Anda di halaman 1dari 31

BALI DALAM KONTEKS KOLONIAL

Orang-orang barat sudah berkenalan dengan Bali pada abad ke 16 (1597). Kedatangan
orang barat ke Bali bersamaan dengan peristiwa perjalan Belanda ke daerah timur, di bawah
pimpinan Cournelis de Houtman yang sempat singgah di Bali tepatnya di Gelgel. Kedatangan
pertama itu bisa disebut perkenalan Bali dengan Belanda yang mendekatkan Belanda dengan
Bali. Awalnya hubungan mereka masih bersifat persahabatan dan dagang, namun berkembang
menjadi hubungan-hubungan yang bersifat politik. Hubungan politik itu selanjutnya
membawa perang-perang penaklukan oleh pasukan colonial Belanda yang berakibat Bali
berada di bawah kekuasaan Bangsa Belanda. Atas penaklukan-penaklukan itu, Belanda
membentuk pemerintahan dengan bentuk Keresudenan Bali dan Lombok tahun 1882.
Bali merupakan salah satu daerah yang menjadi target bagi Kolonial. Taktik
penguasaan dimulai dengan hubungan dagang, kemudian mengarah pada hubungan atau
perjanjian-perjanjian yang bersifat politik. Pada abad ke-19 Bali merupakan episode sejarah
perubahan Zaman karena masuknya pengaruh Barat berinteraksi dengan kepentingan dan
tradisi-tradisi di Bali.

A. DARI HUBUNGAN DAGANG SAMPAI PERANG KOLONIAL


Kontak awal oramg Bali dengan Bangsa Barat dimulai pada abad ke-16, ketika di Bali
singgah rombongan pelancong Belanda di bawah pimpinan de Houtman. Pada saat itu
terjadi perkenalan rombongan dengan raja Bali yaitu Raja Gegel, yang memberi tanda
adanya hubungan persahabatan antara utusan Ratu Belanda dengan Raja Bali. hubungan
terus berlanjut sampai abad ke-18 yang memberi tanda adanya usaha-usaha orang belanda
membangun hubungan dagang dengan Bali.
Usaha belanda membangun hubungan dagang dengan Bali tampak berhasil di abad ke-
19. Namun hubungan tersebut tidak berkaitan dengan perdagangan tetapi juga merambah
ke urusan politik (kekuasaan). Hal itu dilakukan Belanda dengan cara dan semangat
Kolonial, yang mengadu domba kekuatan-kekuatan politik yang ada di Bali. seperti
diketahui sejak pecahnya kekuasaan Gegel di abad ke-17, Bali mengalami kekacauan
politik yang cukup mengganggu kemanan Bali. Pada abad ke-18 VOC sempat mencari
budak-budak di Bali, yang digunakan baik untuk tenaga kerja di perkebunan –
perkebunan VOC maupun untuk kepentingan tentara dalam perang di Jawa (Ricklefs,
1981:126). Perdangan budak tampaknya penting bagi raja-raja, karena sebagian besar
penghasilan raja berasal dari perdagangan budak(Puta Agung,2010:42).
Terdapat informasi bahwa pada tahun 1778 sudah terdapat kurang kebih 1300 orang
penduduk Bali di Batavia. Perdagangan budak masa itu dilakukan oleh pedagang-
pedangan kompeni Belanda(ENI, 1917: 109). Di Bali juga muncul kekuatan kekuatan
kecil yang merdeka antara satu sama lain, karena kekuatan pemersatu Gegel runtuh.
Sampai di abad ke – 19 kekuatan-kekuatan itu tidak dapat disatukan , bahkan mengalami
benterok antara satu dengan yang lainnya. dalam keadaan seperti itu, Belanda masuk dan
berusaha mendapatkan pengaruh di Bali.
Dalam perdagangan, Bali memiliki pelabuhan-pelabuhan yang baik sebagai tempat
berlabuh kapal-kapal dagang dari luar. Dari berita tahun 1805 diketahui bahwa di
pelabuhan Pabean, Buleleng terdapat seorang punggawa dari Raja Karangasem, bernama
Imam Wazir Ketut Tuban yang bertugas mengawasi pelabuhan. Juga pantai Bungkulan
disebut sebagai pelabuhan yang ramai pada masa itu dan sering menjadi tempat
penyelundupan barang-barang dari luar. Disana banyak terdapat pedagang Makasar,
Bugis dan Mandar. Para pedagang itu membawa barang dagangannya seperti : senjata
dan kunci inggris dengan menggunakan perahu-perahu kecil dari Bengkulu ke pangkal
pinang. Sebaliknya para pedagang Bali membawa barang dagangannya seperti : sarang
dan burungnya dari Nusa Penida dan daging sapi.
Dilihat dari pengaruhnya, pada abad ke-19 Karangasem merupakan kerajaan yang
terkuat yang ada di Bali. kerajaan Karangasem muncul setelah runtuhnya kerajaan
GelGel. Di sana terdapat dua pelabuhan yang baik yakni : Ujung dan Padang. Dari suatu
laporan tahun 1821 disebutkan bahwa di Karangasem banyak ditanam padi. Dari sana di
ekspor kapas ke Selebes, yang dilakukan oleh pedagang-pedagang Bugis dan Makasar.
Di Makasar kapas dapat ditukar dengan opinium atau candu, tembakau dan pakaian. Di
pelabuhan Padang (kini Padang Bai) tinggal seorang pedagang cina yang sangat kaya.
Bernama Rompang. Dari Raja Karangasem ia mendapatkan hak sewa atas barang-barang
ekspor dan impor dengan membayar sebesar 600 dollar Spanyol setiap tahunnya kepada
Raja Karangasem(“Rapport van The Broek 1821” (ARA 1916). Di Karangasem juga
disebutkan ada pelabuhan yang ramia dikunjungi pedagang dari luar yaitu Labogee.
Pelabuhan itu sering dikunjungi kapal-kapal Inggris, kapal pedagang Cina dan New
South Wales yang mengambil beras. Pada masa itu bali disebut mengekpor hasil-hasil
beras, kulit , tembakau, minyak kelapa dan kopi(G.W.erl,1837:90; Wong Lin Keng,
1960:63)
Pada tahun 1830-1831 di Bali Selatan (Badung) diberitakan banyak terjadi
perdagangan. Perdagangan budak banyak dilakukan oleh bangsawan (gusti) miskin.
Pedagang-pedagang Cina juga membeli budak-budak wanita untuk digunakan sendiri.
Sesungguhnya sumber penghasil budak juga berada di luar Bali seperti Makasar, Lombok
dan Sumbawa. Untuk hubungan perdagangan di Badung terdapat pelabuhan yang sangat
baik di Tuban dan di sana banya ada pedagang Bugis. Para pedagang Cina dan Bugis
memasukan kain lena ke Bali. disana juga datang pedagang-pedagang dari wilayah
pengaruh Inggris, yang membawa opium atau candu. Setiap peti (kist) opium berharga
sampai f.5000. Disini Raja Badung menggunakan Bandar atau syahbandar untuk
mengurus kedatangan di pelabuhan. Selain Tuban, di Badung juga ada pelabuhan yaitu
Kuta yang dijadikan tempat untuk berdagang. Melalui pelabuhan Kuta terjadi hubungan
pedagang yang sangat luas di Bali Selatan. Disebutkan , tahun 1830-an di kuta terdapat
penduduk Cina, Bali dan Islam. Disana juga terdapat orang-orang bugis yang menjual
camdu. (‘ Rapport Dubois over Balie” (ARAV. 8 Januari 1857, no 27)
Usaha awal yang dilakukan belanda di awal abad ke-19 adalah mendekati raja-raja
Bali untuk mengadakan hubungan dagang. Saat itu utusan Bangsa Belanda bernama Wan
de Wahl datang ke Bali ( 28 Nopember 1808) dengan tujuan mendapatkan calon prajurit
dari Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Pamecutan untuk perang di Jawa. Kedatangan
Wan de Wahl di Badung tidak hanya mencoba mendapatkan tenaga prajurit, tetapi juga
untuk mendapatkan konsesi atau hak-hak dari raja Badung, seperti menjadi Konsul atau
subandar di pelabuhan dan mendaptkan Hak untuk menjadi importer barang-barang yang
akan masuk ke ke Bali (Utrecht, 1962: 147-148). Akan tetapi pada tahun 1811-1816
ketika Inggris berkuasa di Indonesia di bawah Raffles hubungan dengan Belanda
sementara terhenti. Pada waktu itu, Inggris melarang perdagangan budak di kepulauan,
meskipun raja-raja di Bali dan Belanda menentangnya. Karena bertentangan dengan
kekuasaan raja, tampak menyebabkan pasukan kerajaan Buleleng dan Karangasem
menyerang pasukan Inggris. (orang-orang Sepoy) yang tinggal di Banyuwangi pada tahun
1814 (Utrecht, 1962: 149-150). Baru setelah kekuasaan Inggris berakhir, tahun 1816
Belanda aktif kembali melakukan hubungan dengan Bali.
Setelah hubungan dagang, maka berlanjut dengan hubunga-hubungan yang bersifat
politik atau kekuasaan. Hubungan Belanda dengan Bali disambung lagi pada tahun 1817.
Pada tahun itu seorang utusan pemerintahan Belanda yang bernama Van de Broek datang
pula ke Bali namun gagal mengkiat hubungan. Hubungan yang saling Curiga antara
Belanda dan raja-raja Bali terjadi pada waktu itu. Pada waktu itu raja memiliki ketentuan
yang dikenal dengan Hukum Tawan Karang. Hukum itu mengenakan sanksi kepada
setiap orang yang melakukan pelayaran tanpa izin di laut di wilayah kekuasaan raja-raja
di Bali. sebaliknya, Belanda melihat hukum tersebut sebagai penghalang mereka untuk
leluasa memasuki Bali. Oleh karena itu, pihak Belanda mengerahkan segala upaya untuk
berusaha menghapuskan Hukum Tawan Karang tersebut di Bali dengan tetap berusaha
membangun hubungan-hubungan dengan raja-raja Bali.
Untuk mempertegas hubungannya dengan Badung, pada tahun 1826 dikirim pula
utusan Belanda ke Badung, yakni Kapten J.S.Wetters guna membangun hubungan
dengan Raja Badung. Saat kedatangannya ia tinggal di Kuta dan darisana menghubungi
Raka Badung. Pada 2 Januari 1827 Kapten Wetter berhasil melakukan kontrak untuk
mendapatkan calon-calon tentara dari Raja Badung (Lekkerkerker, 1924:203).
Tampaknya persaingan antara Belanda dan Inggris mulai muncul di Bali, karena pada
tahun 1830 muncul kritik pedas oleh seorang sinolog kebangsaan Inggris yang bernama
Medhurst, yang mengecam adanya perdagangan budak oleh Belanda di Bali (Utrecht,
1962: 160). Pada tahun 1840-an juga disebutkan bahwa Kuta merupakan pelabuhan yang
sangat ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari luar. Disana tinggal seorang
pedagang Eropa (Denmark) yang bernama Mads Lange (L) dan disana juga beredar
berbagai mata uang seperti : uang Cina (peces), uang Spanyol (piaster), uang Belanda
(gulden) dan 1 gulden dapat ditukar dengan 200 kepeng uang Cina. Disana Mad Lange
mengumpulkan barang dagangan dari penduduk disekitar dam kemudian dijual atau
dikirim di daerah-daerah sebelah timur, seperti : Lombok, Sumbawa, Flores dan Maluku.
Sebaliknya ke Kuta datang pula pedagang-pedagang dari Singapura yang membawa
barang seperti : tekstik dan candu, kemudian dari Sumbawa dan timur membawa kuda ke
Bali. karena itu Bali dikenal sebagai daerah yang subur yang banyak menghasilkan beras
yang dapat dijual ke luar pulau. Beras Bali banyak dikirim ke Cina, Surabaya dan Madura
sedangkan barang impor Bali berupa : candu, uang kepeng, minuman keras, rempah-
rempah dan bahan dari sutra atau wol (Zollinger, 1845: 45-50).

B. KEKUASAAN POLITIK BELANDA DI BALI


Ramainya hubungan dagang di Bali, nampaknya menarik hati Pemerintah Hindia
Belanda untuk ikut berusaha di Bali. Selain itu, pada tahun 1840-an Pemerintah Hindia
Belanda telah melaksanaka politik ekspansi di kepulauan Indonesia (Wong Lin Ken,
“The Trade”, 1960: 64). Pada tahun 1841 dengan munculnya seorang petualang Inggris
James Brooke yang menduduki serawak semakin mendorong gerak ekspansi politik
Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1843 Menteri Koloni J.C Baud memerintah agar
pemerintah di Hindia Belanda segera melakukan kontrak-kontrak politik dengan raja-raja
setempat dan menuntut kekuasaan tertinggi pada daerah-daerahnya. (V.E.Korn, 1972: 9).
Sejalan dengan itu, seorang Inspektur Dinas Sipil Negeri Jajahan (J.Kruseman)
menasehati kepada mentri jajahan ( Van de Bosch) agar pemerintah Belanda mulai
mengubah strateginya berhadapan dengan pengaruh kekuasaan Inggris di Bali dan di
Lombok. Untuk mendapatkan pengakuan dari raja-raja di Bali dan Lombok, pemerintah
perlu membujuk raja-raja Bali dengan memberikan hadiah-hadiah dan menempatkan
penguasa sipil disana (Lekkerkerker, 1923:232). Dengan begitu, diharapkan Pemerintah
Hindia Belanda tidak hanya menguasai perdagangan tetapi juga menguasai pemerintahan
raja-raja. Pada saat yang bersamaan raja-raja Bali terkena imbas konflik politik yang
terjadi di Lombok. Pada tahun 1839 Raja Mataram ( Lombok) berhasil mengalahkan
saingannya Raja Karangasem-Lombok. Disisi lain Belanda mengetahui bahwa ketiga raja
itu tidak senang dengan Raja Mataram dan perlu mendapatkan dukungan. Saat itu
Belanda mendekatinya dan berhasil melakukan kontrak-kontrak politik.
Untuk kepentingan perluasan pengaruhnya itu, maka pemerintahan Hindia Belanda
kembali mengirimkan utusan untuk mendapatkan pengaruh yang luas dalam bidang
politik. Kontrak politik itupun akhirnya didapatkan. Kontrak-kontra yang memberikan
pengakuan atas penguasaan Pemerintahan Hidia Belanda itu adalah : kontrak dengan
Badung (30-7-1841), dengan Karangasem (11-11-1841) dengan Buleleng ( 20-11-1841)
dan dengan Klungkung (6-12-1841). Isi kontrak pada dasarnya menyatakan bahwa raja
menyatakan daerahnya berada di bawah kekuasaan Pemerintaha Hindia Belanda dan raja
berjanji tidak akan menyerahkan wilayahnya kepada bangsa asing lainnya (Utrech, 1962:
171-172). Raja Klungkung dipandang sebagai susuhunan raja-raja Bali dan Lombok.
Sehubungan dengan itu, pada 24 Mei 1843 dibuat pula kontrak Pemerintah Hindia
Belanda dengan Raja Klungkung, yang antara lain isinya menyatakan bahwa kekuasaan
Raja Klungkung di atas raja-raja di Bali dan Lombok, dan menghapuskan hukum tawan
karang (Utrecht, 1962: 185; Arsip Nasional, Surat-surat, 1964: 6-12). Kontrak yang sama
juga dibuat dengan Raja Badung (28-11-1842), dengan Raja Karangasem (1-5-1843),
Raja Buleleng (8-5-1843), dan dengan Raja Mataram (Lombok) pada tanggal 7 Juni 1843
(Utrecgt, 1962: 174; Lekkerkerker, 1923: 317).
Rupanya perubahan isi kontrak yang awalnya bersifat dagang kemudian menjadi
politik, kekuasaan, lebih-lebih dengan dihapuskannya hak tawan karang bagi raja-raja,
maka timbul kekecewaan dipihak raja. Raja-raja kecewa, karena raja-raja Bali
sesungguhnya menginginkan hubungan dagang atau persahabatan, bukan hubungan
ketundukan. Raja Buleleng dan Karangasem menyatakan menolak dihapuskannya hukum
tawan karang, karena hal itu dinilai merendahkan martabat raja. Sebaliknya pihak
Belanda juga menjadi kecewa, karena memandang raja-raja Bali tidak memberi
kebebasan, karena pemberlakuan hukum Tawan Karang. Tampaknya atas alasan itu,
pihak Belanda berusaha mencari jalan agar dapat meruntuhkan peraturan yang
menghalanginya. Berbagai tindak kekerasan dilakukan untuk menundukkan kekuasaan
raja-raja.
Semua pancingan atau provokasi juga dilakukan oleh pihak Pemerintah Hindia
Belanda. Pada tahun 1844 terjadi kericuhan persoalan hak tawan karang. Pada tahun itu
dua buah kapal berbendera Belanda terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Purancak
(Jembrana). Atas hak-hak tawan karang yang dimiliki penduduk, kapal itu dirampas oleh
penduduk. Pihak Belanda menuntut agar mentaati perjanjian yang telah dibentuk. Ketika
Raja Buleleng menolak maka tindakan kekerasan (menyerang) dilaksanakan oleh pihak
Pemerintahan Belanda. Sampai disini tampak, bagaimana upaya Pemerintah Hindia
Belanda memprovokasi situasi untuk membawa hubungan sebelumnya yang bersifat
dagang menjadi hubungan-hubungan yang bersifat politik, kekuasaan.
Rupanya pihak Belanda tidak sabar, sehingga harus mulai mengirimkan pasukan
bersenjata untuk menundukan raja-raja di Bali. Hal itu pertama kali terjadi dengan Raja
Buleleng (Bali Utara). Atas penolakan untuk meratifikasi isi kontrak yang dibuat
sebelumnya, pasukan Belanda dikirimkan untuk menyerang istana Raja Buleleng.
Kedatangan pasukan Belanda itu mendapatkan perlawanan hebat dari raja dan rakyat
Buleleng, sehingga membawa perang-perang di Buleleng tahun 1846-1849. Karena Raja
tidak rela ditundukkan, maka perang pun meletus di Buleleng (Perang Buleleng) tahun
1846, istana raja dibakar, namun Raja Buleleng belum mau menyerah, tetapi menggambil
langkah mengungsi ke Desa Jagaraga, membangun benteng pertahanan disana. Dari
Jagaraga kemudian muncul perlawanan rakyat Buleleng terhadap kekuasaan Belanda,
sehingga terjadi pula perang hebat di Jagaraga tahun 1848-1849. Pada peristiwa perang
tahun 1848, pasukan Belanda dapat dikalahkan oleh pasukan kerajaan Buleleng, dan jatuh
korban di pihak Belanda. Pembalasaan pasukan Belanda terjadi tahun 1849. Pada perang
yang terjadi di bulan Juli 1849, disebut raja-raja dan rakyat Bali yang terlibat perang
adalah: dari Buleleng, Karangasem, dan Klungkung. Akan tetapi karena persenjataan
pasukan Belanda jauh lebih modern, maka pasukan kerajaan dapat dikalahkan, dan raja-
raja itu menyatakan tunduk pada kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda. Akibat
perjanjian itu maka raja-raja Buleleng, Karangasem, dan Klungkung dianggap tunduk
kepada Pemerintah Hindia Belanda. Akibat dari semua itu, maka pada tanggal 21 Juli
1849 diadakan perjanjian segitiga antara pihak Belanda, pewaris Kerajaan Karangasem,
dan pihak Raja Lombok, yang isinya pernyataan tunduk raja-raja kepada Pemerintahan
Hindia Belanda, sekaligus dinyatakan Karangasem kini termasuk di bawah Raja
Mataram. Dengan demikian, Raja Mataram kemudian mengirimkan dua orang putranya
ke Bali, ditugaskan memimpin pemerintahan di Karangasem.

C. PEMBENTUKAN KERESIDENAN BALI DAN LOMBOK


Pemerintah Hindia Belanda berkeinginan membangun pemerintahannya di Bali. Untuk
itu, Pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya menempatkan seorang kontroleur
di Buleleng tahun 1855 dan di Jembrana tahun 1856. Penempatan pejabat Belanda di
Buleleng dan Jembrana, berarti kedua daerah itu mulai berada dibawah pengawasan
langsung dari Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan kerajaan lainnya di Bali Selatan,
tidak tunduk pada Belanda.
Dengan hadirnya kekuasaan Belanda secara langsung di Bali Utara dan Bali Barat,
membuat daerah itu mulai ditata semakin maju dalam hubungan-hubungan kolonial.
Untuk menangkal masuknya Inggris di Bali dan Lombok, pihak Pemerintah Hindia
Belanda tetap memandang bahwa Bali dan Lombok merupakan satu kesatuan di bawah
Raja Klungkung sebagai Raja Susuhunan Bali dan Lombok. Dengan begitu perlu
dibangun satu wilayah kekuasaan yang mencakup keduanya. Demikian pada tahun 1882
(1 Juli) pemerintah di Batavia menetapkan berdirinya Keresidenan Bali dan Lombok.
Dengan cara demikian, tampak Pemerintah Hindia Belanda secara politik telah
menguasai wilayah yang luas, meskipun tidak jelas dalam kenyataan. Pihak Belanda
mengklaim bahwa Bali dan Lombok sudah berada dibawah kekuasaannya, dan karenanya
kekuasaan asing lain tidak boleh masuk ke Bali dan Lombok. Terdapat keraguan pada
pihak raja tentang bentuk keresidenan itu. Antara lain, Raja Mataram (Lombok)
mempertanyakan persolan itu. Raja Mataram, setelah mendengar tentang dibentuknya
Keresidenan Bali dan Lombok, menanyakan kepada Gubernur dan Residen, apa arti dari
Keresidenan Bali dan Lombok itu? Raja Lombok tidak menginginkan ada perubahan
keadaan dari bentuk sebelumnya. Setelah pihak Pemerintahan Hindia Belanda
menjelaskan dengan cukup memuaskan, bahwa tidak ada perubahan dari sebelumnya,
maka Raja Lombok menjadi tenang kembali. Di sisi Raja Bangli, Gianyar, Tabanan dan
Karangasem bahkan menuduh Belanda telat memerintah, menjajah daerahnya.
Laporan kolonial berikutnya memberikan informasi bahwa hubungan antara raja-raja
dan Pemerintah Hindia Belanda sudah mulai membaik, dan kekhawatiran yang terjadi
sebelumnya sudah berkurang. Hubungan membaik disebutkan dengan Raja-raja
Klungkung, Gianyar, Mengwi, Badung, Tabanan, sementara Karangasem sudah termasuk
Lombok. Sejak tahun 1883 dikeluarkannya ketentuan mengenai pemukiman pemduduk di
Buleleng. Dengan aturan itu, ditetapkan bahwa untuk orang-orang asing (Timur Asing)
hanya diperbolehkan bertempat tinggal di pelabuhan-pelabuhan seperti di Pabean
Buleleng di Temukus, dan Sangsit. Dengan dibangunnya pusat pemerintahan di Buleleng,
maka daerah Bali Utara berkembang semakin maju karena mendapat perhatian lebih
besar dari daerah lainnya di Bali. Di Buleleng dibangun kantor-kantor Pemerintahan
Hindia Belanda, dan menempatkan seorang Residen sebagai kepala pemerintah wilayah
Bali dan Lombok.
Menunjang kekuasaan politik di Bali atau kepulauan, Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan satu perusahaan pelayaran yang diberi nama, De Koninklijke Paketvaart
Maatschappij (KPM) yang akte pendirinya ditetapkan pada 4 september 1888, dan
selanjutnya mendapatkan monopoli untuk mengangkut penumpang, barang dan uang, di
sepanjang jalur yang ditentukan, seperti tempat-tempat di Nusa Tenggara. Saat itu
ditentukan ada 13 jalur pelayaran di kepulauan, dan salah satunya adalah jalur pelayaran
Nusa Tenggara (Kleine Soenda Eilanden). Sejak tahun 1891, pelabuhan Buleleng
dijadikan tempat persinggahan tetap bagi kapal-kapal dagang Belanda (KPM) yang
berlayar dari Singapura-Surabaya-Bali dan tempat-tempat lainnya di daerah kepulauan
bagian timur, sehingga Bali menjadi terintegrasi dengan jaringan perdagangan yang luas
di Kepulauan.
Dengan demikian, secara politik dan ekonomi, Bali dikuasai oleh Pemerintah Hindia
Belanda yang berpusat di Batavia, dengan membangun satu wilayah keresidenan untuk
Bali dan Lombok. Dibangunnya Bali dan Lombok menjadi satu keresidenan dan
memandang Raja Klungkung sebagai figur tertingg yang menyatukan raja-raja kedua
pulau, maka hal itu berarti, bahwa Pemerintah Hindia Belanda secara hukum telah
memiliki kekuasaan formal di wilayah Bali dan Lombok, dan dengan begitu, kekuasaan
asing lain seperti Inggris dapat dikontrol di wilayah tersebut. Merki begitu, raja-raja di
Bali dan Lombok tidak sepenuhnya merasa tunduk pada Pemerintah Hindia Belanda,
tetapi menunggu kesepakatan untuk bangkit dengan perlawanannya yang lebih dahsyat
PERJUANGAN MELAWAN KOLONIALISME
ABAD XIX DAN XX

A. PERANG BULELENG
Pergerakan kebangsaan di Bali bermula ketika perundingan yang dilakukan antara
Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor dengan Raja Buleleng Gusti Ngurah Made
Karangasem pada tanggal 8 Mei 1845 mengalami kegagalan. Perundingan tersebut
merupakan tindak lanjut dari penyelesaian masalah pengesahan kontrak tertanggal 8 Mei
1843 mengenai penghapusan hukum tawan karang yang ternyata dilanggar melalui
perampasan perahu Makassar dan perahu Mayang oleh penduduk di sekitar Sangsit (di
daerah Buleleng) dan Perancak (di daerah Jembrana).
Di Buleleng, Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik sadar dan yakin bahwa selepas
tindakannya yang melecehkan pemerintah Hindia Belanda tidak lantas membuat Belanda
diam dan bertekuk lutut. Gusti Ketut Jelantik lantas merancang siasat pertahanan dan
peperangan terhadap Belanda dan memerintahkan rakyat yang tinggal di pantai Buleleng
untuk membangun kubu-kubu pertahanan yang dapat dipergunakan untuk menghalang-
halangi pendaratan musuh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak tanggal 8
Mei 1845 kedua belah pihak telah bersiap untuk menghadapi suatu peperangan dan dari
sinilah nasib Kerajaan Buleleng akan ditentukan.
Perlu menjadi catatan bahwa sikap permusuhan Belanda tidak hanya ditujukan kepada
kerajaan Buleleng saja, melainkan juga kepada kerajaan Karangasem, mengingat kapal
Atut Rachman, kapal dagang Belanda, karam dan dirampas oleh penduduk sesuai dengan
ketentuan hukum tawan karang. Padahal seperti telah disinggung sebelumnya, hukum
tawan karang dihapus sesuai dengan perjanjian 1 Mei 1843.
Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan
sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut
Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut
Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat
menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda.
Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
B. PERANG JAGARAGA
Puputan Jagaraga atau Perang Bali III menjadi salah satu pertempuran terbesar di
Pulau Dewata pada era penjajahan Belanda. Belanda sempat kerepotan menghadapi
pasukan Kerajaan Buleleng yang dipimpin I Gusti Ketut Jelantik. Akhirnya, mereka
menemukan cara menaklukkan Bali. Ambisi Belanda pun terwujud pada 1849. Insiden di
perairan Buleleng menjadi puncak kekesalan Belanda. De Lignij yang semula berpura-
pura baik agar bisa menarik hati Raja Buleleng pada akhirnya tidak tahan lagi. Ia bahkan
memaksa Kerajaan Buleleng untuk mengakui kekuasaan Belanda. De Lignij kemudian
melapor kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Maka, diputuskan bahwa Belanda akan
mengirimkan armada tempurnya untuk menggempur Kerajaan Buleleng sekaligus
mengusung misi penaklukan Bali. Sebelum menyerang, Belanda masih berupaya
melakukan usaha diplomasi terakhir. Bagaimanapun juga, perang akan berpotensi
menimbulkan kerugian besar. Belanda menuntut Buleleng meminta maaf, juga meminta
ganti rugi atas pemberlakuan hukum tawan karang, serta beberapa tuntutan lainnya. Hal
ini tak pelak membuat I Gusti Ketut Jelantik marah dan menghardik utusan Belanda.
Begitu pula dengan Raja I Gusti Ngurah Made yang tidak sudi tunduk. Tidak ada jalan
lain, perang harus terjadi. Patih Jelantik memimpin pembangunan benteng pertahanan.
Tanggal 25 Mei 1846, Belanda mulai melancarkan serangan dari laut maupun darat.
Dari laut, kapal-kapal Belanda menghujani tembakan meriam. Sementara itu, mereka
juga mengerahkan ratusan serdadu dari angkatan darat. Pasukan dan rakyat Buleleng
tetap bertahan di dalam area benteng. Tanggal 27 Mei 1846 pagi, ibukota Buleleng jatuh
ke tangan Belanda. Patih Jelantik, Raja Ngurah Made, serta sejumlah petinggi kerajaan
dan sekutu Buleleng mengamankan diri ke sebuah tempat bernama Jagaraga. Namun,
Raja Buleleng terpaksa menandatangani perjanjian yang disodorkan Belanda. Ini
sebenarnya hanya taktik agar Patih Jelantik bisa menyusun kekuatan kembali. Wilayah
Jagaraga memang ideal untuk berperang gerilya: masih banyak hutan, sungai, sawah,
serta perbukitan yang menyulitkan lawan. Pasukan Belanda tidak terbiasa bertempur di
medan seperti itu. Berkat kemahiran diplomasi Patih Jelantik, bantuan pun mengalir.
Hampir semua kerajaan di Bali mengirimkan laskarnya. Ribuan prajurit bantuan
bergabung dengan pasukan Buleleng di Jagaraga.
Memasuki tahun 1849, Belanda memakai taktik adu domba, mereka menyusupkan
utusan untuk menghasut dan memecah-belah kerajaan-kerajaan lokal di Bali yang kala itu
cukup solid dalam upaya menghadang ambisi kaum penjajah Dan menebar rumor bahwa
kerajaan Bali sudah dapat ditaklukan. Rakyat bali menjadi tidak focus, Pagi-pagi buta
tanggal 15 April 1849, Jagaraga digempur dari dua sisi, depan dan belakang. Pihak
Buleleng tidak siap menerima serangan besar ini. Korban tewas berjatuhan, ribuan warga
ditawan. Wafatnya I Gusti Ketut Jelantik membuat Buleleng limbung sehingga jatuh
sepenuhnya ke tangan Belanda, demikian pula Pulau Dewata.

C. PERANG KUSAMBA
Perang Kusamba yang terjadi 24-25 Mei 1849, menjadi salah satu peristiwa heroik
pada masa Kerajaan Klungkung. Dikutip dari Wikipedia, Perang Kusamba berawal dari
terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, seorang agen Belanda yang
berkedudukan di Ampenan, Lombok, di Pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah
Pesinggahan. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja
Klungkung pun menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang
Sasak itu sebagai pengacau, sehingga langsung memerintahkan untuk membunuhnya.
Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam
Perang Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang
Klungkung. Maka, ekspedisi Belanda yang baru saja menghadapi Buleleng dalam Perang
Jagaraga, langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang
Klungkung. 24 Mei 1849 dipilih sebagai hari penyerangan. Perang pun pecah di Pura Goa
Lawah. Karena jumlah pasukan dan persenjatan yang tidak berimbang, Laskar
Klungkung dipukul mundur ke Kusamba. Di desa pelabuhan ini, Laskar Klungkung tak
berkutik. Sore hari itu juga, Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Dewa Agung Istri Kanya
marah besar atas jatuhnya Kusamba ke tangan Belanda. Tanpa buang waktu, malam itu
juga dia menyusun strategi untuk merebut kembali Kusamba. Akhirnya, diambillah
keputusan untuk menyerang Kusamba pada 25 Mei 1849 dini hari. Meski akhirnya pada
10 Juni 1849 Kusamba jatuh kembali ke tangan Belanda dalam serangan kedua yang
dipimpin Lektol Van Swieten, Perang Kusamba merupakan prestasi yang tak bisa
diabaikan. Tak hanya kematian Jenderal Michiels, Perang Kusamba juga menunjukkan
kematangan strategi serta sikap hidup pejuang Klungkung.

D. PUPUTAN BADUNG
Pada tahun 1904, sebuah kapal dagang berbendera Belanda milik seorang Tionghoa
dari Banjarmasin bernama "Sri Komala" kandas di Pantai Sanur. Pemilik kapal dan
pemerintah Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan
merampas isi kapal serta menuntut kepada raja-raja Badung atas segala kerusakan itu
sebesar 3.000 dolar perak dan menghukum orang-orang yang merusak kapal. Penolakan
raja atas tuduhan dan pembayaran kompensasi itu, menyebabkan pemerintah Hindia
Belanda mempersiapkan ekspedisi militernya ke Bali pada tanggal 20 September 1906.
Tiga batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan artileri segera mendarat dan menyerang
Kerajaan Badung.
Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota Denpasar. Belanda mencapai
pintu gerbang kota tanpa mendapatkan perlawanan berarti, namun tiba-tiba mereka
disambut oleh sekelompok orang berpakaian serba putih, siap melakukan "perang
puputan" (mati berperang sampai titik darah terakhir)[5]. Dipimpin oleh Raja I Gusti
Ngurah Made Agung dan para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki-laki serta
perempuan menghiasi diri dengan batu permata dan berpakaian perang keluar menuju
tengah-tengah medan pertempuran. Hal itu dilakukan karena dalam ajaran Hindu, bahwa
tujuan kesatria adalah mati di medan perang sehingga arwah dapat masuk langsung ke
surga. Menyerah dan mati dalam pengasingan adalah hal yang paling memalukan.
Dikabarkan bahwa sebelum terjadi puputan, putra mahkota dari I Gusti Ngurah Made
Agung bernama I Gusti Alit Ngurah yang usianya sudah menginjak 10 tahun, terlebih
dahulu dilarikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan didampingi ibunya serta
beberapa keluarga dekat puri, pergi ke daerah barat tepatnya di Desa Seminyak, Kuta.
Pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah pun ditangkap dan menjadi tawanan
perang, serta diasingkan ke Mataram, Lombok, oleh pemerintah Hindia Belanda.

E. PUPUTAN KLUNGKUNG
Sebelum perang berkecamuk, api perlawanan atas kolonial Belanda telah lebih dulu
terjadi di Desa Gelgel. Pemantiknya berawal dari patroli keamanan kolonial di wilayah
Kerajaan Klungkung sejak 13-16 April 1908. Para pembesar kerajaan dan rakyat tak
terima. Sebab, hal tersebut dianggap melanggar kedaulatan kerajaan. Tak ayal
penyerangan terhadap patroli Belanda terjadi di Desa Gelgel.
Pihak kolonial kemudian murka, dan menuduh Kerajaan Klungkung telah melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah. Raja Dewa Agung Jambe II dan rakyat diminta
untuk menyerah sampai 22 April 1908. Ancaman tersebut ternyata tak mengendurkan
nyali raja dan rakyat. Justru semangat menjaga kedaulatan kerajaan semakin membesar.
Akhirnya, sehari sebelum ultimatum, Senin, 20 April 1908, pemerintah kolonial di
Batavia mengirimkan pasukan tambahan untuk menyerang Kerajaan Klungkung. Selasa,
21 April 1908, Istana Semarapura, Gelgel, dan Satria dibombardir serdadu kolonial
selama 6 hari berturut-turut.
Celakanya, pada 27 April 1908, pasukan tambahan kolonial dari Batavia tiba di Desa
Kusamba dan Jumpai. Kobaran perang semakin membesar. Perlawanan sengit diberikan
rakyat kedua desa itu, meski persenjataan tak berimbang. Serdadu kolonial pun semakin
merangsek menuju Klungkung. Istana Semarapura mulai terkepung. Dari gempuran
tersebut, Cokorda Gelgel, Dewa Agung Gde Semarabawa, Dewa Agung Muter, dan sang
putra mahkota kerajaan gugur. Mengetahui kabar itu, tak membuat nyali Raja Dewa
Agung Jambe II menciut. Sebaliknya, ia malah ingin segera menunaikan dharmaning
ksatria, kewajiban tertinggi seorang kesatria sejati, yaitu tewas di medan perang. Bersama
3.000 laskar Klungkung, Raja Dewa Agung Jambe maju menyerang kolonial. Tak lama
kemudian, mereka pun gugur dalam berondongan peluru serdadu. Selasa, 28 April 1908,
sore, Kerajaan Klungkung jatuh ke tangan kolonial Belanda. Meskipun secara fisik kalah,
namun Raja Dewa Agung Jambe dan rakyat menunjukkan sikap masyarakat Bali, yang
menempatkan harga diri dan kehormatan di atas segala-galanya.
BERHADAPAN DENGAN KEKUASAAN
KOLONIAL JEPANG

Kepulauan Sunda Kecil, yang sejak tahun 1954 disebut Nusa Tenggara, merupakan
bagian wilayah Negara Republik Indonesia, terdiri dari enam pulau-pulau besar, dengan
pulau-pulau kecil mengelilinginya. Enam pulau-pulau besar tersebut yakni: Pulau Bali,
Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor yang juga tidak luput dari penguasaan
kolonialisme Belanda dari Fasisme Jepang seperti wilayah Indonesia lainnya.
Rasa kebangsaan yang tertanam dalam-dalam di hati rakyat Bali sejak sebelum perang
dunia II boleh dikatakan memegang peranan utama bagi perjuangan nasional rakyat di
kemudian hari. Dimana-mana di wilayah Indonesia terjadi perlawanan sengit terhadap bangsa
Belanda dan Jepang yang ingin menjajah serta menjamah kedaulan rakyat yang dialami pula
oleh rakyat di Bali setelah Perang Dunia II berakhir.
Kedatangan tentara Jepang ke wilayah Indonesia berarti mengakhiri pemerintahan
kolonial Belanda, benar-benar membawa pengaruh baru bagi bangsa Indonesia, termasuk
rakyat Bali. Masa Pendudukan Jepang hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Akan
tetapi, masa tiga setengah tahun itu merupakan masa krusial (genting dan menentukan)
pemimpin-pemimpin Indonesia dipaksa untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat.
Karena gentingnya keadaan maka lebih terasalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam
tiga setengah tahun itu.
Di Bali, ketika tahun 1942 sudah diketahui Jepang akan segera mendarat, perwira
KNIL di Bali memerintahkan pasukan Korps Prayoda Bali yakni bala bantuan militer pribumi
yang dibentuk oleh Belanda pada tahun 1938, diperintahkan untuk meletakkan senjata dan
perlengkapan lainnya, dan pulang ke daerah masing-masing; mobil-mobil, truk-truk kesatuan
tentara pemerintah Hindia Belanda dibebastugaskan. Mobil-mobil itu kemudian dipreteli
bagian-bagian mesinnya sehingga mobil dan truk itu tidak dapat berjalan, dimasukkan ke
jurang yang dalam. Maka sejak itu, bubarlah kesatuan prayoda yang terdiri dari pemuda-
pemuda Bali, maka bubarlah alat pertahanan Pemerintahan Hindia Belanda di pulau Bali
A. ANTARA TUNDUK DAN PERLAWANAN BAWAH TANAH
Rakyat Bali pada mulanya menyambut gembira kedatangan Jepang yang mula-mula
bersikap baik disertai dengan propaganda-propaganda yang menarik. Bahwa
kedatangannya bukan untuk menjajah, melainkan untuk membantu bangsa Indonesia
mengusir penjajah Belanda. Bahwa Jepang adalah saudara tua, rakyat yang menyingkir
kedaerah pedalaman di panggil kembali untuk bekerja sebagaimana biasa.
Kedatangan Jepang pada umumnya diterima dengan penuh semangat. Rakyat percaya
bahwa Jepang datang untuk memerdekakan. Jepang makin disenangi karena mengijinkan
mengibarkan bendera Nasional Indonesia Merah Putih, diijinkan mengumandangkan lagu
kebangsaan Indonesia Raya, dua hal penting disamping itu Jepang meningkatkan status
sosial ekonomi Indonesia. Jepang juga menyerahkan semua penduduk Belanda dan
orang-orang yang dicurigai pro Belanda. Dari situlah mula-mula Jepang memenangkan
dukungan dan menetralisir antipati sebagian besar orang indonesia.
Propaganda-propaganda yang menarik menyebabkan rakyat Bali percaya dan
menghargai serta tunduk terhadap segala perintah Jepang. Seluruh rakyat diwajibkan
unruk mencari daya upaya bekerja lain, anak-anak sekolah pun diharuskan bekerja keras
seperti menanam jarak, menganyam keset dari sabut kelapa, mengumpulkan padi dari
penduduk dan sebagainya. Sekalipun kenyataannya ekonomi rakyat pada masa Jepang
semakin merosot. Namun demi mewujudkan sebuah cita-cita yang dijanjikan Jepang
kepada rakyat, maka rakyatpun mengikuti dan taat terhadap segala perintah Jepang.
Pada awal kekuasaan Jepang, tidak terdengar tindakan kekerasan, kalau ada
perkosaan, perampokan atau seruan ini boleh dikatakan sedikit sekali. Jepang adalah
orang-orang yang disiplin. Orang-orang Indonesia memandang mereka sebagai pembebas
dari belenggu penjajahan Belanda. Dimana-mana Jepang disambut dengan tangan
terbuka. Bagi kebanyakan orang Indonesia Penduduk Jepang tak lain hanya sebagai
pembuktian ramalan Jayabaya, bahwa Indonesia akan dimerdekakan oleh suatu bangsa
pendek, berkulit kuning yang datang dari Utara.
Melalui propaganda dan peraturan-peraturan Jepang seperti diatas, secara politik
maupun ekonomi melibatkan sebagian terbesar rakyat pribumi dengan membawa dampak
yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat di wilayah pendudukan
Jepang di Indonesia. Apapun yang terjadi, pahit getirnya yang dialami rakyat indonesia di
Pulau Bali, namun mereka mempercayakan segala harapannya kepada kemenangan
terakhir, demi kepentingan umat manusia di seluruh Asia Timur Raya.
Kenyataanya menunjukkan bahwa penjajah-penajah dimana saja dan siapa saja serta
bagaimanapun bentuknya pada akhirnya akan selalu berjanji dan pada waktunya pula ia
akan mengingkari janji dan menindas. Janji diucapkan tidak lain agar bangsa Indonesia
bersimpati pada Jepang untuk bersatu melawan Sekutu.
Melalui delima kehidupan yang berlangsung selama kekuasaan Jepang atas rakyat
pribumi diwilayah pendudukannya di Indonesia, karena adanya paksaan dibidang
romusha, pengumpulan padi, bambu, jagung, jarak dan sebagainya, rakyat semakin
merasakan penderitaannya. Secara batiniah, rakyat merasakan adanya tekanan oleh
barisan propagandanya. Pengorbanan jiwa dan harta benda yang dialami rakyat akibat
kekejaman dan kebengisan pemerintang Jepang, akhirnya menimbulkan reaksi rakyat
diseluruh Nusantara. Reaksi berupa peberontakan-pemberontakan di setiap daerah di
Indonesia, seperti pemberontakan Singaprana, pemberontakan rakyat Indramayu,
pemberontakan di Karang Ampel, perlawanan oleh kalangan intelektual, kaum feodal dan
golongan pergerakan nasional antara PARINDRA di Pontianak dan daerah-daerah
lainnya.
Penderitaan-penderitaan lahir bhatin selama masa Pendudukan Jepang menimbulkan
jiwa patriotisme, nasionalisme dan kerakyatan yang mendalam dikalangan pemuda di
seluruh wilayah Indonesia. Pemberontakan PETA di Blitar, di Indramayu dan Singaparna
mendorong meletusnya semangat pemuda pelajar di Surabaya pada tanggal 1 Juli 1945.
Dengan wadah organisasi-organisasi baik di lingkungan sekolah, asrama maupun di
lingkungan luar sekolah, pemuda-pemuda dan kaum pergerakan menemukan suatu
perekat yang mempererat persaudaraan dan solidaritas di lingkungan arek-arek Suroboyo.
Akhirnya rakyat mengetahui dan menyadari apa maksud jepang sebenarnya. Tidak
lain hanya untuk menguras dana dan daya bangsa Indonesia untuk kepentingannya
sendiri. Hal ini membuat rakyat sakit hati dan benci kepada jepang. Perasaan tidak puas
dan anti jepang cepat berkembang dan meluas dimana-mana. Di Bali, para pemuda sunda
kecil bersama-sama membuat suatu gerakan yang disebut Gerakan Anti Facisme (GAP)
yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai ( Driyanto, 1979:5)
Dalam penderitaan yang sulit dan pahit, tanpa kecuali rakyat bali dipaksa untuk
mengerti arti penindasan , penjajahan bangsa lain atas bangsa lainnya. Pengalaman ini
dijadikan suatu kekuatan pendorong untuk lahirnya semangat pemuda yang memiliki
cita-cita ideal, ikhlas dan berani, berjiwa revolusioner yang bergerak membentuk
organisasi bawah tanah. Gerakan ini dipimpin oleh Made Wijakusuma, Gusti Ngurah Rai
dan Nyoman Mantik. Gerakan bawah tanah ini diatur menurut cellensystem (sistem sel)
dimana anggota-anggota terpencar dengan merahasiakan tugas dan kewajiban, rela
menerima sanksi-sanksi dan hukuman-hukuman dari pimpinan sel sesuai dengan keadaan
dan waktu ( Pendit, 1979:41-42)
Perkembangan politik di Bali setelah Agustus 1945 sangat kuat dipengaruhi oleh
hubungan yang terbina sebelumnya antara gerakan bawah tanah dengan para aktivis
yang sepaham di Jawa. Ketika Jepang menyerah sejumlah aktivis Bali masih di Jawa dan
sempat menyaksikan pemuda di sana merespon situasi baru yang mereka hadapi.
Sekembalinya mereka ke Bali pada Oktober dan November 1945, diilhami perlawanan
yang sudah berkembang di jawa, para pemuda Bali pun digerakkan. Hal ini mendapat
sambutan hangat dari pemuda Bali yang tidak mau ketinggalan melakukan perlawanan
kepada kekuasaan dan kekejaman Jepang (Robinson, 2005:142-143)
Gerakan bawah tanah pada masa kekuasaan Jepang Berkembang ketika kekalahan
jepang sedang takterelakkan lagi. Gerakan ini bukanlah pasukan-pasukan gerilya atau
kelompok-kelompok yang melakukan sabotase, mata-mata atau subversi. Kebanyakan
kegiatan mereka mempertukarkan gosip politik membahas hari depan bangsa Indonesia,
meraba-raba rencana sekutu dan mengecam politik Jepang dalam kelompok-kelompok
sahabat yang tertutup. Di Jakarta misalnya, gerakan bawah tanah mendapat gaya dan
keanggotaan mereka sebagian besar dari asrama ,, yang berfungsi sebagai basis-basis
kelembagaan mereka (Anderson,1988 : 60-61)
Pada permulaan tahun 1944 gerakan bawah tanah telah dapat berkembang di seluruh
Bali, berpusat di Denpasar dan mempunyai cabang sel-sel. Dengan sangat rahasia dan
hati-hati gerakan ini dapat lolos dari intaian Jepang, pertengahan 1944, salah seorang
pemimpin gerakan ini dapat menyelundup, pergi ke jawa, dengan maksud mendapat
hubungan untuk mempersatukan komando gerakan bawah tanah yang berbahaya ini.
Pertemuan ini melahirkan hubungan erat dan kesepakatan bulat untuk membentuk
komando secara maksimal. (Pendit, 1979 : 42-43)
Komunikasi yang semakin dekat, dan penderitaan penderitaan karena kekejaman
tentara pendudukan Jepang menimbulkan kesadaran akan harga diri dan selanjutnya
dapat dijadikan sebagai motor penggerak bagi perjuangan selanjutnya. Demikian juga
terhadap rakyat bali. Perasaan tidak puas dan anti terhadap Jepang makin hari makin
bertambah terutama di desa-desa yang berharap agar Jepang lekas pergi dari Indonesia
(Anonim,Tt.3 Pada akhir tahun 1944, tujuan gerakan ini semakin menjadi jelas,
organisasi-organisasi di kampung dan desa , yang dilahirkan untuk keperluan membantu
bala tentara jepang dan menjaga keamanan kampung atau desa diberi pengarahan oleh
gerakan bawah tanah. Tujuan gerakan rahasia ini dipertegas. Pemuda-pemuda yang
bertugas dalam PETA diserahi tugas pembinaan dalam sel. Made Pugeg untuk daerah
Tabanan, Gede muka untuk daerah Jembrana, Gusti Agung Sugianyar untuk daerah
kelungkung dan seroja untuk daerah Karangasem. (Pendirt, 1979 : 43)
Di Jawa gerakan perlawanan sudah berhasil mengindroktinasi para prajurit dan
prawira PETA dengan semangat nasionalisme, juga menyusup ke badan-badan kanpetai
bahkan ke organisasi-organisasi intelijen Jepang. Hal itu tampak mempengaruhi gerakan
pemuda di Bali. Gerakan-gerakan illegal yang dibentuk oleh kalangan pemuda Bali
memperngaruhi pemuda yang menceburkan diri dalam barisan PETA, SEINENDAN, dan
sebagainya. Ini merupakan benih-benih tumbuhnya patriot Indonesia di Bali yang
menyumbangkan jiwa raganya dalam masa revolusi (Anonim,Tt : 32) ; ( Robinson, 2005
: 139)
Sepanjang tahun 1944-1945 pemuda-pemuda Bali diantaranya Made Wija Kusuma
salah seorang pemimpin penting gerakan perlawanan, sering bepergian ke Jawa untuk
menyebarkan dan mengumpulkan Informasi tentang perkembangan di sana. Bahu-
membahu dengan berbagai organisasi lain, Sekolah Menengah Atas mereka membantu
membentuk jaringan rahasia tentang perkembangan politik di luar negeri dan
mendiskusikan rencana mereka menjebab Jepang ( Pendit, 1979 : 43)
Pada akhirnya gerakan perlawanan bawah tanah dapat dicium uoleh tentara jepang. I
Made Gelgel seorang guru Sekolah dasar ditangkap dan tidak pernah kembali untuk
selamanya. Hal ini menambah kemarahan para pemuda Bali. Rencana gempuran militer
yang terkoorganisasi tenrhadap instalasi-instalasi Jeoang di Denpasar pun disusun ,
dipimpin tiga perwira Peta dengan dukungan pemuda dan para siswa. Namun menemui
kegagalan. Jepang secara besar-besaran mengurangi senjata dan amunisi yang dipegang
batalion-batalion Peta dan memindahkan barang sitaan itu ke Markas di lapangan terbang
Tuban., di luar Denpasar. Hal tersebut mendorong para pemuda mengadakan pertemuan-
pertemuan rahasia untuk membentuk organisasi perlawanan yang lebih rapid an hati-hati
melalui beberapa pertemuan dilangsungkan di Desa Kerobokan dan Gaji serta di
Sukasada. Pertemuan menghasilkan kesepakatan untuk mempersiapkan pemberontakan
serempak oleh rakyat bali untuk melawan kekejaman balatentara Jepang, kalau keadaan
memaksa dan kemungkinan mengijinkan. Untuk itu, maka dibentuk organisasi gerakan
pemuda yang anggota-anggotanya terdiri dari pemuda kota yang tidak menjadi anggota
Peta, Kaigon, Heiho, PSPB. Mereka menyertakan diri pada barisan Seinendan. Pemimpin
sel-sel juga aktif bergerak di tengah-tengah pemuda dan desa memberi penjelasan perihal
persiapan-persiapan menghadapi Jepang (Pendit, 1979:44)
Di Denpasar dibentuk organisasi pergerakan yang anggota-anggotanya berada jauh di
pelososk desa dengan dibantu oleh organisasi-organisasi pelajar dengan mengadakan
hubungan erat dengan pemuda-pemuda anggota gerakan bawah tanah. Juga di Singajara
pemuda-pemuda pelajar sangat aktif mengadakan kontak dengan pimpinan-pimpinan dan
anggota-anggota gerakan bawah tanah , seperti dengan Gede Puger dan pemuda-pemuda
lain yang berada di Banjar Jawa, Liligundi, Paketan,Beratan, pemuteran dan lain-lain
(Pendit, 1979:45). Rencana penggemburan militer yang terorganisasi terhadap instalasi
Jepang di Denpasar pun disusun di bawah pimpinan tiga perwira Peta dengan dukungan
pemuda dan para siswa. Namun rencana itu terhalang dan gerakan tidak dapat dijalankan,
karena pada Maret 1945 Jepang secara besar-besaran mengurangi senjata dan amunisi
yang dipegang batalion-batalion Peta, senjata dilucuti dan pasukan dibubarkan dengan
begitu saja (Pendit, 1979 :50-51)
Reaksi rakyat bali menghadapi tekanan tentara jepang mencapai puncaknya, sejalan
dengan penderitaan yang makin dirasakan.salah satu contoh reaksi terjadi di Singaraja.
Rakyat bereaksi dengan mengkroyok guru Jepang yang menempeleng siswanya. (Pendit,
1979 :50-51)

B. AKHIR MASA KEKUASAAN JEPANG


Pada waktu Jepang menyusun rencana penyerbuan, ia tidak mengira Amerika setelah
di pukul di Pearl Harbour dapat bangkit kembali dengan waktu yang begitu cepat. Dalam
usaha menguasai Australia, tentara Jepang terpukul dalam pertempuran Laut Karangpada
tanggal 2 Mei 1942. Satu-persatu pulau antara Australia dan Jepang direbut kembali oleh
Amerika. Pada bula April 1944 sekutu telah mendarat di irian barat. Kedudukan Jepang
di Indonesia pun Terancam (Moedjanto, 1988:83)
Pada waktu menjelang keruntuhan Jepang, tidak mudah untuk mengetahui kapan
mulainya, karena pada waktu itu semua radio di segel. Masyaratat hanya dapat
mendengar informasi simpangsiur bahwa jepang telah buntu setelah mengalami
kekalahan berkali-kali di lautan Corel atau pulau Salomon sebelah timur Australia. Pada
tahun 1944 kota baru telah diduduki oleh Jendral Mac Arthur, mengencam kedudukan
jepang di Asia Tenggara.
Adanya peristiwa-peristiwa seperti disebut di atas, tampak Jepang sudah tidak berdaya
melanjutkan peperangan. Untuk tidak mengalami kehancuran yang lebih parah lagi, maka
pada tanggal 14 Agustus 1945 pemerintah Jepang mengumumkan menyerah tanpa syarat
ke Sekutu. Pernyataan ini membuat tentara Jepang yang berkedudukan di Indonesia
mengalami kegelisahan. Untuk menjaga agal tidak menimbulkan hal-hal yang bersifat
merugikan, pemerintah jepang menjaga dengan sekuat tenaga merahasiakan kekalahan
dan menjaga ketenangan masyarakat (Driyanto, Tt:7). Berita kekelahan Jepang juga
menyebar luas.
Namun berita kekalahan Jepang tidak mudah tersiar begitu saja, atau tidak dapat
diterima oleh bangsa Indonesia. Alangkah terkejutnya rakyat menjelang hal tersebut.
Namun di sisi lain, sangat banyak yang mengharapkan peristiwa ini terjadi (Pendit,
1979:58-59)
Sebagai rekasi atas terdesaknya kekuasaan Jepang , tentara Jepang mengambil inisiatif
dengan melucuti senjata yang pernah diberikan kepada anggota Peta pada tanggal 15
Agustus 1945 dengan dalih senjata akan digantikan dengan senjata yang lebih baik.
Selain itu anggota Peta di Kediri, Tabanan, Negara dan Klungkung diberikan Cuti dengan
waktu yang tidak ditentukan untuk mempersiapkan segala sesuatu tentang pengaman di
daerahnya. Pemerintah Jepang Juga membentuk PPKI berkedudukan di Jakarta. I Gusti
Ketut Pudja menjadi wakil PPKI untuk daerah Sunda Kecil. Saat keadaan kacau akibat
keruntuhan Jepang, masyarakat Bali tak luput untuk merapatkan barisan dan kekuatan
untuk menyambut kemerdekaan.
Apapun kesulitan dan masalahnya, kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dicita-citakan
akhirnya terwujud pada 17 Agustus 1945 dengan proklamasi kemerdekaan bangsa
Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Masyarakat balipun ikut bergerak
mendukung kemerdekaan Bangsa Indonesia.
POLITIK KEBUDAYAAN BALINISERING

Suatu politik kebudayaan pada dasarnya mempunyai dua aspek, yaitu tujuan yang hendak
dicapai dan aspek etik ataunorma-norma yang dipakai untuk mencapai tujuan. Kebudayaan
merupakan proses manusia mencoba mengerti, menaklukkan, dan mengatur kembali alam
yang serba berubah ini. Oleh karena itu perkembangan politik kebudayaan tidak lepas dari
perkembangan dunia pada umumnya. Politik kebudayaan berada pada transformasi budaya
secara spiral, sehingga dunia tradisi terus berputar mengikuti moderenisasi. Demikian pula
modernisasi menggelinding di tengah putaran tradisi mengikuti alur pemikiran masyarakat
pendukungnya (Duija, 2007: 52). Pemahaman yang lebih luas tentang politik kebudayaan
dikemukakan oleh Jordan dan Weedon (Barker, 2005: 466). Dalam pandangan Jordan dan
Weedon politik kebudayaan adalah : kekuasaan untuk memberi nama ; kekuasaan
merepresentasikan akal sehat; kekuasaan untuk menciptakan "versi-versi resmi; dan
kekuasaan untuk merepresentasikan dunia sosial yang sah. Budaya merupakan sebuah zona
pertempuran yang didalamnya terdapat berbagai makna dan versi tentang dunia saling
bersaing memperebutkan dominasi dan klaim pragmatis atas kebenaran. Makna dan
kebenaran diranah kebudayaan terbentuk di dalam pola-pola kekuasaan. Dalam pengertian
inilah bisa dipahami bahwa "kekuasaan untuk memberi nama" dan untuk membuat deskripsi-
deskripsi tertentu bertahan adalah suatu bentuk politik kebudayaan.
Dalam perkembangan selanjutnya pembahasan tentang politik kebudayaan sering
menggunakan kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci. Teori paling
pentingyang dikemukakan oleh Gramsci dalam menganalisis masalah budaya yang berhubung
kait dengan politik kebudayaan adalah teori hegemoni. Teori ini dibangun di atas premis
pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik.
Menurut pandangan Gramsci, agar yang dikuasi memenuhi kehendak yang berkuasa, yang
dikuasi tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasikan nilai-nilai serta
norma-norma penguasa, lebih dari itu mereka harus memberikan persetujuan atas subordinasi
mereka. Dengan kata lain hegemoni berarti menguasai dengan kepemimpinan moral dan
intelektual secara konsensual (Gramsci, 1971: 57; Sugiono, 1999: 31).
Pembahasan tentang hegemoni berkaitan erat dengan ideologi, karena ideologi dipahami
sebagai peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok sosial tertentu yang memiliki
akar pada kondisi kehidupan sehari-hari. Ideoogi memberikan aturan perilaku praktis dan
moral. Ideologi adalah pengalaman sehari-hari sekaligus juga sekumpulan ide sistematis yang
berperan untuk mengatur dan mebgikat suatu blok elemen sosial yang beragam dalam
pembentukan blok-blok hegemonik dan kontra hegemonik. Hegemoni ideologis adalah proses
dimana cara-cara pemahaman tertentu tentang dunia menjadi demikian gamblang atau
ternaturalisasi sehingga cara pemahaman alternatif di luar mereka menjadi terasa tidak masuk
akal. Dalam pandangan Gramsci, akal sehat dan budaya populer tempat mengatur kehidupan
merupakan medan pertarungan ideologi. Inilah tempat dimana ideologi yang terus menerus
direbut kembali dan dinegosiasi ulang. Penciptaan dan kemunduran hegemoni kultural adalah
proses yang terus berjalan dan merupakan suatu medan budaya tempat terjadinya perebutan
makna (Barker, 2005: 468)
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dicoba untuk menjelaskan politik kebudayaan
Balinisering (Sering disebut, Balisering), yang pernah diterapkan oleh pemerintah kolonial
Belanda dalam upaya untuk mengekalkan kekuasaan atas Pulai Bali. Percaturan politik
kolonial yang terjadi awal abad ke 19 menunukkan persaingan yang sangat sengit dalam
memperebutkan pengaruh atas negeri jajahan. Kemajuan dalam bidang teknologi perkapalan
mengakibatkan intensitas perdagangan yang ditunjukkan oleh armada dagang Inggris di
belahan Indonesia bagian timur khususnya di Selat Lombok. Hal ini mengkhawatirkan
pemerintah kolonial Belanda yang sudah berhasil menanamkan pengaruhnya di belahan barat
Indonesia. Olehkarena itu pada awal abad ke 19 Belanda mengadakan pendekatan dengan
Raja-raja di Bali dan berhasil membuat kontak-kontrak politik (seperti tersebut di depan).
Kontrak politik yang telah dilakukan antara Belanda dengan Raja-raja di bali dalam
perkembangan selanjutnya menimbulkan konflik karena penafsiran yang berbeda antara
kedua belah pihak.
Untuk memperoleh keuntungan dari sistem penjajahannya atas pulau Bali, Pemerintah
Belanda selalu mengusahakan politiknya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Bali. Salah
satu kebijakan yang diharapkan menguntungkan adalah dengan mengembangkan perusahaan
perkebunan kopi karena Bali mempunyai kawasan yang sangat cocok untuk perkebungan
kopi. Dalam bidang budaya Bali dikenal mempunyai kebudayaan yang sangat unik yang tidak
ditemukan di daerah lain, apalagi didukung oleh panorama alam yang sangat indah
merupakan potensi bagi pengembang pariwisata. Sejak tahun 1920an tampak ada upaya untuk
mengmbangkan sektor pariwisata. Hal ini dibuktikan dengan dibukanya kantor cabang
perusahaan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) di Benoa, Badung. Dalam bidang
penerbangan perusahaan penerbangan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij mulai melayani
penerbangan sejak tahun 1935 dan untuk mengantisipasi kenaikan jumlah wisatawan yang
berkunjung ke Bali maka di Kuta dibangun sebuah penginapan yang bernama Kuta Beach
Hotel (Ketut Tantri, 1962: 60-80, Ida Bagus Sidemen, 1983: 11).
Dalam bidang agama pemerintahan kolonial Belanda mendukung persatuan Zending di
Utrecht yang bertujuan untuk menyebarkan agama Protestan di Bali. Hal ini tampak dari
aktivitas penyebaran agama yang dilakukan oleh Van Eck, mendapat ijin dari pemerintah
kolonial yang berkedudukan di Singaraja sekitar tahun 1865, kemudian dilanjutkan oleh
Verdroom. Upaya penyebaran agam Protestan yang dilakukan pada tahap awal menemui
kegagalan karena mendapat penolakan dari orang-orang Bali yang beragama Hindu, bahkan
memunculkan konflik antara penganjur agama Protestan dengan orang-orang Bali. Setelah
Bali dikuasai pemerintah kolonial, maka pemerintah mulai menerapkan sistem birokrasi
modern diseluruh Bali. Untuk mendukung upaya tersebut pemerintah Belanda juga
mendirikan sekolah-sekolah di berbagai pelosok Bali dengan harapan sistem birokrasi yang
dijalankan akan mendapat dukungan dari rakyat Bali. Dari perspektif kolonialjuga dapat di
mengerti, bahwa dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat diharapkan membuka mata
masyarakat Bali dalam menilai adat istiadat yang mereka miliki. Peningkatan pendidikan
diharapkan merupakan sarana penyebaran agama Kristen di kalangan penduduk. Orang-orang
yang telah mengeyam pendidikan modern akan menjadi sasaran penyebaran agama, karena
untuk menjadi pengikut agama Kristen minimal masyarakat harus dapat membaca dan
menulis.
Usaha kelompok Missie dan Zending untuk menyebarkan agama Kristen mulai lagi
dilakukan sekitar tahun 1920 melalui orang-orang Cina. Dipilihnya orang-orang Cina karena
orang cina lebih banyak berprofesi sebagi pedagang yang setiap saat berhubungan dengan
masyarakat. Alasan yang digunakan oleh kelompok Missie dan Zending pada saat itu untuk
mengkristenkan orang-orang Bali karena orang-orang Bali dianggap bukan penganut Hindu
sesungguhnya. Usaha pembunuhan terhadap orang-orang Kristen yang pernah dilakukan pada
saat awal penyebaran agama kristen di Bali digolongkan sebagai prilaku biadab karena hal itu
tidak sesuai dengan ajaran agama manapun yang intinya menekankan cinta kasih kepada
sesama. Dengan asalan tersebut kelompok Missie dan Zending merasa mempunyai kewajiban
moral untuk mengusahakan agar orang-orang Bali lebih beradab.
Apa yang dikemukakan oleh kelompok missie dan zending tampak merupakan penilaian
yang sepihak karena sesungguhnya belum memahami agama orang Bali secara mendalam.
Mengapa orang-orang Bali melakukan perlawanan terhadap usaha kelompok missie dan
zending perlu diungkapkan secara lebih obyektif danmendalam karena dimanapun didunia ini
tidak dibenarkan usaha penyebaran agama kepada kelompok masyarakat yang sudah
menganut agama apalagi dengan paksaan. Maka penyebaran agama Kristen yang terjadi pada
masa lalu itu, tidak lepas dari usaha pemerintah kolonial untuk mengekalkan penjajahannya di
Bali.
Namun penyebaran agama kristen yang dilakukan oleh kelompok missie dan zending
rupanya juga mendapatkan tantangan dari kelompok liberal atau yang sering disebut sebagai
kelompok orientalis. Kelompok orientalis berpandangan bahwa pengkristenan terhadap orang-
orang Bali yang beragama Hindu merupakan malapetaka karena keberhasilan tersebut akan
mengakibatkan lenyapnya suatu kebudayaan pribumi yang mempunyai nilai-nilai adi luhung.
Keberhasilan tersebut akan menghilangkan keunikan-keunikan yang dimiliki oleh kebudayaan
Bali karena Agama Kristen adalah agama yang universal. Salah seorang pendukung kaum
liberal adalah Bosch, mengungkapkan bahwa Agama Hindu adalah agama yang hidup dalam
masyarakat Bali sejak beberapa abad yang lalu. Agama Hindu sangat menghargai
keberagaman dan bukan agama yang fanatik seperti dituduhkan oleh kelompok missie dan
zending. Hal ini terbukti dari toleransi yang tinggi diperlihatkan oleh orang-orang Bali yang
beragama Hindu yang hidup berdampingan dengan masyarakat dari suku lain yang beragama
Islam. Hal ini dilandasi oleh konsep hidup menyama braya (bersaudara) sehingga menyebut
umat Islam dengan istilah krama Islam, nyama slam. Di balik alasan melestarikan budaya
Bali, Agama Hindu, rupanya kelompok orientalis juga memikirkan bahwa perkembangan
pariwisata akan memberikan keuntungan besar bagi pemerintah dan kaum pengusaha Belanda
di Hindia Belanda. Oleh karena itu mempertahankan Bali sebagai "museum hidup",
kebudayaan yang hidup dalam praktek kehidupan, harus diupayakan dengan segala cara
karena merupakan aset pariwisata yang sangat potensial.
Pengkristenan terhadap orang Bali nampaknya juga mendapat protes keras dari kalangan
intelektual terutama kaum intelektual yang dududk di Dewan Rakyat (Volksraad) dan
mengusulkan agar aktivitas missie dan zending dilarang di Bali karena akan membahayakan
bagi perkembangan kehdupan beragama di Bali. Protes yang dilancarkan oleh Tjokorda Gde
Sukawati selaku anggota Dewan Rakyat mendapat dukungan dari raja-raja di Bali seperti Raja
Klungkung, Gianyar, Karangasem, dan Bangli. Dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat
dan juga oleh kaum terpelajar akhirnya di klungkung didirikan Yayasan Sila Dharma yang
bergerak dalam bidang pendidikan dengan tujuan utama adalah mengembangkan kebudayaan
BAli. PAda tahun 1924 Yayasan Sila Dharma berhasil mendirikan sekolah Holland Indische
School (HIS) Sila Dharma.
Mencermati pertentangan antara kelompok missie dan zending dengan kelompok
orientalis, rupanya pihak Pemerintah Belanda di Bali lebih condong untuk memihak kepada
kelompok orientalis karena dari kalkulasi ekonomi jauh lebih menguntungkan. Apalagi
gerakan missie dan zending juga mendapat perlawanan dari masyarakat Bali. Pemerintah
Belanda tidak berani mengambil resiko yang lebih besar dengan mendukung missie dan
zending, akrena pengalaman dalam menaklukkan Bali memerlukan waktu yang sangat
panjang dan memakan korban yang cukup besar. Orang-orang Bali dikenal sangat gigih
mempertahankan wilayahnya apalagi menyangkut masalah kepercayaan yang telah diyakini
berabad-abad. Atas alasan itu, Pemerintah Belanda melarang aktivitas missie dan zending di
Bali dan mendukung kelahiran Yayasan Sila Dharma di Klungkung. Kebijakan dalam
mempertahankan budaya Bali dilakukan melalui jalur pendidikan. Sejalan dengan itu, seorang
pengikut orientalis yang bernama H.De Flieghaar mengembangkan politik kebudayaan yang
dikenal dengan Balinisering atau Balisering artinya "Pembalian terhadap Bali" dengan cara
menyesuaikan pendidikan pribumi di Bali dengan latar belakang kebudayaan Bali (De
Flieghaar, 1931; Jef Last, 1955: 49).
Untuk mewujudkan ide De Flieghaar pada tahun 1933 dengan konsep Balisering, sistem
pendidikan di Bali mulai diterapkan dengan disekolah-sekolah pemerintahan dan sekolah
swasta diberikan peajaran yang menjadi bagian budaya Bali. Balisering merupakan sistem
pendidikan koloial yang emnjadi saluran bagi program-program pemerintah Belanda di
Bali.tanggung jawab pendidikan diserahkan kepada pemerintah Landschap masing-masing.
Dalam pelaksanaan pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh pemilik sekolah melalui para guru.
Sistem pendidikan Balisering bertujuan untuk mengembangkan kebudayaan Bali sebagaimana
yang diwarisi dari nenek moyangnya. Kebudayaan Bali yang sangat unik juga penting untuk
daya tarik bagi wisatawan yang sudah mulai dilirik oleh glongan pemodal liberal pada waktu
itu. Keunikan Bali harus tetap dijaga agar dapat mendatangkan uang untuk membiayai sistem
birokrasi kolonial di Bali. Perkembangan dalam dunia kepariwisataan diharapkan akan
mendatangkan keuntungan besar dengan mempertahankan "Bali sebagai Bali" yang tidak
rusak oleh pengaruh kebudayaan luar. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka sistem
pendidikan diusahakan menggabungkan sistem pendidikan modern Barat dengan model
pembelajaran lokal yang dapat menunjang perkembangan kebudayaan Bali seperti, (1)
Kesenian : menari, pekerja tangan, ukir mengukir, melukis, dan menyanyi; (2) Ekonomi :
koperasi; (3) Sosial : gotong royong; (4) Pertanian : perkebunan; (5) Kebudayaan : membaca
lontar-lontar, wiracarita yang memberikan pemahaman tentang falsafah hidup yang
bersumber dari agama Hindu.
Pelaksanaan sistem pendidikan Baliseting di Landschap Klungkung mencapai keberhasilan
yang signifikan sehingga menjadi contoh bagi pengembangan sistem pendidikan di Bali. Oleh
karena itu, Landschap-Landschap lainnya di Bali mencoba mengikuti dan mengembangkan
sistem pendidikan Balisering di daerahnya masing-masing karena sistem pendidikan ini
dianggap mendukung perkembangan kebudayaan Bali. Perkembangan sistem pendidikan
Balisering mendapat dukungan penuh dari pemerintah Belanda di Bali karena pemerintah
kolonial telah berhasil menanamkan pengaruhnya dan mendapat dukungan dari masyarakat
Bali.
Walaupun Balisering mendapat dukungan luas dari masyarakat Bali, namun sesungguhnya
juga memunculkan konflik dikalangan tokoh-tokoh politik dan intelektual di Bali, antara
golongan tua yang mendukung ide Balinisering dengan kelompok intelektual nasionalis
terutama yang telah mengenyam pendidikan diluar Bali. Kelompok pendukung Balisering
berpandangan bahwa kebudayaan Bali harus dipertahankan tanpa mengesampingkan nilai-
nilai kebudayaan Barat yang dapat mendukung perkembangan kebudayaan Bali. Sedangkan
kelompok yang kontra terhadap gagasan Balisering menganggap kelompok Balisering
menonjolkan primordialisme kesukuan yang sempit karena akan melemahkan rasa
kebangsaan yang telah mulai tumbuh dikalangan masyarakat Bali. Kelompok pendukung ide
Balisering telah termakan oleh propaganda Pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa
Balisering merupakan satu-satunya usaha dalam dunia pendidikan yang akan melestarikan
kebudayaan Bali. Gagasan tersebut mengharapkan masyarakat Bali menolak semua unsur
kebudayaan dan politik yang datang dari luar khususnya dari Jawa. Kebijakan itu dilakukan
untuk mengisolasi Bali demi kepentingan pemerintah kolonial terutama untuk memperoleh
keuntungan ekonomi dan dukungan masyarakat Bali terhadap sistem pemerintahannya di Bali
(Sidemen, 1983: 26).
Dalam pandangan politik nasionalisme yang dirintis oleh kelompok intelektual gagasan
Balisering dianggap sebagai upaya pemerintah kolonial untuk mengadu domba masyarakat
Bali dan mencari simpati dari masyarakat Bali dalam mengekalkan penjajahannya. Namun
dari perspektif budaya gagasan Balisering nampak memberi pengaruh positif bagi
perkembangan budaya Bali. Kesenian Bali semakin mendapat tempat dikalangan masyarakat
Bali karena munculnya kegairahan masyarakat untuk menekuni berbagai kesenian seperti seni
tari, seni ukir, seni bangunan, seni membaca lontar, dan seni suara. Ada upaya untuk
memasukkan unsur seni suara dan seni tari ke dalam pelajaran olah raga sehingga senam yang
diterapkan disekolah-sekolah mencerminkan gerak dasar seni tari Bali diiringi lagu-lagu
bernuansa Bali. Usaha untuk memasukkan unsur seni suara dan tari kedalam pendidikan olah
raga telah banyak melahirkan lagu-lagu rakyat yang diiringi oleh suara gamelan seperti lagu
Juru Pencar, Cai Ketut, Dija Bulane, Bibi-bibi Rangda dan lain-lain. Dalam pelajaran
membaca dan mengarang lahir pula gagasan buku bacaan yang berlatar belakang budaya Bali.
Buku-buku yang menjadi pegangan di sekolah pada waktu itu seperti karangan I Gusti Bagus
Sugriwa yang berjudul I Raka dan I Rai. Dalam bidang seni bangunan kelompok Balisering
menganjurkan agar pembangunan di Bali menyesuaikan dengan alam Bali dan didasari oleh
arsitektur tradisional yang tercantum dalam lontar asta kosala-kosali. Bahan bangunan yang
digunakan disarankan menggunakan bahan bangunan yang mencerminkan kekhasan budaya
Bali seperti menggunakan tembok dari batu bata, batu cadas, atap alang-alang atau atap
bambu. Bangunan sekolah seperti HIS Sila Dharma di Klungkung dan HIS di Denpasar
mencerminkan ciri bangunan Bali karena temboknya menggunakan kombinasi batu bata dan
batu cadas.
Dalam bidang seni lukis lukisan gaya modern yang diperkenalkan oleh pelukis-pelukis dari
Barat bersaing dengan lukisan lukisan klasik yang menonjolkan tokoh-tokoh pewayangan
sebagai ciri khas aliran Balisering yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Kamasan
Klungkung. Lukisan yang menonjolkan tokoh-tokoh pewayangan banyak digunakan untuk
mengiasi bangunan tempat suci seperti pura, merajan dan juga bangunan puri-puri seperti
yang tampak pada bangunan Kerta Gosa warisan dari Kerajaan Klungkung yang sampai saat
ini masih tetap tegak berdiri sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan
dalam negeri dan Manca Negara.
KESIMPULAN
Kekuasaan belanda di Indonesia khususnya di Bali diawali dengan adanya hubungan
perdagangan antara Belanda dan Bali. Di Bali sendiri saat awal kedatangan colonial sudah
berdiri beberapa kerajaan besar. Di Bali pula terdapat banyak pelabuhan yang tergolong
strategis dan ramai didatangi para pedagang. Hubungan ini terus berlanjut, mulai merambah
ke dunia politik dan hingga tercium bau kolonialisme. Banyak taktik dilakukan oleh bangsa
colonial untuk merebut Bali agar menjadi daerah kekuasaanya. Masyarakat Bali tidak tinggal
diam harga dirinya diinjak. Masyrakat Bali banyak melakukan perlawanan-perlawanan.
Karena pergesekan politik peperangan tak terelakkan lagi yakni perang buleleng, perang
jagaraga, perang di karangasem terjadi puputan klungkung dan badung. Tak hanya Belanda,
Indonesia juga dijajah oleh Jepang. Dengan banyaknya Jepang mengalami kekalahan oleh
sekutu, Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan kesempatan itu dipakai
bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaanya yang tentunya juga didukung
oleh masyarakat Bali. Perkembangan kebudayaan dan sistem kepercayaan juga berkembang
di era tersebut dengan mendapat pengaruh dari bangsa Belanda dan Jepang.
DAFTAR PUSTAKA

Artadi, I Wayan, Paramitha, I Gede dan Wirawan, A A Bagus.2013.Serajah


Bali.Denpasar:Udayana University Press
Nugroho, Fadil, 2017, tersedia pada
https://www.suaramerdeka.com/gayahidup/baca/724/pergerakan-kebangsaan-di-
bali-perang-buleleng, diakses pada 3 Oktober 2019
Raditya, Iswara N, 2018, tersedia pada https://tirto.id/belanda-menebar-hoaks-untuk-
taklukkan-bali-dalam-perang-jagaraga-cSkG, diakses pada 3 Oktober 2019
Sukiswanti, Puji, 2014, tersedia pada https://daerah.sindonews.com/read/912304/29/perang-
kusamba-memakan-korban-jenderal-belanda-1413512763, diakses tanggal 3
Oktober 2019
Ardiansjah, Noer, 2018, tersedia pada https://merahputih.com/post/read/puputan-klungkung-
ketika-raja-dan-rakyat-bali-berperang-sampai-mati, diakses pada 3 Oktober 2019
BALI DALAM KONTEKS KOLONIAL
DAN SISTEM KEPERCAYAANNYA

OLEH
KELOMPOK III
Ni Putu Novsa Dewi (1901521002)
Ida Ayu Putu Maesta Puspa Sari (1901521003)
I Nyoman Erlangga ( 1901521025)

PRODI SASTRA BALI


FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai