Anda di halaman 1dari 6

Nama : Bernadus Dhamas H

NIM : 170910301048
Matkul : Corporate Social Responsibility

TUGAS RESUME PENGGANTI UTS


 Pertemuan 2. CSR dalam perpektif sosiologis; Perkembangan masyarakat dan ekonomi
Suharto (2007,16) menyatakan bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara
finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial ekonomi kawasan secara holistik,
melembaga dan berkelanjutan. Dalam konteks pemberdayaan, Corporate Social Responsibility
(CSR) merupakan bagian dari policy perusahaan yang dijalankan secara profesional dan
melembaga. Corporate Social Responsibility (CSR) kemudian identik dengan CSP (corporate
social policy), yakni strategi dan roadmap perusahaan yang mengintegrasikan tanggung jawab
ekonomis korporasi dengan tanggung jawab legal, etis, dan sosial.
Corporate social responsbility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontriibusi dalam pengenbangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian
terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sosial perusahaan sangat erat
kaitannya dengan konsep community empowerment/pemberdayaan masyarakat. Pengembangan
masyarakat merupakan upaya yang baik untuk meningkatkan kekuatan masyarakat, khususnya
kelompok yang kurang beruntung, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi atas dasar pemenuhan
semua potensi sumber daya yang seharusnya dapat diperoleh masyarakat.
Sebagai rencana yang akan dijalankan, CSR perusahaan sebaiknya tidak bersifat jangka
pendek (short-term), melainkan harus berkelanjutan (long-term). Perusahaan tidak hanya
mengalokasikan dana sukarela, tetapi juga menjaga citra untuk pembangunan berkelanjutan, dan
berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan lingkungan serta sosial budaya melalui kerjasama
antara karyawan perusahaan dan masyarakat sekitar untuk meningkatkan kualitas karyawan.
Kehidupan seluruh komunitas. Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya memiliki
tujuan yang luhur, yaitu pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah proses
perubahan yang dapat diukur secara kualitatif, bukan dari perspektif sosial, tetapi dari perspektif
lingkungan dan ekonomi.
 Pertemuan 3. CSR dalam kerangka Keadilan Sosial dan fairness
Rekonstruksi CSR yang sesuai dengan “karakteristik keindonesiaan” atau nilai-nilai
Bangsa Indonesia harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila khususnya sila ke 5 (lima) yaitu
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan merupakan implementasi konkret dari spirit
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencapai “Bumi dan air dan kekayaan yang
terkandung ddalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 itu belum dijadikan
landasan secara optimal bagi pembentukan model penyelenggaraan CSR di Indonesia.
Kecenderungan nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang belum
dijadikan landasan, menimbulkan pertanyaan atas CSR, terutama apabila dikaitkan dengan
masalah kemiskinan yang masih dialami oleh sebagian masyarakat. Sudah sebandingkah dengan
hasil keuntungan yang berhasil dihisap oleh korporasi? Belum adanya kejelasan rumusan
mengenai konsep CSR, sehingga pada tahap praktik di lapangan justru menimbulkan perbedaan
penafsiran mengenai sifat dari CSR itu sendiri. Falsafah negara yaitu Pancasila yang disusun
dengan "Hati" telah membentuk Lima Sila yang saling mendukung untuk menciptakan
kemakmuran di Negeri ini
Konsep keadilan Pancasila sebagai dasar penerapan triple bottom line dengan aspek
profit, people, dan planet (3P), yakni bukan hanya keuntungan (Profit) yang diorientasikan,
namun juga harus mampu memberikan keadilan kepada masyarakat (People) serta adil dan
menjaga kelestarian lingkungan (Planet). Adil bagi perusahaan adalah Ketika mendapatkan profit
(laba) dari usahanya dengan yang sesuai dengan hasil usahanya, adil bagi planet (lingkungan)
perusahaan menjaga lingkungan dalam menjalankan usahanya, sedangkan adil kepada
masyarakat dapat diwujudkan antara lain kepada masyarakat adat yang telah kehilangan
penghidupannya dari hutan digantikan sumber penghidupan yang sepadan sehingga masyarakat
dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan perusahaan. Masyarakat yang telah
kehilangan hutan dan merasa terabaikan oleh pemerintah dalam memberikan ijin kepada
perusahaan tanpa melihat hak adat yang dimiliki masyarakat, akan melampiaskan kemarahan
kepada perusahaan. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian bagi kedua pihak, di mana CSR
diharapkan dapat mengambil peran dalam meredam konflik kedua belah pihak. Peran CSR
adalah sebagai jembatan dan upaya resolusi konflik yang dilakukan korporasi terhadap
komunitas lokal. CSR yang Pancasilais akan diterima di Bumi Indonesia, karena Pancasila
merupakan filofis bangsa yang diciptakan oleh pendiri Bangsa dari nilai-nilai luhur Bangsa
Indonesia. Paduan Pancasila dengan konsep triple bottom line dengan profit, people dan planet
akan menciptakan kesejahteraan bagi bangsa ini. Dengan berpedoman pada Pancasila, negeri ini
akan makmur dan keadilan akan merata dan menyentuh seluruh lapisan Masyarakat Indonesia
sebagai pemilik dari Republik ini.

 Pertemuan 4. CSR dan Teori ekonomi klasik


Dalam penelitian-penelitian terdahulu bisa dikatakan bahwa program-program CSR yang
ditawarkan perusahaan selalu mengedepankan pertimbangnan rasionalitas. Teori pilihan rasional
Etzioni, 1986, mendasarkan pada pilihan untuk memaksimalkan utility. Paham rasionalitas pada
dasarnya berakar pada teori ekonomi klasik bahwa manusia akan selalu memaksimalkan
kepuasan atau utilitas. Tindakan rasional mengandaikan sebuah motif diluar dirinya yang hendak
dicapai dalam rangka pemuasan utility. Program CSR dilakukan bukan karena secara nilai
misalnya moral baik untuk dilakukan tetapi memiliki motif diluar dirinya. Menurut paham
deontologi sebuah tindakan itu baik karena secara inhern ia baik, keyakinan bahwa nilai moral
selalu didasarkan pada apa yang ada dalam perbuatan itu sendiri, bukan sesuatu yang lain yang
berada di luarnya. Orang tidak mau berbohong umpamanya bukan karena sesuatu yang lain di
luar perbuatan bohong itu, tetapi karena memang perbuatan bohong itu sendiri yang tidak baik.
Pembenaran nilai moral ini didasari oleh pemahaman bahwa perilaku moral mestilah didasarkan
pada dorongan yang kuat dari dalam diri seseorang untuk melakukannya dan atau
meninggalkannya.
Weber menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial, sesuatu tidak
akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan
tindakan tersebut. Tindakan-tindakan sosial individu membentuk bangunan dasar untuk struktur-
struktur sosial yang lebih besar, Weber meletakan dasar ini dengan distingsidistingsi tipologis
yang bergerak dari tingkat hubungan sosial ke tingkat keteraturan ekonomi dan sosial politik.
Weber menggunakan konsep rasionalitas dalam kalsifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan
sosial. Tindakan sosial menurut Weber adalah pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan
itu dinyatakan. Weber membagi rasionalisme tindakan kedalam empat macam yaitu rasionalitas
instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan rasional dan tindakan rasional afektif.
Rasional instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan
adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingakan
rasionalitas instrumnatal, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa
alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah
ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolute atau nilai akhir
baginya.
Teori pilihan rasional Coleman, memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor
dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor
mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun
dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak
menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang
penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan
tingkatan pilihan aktor. Gagasan dasar dalam teori pilihan rasional bahwa tindakan perseorangan
mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan.
Melihat hasil penelitian sebagaimana dinyatakan diatas dapat disarikan dahwa terdapat
independensi motif antara keinginan menggungkapkan tanggungjawab social (social disclosure)
dengan upaya mempertahankan kinerja keuangan perusahaan. Perusahan yang memiliki kinerja
keuangan bagus dalam rangka merpertahankan reputasi dan legitimasi akan termotivasi
melakukan pengungkapan social secara luas (extent of social disclosure). Begitu juga sebaliknya,
tingkat keterbukaan dan responbilitas (social disclosure). Yang dilakukan perusahaan
memgandung information content sehingga memiliki konsekuensi ekonomi (economic
consequences) yaitu memberikan peluang meningkatkan transaksi, profitabilitas dan market
value.

 Pertemuan 5. CSR dalam perspektif Institusional


Pemerintahan saat ini telah menjadi aktor penting dalam mempromosikan agenda
Corporate Social Responsibility (CSR). Bahkan pemerintah di seluruh dunia telah menjadi
semakin proaktif dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk mengatur CSR. Sebab
pemerintah melihat CSR sebagai subjek dengan sangat relevansi untuk kebijakan publik, karena
kemampuannya untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan dan inklusif, meningkatkan
daya saing nasional dan serta mendorong investasi asing. Wilson dan Olsen (2003) berpendapat
bahwa "pemerintah perlu meletakkan kembali perannya dengan memberlakukan undang-undang
untuk membuat kerangka normatif yang akan memastikan perilaku bisnis memberikan hasil yang
diinginkan untuk memenuhi tantangan sistemik yang dihadapi masyarakat. Pemerintah juga
harus bekerja dengan bisnis untuk menciptakan insentif yang akan mendorong perusahaan untuk
mengambil tindakan lebih lanjut pada tingkat berperan untuk saling menguntungkan bisnis dan
masyarakat. Pada tahun 2007, Indonesia menjadi negara pertama yang memperkenalkan wajib
persyaratan hukum untuk CSR ketika parlemen Indonesia mensahkan Undang-Undang 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (Rosser and Edwin; 2010). Namun demikian, Waagstein (2010)
melihat ada dua masalah yang muncul dalam pelaksanan program CSR di Indonesia, yaitu:
Pertama, kurangnya pengetahuan tentang CSR. Pemahaman CSR sebagai konsep di
Indonesia masih kurang dan tidak konsisten. CSR sering dianggap sebagai konsep Barat yang
terkait dengan tindakan filantropi. Persepsi umum bahwa CSR masih merupakan biaya tinggi
dan sebagai lawan investasi, sehingga perusahaan mepunyai keengganan dalam mengadopsi
CSR di perusahaan mereka. Kurangnya informasi tentang CSR di Indonesia juga berlaku untuk
pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Pada level pemerintah konsep ini telah
diperkenalkan, tapi masih dalam tahap awal kesadaran saja sedangkan pada tinggakt
implementasinya masih lemah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kurangnya
pengetahuan merupakan kendala utama dalam pelaksanaan CSR secara eksplisit di Indonesia.
Kedua, Masalah sosial dan hukum di Indonesia. Seperti disebutkan sebelumnya,
kurangnya penegakan hukum, korupsi, dan tumpang tindih antara hukum yang berbeda telah
menjadi masalah umum untuk semua sektor dalam pemerintahan, terutama yang terkait dengan
CSR. Hal ini disebabkan masalah yang berkaitan dengan kurangnya standar operasional bagi
perusahaan dalam masyarakat dan pengembangan usaha atau tata kelola perusahaan, yang
mendorong adopsi standar internasional perusahaan harus disesuaikan untuk konteks nasional
tertentu.
Pengaturan CSR tersebut menimbulkan berbagai persoalan praktis dilapangan. Misalnya,
dari sisi format yang tidak sama, bentuk perundanagan, serta isi kentuan yang berbeda. Seperti
tidak adanya kelembagaan daerah yang jelas yang menjadi pengawas pelaksanan program
tersebut, munculnya bermacam tafsir terhadap penggunaan dana CSR, ketidakjelasan hak dan
kewajiabn perusahan pemerintah maupun masyarakat penerima program, dan sistem evaluasi
pelaksanan CSR yang rancu. Bahkan dibeberapa daerah telah muncul kasus hukum dari
pelaksanan CSR termasuk pola kelembagaan yang dibentuk. Karena secara yuridis, pemerintah
tidak diperkenankan untuk menerima dana dan mengelolah dana dari perusahaan swasta. Oleh
karena itu, evaluasi kebijakan pemerintah daerah mengenai pengelolaan program CSR perlu
dilakukan untuk mengantisipasi munculnya persoalan-persoalan lebih lanjut sekaligus melihat
dari perspektif kelembagaannya.

Peran serta pemerintah dalam kebijakan CSR menjadi sangat penting untuk menjamin
keterlibatan sektor swasta dalam proses pembangunan yang berkesinambungan. Menurut Steurer
(2010) bahwa ada lima alasan mengapa pemerintah harus berperan dalam kebijakan CSR.
- Pertama, pemerintah tertarik CSR karena dapat membantu memenuhi tujuan kebijakan atas
dasar sukarela dari perusahaan tersebut. Motivasi ini tidak hanya pada tujuan kebijakan yang
terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan. Liston-Heyes dan
Ceton (2007) menyatakan bahwa CSR berkaitan dengan mendistribusikan sumber daya
perusahaan untuk tujuan umum (non bisnis).
- Kedua, Dengan adanya kebijakan CSR ini, biaya politik yang relatif mulai berkurang oleh
kelompok kepentingan khusus. Untuk meletakkannya secara positif, penurunan intervensi
negara 'mungkin membuka kemungkinan lebih' 'bertanggung jawab' 'bentuk interaksi antara
kelompok pemangku kepentingan', termasuk bentuk-bentuk baru dari intervensi pemerintah
seperti Kebijakan CSR.
- Ketiga, pemerintah berusaha untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam mendefinisikan
konsep dan mendorong praktik perusahaan dengan inisiatif tidak mengikat.
- Keempat, pendekatan kebijakan CSR memperkuat pemerintahan untuk melakukan regulasi
hirarkis dan co-regulasi. Kelima, CSR berkaitan dengan mengelola hubungan bisnis dengan
berbagai pemangku kepentingan, konsep jelas membentuk ulang tidak hanya rutinitas
manajemen tetapi juga peran, dan hubungan antara, bisnis, pemerintah dan masyarakat sipil.
Dalam hal ini, CSR mengarah ke 'pergeseran keterlibatan masyarakat dan swasta sektor.

 Pertemuan 6. Perspektif marxis terhadap CSR

Anda mungkin juga menyukai