Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ira Mingchilina

Nim :2120930320011

Mata Kuliah : Global Health

Dosen : Hidayatullah Muttaqin, SE.,MSI.,PGD

DAMPAK KRISIS EKONOMI DI MASA PANDEMI COVID-19 TERHADAP ” FAMILY CHANGE”

Covid-19 memunculkan berbagai tantangan baru diseluruh dunia. Tidak terkecuali di Indonesia.
Virus corona telah menginfeksi lebih dari satu juta orang dan puluhan ribu orang telah meninggal dunia.
Selain krisis kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oelh pandemi itu sendiri, pembatasan ekonomi
dan pergerakan masyarakat yang berdampak sangat buruk terhadap perkembangan manusia karena
menyebabkan kemiskinan, membatasi akses anak-anak ke pendidikan dan layanan kesehatan dan
menimbulkan lebih banyak masalah kesehatan mental. Ekonomi menyusut untuk pertama kalinya sejak
krisis Asia pada akhir 1990an, produk domestic bruto lebih rendah Rp89 triliun pada 2020. Badan pusat
statistic (BPS) mencatat bahwa lima juta orang telah kehilangan pekerjaan selama pandemic dan 24 juta
lainnya bekerja dalam waktu singkat.

Pandemi mengakibatkan tekanan keuangan ekstrem yang dialami 70 juta keluarga Indonesia.
Dengan adanya virus corona yang terjadi di Indonesia pemerintah melakukan mitigasi kepada seluruh
rakyat Indonesia. Adapun salah satu tindakan mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk
meminimalisir korban akibat virus corona yaitu dengan menutup pelabuhan yang berujung kepada
masalah baru yaitu berupa krisis baru yaitu ekonomi yang dirasakan oleh warga negara Indonesia.
Perekonomian Indonesia pun mengalami berbagai masalah sehingga PDB pun mengalami penurunan
yang cukup berarti atau signifikan. Seiring dengan berjalannya waktu memang banyak kebijakan-
kebijakan pemerintah yang bertujuan membantu perekonomian masyarakat, dari mulai kebutuhan
pokok hingga kebutuhan pendidikan seperti subsidi kuota untuk proses pembelajaran secara online.
Tetapi, dari banyaknya bantuan tersebut ternyata ada beberapa hal yang membuat masyarakat geram
akan tingkah laku oknum politik yang dengan lahapnya memakan hak orang banyak. Bantuan yang
setiap bulan diterima oleh keluarga yang terdampak covid-19 ini sedikit demi sedikit menipis dan tidak
sesuai dengan seharusnya. Sehingga membuat masyarakat harus pandai-pandai memutar otak demi
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganyaPelaksanaan PSBB dan lockdown terlihat awalnya baik
namun perekonomian berhenti atau berkurangnya secara signifikan interaksi antara pelaku-pelaku
ekonomi. Pelaku-pelaku ekonomi seperti perusahaan pun mengalami penurunan kinerja disebabkan
kebijakan PSBB. Perusahaanperusahaan itu mencoba bertahan dengan berbagaia cara, diantaranya
mengurangi jumlah produksi, pemotongan upah hingga bahkan sampai merumahkan tenaga kerja atau
Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan juga kesulitan mendapatkan promosi.

Sejak adanya wabah pandemi covid-19 menjadikan laju perekonomian masyarakat terputus. Ide
yang kreatif dan hal baru perlu dituangkan guna tetap melanjutkan perekonomian masyarakat
khususnya untuk memenuhi kebutuhan hidup individu dan keluarga. Hingga beberapa diantaranya
harus rela dikorbankan dan mau tidak mau harus di PHK. Harapan mereka yang besar terhadap
pemerintah ternyata pupus begitu saja, maka tidak heran banyak keluarga yang harus membanting setir
dengan melakukan pekerjaan apa saja untuk menghidupi keluarganya. Bahkan banyak keluarga yang
mengeluh hingga menyerah mempertahankan keharmonisan yang telah mereka bina selama itu, dengan
alasan sulitnya memenuhi kebutuhan ekonomi di tengah pandemi covid-19 saat ini. Terganggunya
pikiran, emosi dan tenaga membuat peran dan fungsi keluarga berjalan tidak stabil. Dan seharusnya
mereka dapat mengontrol emosi diri untuk tetap menyesuaikan dan menjalankan peran fungsinya
dalam keluarga sesuai dengan komponen yang ada di dalamnya, dengan sebisa mungkin
mengesampingkan keegoisan yang mereka miliki.

Selain itu, ekonomi rumah tangga juga mengalami dilemma dalam menjalankan kehidupannya
sehari-hari yaitu dengan kondisi keuangan yang kurang baik akan memicu adanya penurunan imun
tubuh sehingga sangat rentan terjangkit COVID-19. Dalam hal ini kesejahteraan yang menurun drastis
membuat ekonomi rumah tangga mengalami tekanan psikologis sehingga kesejahteraan psikologi
(psychology well being) menurun drastis. Tanpa disadari, kondisi ekonomi yang semakin sulit membuat
pelaku ekonomi rumah tangga diperhadapkan pada situasi tetap diam seperti petunjuk protocol
kesehatan (stay home) ataukah mengambil langkah inisiatif bekerja apa saja untuk mendapatkan nafkah
hidup. Dalam kondisi dilematis seperti ini, tidak mengherankan apabila ekonomi sektor rumah tangga
rawan mengalami COVID-19.

Sekalipun Pemerintah mengucurkan dana untuk dalam berbagai bantuan seperti Bantuan Tunai
Langsung, pembagian sembako, listrik gratis dan lain sebagainya namun hal itu belumlah mampu
mengembalikan kondisi ekonomi rumah tangga kembali normal seperti semula. Mengapa? Karena sekali
lagi bantuan-bantuan tersebut tidak selamanya diberikan. Kondisi ini juga diperparah dengan semakin
banyaknya jumlah pasien yang terpapar COVID-19 sehingga menambah tekanan psikologis ekonomi
rumah tangga untuk kembali beraktivitas normal.

Semenjak adanya coronavirus memang membuat keluarga terbilang harmonis dan romantis
karena seringnya bertemu dan berkumpul di rumah. Keeratan diantara anggota keluarga terjalin satu
sama lain, apalagi bagi anak-anak yang jarang pulang ke rumah karena harus menempuh pendidikan di
luar. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu ternyata berdiam diri di rumah dengan waktu yang cukup
lama dan seringnya bertemu juga dapat menimbulkan suatu masalah bagi keluarga. Dari 34 provinsi
yang ada di Indonesia, tiga provinsi dengan peningkatan kasus perceraian secara signifikan pada masa
pandemi COVID-19 berada di Pulau Jawa (Tristanto, 2020). Tiga provinsi tersebut yaitu Jawa Barat
menjadi provinsi terbanyak penyumbang angka perceraian. Selanjutnya diikuti oleh Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Sedangkan untuk provinsi yang berada di luar Pulau Jawa, peningkatan kasus perceraian
belum terlihat secara signifikan (Yusuf, 2020).

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga termasuk salah satu contoh dari
sistem. Sebagai sebuah sistem, keluarga memiliki empat hal yaitu objek yang merupakan elemen atau
variabel dalam sistem, atribut yang merupakan kualitas atau properti sistem dan objeknya, hubungan
internal antar objek dalam sistem, serta lingkungan sekitar yang mempengaruhi system. Hampir tiga dari
per empat orang tua khawatir akan kehilangan kesempatan pembelajaran karena terganggunya
pendidikan anak-anak mereka. Akses ke internet yang baik adalah hambatan utama bagi keberhasilan
anak-anak dalam pembelajran rumah. Rumah tangga di pedesaaan yang lebih miskin menghadapi
masalah yang lebih besar terkait internet dan perangkat dibandingkan rumah tangga yang diperkotaan
dan yang lebih kaya. Rumah tangga dengan anak-anak mengakses lebih sedikit layanan kesehatan salah
satu alasan utamanya adalah takut tertular covid-19. Lebih dari satu diantara 10 rumah tangga dengan
anak-anak dibawah usia lima tahun mengatakan anak-anak mereka belum ke klinik imunisasi.
Penutupan sekolah, isolasi sosial serta ketidakpastian ekonomi juga menghadapkan anak-anak sejumlah
risiko lain, yaitu perubahan perilaku misalnya sulit berkosentrasi, menjadi mudah marah dan pola tidur
berubah.

Sebagai solusi dalam upaya mencegah krisis keluarga maka diharapkan agar ketahanan fisik,
ekonomi, ketahanan sosial, ketahanan psikologis dan kelentingan keluarga tetap dijaga . untuk itu
pentingkan, pembangunan ramah keluarga yang menjadikan keluarga basis kebijakan publik, menjamin
keluarga berketahanan dan berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai