Anda di halaman 1dari 4

Berdasarkan berita Tomé Pires yang menyebut Jumaia sebagai pusat pemasaran hasil

perompakan orang Bajau yang mendiami pulau-pulau di lepas pantai Sulawesi Selatan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada Waktu itu (awal abad XVI) jangkauan pelayaran mereka
sangat luas yang meliputi perairan timur maupun perairan barat Nusantara. Kapan dan
mengapa kegiatan mereka berhenti pada masa kemudian, belum diketahui. Yang jelas ialah
bahwa berita kemudian tidak menyebut pulau-pulau ini sebagai pusat kegiatan perompak
Bajau. (Pelaku pada akhir abad XX dan awal abad XXI bukan orang Bajau). Pada abad XVII
yang menguasai perairan bagian timur, menurut sumber Belanda, adalah yang mereka sebut
'Papoesche zeerovers’, bajak laut orang Papua.

Pada tahap penelitian sekarang belum banyak yang dapat diungkapkan mengenai pelayaran
pelaut Papua ini. Yang diketahui adalah bahwa pelaut yang disebut “bajak laut Papua’ berasal
dari Kepulauan Raja Ampat (dalam kepustakaan Belanda Papoesche eilanden) dan dari
daerah Biak di Teluk Cenderawasih.3r Kepulauan Raja Ampat secara historis memang
berhubungan erat dengan Biak. Tradisi pelayaran orang Biak sudah berlangsung berabadabad
lamanya. Ada cerita rakyat yang menunjukkan bahwa pelayaran ke arah timur (sekitar
Jayapura sekarang) sudah dikenal mereka, sedangkan ke arah barat mereka menduduki
bagian timur Pulau Halmahera (suku bangsa Sawai) dan mungkin juga sampai ke pantai utara
Seram tempat ditemukan pula toponim Sawai. Demikian pula di Kepulauan Raja Ampat
mereka menduduki tempat-tempat strategis dan mempengaruhi struktur kepemimpinan
setempat.

Pelayaran ke arah barat, yaitu ke perairan Maluku dan lebih ke barat lagi, dihubungkan
dengan kepercayaan setempat dalam usaha mereka mencari tokoh tradisional Manarmakeri
yang juga dikenal dengan nama Kayan Sanau atau Kayan Biak. Tokoh ini yang menurut
keyakinan mereka memiliki rahasia kehidupan abadi (Koreri) telah berangkat ke arah barat
dan berjanji akan kembali kelak untuk membebaskan orang Biak dari penderitaannya.31
Konon pelautpelaut Biak mulai berlayar ke barat ini untuk menjemput Manarmakeri, dan
dengan demikian mereka telah tiba di Kepulauan Raja Ampat dan Maluku. Apakah cerita
tentang asal mula pelaut Biak beroperasi di perairan Maluku dapat diterima atau tidak, yang
jelas adalah kenyataan bahwa pada abad XVII kawasan ini dilanda serangan-serangan bajak
laut yang berasal dari sebelah timur ini. Jangkauan operasi mereka meluas sampai ke Laut
Flores dan Laut Jawa. Bagi orang Timor yang mendiami Pulau Kisar (orang Oirata), kata
“Papua” adalah sinonim dengan bajak laut.32
Sudah sejak awal abad XVII33 ada laporan tentang serangan pelaut Papua. Dalam surat Van
der Dussen (24 Desember 1610) kepada pimpinan VOC a.l. dilaporkan bahwa Pulau
‘Papouwa’ yang banyak penduduknya terbagi dalam tiga kerajaan: “Weige, Mishol ende
Weigamo”. Tentang ‘Mishol’ tak ada perbedaan paham tentang identifikasi dengan Pulau
Misool, demikian pula ‘Weigamo’ jelas sama dengan Waigama, tetapi tentang nama ‘Weige’
masih belum ada kata sepakat apakah dapat ditempatkan di Pulau Waigeo atau harus
dilokasikan di pantai utara Misool. Akan tetapi yang penting dalam hubungan dengan
masalah bajak laut adalah laporan bahwa perahu dari ketiga kerajaan ini sering menyerang di
pantai Seram tempat mereka terus menerus merampas emas dan budak dalam jumlah yang
tidak sedikit (“Zij rooven gestadich op de custe van Seram, daerse niet weynich beutten van
gout en slaven van daen halen”).34 Berita mengenai perdagangan budak ini, khususnya di
‘Serdanha’ yang dilokasikan di sebelah timur Pulau Seram malah telah ada pada abad XVI,
akan tetapi baru oleh Van der Dussen dilaporkan bahwa mereka sengaja mengadakan
ekspedisi khusus untuk menangkap orang yang dijadikan budak.

Dari dokumen VOC diketahui bahwa selama abad XVII dan XVIII kegiatan pembajakan
yang dilakukan oleh pelaut Papua ini sangat mengganggu keamanan berlayar di perairan
Maluku yang oleh Belanda dianggap sebagai kawasan monopoli mereka. Ini berarti bahwa
sesungguhnya kapal-kapal VOC tidak selalu menguasai perairan Maluku secara keseluruhan.
Penghuni pantai yang agak jauh dari pangkalan VOC-apabila tidak mau bekerjasama dengan
pelaut Papua ini-tidak berdaya terhadap serangan mereka sehingga banyak di antaranya
tertangkap dan diangkat sebagai budak. Malah ada di antaranya yang dijual kembali kepada
VOC untuk memenuhi kebutuhan Belanda akan tenaga kerja, misalnya sebagai budak di
perkebunan pala di Kepulauan Banda. Beberapa contoh bisa memberi ilustrasi tentang
keadaan pada waktu itu. '

Pada 1653 sebuah kapal VOC mengunjungi Gorong (di sebelah timur Seram) dan bertemu
dengan perahu yang berasal dari Onin (Kepala Burung, Irian). Dari pertemuan ini, Belanda
mendapat keterangan bahwa di Onin terdapat sejumlah budak yang akan dibawa ke Gorong
untuk dipertukarkan dengan kain dan kapak besi. Nakhoda perahu berjanji membawa budak-
budak itu dan kemudian membawa 90 orang budak yang kuat-kuat dan sehat (“90 stux
cloecke, gesonde lijfeygenen”).
Tetapi karena tidak berjumpa dengan kapal VOC bersangkutan, budak-budaknya dijual
kepada orang lain, di antaranya 12 orang dijual di Banda.35

Pada 17 November 1677, lima buah perahu muncul di Kepulauan Banda: tiga perahu besar
dan dua berukuran kecil, seluruhnya terdiri dari 400 hingga 500 orang bersenjatakan busur
dan panah (“Drie groote en twee cleyne Papoese vaartuygen met 400 d 500 mannen, met pijl
en boogh versien”). Mereka menangkap tujuh orang di sini. Beberapa bulan kemudian (April
1678), mereka berada di perairan Ambon dengan kekuatan tiga sampai empat korakora dan
orembai dalam jumlah yang sama. Pada kunjungan ini, mereka menangkap 13-16 orang di
Amblau dan 60 nelayan di Pantai Hitu dan Seram Selatan. Beberapa di antara korban
penangkapan ini kemudian dijual dan ditebus kembali.36

Sumber lain memberitakan bahwa pada Maret 1684, lima buah perahu pembajak (Papoese
rooffcorcorren) dari Onin telah menangkap 45 orang dari Kepulauan Ambon dan membawa
mereka ke Kefing. Di sekitar tempat ini masih ada 15 sampai 16 perahu yang mondar mandir
dan mengambil 20 orang dari ‘Wattelomy’.37

Angka-angka ini menunjukkan bahwa jumlah yang dijadikan budak bisa mencapai proporsi
yang besar (ada laporan yang mengatakan 60 orang ditangkap dalam satu ekspedisi),
sedangkan armada pembajak pun cukup besar (sampai 400-500 orang). Terlebih kalau diingat
bahwa yang dilaporkan itu hanya yang diketahui oleh VOC. Kemampuan untuk mengadakan
ekspedisi laut dalam jumlah besar menunjukkan daya organisasi yang cukup maju, walaupun
perlengkapan mereka sangat sederhana. Apabila kepemimpinannya tidak tangguh, niscaya
pelayaran mereka dalam kawasan perairan yang luas dan serangan yang jauh dari negeri
asalnya, tidak akan membawa hasil.

Menjelang akhir abad XVIII, kegiatan “bajak laut Papua” muncul dalam dimensi baru. Pada
waktu itu, Pangeran Nuku dari Tidore mengadakan pemberontakan terhadap penguasa, yaitu
Sultan Tidore beserta pemerintahan VOC yang berkedudukan di Ternate. ,Dengan demikian,
Sultan Ternate yang merupakan sekutu VOC juga dimusuhi. Sejarah pemberontakan Nuku
(sejak 1780 sampai ia menang dan menduduki takhta Tidore, 1797-1805) merupakan kisah
tersendiri yang telah menjadi pokok sebuah studi yang khusus.38 Dalam hubungan ini perlu
dikemukakan bahwa Pangeran Nuku telah menggunakan kekuatan laut Papua dalam
menghadapi musuhnya. Tetapi, di samping itu, pelaut Halmahera juga ikut berperan-suku
bangsa Tobelo, Galela, Weda, Maba dan Patani disebut sebagai unsur penting dalam
kekuatan laut Nuku.

Anda mungkin juga menyukai