upaya pembudayaan nilai-nilai tersebut, di YPSIM
perayaaan Hari- hari Besar Keagamaan dilakukan semua tanpa
membeda-bedakan atau memprioritaskan satu agama atas agama
lainnya. Perayaan juga dilakukan dalam suasana yang sederhana, sacral,
dan penuh keakraban. Yang menarik adalah kepanitiaan yang dibentuk
dalam memperingati Hari Besar Keagamaan ini dengan melibatkan
perwakilan siswa dari berbagai latarbelakang agama, etnis, rasa,
gender, dan status sosial. Hal ini sebagai sebuah upaya untuk
mengenalkan keunikan berbagai agama terhadap peserta didik
pemeluk agama yang berbeda. Selain perayaan hari besar
keagamaan, YPSIM juga mengadakan malam “Bhinneka Tunggal Ika”

10
8
dimana semua pihak dapat menampilkan budaya dari berbagai suku
yang ada di Indonesia.

10
9
Adapun kultur Kelas yang dikembangkan oleh YPSIM adalah sebagai
berikut;
1. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing sebelum
pelajaran pertama dimulai dan seusai pelajar terakhir. Mulai dari
PAUD/TK sampai dengan SMA dan SMK, kebiasaan berdoa
bersama telah ditananamkan di sekolah YPSIM. Doa Bersama
yang dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-
masing peserta didik dan guru jika dilakukan secara konsisten akan
meningkatkan rasa toleransi beragama dalam diri warga sekolah.
Sehingga diharapkan peserta didik terbiasa untuk hidup dengan
identitas agamanya dalam masyarakat Indonesia yang majemuk
ini.
2. Pengaturan Tempat duduk untuk interaksi dan pertukaran budaya
yang optimal. Hal ini dilakukan untuk menjembatani interaksi antar
peserta didik dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Aturannya adalah teman sebangku peserta didik harus berasal dari
latarbelakang agama, etnis, dan status sosial yang berbeda. Proses
menjembatani ini menjadi penting karena di sini lah kesempatan
untuk berinteraksi dan bertukar budaya antara para siswa dengan
latarbelakang agama, etnis, gender, ras, dan status sosial yang
berbeda bisa tercipta.

E. Bimbingan Konselling
Bimbingan konseling merupakan bantuan terhadap individu (peserta didik) atau
kelompok untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang
dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal kepada
sekolah, keluarga, serta masyarakat. Setiap peserta didik mempunyai
hak untuk mendapatkan bimbingan konseling. Bimbingan konseling
ditujukan bukan hanya kepada individu sebagai pelaku, akan tetapi
kepada individu yang menjadi korban. Bimbingan konseling lebih
ditekankan kepada perilaku, yang memiliki tujuan untuk melukai dan
mencelakakan, termasuk didalamnya
11
0
perlakukan yang mematikan, atau pun perlakukan tersebut tidak bisa
diterima oleh peserta didik sebagai korban.11
Radikalisme dan ekstremisme berbasis kekerasan sebagai pemahaman dapat
mempengaruhi peserta didik, disebabkan peserta didik, di setiap jenjang
baik usia dini, dasar, maupun menengah dalam perkembangannya,
mempunyai pandangan dengan pola tertentu sebagai nilai yang diyakini
dan dianutnya.
Bimbingan konseling diperlukan terhadap peserta didik, dengan
pendekatan multi budaya. Pendekatan multi budaya merupakan
pendekatan yang membangun kesadaran akan adanya keragaman,
sehingga pendekatan ini dapat membangun keterampilan beradaptasi
dalam keragaman pada kehidupannya. Keragaman yang dimaksud
bukan hanya antara mayoritas dan minoritas, akan tetapi membangun
kesadaran untuk saling menghormati dan menerima satu dengan yang lain
dengan adanya perbedaan dalam diri setiap individu, sehingga
perbedaan merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat.
Penerimaan akan perbedaan tersebut merupakan akar untuk membina
kerukunan pada masyarakat plural.12
Bimbingan konseling bisa dilakukan secara individu maupun kelompok.
Konseling individu ditujukan untuk menyelesaikan masalah yang dialami
oleh konseli, baik itu yang berkaitan dengan pengembangan pribadi,
bidang social, pendidikan atau belajar, dan bidang pengembangan
karir.
Tujuan konseling kelompok, lebih ditujukan kepada bagaimana peserta
didik memiliki kemampuan bersosialisasi, khususnya kemampuan
berkomunikasi, sehingga berkembang pikiran, persepsi, wawasan dan
sikap yang terarah kepada sikap khusus dalam bersosialisasi dan
berkomunikasi, serta terpecahkan masalah peserta didik dalam
permasalahan dengan kelompok atau lingkungannya. 13

11
Andi Riswandi Buana Putra, “Peran Guru Bimbingan Dan Konseling Dalam
Mengatasi Kecenderungan Perilaku Agresif Peserta Didik Di Smkn 2 Palangka Raya Tahun
Pelajaran 2014/2015”, Jurnal Konseling GUSJIGANG, Vol. 1 No. 2 (Tahun 2015).
12
Moh. Ziyadul Haq Annajih, Kartika Lorantina, Hikmah Ilmiyana,“Konseling Multibudaya Dalam
11
1
Penanggulangan Radikalisme Remaja”, Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling, Vol. 1, No. 1,
2017, hlm. 280-291
13
Ulul Azam, Bimbingandan Konseling Perkembangan di Sekolah Teori dan Praktik
(Yogyakarta: Deepublish, 2016).

11
2
Bimbingan konseling di dalam sekolah yang berkaitan dengan bidang
kurikulum dan pengajaran, yaitu yang berkaitan dengan penyampaian dan
pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemampuan
komunikasi peserta didik.Bidang administrasi dan kepemimpinan yaitu yaitu
yang berkaitan dengan tanggung jawab konselor sekolah terhadap siswa,
orang tua, teman sejawat, dan masyarakat.Bidang kesiswaan meliputi
berbagai kegiatan yang berfungsi untuk mengembangkan bakat, potensi
dan minat yang disesuaikan dengan tahap perkembangan.14
Bimbingan konseling didasarkan kepada prinsip, bahwa setiap anak
memiliki sikap yang didasarkan kepada sifat yang baik. Prinsip bahwa setiap
anak itu unik dan berbeda dengan anak-anak yang lain. Prinsip memberikan
bantuan supaya anak yang dibantu berkembang dan tumbuh secara sehat.
Prinsip membantu supaya mereka sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh keluarga dan masyarakat. Prinsip bahwa bimbingan konseling
dilaksanakan oleh tenaga ahli yang mumpuni.15

F. Kemitraan
Strategi sekolah dalam mencegah dan menahan laju radikalisme-ekstremisme
tidak bisa lepas dari peran berbagai Lembaga di luar sekolah yang menjadi
mitra strategis sekolah dalam upaya memperkuat kebinekaan dan
nasionalisme di kalangan warga sekolah. Organisasi dan Lembaga mitra
ini bisa terdiri dari Lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat sipil,
komunitas budaya, ataupun sektor swasta yang memiliki konsen dan visi yang
sama dengan sekolah dalam upaya penguatan dan pengembangan
pendidikan di sekolah.
Terkait kemitraan ini, pengaruh dan hubungan antara pihak sekolah
dan Lembaga eksternal sekolah lebih bersifat dinamis. Dalam kasus
tertentu pihak sekolah lebih proaktif dalam melakukan Kerjasama
dengan pihak luar. Sementara dalam kasus lain pihak luar tampak
lebih berperan.

14
Abu Bakar M. Luddin, Dasar-dasar Konseling Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2010).
11
3
15
Abu Bakar M. Luddin, Dasar-dasar Konseling Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2010).

11
4
Beberapa institusi pemerintah yang seringkali dilibatkan dalam penguatan
Pendidikan di sekolah diantaranya adalah TNI, POLRI, Dinas Pendidikan,
Dinas Kesehatan, Badan Nasional Narkotika (BNN), Forum Komunikasi
Penanggulangan Terorisme (FKPT) dan beberapa institusi lainnya.
Adapun organisasi masyarakat sipil yang biasanya terlibat adalah
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan beberapa ormas lainnya. Sedangkan
Lembaga swadaya masyarakat yang cukup aktif melakukan kerjasama dengan
pihak sekolah dalam upaya memperkuat kebinekaan adalah MAARIF
Institute, Wahid Foundation, Yayasan Cahaya Guru, AIDA, Peace
Generation, AMAN Indonesia, CONVEY, PPIM UIN Jakarta, DSAPR UI,
ELSAM, Fahmina Institute, Gerakan Islam Cinta, Global Peace Foundation,
ICIP, Pusad Paramadina, Setara Institute, Sabang Merauke, Search for
Common Ground (SFCG), dan beberapa lembaga lainnya. Adapun pihak
swasta merupakan beberapa perusahaan yang memiliki perhatian yang
besar untuk penguatan nilai-nilai toleransi dan kebinekaan di dunia
Pendidikan seperti Indika Foundation, William Foundation, UNDP, UN
Women, dan beberapa BUMN baik di bidang perbankan maupun di
bidang lainnya yang memiliki konsen yang sama.
Sebagai contoh best practice kemitraan yang telah dilakukan oleh sekolah
dengan Lembaga mitra dari luar sekolah, misalnya yang telah dilakukan
oleh beberapa sekolah yang ada di Cirebon. Sekolah dengan sengaja
melakukan penandatanganan kesepakatan dengan TNI terkait pembinaan
kebangsaan kepada siswa. Bukan hanya di satu atau dua sekolah,
keterlibatan TNI, dalam hal ini Kodim secara regular melakukan
penyuluhan ke sekolah tentang bahaya radikalisme, ekstremisme dan
terorisme. Bahkan dalam kegiatan ekstrakurikuler Paskibra atau
Pramuka, instruktur yang diundang seringkali berasal dari kalangan TNI.
Hal yang sama juga dilakukan Bersama Polres Cirebon.
Di Cirebon, Kementerian Agama baik di Kota maupun di kabupaten
juga berperan dalam penguatan kebinekaan di sekolah. Secara regular,
Kementerian Agama melakukan penguatan kapasitas kepada guru-guru
pengampu materi pelajaran agama Islam tentang wawasan Islam Moderat.

11
5
Dengan memberikan perhatian lebih pada siswa, Kementerian Agama kota
Cirebon memberikan

11
6
penguatan kapasitas pada para pengurus Rohis di setiap tahun ajaran
baru dan pada saat pergantian pengurus Rohis. Hal itu dilakukan
melalui program pesantren kilat yang di dalamnya terkandung materi
tentang penguatan wawasan kebangsaan dan kebinekaan, serta
kunjungan-kunjungan ke pesantren-pesantren moderat di Cirebon.
Di beberapa sekolah di Sukabumi, kemitraan dilakukan dengan melibatkan
organisasi masyarakat sipil, seperti menggandeng Forum Pemuda Lintas Iman.
Lembaga ini secara aktif bekerjasama dengan sekolah-sekolah untuk
mengkampanyekan nilai-nilai kebinekaan dalam upaya menangkal intoleransi
dan radikalisme di sekolah. Mereka memiliki program “Goes to School”.
Melalui program ini, mereka secara aktif membuka ruang-ruang
perjumpaan antar berbagai siswa yang berasal dari kelompok yang
berbeda, baik perbedaan agama maupun penghayat kepercayaan. Dari
perjumpan ini, para siswa mendapatkan kesadaran dan pengenalan
terhadap komunitas minoritas yang ada di lingkungan mereka.
Kemitraan juga bisa dilakukan dengan menggandeng beberapa sector
swasta dan BUMN. Pada acara Jambore Pelajar Teladan Bangsa yang
dilakukan oleh MAARIF Institute tahun 2018, Lembaga perbankan swasta
ikut berkontribusi mendukung kegiatan yang menghadirkan 100 pelajar dari
berbagai sekolah se- Indonesia itu sebagai bagian dari tanggungjawab
menginternalisasikan nilai- nilai kebangsaan dan kebinekaan di
kalangan generasi muda.

11
7
Upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada aksi
terorisme di dunia Pendidikan, khususnya di berbagai satuan Pendidikan dari tingkat PAUD,
SD, SMP, SMA, dan SMK merupakan sebuah tanggungjawab besar bersama. Keterlibatan
dalam upaya krusial ini bukan hanya menjadi bagian dari kerja pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan berbagai kementerian dan Lembaga di
jajaran pemerintah, namun juga perlu dipikul bersama berbagai elemen bangsa baik
organisasi masyarakat sipil maupun sektor-sektor swasta. Kemendikbud sebagai
pemegang kebijakan di bidang Pendidikan tentu akan sangat terbantu jika upaya
pencegahan ekstremisme ini mendapat dukungan dan topangan dari berbagai elemen
masyarakat.

Sebagai sebuah langkah dalam upaya pencegahan ekstremisme di satuan pendidikan


yang didasarkan pada penerjemahan terhadap Peraturan Presiden no. 7 tahun 2021
tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis
Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, Kemendikbud RI melalui Pusat Kurikulum
dan Perbukuan, tentu memiliki peran yang cukup signifikan dalam upaya penyusunan
Buku Panduan Implementasi Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan di semua
satuan Pendidikan ini. Sejak bulan Februari 2021, beberapa minggu setelah Perpres RAN
PE digulirkan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan telah secara responsif melakukan kerja-
kerja penyusunan buku ini Bersama kelompok masyarkat sipil yang terlibat di
dalamnya.

Buku ini disajikan sebagai modul panduan bagi stakeholder utama pendidikan
di daerah, terutama di berbagai unit satuan pendidikan baik PAUD, SD, SMP, SMA, dan
SMK. Beberapa stakeholder yang menjadi sasaran buku panduan ini adalah manajemen
sekolah baik itu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan atau Guru
Pembina Kesiswaan, Guru Bimbingan Konseling, dan guru berbagai bidang studi terkait.
Selain itu buku ini juga penting untuk dijadikan pegangan bagi Pengawas Sekolah, Dewan
Sekolah, dan Komite Sekolah dalam upaya turut memastikan kehidupan di sekolah
terbebas dari infiltrasi gerakan ekstremisme berbasis kekerasan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi sekolah dalam upaya
pencegahan gejala ekstremisme di semua aspek kehidupan sekolah baik pada kegiatan
Intrakurikuler, Kokurikuler, Ekstrakurikuler, Pembiasaan dan Pembudayaan, Bimbingan

11
8
Konseling dan Kemitraan. Sehingga dengan upaya ini paparan ekstremisme dapat
benar-benar dihalau dan tidak menghinggapi warga sekolah. Dengan sendirinya, ketika
kehidupan sekolah dapat

11
9
terbebas dari berbagai virus radikalisme dan ekstremisme, maka tujuan utama
menghadirkan kehidupan bangsa Indonesia yang harmoni, damai, dan sejahtera dapat
terwujud secara nyata. Semoga!

12
0
Daftar Pustaka

Agastia, I Gusti Bagus Dharma, Anak Agung Banyu Perwita & D. B. Subedi
(2020): Countering violent extremism through state-society partnerships: a case study
of deradicalization programmes in Indonesia, Journal of Policing, Intelligence and Counter
Terrorism, DOI: 10.1080/18335330.2020.1722317
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Report Survei Nasional 2020, November
2020, tidak diterbitkan, 2020.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Rilis Survei Nasional BNPT 2020:
“Penguatan Kebinekaan dan Literasi Digital dalam Upaya Menangkal Radikalisme di
32 Provinsi”, 16 Desember 2020, tidak diterbitkan.
Bagir, Zainal Abidin, dkk, Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman
di Indonesia, Bandung: Mizan & CRCS UGM, 2011.
Benyamin, Benny Ahmad dan Joko Sustanto, Materi Pengayaan Pendidikan
Karakter: Mengarusutamakan Toleransi, Anti Kekerasan, dan Inklusif Mata Pelajar PKn
Tingkat SMA, Jakarta: MAARIF Institute, 2012.
Ciciek, Farha, Merawat Tradisi Moderat Kaum Muda, makalah tidak diterbitkan,
2008 Darraz, Muhammad Abdullah, & Zuly Qodir, OSIS Mendayung di antara Dua
Karang:
Kebijakan Sekolah, Radikalisme, dan Inklusivisme Kebangsaan, Convey Report, Vol.1, No. 4,
2018.
Darraz, Muhammad Abdullah, Mengarusutamakan Nilai-nilai Kebinekaan dalam
Pencegahan Ekstremisme di Satuan Pendidikan, makalah disampaikan pada Webinar
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud RI, tidak diterbitkan, 2021.
Darraz, Muhammad Abdullah, Radikalisme dan Lemahnya Peran Pendidikan
Kewargaan, Jurnal MAARIF:Vol. 8, No.1, Juli 2013, hal 160-161
Davies, Lynn, and Zubaeda Limbada, Education and Radicalisation Prevention:
Different Ways Governments Can Support Schools and Teachers in
Preventing/Countering Violent Extremism, Radicalisation Awareness Network (RAN),
2019
Department for Education, The Prevent duty Departmental advice for Schools and
Childcare providers, London: UK Department for Education, 2015

12
1
Dja’far, Alamsyah M., Sekolah Merdeka Intoleransi: Protokol Pencegahan Intoleransi di
Sekolah, Jakarta: Wahid Foundation, 2021.

12
2
Erikha, Fajar, dkk., Panduan Sistem Deteksi dan Penanganan Dini Ekstremisme
Kekerasan Tingkat Desa, Jakarta: C-SAVE, 2018.
Finnish National Agency for Education, Prevention of Violent Radicalisation in
Schools and Educational Institutions, Helsinki: FNAE, 2018.
Gaus AF, Ahmad “Laporan Penelitian Pemetaan Problem Radikalisme di SMU
Negeri (Kab. Pandeglang, Kab. Cianjur, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta)”, tidak
diterbitkan.
Gaus, Ahmad, ‘Mapping the Problem of Radicalism in Public High Schools in 4
Regions’,
MAARIF Journal 8, no. 1 (2013): 174-191
Gaus, Ahmad, Pemetaan Problem Radikalisme di SMU Negeri di 4 Daerah, Jurnal
MAARIF: Vol. 8, No.1, Juli 2013, hal. 188-189
Ghozaly, Feisal, Muatan Kurikulum dalam Mencegah Pemikiran, Sikap, dan
Tindakan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme di Satuan
Pendidikan, makalah tidak diterbitkan, 2021.
Global Counterterrorism Forum, Abu Dhabi Memorandum on Good Practices
for Education and Countering Violent Extremism, Abu Dhabi: Hedayah & GCTF,
2019
Gustomy, R., Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah: Panduan Strategis
Melawan Radikalisme dan Terorisme, Jakarta: CONVEY & PPIM, 2018.
Halili, “Proyeksi Masa Depan Toleransi”, Paper tidak diterbitkan, 2020.
Harjatanaya, Tracey Yani (ed.), Merawat Keberagaman: Praksis Pendidikan
Multikultural di Perguruan Sultan Iskandar Muda, Medan: KIPPAS, 2012.
Hasani, Ismail & Bonar Tigor Naipospos (eds.), Wajah Para Pembela Islam:
Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat, Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2010.
HM Government, Safeguard Children: A guide to inter-agency working to
safeguard and promote the welfare of children, London: HM Government, 2018.
Huda, M. Nurul, Intolerance Among Youth During the Rise of the Mu.slim Middle
Class in Urban Areas, Working Paper, Jakarta: Wahid Foundation, 2017.
Kemdikbud RI, Siaran Pers Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI: Pemerintah
Terbitkan Keputusan Bersama Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik,
12
3
Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah Negeri, 3 Februari 2021

12
4
Lestari, Dian dan Hamid Supriyatno, Materi Pengayaan Pendidikan Karakter:
Mengarusutamakan Toleransi, Anti Kekerasan, dan Inklusif Mata Pelajar PAI Tingkat
SMA, Jakarta: MAARIF Institute, 2012.
Marbawi, Mahnan, dkk, Menjaga Generasi Penjaga Kebhinekaan: Panduan
Sekolah Damai, Konsep dan Indikator, Jakarta: Wahid Foundation, 2019.
Mubarok, Husni, Pelembagaan KOnsep Ekstremisme Kekerassan dalam
Kebijakan Pencegahan Terorisme di Indonesia, Jakarta: Wahid Foundation, 2020.
Muslim, Abdul Azis, dkk., Menjaga Benteng Kebinekaan di Sekolah: Studi Kebijakan
OSIS di Kota Padang, Kab. Cirebon, Kab. Sukabumi, Kota Surakarta, Kota Denpasar, dan
Kota Tomohon, Jakarta: MAARIF Institute & CONVEY PPIM, 2017.
National Institute of Justice, Radicalization and Violent Extremism: Lessons
Learned from Canada, the U.K., and the U.S., Washington D.C.: U.S. Department of
Justice and Homeland Security, 2015.
Organization for Security and Co-operation in Europe, Understanding Referral
Mechanisms in Preventing and Countering Violent Extremism and Radicalization That
Lead to Terrorism, Navigating Challenges and Protecting Human Rights: A Guidebook for
South-Eastern Europe, Vienna: OSCE, 2019.
Praptanto, Eko, dkk, Cahaya Bineka Taman Bangsa: Nilai Pancasila dalam
Laku Pendidikan, Jakarta: Yayasan Cahaya Guru, 2018
Rahima, Religiusitas Kaum Muda: Studi di Tujuh Kota, 2007, tidak diterbitkan.
Saptoni (ed.), Menanam Benih di Ladang Tandus: Potret Sistem Produksi Guru
Agama Islam di Indonesia, Yogyakarta: CISForm, 2019.
Saputra, Rangga Eka, ‘A Fire in the Husk: Religiosity of Generation Z’, Convey Report
1, no. 1 (2018)
Schmid, Alex P. (ed.), The Routledge Handbook of Terrorism Research, London &
New York: Routledge, 2011.
Schmid, Alex P., Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A
Conceptual Discussion and Literature Review, The Hague: International Centre for
Counter-Terrorism, 2013.
Sinaga, Irene Carmelyn , Penguatan Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Upaya
Pencegahan Ekstrimisme Di Indonesia, makalah tidak diterbitkan, 2021

12
5
Sirry, Mun’im, “Radikalisme, Makhluk Apakah itu?”, dalam Ibrahim Ali-Fauzi (ed.),
Ilusi Negara Khilafah: Esai-esai tentang Khilafah, Politik Takfir, dan Neo-Khawarij,
Tangerang Selatan: Media Baca Anasti, 2020.
Stickings, J; Abaida, M; Nikolaishvili, M; Bakrania, S; and Fisher, A., Identifying
Groups Vulnerable to Violent Extremism and Reducing Risks of Radicalisation. London:
Department for International Development, 2019.
Suwendi, Penguatan Moderasi Beragama dalam Upaya Pencegahan Ekstrimisme
di Satuan Pendidikan, makalah tidak diterbitkan, 2021.
Syafruddin, Didin, and Ismatu Ropi, ‘Islamisme, Intoleransi, dan Radikalisme’, in
Gen Z: Kegalauan Identitas Keagamaan, Jakarta: PPIM, 2018.
Tahir, Suaib, Penguatan Daya Tangkal Peserta Didik terhadap Infiltrasi Paham
Ekstremisme Berbasis Kekerasan, makalah tidak diterbitkan, 2021.
Tahir, Suaib, dkk., Buku Panduan Pencegahan Radikalisme di Lingkungan Kerja
BUMN dan Perusahaan Swasta, Jakarta: BNPT, Kementerian BUMN dan KADIN
Indonesia, 2020
The Wahid Foundation, Laporan Riset Potensi Radikalisme di kalangan Aktivis Rohis di
SMU Negeri, 2016.
Tim BNPT, Perpres RAN PE: Apa, Mengapa, Bagaimana?, Bogor: Deputi Bidang
Kerjasama Internasional BNPT, 2021
Tim BNPT, Tanya Jawab RAN PE: Apa, Mengapa, Bagaimana?, Bogor: Deputi Bidang
Kerjasama Internasional BNPT, 2021
Tim Survei Setara Institute, Laporan Survei Potret Toleransi di Kalangan Pelajar
pada SMA Negeri di DKI Jakarta dan Bandung Raya, 2016, tidak diterbitkan.
UNDP, Preventing Violent Extremism Through Promoting Inclusive Development,
Tolerance and Respect for Diversity: A Development Response to Addressing Radicalization
and Violent Extremism, Working Paper, New York: UNDP, 2016.
Unesco, A Teacher’s Guide on the Prevention of Violent Extremism, Paris: Unesco,
2016

Jurnal dan Referensi Online

12
6
Bresciani, Marilee J., and Goldin, Philippe, Preventing Violent Extremism Through
Education: Five Steps to Consider for Cultivating Emotion Regulation, US-China
Education Review B, 10.17265/2161-6248/2017.01.003
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/intolerance
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--larangan-penggunaan-hijab-pada-sd-
inpres-22-wosi-manokwari-ombudsman-temui-kepala-sekolah-
https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/n1c9xr-komnas-ham-
pelarangan-jilbab-terjadi-hampir-di-seluruh-bali
Muluk, Hamdi, Mirra Noor Milla, Wahyu Cahyono, An Introduction to Radicalism of
Civil Society Movements in Indonesia: Intersection and Shifting Ideology between
Socialists and Jihadists, (August 12, 2014).
Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2479191 or
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2479191
Republika Online, Gu,ru Ujung Tombak Pendidikan,
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/12/10/23/mccq9k-anies-
baswedan-guru-ujung-tombak-pendidikan . diunduh pada 20 Juni 2013.
Sukabdi, Zora A., Kaum Muda dan Radikalisme (?), Jurnal MAARIF: Vol. 8, No.1,
Juli 2013, hal. 88-94
Tarmy, A. (2020), ‘Begini Kronologi Siswi SMA Sragen yang Diteror Gegara
Tak Berjilbab’, detiknews, 20 January, Available online: https://news.detik.com/berita-
jawa- tengah/d-4866820/begini-kronologi-siswi-sma-sragen-yang-diteror-gegara-tak-
berjilbab
Wargadireja, A.T. (2017), ‘Lampu Kuning Meningkatnya Radikalisme di Sekolah-
Sekolah Indonesia’, Setara Institute for Democracy and Peace, 5 September,
Available online: http://setara-institute.org/lampu-kuning-meningkatnya-radikalisme-di-
sekolah-sekolah- indonesia/ (accessed on March 3 2020)

12
7

Anda mungkin juga menyukai