Anda di halaman 1dari 9

Lombok 1955 : Surat Merah dari Mekkah,

Jalan Panjang ke Baitullah


Editor:Redaksi Lombok Post

15 Agustus 2021

Zaman Dulu : Suasana musim haji tahun 1907. Meski sarana transportasi masih
minim namun animo umat Muslim untuk berziarah ke Tanah Suci sangat tinggi.
( Sumber Foto : HA Mirza &Sons/British Library via The Guardian)
Di masa lalu ketika sarana transportasi masih terbatas, jamaah Haji harus
menempuh jalan panjang dan berliku menuju tanah suci. Mulai dari penipuan,
perampokan hingga rerupa risiko mengancam di sepanjang jalan. Tapi semua
ini seolah tak menyurutkan langkah para peziarah menuju Baitullah.
———————

Sepucuk surat bersampul merah tertulis tiba dari Mekkah. Saat itu puncak musim
Haji tahun 1955. Kurir membawa surat ke Praya untuk diteruskan kepada keluarga
Amaq Payang alias Haji Mustakim di  Dusun Tengilis, Montong Terep,  Lombok
Tengah.

Bak  petir di siang bolong isak tangis menyerua sesaat keluarga membaca isi surat.
Haji Mustakim yang tengah berhaji dikabarkan meninggal di tanah suci.

Mendung hitam membawa duka.  Inaq Murad putri sulung Haji Mustakim jatuh
sakit mendengar kabar sang ayah berpulang di Tanah Haram. Kabar duka tersebar,
salat gaib digelar bersama zikir dan tahlil untuk arwah Haji Mustakim.

Sementara itu, di waktu yang hampir sama surat serupa juga dikirim ke Tanah
Suci. Isinya Inaq Murad putri tersayang Haji Mustakim berpulang. Tak ayal, Haji
Mustakim dirundung duka menerima kabar dari kampung halaman.

Rupanya, surat merah ini sengaja dikirim orang tak dikenal untuk untuk
menggangu keluarga Haji Mustakim.  Zaman itu belum secanggih kini. Tak ada
sambungan telepon atau internet untuk memverifikasi informasi secara cepat
seperti saat ini.

Baca Juga : Lombok 1930 : Sepiring Pelecing, Sekeping Kepeng Bolong

Dalam duka mendalam Haji Mustakim tetap berupaya menunaikan ibadah di


Baitullah. Sementara di rumah keluarga telah menuntaskan rangkaian roah untuk
sang arwah.

Karena itu ketika akhirnya musim haji usai dan Haji Mustakim pulang dalam
kondisi sehat walafiat keluarga hampir tak percaya. Betapa bahagia sang anak dan
orang tua bersatu kembali.

Multazam cucu Haji Mustakim di Mataram menyebut hingga kini keluarga belum
mengetahui siapa pengirim surat merah dan apa motifnya. Boleh jadi soal bisnis,
politik atau dendam pribadi.  Yang jelas di masa itu  pengiriman Surat Merah palsu
kerap terjadi  untuk mengganggu keluarga Jamaah haji.
Zaman Dulu : Suasana musim haji tahun 1907. Meski sarana transportasi masih
minim namun animo umat Muslim untuk berziarah ke Tanah Suci sangat tinggi.
( Sumber Foto : HA Mirza &Sons/British Library via The Guardian)
 

Seribu Hambatan Menuju Rumah Tuhan

Di masa itu orang dari kepulauan Nusantara memang harus berjuang ekstra  untuk
mencapai Arabia. Bahkan di penghujung abad 18, ketika kapal layar masih
menjadi alat transportasi utama,   berhaji dapat memakan waktu lebih dari setahun.

Kala itu kapal layar  bergantung pada musim angin untuk membawa peziarah ke
Mekkah.  Demikian halnya ketika hendak pulang. Mereka harus menunggu musim 
berbalik agar angin bisa mendorong kapal kembali ke kampung halaman.

Dalam perjalanan panjang inilah, laut tak selalu ramah. Di musim tertentu kapal
mudah diterjang ombak dan disapu badai. Ini belum termasuk barisan pos
perompak yang sewaktu-waktu datang menyerang sepanjang perairan.
Di  tahun 1893 misalnya, kapal berbendera Samoa yang disewa maskapai haji  The
Java Agency asal Batavia porak poranda diserang badai. Dalam pelayaran kembali
ke Hindia sekitar 3600 penumpang terobang ambing di lautan, ratusan jamaah
dilaporkan meninggal.

Baca Juga : Lombok 1934 : Jejak Gemilang Bandara Rambang

Ancaman di Jazirah Arab tak kalah mengerikan.  1865  wabah kolera mengacaukan
musim haji dan menelan 15  ribu orang di Mekkah. Wabah lainnya terjadi 1881
dan 1882  dengan korban mencapai enam ribu orang. Dokter Abdoel Fatah yang
berdinas di Jeddah antara 1926-1932  menyebut sekitar tahun itu rata-rata jamaah
yang meninggal di Tanah Suci mencapai 10 persen.

Baca Juga :  1856, Amuk di Ampenan dan Kisah Perlawanan Orang-orang


Makassar

Selain penyakit, para peziarah di masa lampau juga kerap dihantui serangan suku-
suku Badui yang tersebar sepanjang jalan. Perang antar klan, pemberontakan
hingga perebutan kuasa atas Tanah Haram adalah sejarah yang terus berulang.

Yang terbaru adalah kudeta gagal yang dilancarkan bekas kopral Garda Nasional
Saudi, Juhayman al-Utaybi 20 November 1979 silam. Yaroslav Trofimov
dalam Kudeta Mekkah menyebut  127 tentara saudi meregang nyawa dan 451
terluka, 117 pemberontak tewas. Kemudian 26 jamaah haji meninggal, 110 lainnya
luka-luka termasuk dari Indonesia.
Haji Nusantara : Para jemaah haji asal Nusantara di masa lalu. Gambar paling atas
menunjukkan potret jemaah asal Sulawesi dan Sumbawa kemudian dua foto di
bagian bawah adalah jemaah haji asal Jepara dan Pasuruan.( Sumber Foto : Leiden
University Library via www.britishmuseum.org)
 

Para Penipu Tamu Allah


Christiaan Snouck Hurgronje dalam Mekka in the Latter Part of the
19th Century mencatat bagaimana para penjahat mengakali para peziarah di masa
lalu. Menurutnya keluguan jamaah Nusantara di masa itu kerap menjadi sasaran
empuk para penipu.

Saking “empuknya” para penjahat menyamakan  para Jawi (sebutan untuk jamaah


asal Nusantara) dengan rombongan ternak dungu yang mudah dikibuli dan diperas.

Para penipu tersebut bisa datang dari berbagai lapisan. Mulai dari  warga Arab
biasa, pedagang, para pendatang hingga para pemuka masyarakat setempat.
Peziarah Nusantara di masa itu kerap terpukau dengan hal-hal serba Arab.

Mereka mudah dikibuli dengan berbagai ritus dan ziarah tak penting yang
disodorkan selama musim Haji. Padahal kegiatan itu tak melulu berkaitan dengan
rukun haji.  Dan ujungnya jelas para jamaah harus membayar sejumlah uang.

Baca Juga : Operasi Starfish 1945: Misi Rahasia Australia yang Gagal di
Sekotong

Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam : Kisah-kisah Orang


Indonesia Naik Haji 1482-1964  mengisahkan kembali pengalaman Bupati
Bandung, RAA Wiranatakusuma yang berhaji sekitar 1924.

Saat itu ia mengulas seorang jamaah yang diminta membayar sejumlah uang
tebusan untuk sebuah tiang Masjidil Haram dengan harga yang tinggi. Oleh Si 
penipu, konon uang itu bakal diwakafkan ke masjid tersebut.

Salah satu kasus yang penipuan yang paling fenomenal di masa kolonial 
melibatkan The Java Agency milik Johanes Gregorius Marinus Herklots.   Sebagai
seorang warga Hindia kelas satu JGH Herklots memanfaatkan kuasanya untuk
memasarkan paket perjalanan haji dan umrah.

Caranya dengan meminta para pejabat daerah untuk mencari warganya yang ingin
berhaji. Bonusnya jika si pejabat mampu mendapatkan jamaah dalam jumlah
tertentu mereka dapar berangkat cuma-cuma.

Hasilnya, pada musim haji 1893, Herklots disebut  berhasil menjaring lebih dari
3.000 jamaah  dari total jamaah Hindia Belanda yang berjumlah 8.092 orang.
Belakangan akal bulus Herklots dan kawan-kawan terungkap. Banyak jamaah yang
mengadukan buruknya pelayanan maskapai ini.
Baca Juga  : Lombok 1891: Jejak Guru Bangkol Mengobarkan Perang Praya

Sementara untuk memuluskan bisnisnya di Tanah Suci, Herklots disebut


memalsukan identitasnya sebagai Haji Abdul Hamid, pribumi muslim asal Hindia
Belanda. Tujuannya agar leluasa menjaring jamaah yang hendak pulang ke
Nusantara.

Baca Juga :  PON Papua, Kontingen NTB Dapat Dua Medali dari Cabor
Hapkido

Karena non-Muslim, Herklots tentu tak boleh masuk ke Tanah Suci. Tapi lewat
koneksinya dengan birokrat Syarif Mekkah dia sukses menjalankan modusnya.
Inilah yang membuat Herklots aman di Tanah Haram meski banyak jamaah yang
mengadu buruknya pelayanan haji yang ia jual.

Puncaknya di musim haji 1893. Kapal yang disewa The Java Agency  untuk
mengangkut jamaah  pulang ke nusantara porak poranda diserang badai. Sekitar
3600 penumpang terobang ambing di lautan, ratusan jamaah dilaporkan meninggal.

Dari sini diketahui bagaimana modus yang dijalankan Herklots. Kapal tersebut
nyatanya bukan kapal penumpang, namun kapal barang yang dijejali penumpang
melebihi kapasitas.
Tempo Doeloe : Suasana jemaah haji di tanah suci Mekah yang diabadikan oleh
Abd Al-Gaffar al-Sayid seorang dokter asal India di penghujung abad 19.
 

Harga Tak Masalah

Di abad 19, ongkos naik haji bisa mencapai 500 gulden, jumlah yang sangat besar
mengingat gaji seorang serdadu Kolonial Belanda berpangkat rendah di zaman itu
hanya 7-8 gulden per minggu.   Namun pesona tanah haram membuat warga tak
menghiraukan itu. Buktinya hingga kini jumlah uang banyak tak menjamin anda
bisa segera berhaji. Setelah menyetor uang panjar, Anda harus sabar menunggu
hingga puluhan tahun agar  bisa  berhaji.

Animo ini kemudian ditangkap sebagai peluang keuntungan bagi para agen
perjalanan haji. Semisal sebuah maskapai haji bernama Kongsi Tiga di zaman
kolonial  sanggup menyediakan pembiayaan haji yang kelak dapat ditebus dengan
tanah, rumah  dan aset lainnya. Karena itulah di masa ini banyak jamaah yang
pulang berhaji justru jatuh miskin karena asetnya jatuh kepada para calo.
Lalu bagi yang terlilit hutang dan tak mampu bayar, para calo haji “menjual”
jamaah yang hendak pulang sebagai buruh-buruh perkebunan  di Deli Sumatera,
Semenanjung Malaya, dan Singapura.

Baca Juga  : 1897: Lalu Badil Serang Penjara Belanda di Praya dan Bebaskan
Para Tahanan

Sejarawan JJ Rizal menyebut mereka inilah yang kelak dijuluki Haji Singapura.
Jacob Vredenbregt mencontohkan tahun 1800-an ratusan jamaah haji  dari Pulau
Bawean,  harus bekerja serabutan di Singapura. Mereka baru pulang setelah
seluruh hutangnya lunas.

Haji dalam tradisi Nusantara rasanya lebih dari  sekedar kewajiban agama. Dia
dapat menjadi simbol status sosial seseorang. Gelar Haji juga membawa prestise
tersendiri.

Dalam pelayanan sosial, pemerintah Kolonial Belanda di masa itu juga


membedakan status para Haji sedikit lebih tinggi dari warga kebanyakan. Misalnya
di Batavia, seorang haji tidak boleh naik trem/kereta kelas ekonomi. Karena strata
sosial itu dia harus naik trem kelas bisnis.

Sebuah lakon anonim di masa kolonial menyebut, para haji yang jatuh miskin ini
kerap menyembunyikan kopiah putihnya ketika menggunakan fasilitas umum. Ini
untuk menghindari biaya tinggi yang dikenakan karena perubahan status tersebut.

Karena itu dalam satu dan lain hal Haji dapat dipandang sebagai sebuah “rites de
passage”  ritus peralihan yang menandakan perubahan-perubahan penting dalam
kehidupan. Perjalanan ke Tanah Suci diharapkan mengubah perilaku individu
menjadi lebih  saleh baik secara iman maupun laku sosial. (*)

Anda mungkin juga menyukai