Kepeng Bolong
Editor:Redaksi Lombok Post
28 Juli 2021
Pasar : Suasana jual beli di Pasar Masbagik Lombok Timur pada zaman kolonial
Belanda.
Lombok di pedalaman abad 18 telah membuka diri terhadap perdagangan antar
bangsa. Karena itu ragam mata uang dunia ditransaksikan disini. Tentu saja
dengan Kepeng Bolong sebagai mata uang utama. Bagaimana nilai tukarnya?
—————————————
“Kepeng deang wah Toke, adekn ndak berat lalok,” jawab Sarah dalam bahasa
Sasak mengulang jawabannya kepada sang majikan.
Hari itu Inaq Sarah ingin digaji dengan uang ringan saja agar mudah dibawa.
Ditambah berat belanjaannya hari itu, ia khawatir jika digaji dengan uang berat
tumpukan uang itu akan berat dibawa kemana-mana.
Jika dilihat dengan kepraktisan sistem pembayaran saat ini, dialog antara Inaq
Sarah dan majikannya di atas terasa aneh. Seberapa berat uang sesuku sehingga ia
merasa terbebani untuk membawanya pulang?
Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace yang datang ke Ampenan sekitar tahun
1856 menyebut Kepeng Bolong adalah alat transaksi utama di Lombok. Saat itu
satu Rijskdaalder (Seringgit atau sekeping pecahan 2,5 Gulden berbahan
perak) setara dengan 1200 Keping Kepeng Bolong. Jika rata-rata berat
sebiji Kepeng Bolong sekitar 4 gram per keping maka satu
keping Rijskdaalder setara dengan 4,8 kilogram Kepeng Bolong.
Berat ini tidak tetap. Bisa bertambah dan berkurang mengingat nilai tukar Kepeng
Bolong terhadap uang asing
seperti Gulden, Dollar maupun Poundsterling berubah-ubah sesuai nilai pasaran.
Kepeng Bolong
Dengan penjelasan di atas wajar jika Inaq Sarah menimbang-nimbang jika harus
menerima gajian dengan Kepeng Bolong. Dimana satu suku yang bakal diterima
Sarah setara 50 sen atau setengah Gulden (1 Gulden = 100 sen).
Jika kini anda harus membawa satu kilogram uang setiap hari dapat dibayangkan
bagaimana besar dompet yang harus disediakan.
Baca Juga : 1897: Lalu Badil Serang Penjara Belanda di Praya dan Bebaskan
Para Tahanan
Kepeng Bolong memang tak seperti uang modern saat ini yang memiliki besaran
nominal sebagai penanda nilai. Karena itulah dalam penggunaanya ia memiliki
banyak penyebutan berdasar pada jumlah keping.
Untuk mengukur berat padi tersebut, 1200 keping kepeng diikat menjadi satu
sebagai mata timbangan. 1200 keping kepeng bolong setara dengan 0,08 pikul (1
pikul = 61,7 Kilogram)
Seringgit : Sebuah uang pecahan 2 ½
Gulden (Rijskdaalder) bertahun 1898. (Sumber Foto : numista.com)
Nilai Kepeng Bolong terhadap mata uang asing memang relatif rendah dan tidak
efisien dalam transaksi besar. Karena itulah penggunaannya cenderung untuk
transaksi-transaksi dalam jumlah kecil.
Kestabilan nilai koin-koin Gulden juga nampak pada gaji para pekerja. Harjo
Santoso dalam Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarang Bangsa menyebut di
tahun 1928 gaji seorang pegawai rendahan di De Javasche Bank bank sentral
Hindia Belanda hanya 144 Gulden per tahun atau 12 Gulden per bulan.
Sementara gaji seorang prajurit berpangkat rendah sekitar 6-7 Gulden per minggu.
Dapat dibayangkan jika dalam sebulan seorang prajurit bergaji
6 Gulden perminggu dapat membawa sekarung Kepeng Bolong ketika gajian tiba
di akhir bulan.
Apa yang bisa dibeli dengan sekeping Kepeng Bolong? Kisah Amaq Sedan, asal
Dusun Montong Batu, Muncan, Lombok Tengah bisa jadi pembanding. Sekitar
tahun 1930-an ia adalah siswa Sekolah Rakyat (volkschool) angka tiga di Desa
Muncan. Lokasinya persisi di sisi barat embung Muncan kini.
Amaq Sedan mengenang untuk ke sekolah sang ayah memberi uang saku
sekeping Kepeng Bolong. Jumlah ini cukup untuk membeli sarapan pagi.
Menunya berupa pelecing kangkung, urap-urap lengkap dengan ketupat dan
segelas kopi. Sementara harga satu ekor ayam dewasa antara 5 sampai 8 kepeng
tergantung jenis dan ukurannya.
Kepeng Bolong sendiri merupakan mata uang tua yang ditaksir telah ada sekitar
abad ke-10. Tak hanya di Lombok penggunaan mata uang ini hampir merata di
Nusantara.