Budak Pelarian
Editor:Redaksi Lombok Post
12 Maret 2021
———————————-
19 September 1889, The Brisbane Courier mengulas sebuah kabar memilukan dari pesisir
Ampenan bertajuk “SLAVERY IN LOMBOK,”. Koran terbitan Australia ini memuat berita
eksekusi mati terhadap budak yang dilakukan Sahbandar Pelabuhan Ampenan Said
Abdullah.
Hari itu 1 Agustus 1889 sekitar pukul 11 pagi. Empat orang budak diarak ke tepi pantai. Dua
laki-laki berusia sekitar 10 dan 20 tahun dan dua perempuan 20 dan 25 tahun. Mereka bersiap
menanti maut setelah upaya pelarian yang gagal. Tak dijelaskan apa alasan para budak ini lari
dari majikan.
Yang jelas, perahu yang mereka pakai untuk kabur ke Buleleng terhempas gelombang dan
terdampar di wilayah Karang Asem, Bali. Saat itu Karang Asem adalah bagian dari Kerajaan
Mataram Lombok. Lekas Putra Said Abdullah menjemput para pelarian untuk mendapat
hukuman.
Nasib lebih mengerikan didapat dua budak perempuan lainnya. Mereka dihukum dengan cara
yang tak kalah pedih. Keduanya dibawa ke rumah Said Abdulah. Seorang diantaranya
digantung dengan tangan terikat di atas kepala pada sebuah batang pohon selama tiga jam.
Baca Juga : Operasi Starfish 1945: Misi Rahasia Australia yang Gagal di Sekotong
Ia kemudian menerima 50 kali cambukan dengan rotan. Rekannya lebih sadis lagi. Hidung
dan telinganya dipotong kemudian ditelanjangi dan menerima delapan puluh cambukan
rotan. Tak berhenti disini bekas luka cambukan dilumuri campuran garam, asam dan cuka. Si
Pesakitan meringis kesakitan hingga tak sadarkan diri.
Saksi mata dalam berita tersebut menjelaskan eksekusi hukuman para budak dengan cara
barbar tersebut bukan kali ini saja. Ini adalah praktik umum dari para pemilik budak di masa
itu. Bahkan Ia menyebut Said Abdullah saja telah menghabisi puluhan budaknya.
Di atas kertas Raja Mataram, Anak Agung Gede Ngurah yang berkuasa tahun itu memang
sudah melarang perbudakan. Namun ia disebut tak mencegah aksi keji yang dilakukan para
pejabatnya termasuk Said Abdullah.
Secara resmi pemerintah Hindia Belanda telah melarang perbudakan sejak 1860. Hanya saja
praktik ini tak sepenuhnya bisa dihentikan. Penolakan muncul baik dari para tuan tanah
pengguna budak maupun raja-raja yang selama ini memanen untung dari perdagangan
manusia. Penolakan terbesar terutama datang dari wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya
dalam penguasaan Belanda seperti Bali dan Lombok.
Kapal para perompak pemburu budak di Perairan Sulu Philippina Selatan tahun 1850. (Image
Source ; Wikipedia)
Pernyataan ini juga diperkuat oleh kesaksian Duarte Barbosa (The Book of Duarte
Barbosa) yang singgah di Perairan Sumbawa tahun 1516. Di tempat ini para pedagang dari
Jawa dan Malaka tak hanya memburu Kayu Cendana, Kayu Sepang, Kuda dan Madu. Namun
budak-budak murah diangkut sebelum dijual ke bandar-bandar utama di utara Jawa dan
semenanjung Malaya.
Selain itu Kerajaan Bima memang terkenal sebagai pemasok budak terbesar ke Batavia. Soal
budak ini terlihat jelas dari lembar-lembar catatan kerajaan. Seperti ditulis kembali Henri
Chambert-Loir-Siti Maryam Salahuddin dalam Bo Sangaji Kai–Catatan Kerajaan Bima di
lembar ke 45 yang berbunyi.
Tingginya permintaan Budak ini tak terlepas dari tumbuhnya perekonomian di Jawa,
Sumatera dan sejumlah koloni Eropa di Bourbon dan Mauritius. Ladang-ladang perkebunan
membutuhkan tenaga kerja murah. Demikian halnya kota-kota pelabuhan yang tumbuh
bersama para penjajah Eropa yang tiba membutuhkan lusinan babu, juru masak hingga
gundik.
Adakalanya juga para budak dibeli sebagai prajurit yang menjaga kastil-kastil para tuan
tanah. Kisah Kaoem Depok misalnya. Mereka adalah para budak tuan tanah Cornelis
Chastelein yang kemudian mewarisi tanah dan tata hidup sang tuan.
Para budak tersebut datang dari berbagai daerah. Setelah Cornelis Chastelein meninggal
mereka menguasai lebih dari 1000 hektare tanah di Depok sebelum diambil alih pemerintah
republik tahun 1950
Jumlah budak yang dimiliki di zaman itu dapat menunjukkan status sosial seseorang.
Semakin banyak budak yang dimiliki semakin tinggi statusnya. Dalam tradisi kerajaan agrari
sebagaian besar budak ditempatkan sebagai pengurus lahan garapan.
Hal inilah pula yang membuat perburuan orang sebagai budak di awal-awal abad 16-17
demikian marak. Para perompak (lanun) kerap turun dari kepulauan Mindanau, Filipina
menuju kepulauan Maluku, Nusa Tenggara untuk berburu manusia.
Di awal abad 19, jual beli Budak mulai berkurang seiring tumbuhnya kesadaran tentang hak
asasi manusia. Namun 1814 pasar budak di Sunda Kelapa masih ramai. Bahkan dari 18.972
budak yang bekerja di Batavia sebagian besar diekspor dari Bali, Nusa Tenggara dan
Makassar.
Sejarah panjang perbudakan di Bali dan Nusa Tenggara masih bisa kita lihat dari kosakata
yang digunakan. Istilah panjak lazim digunakan untuk golongan masyarakat budak di Bali
dan Lombok. Sementara itu dalam literartur lama Sumbawa juga mengenal kata Tau Ulin,
istilah ata di Sumba atau ata hao di Flores. Semua itu merujuk orang yang mudah diperjual
belikan.
Baca Juga : Lombok hingga Batavia: Perburuan Rempah dan Hasrat Para Penjajah
Pertama karena hukuman atas suatu kesalahan yang dijatuhkan oleh raja. Kedua sebagai ganti
rugi akibat hutang-hutang yang tak bisa dibayar, ketiga sebagai hukuman karena melarikan
diri dari kewajiban perang, kempat menjadi budak karena bersetatus tahanan/rampasan
perang.
Kemudian yang kelima seorang pelarian dari daerah lain yang kemudian meminta
perlindungan kepada penguasa suatu wilayah. Keenam menjadi budak karena keturunan,
tujuh menjadi budak karena hasil pembelian. Kemudian yang terakhir seorang wanita yang
ditinggal mati oleh suami tanpa didampingi ahli waris (anak laki-laki). Khusus untuk yang ke
terakhir ini dalam hukum yang berlaku di Lombok dan Bali saat itu disebut Hukum Camput.
( r2)