Referat IKA - Anafilaksis 4
Referat IKA - Anafilaksis 4
Disusun oleh:
Karina Helsa (01073180181)
Mark (01073180190)
Pembimbing:
Dr. Melanie Widjaja, Sp.A
DAFTAR ISI 1
BAB I. PENDAHULUAN 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Definisi 3
2.2. Epidemiologi 3
2.3. Etiologi/Pencetus 4
2.4. Patofisiologi 6
2.5. Manifestasi Klinis 11
2.6. Diagnosis 12
2.7. Tata Laksana 14
2.8. Diagnosis Banding 22
2.9. Prevensi 23
2.10. Prognosis 24
BAB III. KESIMPULAN 25
DAFTAR PUSTAKA 26
1
BAB I
PENDAHULUAN
Anafilaksis merupakan kegawat-daruratan medis yang penting untuk dikenali oleh tenaga
kesehatan. Kejadiannya yang sangat akut, dalam hitungan menit sampai jam setelah paparan
terhadap pencetus, menjadikan anafilaksis berisiko untuk berkembang dengan cepat dan
berakibat mengancam nyawa. Belum terdapat definisi anafilaksis yang pasti, tetapi berbagai ahli
menyetujui bahwa anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi hipersensitivitas akut yang gawat dan
mengancam nyawa. Anafilaksis yang berat dapat menyulitkan jalan nafas, pernafasan, dan/atau
sirkulasi darah, dan dapat terjadi tanpa gejala kulit atau syok sistemik. Diagnosisnya pada
populasi pediatrik sering terlewatkan karena kejadiannya yang sangat cepat dan kesulitan anak-
anak untuk menyatakan gejalanya.
Referat ini disusun dengan tujuan untuk membahas anafilaksis serta tata laksananya.
Tenaga kesehatan memiliki peranan penting dalam mendiagnosis dan menatalaksana anafilaksis
untuk menghindari anafilaksis yang berat yang dapat mengakibatkan mortalitas. Angka kejadian
anafilaksis meskipun cukup jarang, tetapi penting untuk ditata-laksana dengan baik agar gejala
dapat secara cepat tertangani.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi hipersensitivitas sistemik serius yang terjadi secara cepat
dan dapat menyebabkan kematian.1 Anafilaksis yang berat dapat menyulitkan jalan nafas,
pernafasan, dan/atau sirkulasi darah, dan dapat terjadi tanpa gejala kulit atau syok sistemik.2
Diagnosis anafilaksis pada anak, terutama bayi, seringkali terlewatkan. Anafilaksis terjadi
ketika terdapat pelepasan mediator poten aktif yang mendadak dari sel mast dan basofil,
sehingga memunculkan gejala kulit (urtikaria, angioedema, flushing), respirasi (bronkospasme,
edema laring), kardiovaskuler (hipotensi, disritmia, dan iskemia miokardial), dan gastrointestinal
(mual, nyeri kolik abdomen, muntah, dan diare). 1 Biasanya anafilaksis terjadi dalam hitungan
menit sampai beberapa jam setelah paparan terhadap pencetus reaksi alergi, dan melibatkan dua
atau lebih sistem organ. Keberadaan hipotensi dan syok tidak selalu terjadi untuk menegakkan
diagnosis anafilaksis. Istilah “anafilaktoid” dahulu dipakai untuk mendefinisikan tampilan klinis
anafilaksis yang tidak dimediasi oleh Immunoglobulin E, tetapi tidak lagi direkomendasikan
untuk dipakai karena mekanisme reaksi anafilaksis terlepas dari terlibat atau tidaknya IgE, tidak
terdapat perbedaan dari segi pemberian tata laksananya dan keparahan gejalanya yang berisiko
mengancam nyawa.3
2.2. Epidemiologi
Tingkat kejadian terjadinya anafilaksis meningkat setiap tahunnya. Pada populasi secara general
pada tahun 1980an, terdata sebanyak 21 kasus dari 100.000 orang. Pada tahun 1990 terjadi
peningkatan kejadian anafilaksis mencapai 70 kasus dari 100.000 orang.4,5 Penelitian terbaru di
Eropa pada tahun 2018 sebanyak 3% kasus anafilaksis pada seluruh populasi penduduk. 6 Adapun
juga penelitian systematic review pada tahun 2020 yang mengatakan bahwa kasus anafilaksis
pada anak sebanyak 761 dari 100.000 pasien yang diteliti. 7 Angka kejadian anafilaksis berulang
sebesar 26.5%-54% pada usia 1.5-25 tahun. Kasus anafilaksis yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit tergolong cukup tinggi dengan angka 1.26 dari 1000 orang. 8 Penyebab anafilaksis
3
secara global terbanyak disebabkan karena makanan (71%), obat-obatan (9%) dan gigitan
serangga (5%).9
Penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan bahwa pencetus
terjadinya anafilaksis terbanyak disebabkan oleh penggunaan obat-obatan dengan manifestasi
klinis yang berbeda-beda. Manifestasi pada kulit merupakan manifestasi yang paling sering
terjadi pada pasien sebesar 77.27% berupa urtikaria, angioedema, pruritus, cold skin, kulit pucat
dan juga sianosis.10
2.3. Etiologi/Pencetus
Pada populasi pediatrik, makanan menjadi pencetus kejadian alergi yang paling umum. Susu,
telur, kacang, crustacean shellfish seperti udang, dan ikan merupakan pencetus dominan. Wijen,
gandum, dan buah persik juga menjadi pencetus anafilaksis dengan insidensi yang lebih rendah.
Usia anak juga memiliki pencetus makanan yang berbeda, misalnya, pada populasi bayi, susu,
telur dan kacang umumnya menjadi pencetus anafilaksis. 8-11 Komponen makanan seperti kontak
silang (cross-contacting foods), zat aditif seperti bumbu dan pewarna12, alergen baru (karbohidrat
alergen galactose-α-1,3-galactose pada daging merah)13, kontaminasi makanan seperti tungau
Sudaisia spp. pada tepung pada daerah tropis dan subtropis 14, dan parasit seperti nematoda
Anisakis simplex15 yang terkandung dalam ikan dapat menjadi pencetus dari anafilaksis. Kejadian
alergi, meskipun lebih jarang, juga dapat terjadi ketika terdapat kontak makanan terhadap kulit
ataupun inhalasi uap masakan dengan kandungan alergen makanan.2,16
Pencetus alergi lainnya berupa racun dari sengatan serangga, seperti lebah, tawon, dan
semut, dan kejadian yang lebih jarang namun ada, saliva dari gigitan serangga seperti nyamuk,
ulat, dan kutu.17 Lateks karet alami yang terkandung dalam alat medis dapat mencetuskan
anafilaksis di lingkungan rumah sakit.11 Lateks juga ditemukan di dot (pacifiers), botol susu,
mainan gigitan bayi (teethers), mainan, balon, alat-alat olahraga termasuk bola dan raket,
sehingga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang dapat memicu anafilaksis
termasuk antibiotika, yaitu diantaranya penisilin, sefalosporin, vankomisin, fluorokuinolon,
sulfonamida, dan trimetoprim sulfametoksazol18, serta obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS)
seperti ibuprofen dan obat antineoplasma juga ditemukan menjadi pencetus anafilaksis.
Anafilaksis peri-operatif cenderung sulit ditentukan karena pemberian berbagai agen sekaligus
saat operasi. Anafilaksis tersebut dapat dicetuskan oleh antibiotika maupun relaksan otot, tetapi
perlu dicurigai juga pemberian agen inhalasi, injeksi, maupun agen yang dioleskan, seperti
4
antiseptik klorheksidin.19 Vaksin jarang mencetuskan reaksi anafilaksis. Jika terjadi anafilaksis
akibat vaksin, biasanya bukan disebabkan oleh komponen mikrobial yang terkandung, tetapi
komponen tambahan lain seperti gelatin, ragi, protein telur, pengawet thimerosal, aluminum, dan
antibiotik yang terkandung dalam vaksin.20
Anafilaksis yang ada di rumah sakit paling sering dicetuskan oleh reaksi alergi terhadap
obat-obatan dan lateks. Sementara itu, anafilaksis yang umumnya terjadi di lingkungan
masyarakat berasal dari alergi makanan, yang menyumbang sekitar setengah dari pelaporan
kasus anafilaksis. Alergi kacang merupakan salah satu penyebab penting anafilaksis yang dipicu
oleh makanan karena menyumbang mayoritas dari kasus anafilaksis. Pada lingkungan rumah
sakit, lateks menimbulkan masalah khusus pada anak yang menjalani operasi berulang, seperti
pasien dengan spina bifida dan kelainan urologis.21,22 Beberapa rumah sakit mengganti
penggunaan lateks ke alternatif lain, seperti penggantian sarung tangan dari vinil atau nitril untuk
menghindari kejadian alergi lateks.23 Pasien dengan alergi lateks karet alami (Hevea brasiliensis)
kemungkinan juga memiliki reaksi alergi terhadap makanan dengan kandungan protein yang
sama (protein rHev b) dengan lateks seperti pisang, kiwi, alpukat, kacang kastanye (chestnut),
dan markisa.24
5
Alergen inhalasi Rambut hewan (dander), serbuk tanaman
Idiopatik
2.4. Patofisiologi
Pada populasi pediatrik, anafilaksis umumnya melibatkan IgE yang spesifik terhadap
makanan, racun, atau alergen lainnya (tabel 2.1), reseptor IgE berafinitas tinggi (reseptor FcεR1),
sel mast, dan basofil, serta pelepasan mediator inflamasi. Mediator inflamasi tersebut diantaranya
termasuk histamin dan triptase yang sebelumnya sudah terbentuk (preformed), dan mediator-
mediator yang baru dibentuk, seperti platelet-activating factor, leukotrien, prostaglandin, sitokin,
dan kemokin (gambar 2.1).1
Pengerahan dari jalur inflamasi lain, diantaranya aktivasi dari kaskade komplemen yang
mengakibatkan pembentukan C3a, aktivasi jalur koagulasi, dan aktivasi jalur sistem kallikrein-
kinin dengan pembentukan kinin juga memiliki peran dalam anafilaksis. Aktivasi langsung dari
sel mast oleh faktor fisik, seperti olahraga, paparan terhadap air atau udara dingin, atau konsumsi
obat-obatan seperti opioid juga ditemukan dapat mencetuskan anafilaksis. Anafilaksis yang
dimediasi IgG dilaporkan setelah pemberian dextran berat molekul tinggi dan antibodi
monoklonal seperti infliksimab.2
Terdapat batasan informasi dari mekanisme imunologis dari anafilaksis dari subjek
manusia dikarenakan keadaan anafilaksis yang bersifat mengancam nyawa dan pertimbangan
etika medis yang jelas. Penelitian yang dilakukan seringkali melalui pengumpulan sampel dari
pasien dengan reaksi anafilaksis yang datang ke instalasi gawat darurat (IGD). Temuan juga
diteliti melalui subjek hewan (mencit) yang dirancang untuk mengalami anafilaksis. Data yang
6
diambil dari studi tersebut lalu diteliti untuk mengetahui perubahan patofisiologis pada
anafilaksis, sekaligus mediator-mediator yang dicurigai ikut berkontribusi terhadap reaksi
anafilaksis.25
7
basofil. Kejadian ini juga mengakibatkan pelepasan mediator-mediator, yaitu histamin dan
berbagai protease, serta sintesis leukotrien, prostaglandin, dan sitokin.20,24
Hipersensitivitas tipe I dimulai dari paparan pertama terhadap alergen yang mengaktivasi
sel T helper 2 yang mengakibatkan stimulasi IgE class switching pada sel B, sehingga sel B
memproduksi IgE spesifik terhadap alergen, lalu IgE akan berikatan dengan reseptornya, FcεRI,
pada sel mast dan basofil, serta sel lainnya yang memiliki reseptor tersebut. IgE yang berada
pada permukaan sel mast nantinya akan berikatan dengan alergen ketika terjadi paparan
selanjutnya. Proses ini dinamakan fase sensitisasi. Kejadian selanjutnya adalah fase aktivasi,
dimana pajanan ulang alergen terhadap sel mast atau basofil terjadi yang menyebabkan
degranulasi dan menimbulkan reaksi. Fase efektor terjadi ketika degranulasi sel mast dan basofil
yang berisi mediator mengakibatkan berbagai respon imun bekerja dan menghasilkan manifestasi
klinis berupa urtikaria, serta peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi yang
menyebabkan angioedema, bronkokonstriksi yang bermanifestasi sebagai sesak, stridor dan
mengi, dan peningkatan aktivitas otot polos yang mengakibatkan nyeri perut dan diare.20,26
8
yang lebih tinggi daripada anafilaksis yang dimediasi IgE.31 Kondisi tersebut dapat terjadi pada
kasus anafilaksis yang terjadi sebagai respon dari pemberian obat intravena dalam jumlah
banyak, atau terapi antibodi monoklonal (mAb). Aktivasi kaskade komplemen juga terjadi
sebagai respons terhadap kompleks imun, dan menyebabkan produksi berbagai polipeptida
anafilatoksin: C3a, C4a, dan C5a, yang merupakan mediator inflamasi poten. Anafilatoksin dapat
mengaktivasi berbagai sel myeloid, termasuk sel mast dan basofil, sehingga terjadi pelepasan
mediator, diantaranya pelepasan histamin, dan aktivasi dari jalur kallikrein-kinin.30
Berbagai mediator anafilaksis ditemukan menjadi penyebab dari manifestasi klinis. Efek
histamin pada pasien yang dapat ditemukan yaitu kulit kemerahan, nyeri kepala, obstruksi
saluran pernafasan, dan perubahan hemodinamik sementara (hipotensi, takikardia, dan
peningkatan aktivitas ventrikel kiri). Sel mast dan basofil menjadi penyumbang utama dari
histamin pada anafilaksis. Leukotrien Sisteinil (CysLT) disintesis oleh sel mast, basofil dan
makrofag. Bersama metabolit-metabolit turunannya, Cys-LT ditemukan meningkat ketika
kejadian anafilaksis. Cys-LT menyebabkan manifestasi klinis reaksi alergi akut seperti wheal dan
flare dan bronkokonstriksi. Anafilaksis dikaitkan juga dengan aktivasi platelet, dan platelet yang
teraktivasi dapat melepaskan mediator, seperti faktor platelet 4 (PF4) dan serotonin, yang
mungkin berperan dalam patofisiologi anafilaksis. Platelet activating factor (PAF) merupakan
mediator kuat yang terlibat dalam agregasi platelet dan memiliki peran penting dalam berbagai
respon imun dan inflamasi. PAF dilepaskan oleh berbagai sel, termasuk sel mast, basofil,
neutrofil, makrofag, dan platelet. Terdapat mediator lain yang mempengaruhi anafilaksis,
diantaranya adalah triptase, prostaglandin, dan sitokin IL-2, IL-6 dan IL-10. Pasien anafilaksis
juga dapat mengalami penurunan faktor koagulasi, termasuk Faktor V dan VIII, dan pada kasus
berat juga mengalami koagulasi intravaskular diseminata (DIC).24
9
Gambar 2.2. Variasi Jalur yang Berperan dalam Anafilaksis.24
Gambar 2.3. Perubahan patofisiologis pada anafilaksis dan mediator yang terlibat.24
10
Tabel 2.3. Manifestasi klinis pada reaksi anafilaksis8,10
Sistem Organ Manifestasi Klinis
Kulit dan sistem lain Urtikaria
Ruam kemerahan dengan atau tanpa gatal
Bibir, lidah, uvula bengkak kemerahan
Angioedema
Rasa gatal di hidung
Lakrimasi pada mata
Sistem Respirasi Atas Suara serak
Stridor
Edema glotis, orofaring atau laring
Edema uvula
Bibir/lidah bengkak
Rinorea
Bersin-bersin
Sistem Respirasi Bawah Batuk
Sesak nafas
Takipnea
Bronkospasme
Henti nafas
Sistem Kardiovaskuler Takikardia
Aritmia
Hipotensi
Kolaps pembuluh darah
Pucat
Sianosis
Henti jantung
Sistem Gastrointestinal Mual
Muntah
Nyeri abdominal
Rasa kram diperut
Diare
Neurologi Letargis
Nyeri kepala
Kejang
Penurunan kesadaran
Hematologi Koagulopati
11
Airway Pembengkakan/inflamasi dari tenggorokan, lidah
(pharyngeal/laryngeal edema)
Hoarse Voice
Stridor
2.6. Diagnosis
Penilaian paling pertama perlu dicari apakah pasien memiliki gejala dan tanda kegawat-daruratan
(tabel 2.4) dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis yang perlu ditanyakan
adalah SOCRATES dan juga beberapa anamnesis yang mengarahkan ke anafilaksis penting
berupa:
- Awal kejadian
- Riwayat alergi sebelumnya
- Paparan alergen pencetus dan riwayat pada keluarga.
- Faktor usia
- Keluhan sistem pernapasan seperti serak, bersin, sesak ataupun nafas cepat
- Keluhan sistem jantung seperti nadi cepat, pucat, dan henti jantung
- Keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan nyeri abdomen
- Beberapa keluhan yang tercakup pada tabel 2.3
12
anafilaksis merupakan kegawat-daruratan dengan gejala yang khas, perlu tata laksana awal yang
diberikan secepatnya sebelum pemeriksaan penunjang dilakukan. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan banyak tanda-tanda yang menuju ke anafilaksis, selain itu pada pemeriksaan fisik
juga dapat ditentukan apakah anafilaksis pada orang tersebut berupa anafilaksis ataupun syok
anafilaksis. Pemeriksaan fisik yang dapat diperiksa berupa:32
- Tanda-tanda vital
- Pemeriksaan dengan pendekatan ABCDE
- Pemeriksaan head to toe
- Inspeksi: urtikaria, ruam kemerahan, bibir bengkak dan juga lidah bengkak
- Auskultasi: suara pernapasan abnormal dan peningkatan bising usus
Pada populasi pediatrik, kejadian anafilaksis cenderung kurang dilaporkan, terutama pada
bayi.32,33 Serangan pertama mungkin tidak dikenali, terutama jika gejala terjadi ringan atau
memiliki durasi singkat. Keterlibatan kulit seperti gatal, kemerahan, urtikaria generalisata,
dan/atau angioedema, dapat menjadi acuan dalam penegakkan diagnosis. Meskipun demikian,
gejala kulit dapat tidak muncul atau tidak dikenali pada 10-20% serangan anafilaksis, dan dapat
terlewatkan jika gatal tidak ditemukan, atau jika sudah diberikan obat antihistamin H1
sebelumnya.25 Pasien dengan disfonia, dispnea, atau syok akan sulit untuk menjelaskan gejala
yang dirasakan. Anafilaksis mungkin terdiagnosis sebagai serangan asma jika gejala lain seperti
gatal, muntah, atau kepala pusing tidak ditemukan pada anamnesis maupun pemeriksaan fisik.
Pada bayi, perlu kecurigaan yang tinggi terhadap anafilaksis agar diagnosis tidak terlewatkan,
karena anamnesis dilakukan melalui orang tua dan tidak dapat mendeskripsikan gejala yang
dirasakan subjektif oleh anak. Temuan anak dengan anafilaksis termasuk urtikaria generalisata,
gejala gastrointestinal seperti muntah terus menerus, dan/atau gejala respiratorik. Hipotensi
seringkali terlewatkan, terutama jika pemeriksa tidak memiliki manset (cuff) ukuran bayi.32
Pada tahun 2005, National Institute of Allergy and Infectious Diseases/Food Allergy and
Anaphylaxis Network (NIAID/FAAN) menetapkan kriteria diagnosis anafilaksis yang dapat
dinilai melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria tersebut adalah:33
1. Serangan akut (dalam hitungan menit-jam) yang melibatkan kulit dan/atau
mukosa (urtikaria generalisata, gatal, kemerahan, angioedema), dan salah satu
dari tanda berikut:
13
● Gangguan pernafasan (sesak nafas, mengi bronkospasme, stridor, hipoksemia,
penurunan arus puncak ekspirasi).
● Penurunan tekanan darah atau gejala yang sesuai dengan gagal organ (end-
organ dysfunction), misalnya kolaps, syncope, dan inkontinensia.
2. Atau terjadi dua atau lebih gejala yang muncul segera (hitungan menit-jam)
setelah terpapar alergen atau pencetus yang kemungkinan menjadi alergen,
sebagai berikut:
● Keterlibatan kulit dan/atau mukosa (urtikaria generalisata, gatal, kemerahan,
angioedema).
● Keterlibatan pernafasan (sesak nafas, mengi-bronkospasme, penurunan arus
puncak ekspirasi, stridor, hipoksemia).
● Penurunan tekanan darah atau gejala yang sesuai dengan gagal organ (end-
organ dysfunction), seperti kolaps, syncope, dan inkontinensia.
● Gejala gastrointestinal persisten, seperti muntah, nyeri kram abdomen, dan
diare.
3. Atau terjadi paparan terhadap alergen yang diketahui yang menyebabkan
penurunan tekanan darah >30% dari tekanan darah sistolik normal (hitungan
menit-jam).
Adanya satu dari ketiga gejala tersebut menunjukkan kecurigaan terhadap anafilaksis.
Perubahan kulit atau mukosa saja bukan merupakan tanda reaksi anafilaksis, serta perubahannya
dapat terjadi ringan atau bahkan tidak ada pada 20% pasien (misal: manifestasi hanya pada gejala
penurunan tekanan darah). Gejala gastrointestinal perlu diperiksa pada pasien dengan kecurigaan
anafilaksis.34
14
antihistamin dan glukokortikoid sebagai tata laksana lini kedua. Setelah tata laksana akut
diberikan, tata laksana jangka panjang berfokus terhadap edukasi, pemberian resep untuk
persediaan epinefrin di rumah, dan mencari pencetus anafilaksis jika belum diketahui. Pada
pasien anafilaksis harus dilakukan observasi agar tidak terjadi rekurensi dari anafilaksis.
Observasi dilakukan selama 2-6 jam untuk anafilaksis mild episode dan observasi selama 24 jam
untuk anafilaksis berat.34,35
Langkah pertama dari penanganan ABCDE adalah untuk mengamankan pasien dari
lingkungannya dengan menjauhkan pasien dari alergen yang diketahui, atau yang dicurigai jika
alergen tidak diketahui.36 Algoritma ABCDE diuraikan pada tabel 2.5. Pada pasien dengan gejala
obstruksi jalan nafas perlu disiapkan tata laksana definitif yang mengamankan jalan nafas, yaitu
intubasi. Idealnya intubasi pada jalan napas yang bengkak terobstruksi dibantu oleh dokter
spesialis anestesi atau spesialis telinga hidung tenggorok (THT). Penilaian kesadaran pada pasien
dapat menggunakan metode AVPU (alert, voice responsive, pain responsive, unresponsive to all
stimuli) atau glasgow coma scale (GCS).37
15
Komponen algoritma Pemeriksaan Tata laksana
Airway Edema laring/faring o Suplementasi oksigen aliran
Pembengkakkan lidah tinggi
Suara atau tangisan serak o Intubasi secepatnya untuk
Suara pernapasan stridor menghindari edema yang
Pola pernapasan paradoksal memburuk
Keterlibatan otot pernapasan
tambahan
Tidak terdengar suara napas pada
obstruksi total
Breathing Laju pernapasan o Suplementasi oksigen aliran
Kedalaman tarikan napas tinggi sambil memantau
Pola napas saturasi oksigen
Keterlibatan otot pernapasan o Ventilasi tekanan positif jika
tambahan gagal napas
Retraksi subkostal
Retraksi sternal pada anak usia
lebih muda
Mengi atau stridor
Saturasi oksigen
Circulation Pucat, sianosis, mottled skin o Resusitasi cairan kristaloid
Suhu dingin, clammy skin agresif 20 mL/kg dihabiskan
Peningkatan laju nadi secepatnya
Hipotensi o Dua akses intravena ukuran
Capillary refill time (CRT) besar
Nilai kualitas dan regularitas nadi o Alternatif: akses intraosseous
perifer o Penilaian kembali setiap 5
Bandingkan laju nadi perifer menit
dengan denyut jantung o Ulangi pemberian cairan
sampai keadaan stabil
o Sesuaikan dengan keadaan
jantung dan ginjal pasien
16
(1mg/mL). Terdapat sediaan epinefrin injeksi otomatis dengan autoinjector (epinephrine auto-
injector, EAI) dengan dosis yang sudah disesuaikan dengan pasien, tetapi ketersediaannya masih
jarang dan harganya mahal. Tergantung respon pasien, injeksi epinefrin dapat diulang dalam 5-
15 menit setelah injeksi pertama dengan dosis yang sama. 38 Dosis epinefrin sesuai usia dapat
dilihat pada tabel berikut:
Epinefrin merupakan agonis non selektif yang bekerja pada semua reseptor adrenergik
yang terdapat pada seluruh sistem organ yang terdampak oleh anafilaksis. Epinefrin
menanggulangi hipotensi, syok, urtikaria, angioedema, dan edema mukosa saluran pernafasan
atas dengan meningkatkan resistensi perifer melalui reseptor ⍺-1 dan meningkatkan cardiac
output (CO) melalui reseptor β-1. Epinefrin juga mengurangi bronkokonstriksi dan gejala saluran
pernafasan bawah melalui efeknya pada reseptor adrenergik β-2. Epinefrin juga mengaktivasi
reseptor adrenergik β-2 pada sel mast dan basofil, sehingga mengurangi pelepasan histamin dan
mediator anafilaksis lainnya. Epinefrin dengan demikian tidak hanya menangani seluruh gejala
anafilaksis, tetapi juga mencegah perburukan gejala, maka dari itu tata laksana epinefrin perlu
diberikan segera tanpa tertunda.38
Berbagai pedoman merekomendasikan epinefrin diberikan secara intramuskular pada
anterolateral paha dibandingkan pemberian subkutan atau pada daerah deltoid. 3,34,38-40 Selain
Pemberian epinefrin pada anterolateral paha juga lebih direkomendasikan untuk menghindari
risiko jarum masuk terlalu dalam dan mencapai tulang. Sebaiknya pemberian epinefrin dilakukan
melalui injeksi intramuskular dibandingkan pemberian subkutan.38-40
Pemberian epinefrin intravena (IV) tidak dianjurkan sebagai lini pertama tata laksana
anafilaksis akut, dikarenakan terdapat risiko efek samping terhadap jantung, seperti aritmia dan
infark miokardial. Pasien dengan respon inadekuat terhadap epinefrin intramuskular dan salin
intravena, epinefrin intravena dapat diberikan secara IV kontinyu tetes mikro, idealnya dengan
pompa infus yang terpantau di rumah sakit. Jika ketersediaan alat terbatas, maka dapat diberikan
tambahan 1 mg (1:1.000) epinefrin dalam 1.000 mL NaCl 0.9%, yang dimulai dengan kecepatan
17
2 µg/menit (2 mL/menit, 120 mL/jam) dan dinaikkan sampai batas maksimal 10 µg/menit (10
mL/menit, 600 mL/jam). Titrasi dosis dilakukan secara berkesinambungan, disesuaikan dengan
tekanan darah, kecepatan denyut jantung, dan oksigenasi.41,42 Inhalasi epinefrin tambahan setelah
pemberian intramuskular dapat membantu menangani edema laring dan bronkospasme dengan
lebih cepat. Dosis 2,5 - 5 mL (1 mg/mL) nebulisasi epinefrin diberikan bersamaan dengan
suplementasi oksigen (tabel 2.7). Tata laksana lainnya yang dapat digunakan jika bronkospasme
menetap setelah diberikan epinefrin adalah obat golongan β-adrenergik agonis, misal salbutamol,
melalui inhalasi dosis terukur atau nebulisasi.39
B. Antihistamin
Antihistamin seringkali diberikan sebagai terapi tambahan untuk gejala yang timbul pada kulit
dan sistem organ lainnya yang berkaitan dengan anafilaksis. Antihistamin sebaiknya tidak
diberikan sebelum, atau menggantikan epinefrin. Reseptor histamin H1 memiliki peranan
terpenting dalam anafilaksis. Reseptor H2 kebanyakan ditemukan pada sistem gastrointestinal,
ditemukan dalam jumlah sedikit pada sel otot halus pembuluh darah, dan memiliki peran kecil
dalam patofisiologi anafilaksis. Obat-obatan antihistamin H1 dan H2 dapat ditemukan dengan
mudah dan seringkali diberikan secara bersamaan dalam tata laksana anafilaksis. Antihistamin
H1 generasi kedua memiliki kelebihan dibandingkan generasi pertama, yaitu durasi yang lebih
panjang, efek antikolinergik yang lebih kecil, dan efek sedasi yang lebih lemah, dan onset
kerjanya sama cepat.38
Antihistamin berfungsi sebagai antagonis dari histamin pada reseptornya, terapi
antihistamin berguna untuk mengobati sebagian besar tanda dan gejala kulit pada anafilaksis,
seperti gatal, kemerahan, dan urtikaria. Ketika diberikan secara oral, onset kerja antihistamin
dapat terjadi dalam 30 menit, tetapi puncak konsentrasinya dalam plasma darah baru dapat
dicapai setelah 60 - 120 menit setelah pemberian, serta perlu 60 - 90 menit waktu tambahan agar
obat tersebut mencapai jaringan ekstravaskuler dan memberikan efek maksimal.
Mempertimbangkan sifat anafilaksis yang berlangsung cepat dan membahayakan, efek
antihistamin tergolong pelan dan dapat mengakibatkan tata laksana tidak efektif. Antihistamin
juga tidak memiliki sifat vasokonstriktif, bronkodilator, ionotropik, dan tidak dapat menstabilkan
sel mast seperti epinefrin. Antihistamin dapat menjadi terapi tambahan yang diberikan setelah
pemberian epinefrin.38 Pemberian secara intravena perlu diperhatikan efek samping
antikolinergiknya berupa takikardia, hipotensi, atonia gastrointestinal, retensi urin, dan
18
peningkatan tekanan okular.39 Dosis dan pilihan antihistamin yang dapat digunakan terlampir
pada tabel 2.7.
C. Glukokortikoid
Glukokortikoid juga merupakan terapi yang diberikan sebagai tambahan pada anafilaksis. Sama
seperti antihistamin, glukokortikoid sebaiknya tidak diberikan sebelum, atau menggantikan
epinefrin. Glukokortikoid memiliki onset kerja yang lama, kinerjanya tidak selektif, dan tidak
efektif dalam menangani gejala akut, serta memiliki efek samping jika diberikan dalam dosis
tinggi dan dengan waktu lama. Penggunaan terapi ini dapat mengurangi durasi rawat inap tetapi
tidak memiliki keuntungan dalam mencegah kejadian anafilaksis berulang setelah pulang dari
rumah sakit. Karena mekanisme kerjanya, glukokortikoid tidak meringankan gejala sampai 4-6
jam setelah diberikan dengan rute apapun. Dengan pertimbangan tersebut, glukokortikoid
memiliki peran terbatas dalam penanganan anafilaksis akut. 38 Secara teori, glukokortikoid dapat
mengurangi reaksi inflamasi, tetapi belum ada penelitian yang menunjukkan efeknya dalam
mengurangi risiko anafilaksis bifasik.39 Dosis dan pilihan glukokortikoid yang direkomendasikan
terlampir pada tabel 2.7.
Ranitidine PO/IV Setiap 8 jam, sampai manifestasi kulit 1 mg/kg/dosis (50 mg)
teratasi
Kortikosteroid
Prednisone PO Setiap 6 jam 1 mg/kg (75 mg)
Metilprednisolon IV Setiap 6 jam 1 mg/kg (125 mg)
Salbutamol nebulisasi Sampai gejala (mengi, sesak) mereda 5-10 puff dengan metered-dose
inhaler (MDI) atau
2,5-5 mg nebulisasi
Epinefrin nebulisasi Setiap 20 menit – 1 jam sampai gejala 2,5-5 mL nebulisasi
pernapasan atas (stridor) teratasi
19
Epinefrin IV Infus kontinyu sampai hipotensi teratasi 2 μg/kg/menit
(10 μg/menit)
Gambar 2.4. Algoritma anafilaksis menurut European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI) 2014.39
Pasien dengan riwayat reaksi bifasik (serangan anafilaksis yang muncul kembali ketika
tidak terjadi paparan) dan reaksi berat harus dipantau lebih lama. Pada anafilaksis bifasik,
serangan kedua dapat terjadi pada 10-20% kasus dan dapat terjadi dalam kurun waktu 1-72 jam
setelah serangan pertama.43 Sekitar ≤ 4% pasien dengan anafilakis yang datang ke instalasi gawat
darurat (IGD) memerlukan rawat inap. Pemantauan di IGD setidaknya dilakukan selama 4 jam.
Jika tidak dibutuhkan pemantauan lebih lanjut, pasien boleh dipulangkan dengan diberikan
epinefrin suntik manual dan diedukasikan pemakaiannya, serta dilakukan follow-up terhadap
pasien. Jika pasien membutuhkan penanganan pada jalur napas, tidak merespon adekuat terhadap
pengobatan, atau dalam kondisi tidak stabil, perawatan pasien di ruang perawatan intensif (ICU)
perlu segera dilakukan.44
20
2.7.3. Tata Laksana Jangka Panjang
Tata laksana jangka panjang perlu disesuaikan pada setiap pasien yang mengalami anafilaksis.
Terdapat kendala dalam sumber daya dokter spesialis konsultan alergi/imunologi, serta
keterbatasan EAI, baik ketersediaannya maupun harga yang tidak terjangkau oleh kelompok
masyarakat tertentu. Pada jangka panjang, edukasi pasien atau orang tua pasien memegang
peranan penting untuk menghindari pencetus serta menangani anafilaksis secepat mungkin,
sehingga mengurangi risiko anafilaksis berat dan mortalitas.3
Ketika pasien dipulangkan dari rawat inap, pasien perlu diresepkan epinefrin serta
diajarkan cara pemberiannya. Selain itu, konsultasi mengenai penyusunan rencana darurat jika
anafilaksis terjadi dan cara mengidentifikasi serangan anafilaksis juga penting untuk
disampaikan kepada pasien dan keluarga. Pada beberapa kasus, pasien tidak memakai epinefrin
ketika terjadi serangan meskipun tersedia di rumah, sehingga membutuhkan edukasi pentingnya
epinefrin dan risiko mengancam nyawa yang dapat terjadi. Jika EAI tidak tersedia atau pasien
tidak mampu membeli, dapat diberikan alternatif berupa suntikan yang sudah diisi epinefrin
dengan dosis yang disesuaikan untuk pasien.3
Pasien anafilaksis sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis alergi/imunologi untuk
konfirmasi pencetus serta pertimbangan untuk menjalani imunoterapi alergen. Menghindari
alergen sepenuhnya penting dilakukan untuk mencegah rekurensi anafilaksis. Akan tetapi,
terkadang perubahan gaya hidup perlu dilakukan untuk menjauhi alergen, sehingga mengurangi
kualitas hidup pasien. Menurunnya kualitas hidup tersebut termasuk perundungan anak yang
memiliki alergi makanan, rasa takut jika terjadi serangan tiba-tiba ketika di tempat umum, dan
halangan untuk beraktivitas berat atau olahraga. Berbagai pedoman merekomendasikan
kunjungan rutin ke dokter atau spesialis alergi/imunologi secara berkala, setidaknya satu tahun
sekali untuk peninjauan ulang pencegahan rekurensi, penggunaan epinefrin mandiri, dan
mengontrol komorbiditas. Peninjauan dari segi makanan dan kesehatan mental oleh ahli diet dan
psikolog juga dapat dilakukan jika dibutuhkan.3,33,34,39,40
Konfirmasi pencetus dapat dilakukan melalui skin prick test yang dilakukan untuk
melihat interaksi antara alergen dan antibodi IgE, yang biasanya dilakukan di tangan ataupun di
punggung. Tingkat sensivitas dari skin prick test adalah 50-60% sehingga sering terjadi false
21
positive. Selain skin prick test, untuk alergi makanan dapat dilakukan oral food challenge
ataupun food elimination diet. Oral food challenge merupakan metode dimana seseorang dengan
dicurigai memiliki alergi makanan secara perlahan diberikan makanan yang dicurigai sebagai
pencetus. Pemeriksaan ini harus diawasi oleh petugas medis sehingga dapat mendiagnosis dan
mengeksklusi pencetus. Food elimination diet dilakukan dengan menyingkirkan makanan yang
dicurigakan sebagai allergen secara satu per satu dan setelah ditemukan makanan yang di
curigakan sebagai alergen maka pasien diedukasi untuk menghindari makanan pencetus tersebut.
Eliminasi makanan ini dilakukan selama 5-6 minggu.43
Anafilaksis dapat ditemukan reaksi berupa urtikaria, dan reaksi sesak yang sama dengan
reaksi pada asma, namun yang membedakan diagnosis ini adalah, pada anafilaksis terjadi reaksi
secara sistemik, namun pada diagnosis ini berupa reaksi lokal. Diagnosis banding pada bagian
22
postprandial dapat dibedakan dengan anafilaksis dengan membedakan apakah intoksikasi atau
alergi. Pada reaksi intoksikasi dapat ditemukan perbedaan melalui anamnesis apakah makanan
yang dikonsumsi layak untuk dikonsumsi dan biasa tidak hanya satu orang yang terkena
intoksikasi namun beberapa orang yang mengkonsumsi makan tersebut. Perbedaan terhadap
alergi dan anafilaksis adalah dari seberapa parah reaksi yang terjadi, karena reaksi alergi yang
mengancam nyawa adalah definisi dari anafilaksis, selain itu, pada anafilaksis biasa terjadi reaksi
secara sistemik. Syok hipovolemik terjadi karena kekurangan cairan di dalam tubuh yang biasa
terjadi karena pendarahan atau tubuh kehilangan banyak cairan di dalamnya sehingga jantung
tidak bisa memompa darah ke seluruh tubuh, namun pada syok kardiogenik yang terjadi adalah
jantung tidak bisa memompa darah keseluruh tubuh karena kondisi jantung yang tidak
memungkinkan. Pada syok distributif, terjadi vasodilatasi dari pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya hipotensi. Pada sepsis yang ditemukan adalah adanya infeksi ditubuh
yang mengakibatkan sistem organ tubuh tidak bekerja dengan baik dan tidak normal.2
2.9. Prevensi
Pasien yang sudah mengalami reaksi anafilaksis sebelumnya, penting untuk diketahui mengenai
faktor alergi yang dapat mencetuskan terjadinya anafilaksis, sehingga selanjutnya dapat dihindari
agar tidak terulang kembali kondisi anafilaksis. Pada pasien anak dengan alergi makanan harus
diberikan edukasi kepada keluarga tentang cara mengenali komposisi-komposisi yang
terkandung didalam makanan tersebut, harus dipastikan bahwa tidak ada kandungan makanan
yang merupakan sebuah faktor pencetus terjadinya alergi.44
Menurut American College of Allergy, Asthma, and immunology (ACAAI) dan
American College of Emergency Physicians (ACEP) terdapat panel konsensus dalam mengenali
anafilaksis. Sistem kriteria SAFE merupakan kriteria yang sudah disepakati untuk digunakan
dalam alur mengenali dan menangani anafilaksis, berupa:45
1. Support: harus segera meminta pertolongan tenaga medis
2. Allergens: identifikasi dan hindari alergen
3. Follow up: pemantauan lanjut di perawatan khusus
4. Epinephrine: pemberian epinefrin pada kondisi gawat darurat
Dapat dianjurkan bagi anak dengan riwayat anafilaksis yang terjadi akibat reaksi alergi
dapat memeriksa lebih lanjut tentang profil alergi, dapat dilakukan pemeriksaan berupa
23
laboratorium dan skin test. Keluarga diharapkan dapat mengetahui faktor pencetus alergi dan
dapat menghindari reaksi anafilaksis yang dapat terjadi. Keluarga juga harus diberikan informasi
cara mengenali gejala dan tanda dari reaksi anafilaksis. Kasus anafilaksis berulang atau pasien
dengan alergi makanan yang disertai dengan penyakit asma harus dibekali dengan pemberian
epinefrin injeksi manual yang digunakan jika terjadi serangan anafilaksis kembali. Serta penting
juga untuk pemberian informasi obat dan cara penggunannya.45
2.10. Prognosis
Penanganan yang cepat dan adekuat merupakan hal penting dalam menentukan prognosis
pasien, sehingga menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas. Angka mortalitas dari anafilaksis
ditemukan sebesar 0.65%-2% dari pasien yang mengalami reaksi anafilaksis. 43 Pasien dengan
reaksi anafilaksis berat yang mengkonsumsi beta-blocker memiliki resiko tinggi terjadinya gejala
berkelanjutan dan gejala yang lebih berat; sebaiknya diberikan obat-obatan golongan lain jika
memungkinkan.44
24
BAB III
KESIMPULAN
Reaksi alergi hingga anafilaksis maupun syok dapat ditemukan pada instalasi gawat
darurat. Pencetus utama anafilaksis adalah makanan dan obat-obatan, serta pencetus lainnya
dapat berupa sengatan serangga, inhalan, aktivitas atau lingkungan, dan vaksin. Jika sudah
ditelusuri pencetus dari anafilaksis tetapi tidak berhasil ditemukan, atau jika diagnosis banding
lain tidak ada pada pasien, maka pasien dapat dinyatakan mengalami anafilaksis idiopatik.
Patofisiologi anafilaksis dibagi menjadi dua kategori, yaitu anafilaksis yang dimediasi
oleh IgE, dan yang tidak dimediasi dengan IgE. Tingkat keparahan anafilaksis yang bervariasi
antar pejamu juga disebabkan oleh faktor genetik. Manifestasi klinis dari anafilaksis dapat
berupa manifestasi pada kulit, sistem respirasi atas atau bawah, sistem kardiovaskuler,
gastrointestinal, manifestasi neurologis, dan koagulopati. Diagnosis melalui pemeriksaan fisik
memegang peranan penting, dengan bantuan anamnesis pasien atau orang tua yang memberikan
informasi keluhan, serta riwayat alergi atau paparan terhadap pencetus. Pemeriksaan penunjang
laboratorium melalui kadar triptase serum dapat dilakukan setelah pasien tertangani untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan mengeksklusi diagnosis banding.
Tatalaksana anafilaksis berfokus pada pemberian epinefrin sebagai lini pertama, serta
pemberian antihistamin dan glukokortikoid sebagai terapi tambahan. Terapi lain seperti inhalasi
salbutamol dan epinefrin dapat diberikan ketika gejala pernafasan masih berlangsung meskipun
terapi epinefrin injeksi sudah diberikan. Edukasi serta pemberian epinefrin yang dapat dipakai
oleh pasien atau keluarga di rumah, memegang peranan penting dalam pencegahan anafilaksis
berulang serta mengurangi risiko anafilaksis berat yang berakibat kematian. Anafilaksis memiliki
mortalitas sebesar 0,65 – 2%. Kejadian anafilaksis tipe bifasik terjadi pada 10-20% pasien,
sehingga pemantauan di IGD perlu dilakukan setidaknya selama 4 jam sebelum pasien
dipulangkan.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson HA, Wang J, Sicherer SH. Anaphylaxis. In: Kliegman RM, St. Geme III
JW, Blum NJ, Shah SS, Tasker RC, Wilson KM, et al., editor. Nelson textbook of
pediatrics. 21 ed. Philadelphia: Elsevier;2020.
st
4. Decker WW, Campbell RL, Manivannan V, Luke A, St. Sauver JL, Weaver A, et
al. The etiology and incidence of anaphylaxis in Rochester, Minnesota: a report
from the Rochester Epidemiology Project. J Allergy Clin Immunol.
2008;122:1161–5.
5. Simons FER, Sampson HA. Anaphylaxis epi-demic: fact or fiction? J Allergy
Clin Immunol 2008;122:1166–8.
6. Yu JE, Lin RY. The Epidemiology of Anaphylaxis. Clin Rev Allergy Immunol.
2018;54:366-74
7. Wang Y, Allen KJ, Suaini NHA, McWilliam V, Peters RL, Koplin JJ. The global
incidence and prevalence of anaphylaxis in children in the general population: a
systematic review. Allergy. 2019;74:1063–80.
8. Tejedor-Alonso MA, Moro-Moro M, Múgica-García MV. Epidemiology of
anaphylaxis: contributions from the last 10 years. J Investig Allergol Clin
Immunol. 2015;25:163–75.
9. De Swert LF, Bullens D, Raes M, Dermaux AM. Anaphylaxis in referred
pediatric patients: demographic and clinical features, triggers, and therapeutic
approach. Eur J Pediatr 2008;167:1251–61.
10. Hasanah APU. The prevalence of anaphylactic reaction in RSUD dr. Soetomo on
January 2014 until May 2018 [master’s thesis]. Surabaya: Universitas Airlangga;
2018.
26
11. Worm M, Moneret-Vautrin A, Scherer K, et al. First European data from the
network of severe allergic reactions (NORA). Allergy. 2014;69:1397-404.
12. Madsen C. Prevalence of food additive intolerance. Hum Exp Toxicol.
1994;13:393-9.
13. Commins SP, Platts-Mills TA. Delayed anaphylaxis to red meat in patients with
IgE specific for galactose alpha-1,3-galactose (alpha-gal). Curr Allergy Asthma
Rep. 2013;13:72-7.
14. Sanchez-Borges M, Capriles-Hulett A, Fernandez-Caldas E, et al. Mite-
contaminated foods as a cause of anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol.
1997;99:738-43.
15. Hoshino C, Narita M. Anisakis simplex-induced anaphylaxis. J Infect Chemother.
2011;17:544-6.
16. Lehrer SB. Hypersensitivity reactions in seafood workers. Allergy Proc.
1990;11:67-8.
17. Platts‐Mills TA, Commins SP. Emerging antigens involved in allergic responses.
Curr Opin Immunol. 2013;25:769‐74.
18. Blumenthal KG, Peter JG, Trubiano JA, Phillips EJ. Antibiotic allergy. Lancet.
2019;393:183-98.
19. Di Leo E, Delle Donne P, Calogiuri GF, Macchia L, Nettis E. Focus on the agents
most frequently responsible for perioperative anaphylaxis. Clin Mol Allergy.
2018;16:16.
20. Chung EH. Vaccine allergies. Clin Exp Vaccine Res. 2014;3:50-7.
21. Ricci G, Gentili A, Di Lorenzo F, et al. Latex allergy in subjects who had
undergone multiple surgical procedures for bladder exstrophy: relationship with
clinical intervention and atopic diseases. BJU Int. 1999;84:1058-62.
22. Elliott BA. Latex allergy: the perspective from the surgical suite. J Allergy Clin
Immunol. 2002;110:S117-20.
23. Brown RH, Hamilton RG, McAllister MA; Johns Hopkins Latex Task Force.
How health care organizations can establish and conduct a program for a latex-
safe environment. Jt Comm J Qual Saf. 2003;29:113-23.
27
24. Reber LL, Hernandez JD, Galli SJ. The pathophysiology of anaphylaxis. J
Allergy Clin Immunol. 2017;140:335-48.
25. Ehlers I, Hipler UC, Zuberbier T, Worm M. Ethanol as a cause of hypersensitivity
reactions to alcoholic beverages. Clin Exp Allergy. 2002;32:1231-5.
26. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. 7th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunder; 2012. p.425-43.
27. Lagopoulos V, Gigi E. Anaphylactic and anaphylactoid reactions during the
perioperative period. Hippokratia. 2011;15:138-40.
28. Tkaczyk C, Okayama Y, Woolhiser MR, Hagaman DD, Gilfillan AM, Metcalfe
DD. Activation of human mast cells through the high affinity IgG receptor. Mol
Immunol. 2002;38:1289-93.
29. Miyajima I, Dombrowicz D, Martin TR, Ravetch JV, Kinet JP, Galli SJ. Systemic
anaphylaxis in the mouse can be mediated largely through IgG1 and Fc
gammaRIII. Assessment of the cardiopulmonary changes, mast cell
degranulation, and death associated with active or IgE- or IgG1-dependent
passive anaphylaxis. J Clin Invest. 1997; 99:901–14.
30. Muñoz-Cano R, Picado C, Valero A, Bartra J. Mechanisms of Anaphylaxis
Beyond IgE. J Investig Allergol Clin Immunol. 2016;26:73-82;
31. Kow ASF, Chik A, Soo KM, Khoo LW, Abas F, Tham CL. Identification of
Soluble Mediators in IgG-Mediated Anaphylaxis via Fcγ Receptor: A Meta-
Analysis. Front Immunol. 2019;10:190.
32. Younker J, Soar J. Recognition and treatment of anaphylaxis. Nursing in critical
care. 2010;15:94-8.
33. Loprinzi Brauer CE, Motosue MS, Li JT, et al. Prospective Validation of the
NIAID/FAAN Criteria for Emergency Department Diagnosis of Anaphylaxis. J
Allergy Clin Immunol Pract. 2016;4:1220-6.
34. Working Group of the Resuscitation Council (UK). Emergency treatment of
anaphylactic reactions. London: the Resuscitation Council (UK); 2008. p. 18-20
35. Tang AW. A practical guide to anaphylaxis. Am Fam Physician. 2003;68:1325-33
28
36. Thim T, Krarup NH, Grove EL, Rohde CV, Løfgren B. Initial assessment and
treatment with the Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure (ABCDE)
approach. Int J Gen Med. 2012;5:117-21.
37. Cheng A. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children. Paediatr
Child Health. 2011;16:35-40
38. *Shaker MS, Wallace DV, Golden DBK, et al. Anaphylaxis-a 2020 practice
parameter update, systematic review, and Grading of Recommendations,
Assessment, Development and Evaluation (GRADE) analysis. J Allergy Clin
Immunol. 2020;145:1082-123.
39. Muraro A, Werfle, T, Hoffman-Sommergruber K, Roberts G, Beyer K, Bindslev-
Jensen C, et al. EEACI food allergy and anaphylaxis guidelines: diagnosis and
management of food allergy. Allergy. 2014;69:1008-25
40. Muraro A, Roberts G, Worm M, Bilo MB, RivasM, Santos AF, et al.
Anaphylaxis: guidelines from the European Academy of Allergy and Clinical
Immunology. Allergy. 2014;69:1026-45
41. Brown SG. Cardiovascular aspects of anaphylaxis: implications for treatment and
diagnosis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2005;5:359-64.
42. Campbell RL, Bellolio MF, Knutson BD, et al. Epinephrine in anaphylaxis:
higher risk of cardiovascular complications and overdose after administration of
intravenous bolus epinephrine compared with intramuscular epinephrine. J
Allergy Clin Immunol Pract. 2015;3:76–80.
43.Moneret-Vautrin DA, Morisset M, Flabbee J, Beaudouin E, Kanny G.
Epidemiology of life-threatening and lethal anaphylaxis: a review. Allergy 2005;
60:443-51.
44. McLendon K, Sternard BT. Anaphylaxis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482124/
45. Waibel KH. Anaphylaxis. Pediatr Rev. 2008;29:255-63.
29
FQ:
1. sebagai dokter umum nantinya sampai mana kita dapat tatalaksana pasien dengan
anafilaksis, dan kapan harus merujuk
Karena ini keadaan gawat darurat, peran dokter umum nantinya harus dapat mengatasi sampai
serangan anafilaksis selesai dahulu. Lalu kemudian baru bisa dirujuk ke dokter spesialis anak,
atau lebih baik lagi dirujuk ke konsultan alergi imunologi anak supaya kalau allergen
pencetusnya belum diketahui nantinya bisa diperiksa lebih lanjut, atau jika allergen sudah
diketahui, bisa dikonsultasikan untuk tatalaksana lanjut seperti imunoterapi desensitisasi.
https://images.squarespace-cdn.com/content/v1/53c1a2cce4b0e88e61f99b70/1607870310157-
3ZCMG47HJSVQMEMJFVG8/
ke17ZwdGBToddI8pDm48kFt_laW7NyHeuCNwUgZXx9kUqsxRUqqbr1mOJYKfIPR7LoDQ9mX
POjoJoqy81S2I8N_N4V1vUb5AoIIIbLZhVYxCRW4BPu10St3TBAUQYVKca-3EvHe-
8cujIuMwJkxQd_GnMxrtlhD-q-ZCekenqXJNpxUHs-hNQ6SBKLeKfJlc/Screen+Shot+2020-12-
13+at+9.37.57+AM.png?format=1000w
31