Anda di halaman 1dari 6

Lombok 1930 : Sepiring Pelecing, Sekeping

Kepeng Bolong
Editor:Redaksi Lombok Post

28 Juli 2021

Pasar : Suasana jual beli di Pasar Masbagik Lombok Timur pada zaman kolonial
Belanda.
Lombok di pedalaman abad 18 telah  membuka diri terhadap perdagangan antar
bangsa. Karena itu ragam mata uang dunia ditransaksikan disini. Tentu saja
dengan Kepeng Bolong sebagai mata uang utama. Bagaimana nilai tukarnya?
—————————————

Suatu siang di Pelabuhan Ampenan sekitar tahun 1940. Setelah mengemas


tumpukan tembakau, ini adalah hari yang ditunggu Inaq Sarah. Hari dimana para
buruh buruh pergudangan seperti dirinya menerima upah.

Yang membuat Inaq Sarah senang ia akan menerima upah sekitar


satu suku (sesuku). Jumlah yang lebih dari cukup untuk ia dan keluarga kecilnya
hidup beberapa minggu.  Sebelum gajian toke (majikan, red) tempatnya bekerja
bertanya hari itu apakah ia mau digaji dengan uang berat atau ringan.

“Kepeng deang wah Toke, adekn ndak berat lalok,” jawab Sarah dalam bahasa
Sasak mengulang jawabannya kepada sang majikan.

Hari itu Inaq Sarah ingin digaji dengan uang ringan saja agar mudah dibawa.
Ditambah berat belanjaannya hari itu, ia khawatir jika digaji dengan uang berat
tumpukan uang itu akan berat dibawa kemana-mana.

Baca Juga : 1910: Fenomena Datu-Datuan dan Perlawanan Petani Lombok

Jika dilihat dengan kepraktisan sistem pembayaran saat ini, dialog antara Inaq
Sarah dan majikannya di atas terasa aneh. Seberapa berat uang sesuku sehingga ia
merasa terbebani untuk membawanya pulang?

Sebelum Belanda menaklukkan Kerajaan Mataram Lombok di akhir tahun


1894, Kepeng Bolong uang tembaga beraksara China dan Jawa adalah alat tukar
yang berlaku.

Kelak, ketika Belanda berkuasa Kepeng Bolong tetap digunakan terutama untuk


transaksi-transaksi dalam jumlah kecil. Sementara untuk transaksi besar orang
lebih memilih  valuta asing seperti Gulden, Dollar dan Poundsterling disamping
sejumlah mata uang asing lainnya.

Baca Juga : Lombok 1934 : Jejak Gemilang Bandara Rambang

Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace yang datang ke Ampenan sekitar tahun
1856 menyebut Kepeng Bolong adalah alat transaksi utama di Lombok. Saat itu
satu Rijskdaalder (Seringgit atau sekeping pecahan 2,5 Gulden berbahan
perak) setara dengan 1200 Keping Kepeng Bolong. Jika rata-rata berat
sebiji Kepeng Bolong  sekitar 4 gram per keping maka satu
keping Rijskdaalder setara dengan 4,8 kilogram Kepeng Bolong.

Berat ini tidak tetap. Bisa bertambah dan berkurang mengingat nilai tukar Kepeng
Bolong terhadap uang asing
seperti Gulden, Dollar maupun Poundsterling berubah-ubah sesuai nilai pasaran.

Kepeng Bolong
 

Alfons van der Kraan  dalam Lombok Penaklukkan Penjajahan dan


Keterbelakangan menyebut setelah 1894 pemerintah belanda sempat menetapkan
patokan kurs resmi satu Rijskdaalder (Seringgit) setara dengan 2000
keping Kepeng Bolong.

Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih suka menggunakan Gulden dalam


bertransaksi. Namun nyatanya hingga tahun 1928 nilai tukar 
satu Rijskdaalder cenderung stabil di angka 1000-1200 keping saja.

Baca Juga :  Lombok 1856 : Kisah Raja Mataram Memberantas Korupsi

Dengan penjelasan di atas wajar jika Inaq Sarah menimbang-nimbang jika harus
menerima gajian dengan Kepeng Bolong. Dimana satu suku yang bakal diterima
Sarah  setara 50 sen atau setengah Gulden (1 Gulden = 100 sen).

Dengan kurs  2,5 Gulden setara 1200 Kepeng Bolong artinya dia harus membawa


pulang gaji dalam bentuk Kepeng Bolong sekitar  240  keping yang beratnya
mencapai 960 gram atau hampir satu kilogram. Betapa beratnya.
Sementara dengan uang deang (uang ringan, uang Gulden) dia hanya membawa 50
keping pecahan satu sen atau sekeping pecahan setengah Gulden dengan berat 5
gram saja. Ringan di kantongi.

Jika kini anda harus membawa  satu kilogram uang setiap hari dapat dibayangkan
bagaimana besar dompet yang harus disediakan.

Baca Juga : 1897: Lalu Badil Serang Penjara Belanda di Praya dan Bebaskan
Para Tahanan

Nilai Kepeng Bolong

Kepeng Bolong memang tak seperti uang modern saat ini yang memiliki besaran
nominal  sebagai penanda  nilai. Karena itulah dalam penggunaanya ia memiliki
banyak penyebutan berdasar pada jumlah keping.

Misalnya satak, atak atau setali untuk seikat kepeng bolong berisi dua ratus


keping. Atau se ketip berjumlah sekitar 48 atau 50 keping. Jumlah seketip ini setara
10 sen  uang Gulden.

Karena itu selain satuan/per biji,  berat Kepeng Bolong  juga menjadi hitungan


timbangan. Misalnya di Lombok Barat tahun 1894, pajak atau sewa tanah subur
dengan irigasi baik seluas setenah (58,32 are)  adalah 150 buntel padi.

Untuk mengukur berat padi tersebut, 1200 keping kepeng  diikat menjadi satu
sebagai mata timbangan. 1200 keping kepeng bolong setara dengan 0,08 pikul (1
pikul = 61,7 Kilogram)
Seringgit : Sebuah uang pecahan 2 ½
Gulden (Rijskdaalder) bertahun 1898. (Sumber Foto : numista.com)
Nilai Kepeng Bolong terhadap mata uang asing  memang relatif rendah dan tidak
efisien dalam transaksi besar. Karena itulah penggunaannya cenderung untuk
transaksi-transaksi dalam jumlah kecil.

Dalam The Malay Archipelago misalnya Wallace mengisahkan bagaimana


kesibukan sehari-hari Mr. Carter seorang pedagang  berkebangsaan Inggris di
pergudangan Pelabuhan Ampenan sekitar tahun 1856. Saat itu para pekerja Mr.
Carter setiap hari harus menghitung sedikitnya dua karung besar Kepeng
Bolong untuk pembayaran hasil bumi yang datang dari pedalaman. Seperti padi,
pisang, kopi hingga sapi dan babi.

Baca Juga :  1856, Amuk di Ampenan dan Kisah Perlawanan Orang-orang


Makassar

Karena itulah para pengusaha dan bangsawan lebih memilih mengoleksi


pecahan Rijskdaalder (2,5 Gulden) sebagai penyimpan nilai. Selain lebih mudah
dalam hal penyimpanan koin ini memiliki nilai lebih stabil dan berlaku luas dalam
perdagangan antar bangsa. Selain itu keistimewaan uang ini adalah pada bahan
pembuatnya yakni perak 25 gram.

Baca Juga : Lombok 1856 : Kisah Raja Mataram Memberantas Korupsi

Kestabilan nilai koin-koin Gulden juga nampak pada gaji para pekerja. Harjo
Santoso dalam Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarang Bangsa menyebut di
tahun 1928 gaji seorang pegawai rendahan di De Javasche Bank bank sentral
Hindia Belanda hanya  144 Gulden per tahun atau 12 Gulden per bulan.
Sementara gaji seorang prajurit berpangkat rendah sekitar 6-7 Gulden per minggu.
Dapat dibayangkan jika dalam sebulan seorang prajurit bergaji
6 Gulden perminggu dapat membawa sekarung Kepeng Bolong ketika gajian tiba
di akhir bulan.

Harga Sekeping Kepeng Bolong

Apa yang bisa dibeli dengan sekeping Kepeng Bolong? Kisah Amaq Sedan, asal
Dusun Montong Batu, Muncan, Lombok Tengah bisa jadi pembanding. Sekitar
tahun 1930-an ia adalah siswa Sekolah Rakyat (volkschool) angka tiga di Desa
Muncan. Lokasinya persisi di sisi barat embung Muncan kini.

Amaq Sedan mengenang untuk ke sekolah sang ayah memberi uang saku
sekeping Kepeng Bolong. Jumlah ini  cukup untuk membeli sarapan pagi.
Menunya berupa pelecing kangkung, urap-urap lengkap dengan ketupat dan
segelas kopi.  Sementara harga satu ekor ayam dewasa  antara 5 sampai 8 kepeng
tergantung jenis dan ukurannya.

Kepeng Bolong sendiri merupakan mata uang tua yang ditaksir telah ada sekitar
abad ke-10. Tak hanya di Lombok penggunaan mata uang ini hampir merata di
Nusantara.

Di Lombok sendiri Klan Karangasem Bali yang berkuasa hingga 1894


menjadikannya sebagai mata uang resmi. Sebagian besar Kepeng Bolong diimpor
dari China, Vietnam dan beberapa daerah lainnya di Jawa.  Mengutip Van der
Kraan tahun 1890 nilai ekspor impor Kerajaan Lombok ditaksir mencapai 50.650
rijskdaalders. 1000 Rijskdaalder diantaranya berasal dari impor kepeng bolong ini.
(*)

Anda mungkin juga menyukai