Gangguan Imbangan Elektrolit Dan Asam-Basa
Gangguan Imbangan Elektrolit Dan Asam-Basa
Tubuh memiliki mekanisme untuk mengatur imbangan cairan, asam-basa, maupun kadar elektrolit yang
mendukung fungsi tubuh yang optimal. Mekanisme regulasi dilakukan terutama oleh ginjal yang mampu
mengonservasi ataupun meningkatkan pengeluaran cairan, kontributor asam-basa, maupun elektrolit apabila
terjadi keadaan ketidakimbangan.
Tubuh manusia terdiri atas zat padat dan zat cair. Pada manusia dewasa, zat cair menyusun sekitar 60%
dari berat badan, sementara sisanya merupakan zat padat. Dari 60% zat cair ini, 40% di antaranya merupakan
cairan intraseluler. Sekitar 20% merupakan cairan ekstraseluler yang terdiri atas 5% cairan intravaskular (plasma
darah) dan 15% cairan interstisial. Cairan transelular seperti LCS (liqour cerebrospinal), sinovial, dan intraorbital
kurang signifikan dan volumenya diperkirakan kurang dari 1% hingga 3% dari berat badan.
Mekanisme pengaturan imbangan asam basa di dalam tubuh diperankan terutama oleh tiga komponen,
yakni sistem buffer kimiawi, paru, dan ginjal. Gangguan imbangan asam-basa tubuh dapat terbagi menjadi 4
macam, yakni asidosis respiratorik, alkalosis respiratorik, asidosis metabolik, serta alkalosis metabolik. Kedua
tipe alkalosis memiliki karakteristik yang sama, yakni peningkatan rasio HCO 3- / H+ di dalam tubulus ginjal;
sementara kedua tipe asidosis menunjukkan penurunan rasio HCO 3- / H+ di dalam tubulus ginjal. Istilah
respiratorik merujuk kepada kelainan imbang asam-basa yang dicetuskan oleh kelainan pada sistem respirasi.
Sebagai perbandingan, istilah metabolik menyatakan kelainan yang disebabkan oleh etiologi selain kelainan
sistem pernapasan.
pH cairan tubuh bervariasi, mulai dari pH darah arteri sebesar 7,40; hingga pH darah vena maupun
interstisial yang sedikit lebih asam (pH = 7,35). Sementara itu pH cairan intraseluler lebih asam lagi, dengan pH
berkisar antara 6,0 – 7,5. pH urine bervariasi mulai dari 4,5 hingga 8,0.
Asidosis Respiratorik
Kondisi ini disebabkan oleh penurunan ventilasi paru yang meningkatkan PCO 2 dalam cairan ekstraseluler.
Seperti yang telah diketahui bahwa peningkatan PCO 2 akan menyebabkan reaksi kesetimbangan H2O + CO2
HCO3- + H+ bergeser ke kanan, meningkatkan produksi H +. Penyebab kondisi ini antara lain kerusakan pusat
pernafasan (misal: kerusakan medulla oblongata), maupun penurunan kapasitas paru untuk mengeliminasi CO 2,
gangguan saluran nafas (misal: pneumonia, emfisema). Mekanisme kompensasi tubuh adalah dengan
meningkatkan kadar HCO3- untuk mem-buffer kelebihan H+ di dalam cairan ekstraseluler.
Alkalosis Respiratorik
Sebaliknya dengan kondisi asidosis respiratorik, alkalosis respiratorik disebabkan oleh ventilasi paru yang
berlebihan sehingga menurunkan PCO2. Kondisi ini lebih jarang terjadi dibandingkan asidosis respiratorik.
Terdapat mekansime fisiologis yang mendasari terjadinya alkalosis respiratorik, misalnya pada orang-orang yang
berada pada ketinggian. Rendahnya kadar O2 menyebabkan stimulasi pernafasan sehingga terjadilah kondisi ini.
Mekanisme kompensasi tubuh adalah melalui peningkatan ekskresi HCO3- melalui ginjal.
Asidosis Metabolik
Kondisi asidosis metabolik dapat terjadi akibat gagal ginjal, pembentukan metabolik asam berlebihan,
konsumsi asam berlebihan, atau kehilangan basa dari dalam tubuh. Ketidakmampuan sekresi H + oleh sel-sel
Diare merupakan suatu kondisi yang sangat umum menyebabkan kehilangan elektrolit dan ion
bikarbonat. Kehilangan ion bikarbonat merupakan penyebab utama terjadinya asidosis metabolik. Muntah, di lain
pihak, juga dapat menyebabkan kehilangan ion bikarbonat. Namun demikian muntah lebih sering menyebabkan
kondisi alkalosis metabolik karena banyaknya ion H+ yang dikeluarkan setelah disekresi oleh lambung.
Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus dapat menyebabkan kondisi ini. Diketahui bahwa diabetes
tipe II merupakan kondisi di mana sensitivitas terhadap insulin menurun drastis. Oleh karena itu penggunaan
glukosa sebagai sumber bahan bakar sel tidak dapat dilakukan secara maksimal. Keadaan yang muncul adalah
lemak yang dipecah menjadi asam asetoasetat, sehingga dapat meningkatkan kadar asam. Yang terakhir, gagal
ginjal kronik menyebabkan kegagalan regulasi asam-basa tubuh oleh ginjal.
Alkalosis Metabolik
Kondisi ini terjadi akibat retensi HCO3- serta kehilangan H+ yang berlebihan. Kondisi hiperaldosteron
menyebabkan peningkatan reabsoprsi Na+ yang secara otomatis meningkatkan pengeluaran H + (pompa ion Na+-
H+). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, muntah dapat meningkatkan pengeluaran H+ yang memicu kondisi
alkalosis. Terakhir, konsumsi obat-obatan alkali (misal: Na-bikarboat untuk terapi gastritis dan ulkus peptik)
meningkatkan kecenderungan tubuh untuk terjadi alkalosis metabolik.
Tatalaksana Umum
Tatalaksana umum untuk seluruh kondisi asidosis adalah dengan pemberian natrium bikarbonat.
Senyawa ini dapat meningkatkan kadar bikarbonat yang nantinya dapat digunakan untuk mengatasi kelebihan ion
H+. Natrium laktat dan natrium glukonat dapat digunakan pula dengan dasar kerja laktat maupun glukonat
dimetabolisme dalam tubuh menyisakan natrium bikarbonat.
Kondisi alkalosis diterapi dengan pemberian amonium klorida. Metabolisme amonium klorida di hati
menyisakan asam klorida yang dapat meningkatakn konsentrasi H. Terapi lain adalah dengan pemberian lisin
monohidroklorida.
Kalium meruakan kation yang terpenting dalam lingkungan intraseluler. Diperkirakan sekitar 90% kalium
dalam tubuh terdapat di dalam cairan intraseluler. Kadar intraselulernya mencapai 140 mEq/L. Sementara itu,
kadar ekstraselulernya berkisar di angka 4 mEq/L 2, dengan nilai normal berkisar antar 3,5 – 5 mEq/L. Rendahnya
kadar ekstraseluler kalium diciptakan melalui peranan pompa aktif Na +-K+-ATP-ase yang senantiasa memompa
kalium ke dalam sel. Meskipun kadar ekstraselulernya rendah, kalium penting untuk menjaga konduksi potensial
aksi saraf. Selain itu, kalium juga berguna untuk sintesis protein, kontraksi otot, pengeluaran hormon, transpor
cairan, serta perkembangan janin. Kalium dieksreksikan melalui urin. Oleh karena itu kehilangan kalium harus
dikompensasi dengan asupan kalium yang setara dengan kehilangannya, yakni sekitar 40 mEq. Kalium banyak
ditemui di buah-buahan (seperti pisang), kentang, maupun sayur-sayuran.
Kelainan imbang kalium dapat berupa hipokalemia ([K+] < 3,5 mEq/L) atau hiperkalemia ([K+] > 5 mEq/L)3.
Hipokalemia
Kondisi lain adalah keluarnya kalium melalui saluran cerna bawah akibat diare. Pada kondisi ini kalium
banyak keluar bersamaan dengan bikarbonat yang banyak terkandung di saluran cerna bawah (pengeluaran
bikarbonat banyak dilakukan oleh sekret pankreas dan empedu).
Diuretik merupakan medikasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengeluaran urin. Beberapa golpongan diuretik
seperti loop diuretic (furosemid, bumetanid) menekan aktivitas pompa sekunder Na +-Cl--K+ (simporter) di
lengkung Henle sehingga menurunkan reabsorpsi K +. Namun demikian golongan diuretik seperti spironolakton,
eplerenon, amilorid, dan triamteren bekerja dengan menurunkan aktivitas pompa Na+-K+-ATP-ase sehingga
menurunkan masukan K+ ke dalam lingkunan intrasel. Dengan demikian konsentrasi K + intrasel tubular ginjal tidak
setinggi biasanya sehingga menurunkan proses bocornya K+ ke dalam lumen tubulus ginjal.
Penggunaan insulin, alkalosis ekstrasel, peningkatan aktivitas beta-adrenergik (seperti pada pengunaan
obat agonis beta-2) dapat mengakibatkan masuknya kalium ke lingkungan intraseluler mengakibatkan kondisi
hipokalemia pada plasma dsan cairan interstisial.
Penampilan klinik hipokalemia tampak pada rasa lelah, lemah otot, ileus paralitik, mual-muntah.
Penurunan yang lebih berat (<2 mEq/L) bahkan dapat mengakibatkan kelumpuhan. Efek hipokalemia yang fatal
terlihat pada munculnya aritmia fibrilasi atrium dan takikardia ventrikular. Penyebab keadaan ini adalah
perlambatan repolarisasi ventrikel yang menimbulkan arus re-entry.
Hiperkalemia
Kondisi ini lebih jarang terjadi dibandingkan dengan hipokalemia. Penyebab hiperkalemia adalah
keluarnya kalium ke lingkungan ekstrasel dari intrasel, menurunnya ekskresi kalium dari intrasel ke ekstrasel,
seperti pada gagal ginjal. Hipoaldosteronisme menyebabkan penurunan aktivitas pompa ion Na +K+ATP-ase yang
pada gilirannya menurunkan pengleuaran K+. Penggunaan obat-obatan ACE inhibitor akan bekerja dengan
menghambat sistem RAA yang juga memiliki efek yang mirip dengan hipoaldosteronisme.
Fosfor dalam tubuh manusia terbagi menjadi fosfor organik (terdapat dalam fosfolipid, terikat dengan
protien) serta fosfor inorganik. Fosfor inorganiklah yang hampir seluruhnya dapat difiltrasi oleh glomerulus. Kadar
fosfor dalam darah berkisar antara 2,5 – 4 mg/dl. Fosfor penting berperan dalam metabolisme energi sel.
Sebagian besar fosfor terdepotisasi di dalam tulang. Darah hanya mengandung kurang lebih 1% dari seluruh
senyawa fosfor di dalam tubuh.
Hormon paratiroid adalah hormon yang menghambat reabsoprsi fosfor di tubulus proksimal ginjal
sehingga meningkatkan ekskresinya. Sementara itu vitamin D3 merangsang reabsoprsi fosfor juga di tubulus ginjal.
Obat-obatan diuretik menghambat reabsoprsi Na+, Cl-, dan HCO3- juga meningkatkan ekskresi fosfor ke urin.
Hiperfosfatemia adalah kondisi yang disebabkan oleh peningkatan fosfor dalam darah akibat asidosis
laktat, ketoasidosis, intake fosfor berlebihan, gangguan fungsi ginjal, serta peningkatan reabsoprsi fosfor di
tubulus ginjal akibat hipoparatiroid. Pemberian bisfosfonat dapat pula meningkatkan penyerapan fosfor.
Di dalam serum, magnesium memiliki kadar yang berkisar antara 1,4 hingga 1,75 mEq/l. Kadar ini
hanyalah sebagian kecil dari tempat pneyimpanan mangesium yang berada di tulang dan otot (keduanya
mengandung lebih dari 80% magnesium tubuh).
Dari keadaan gangguan imbang magnesium, hipomagnesemia merupakan kondisi yang lebih sering
terjadi. Hipermagnesemia relatif lebih jarang terjadi mengingat kemampuan ginjal dalam mengeluarkan
magnesium dari tubuh yang sangat efektif. Magnesium dalam cairan tubuh berperan dalam transfer energi dan
stabilitas elektrisitas tubuh. Kondisi hipomagnesemia bergejala seperti gangguan neuromuskular (lemah otot,
tremor), hipokalemia, hipokalsemia, defisiensi vitamin D, serta yang paling penting adalah gangguan aktivitas
listrik jantung yang menyebabkan aritmia ventrikel. Penyebab tersering hipomagnesemia adalah gangguan
absoprsi dalam usus (misal: diare kronik), maupun magnesium yang terbuang akibat penggunaan diuretik loop.
Sementara itu, kondisi hipermagnesemia sering ditemukan pada kondisi gangguan ginjal (gagal ginjal.
Pada pasien gagal ginjal terminal, misalnya, kadar magnesiumnya meningkat pesat. Selain itu, perlu diingat bahwa
beberapa antasida mengandung magnesium yang jika terserap ke dalam tubuh secar berlebihan dapat
menyebabkan hipermagnesemia. Kondisi hipermagnesemia sering digolongkan menjadi beberapa golongan,
tergantung seberapa besar peningkatan kadar plasma. Sebagai contoh, kadar magnesium yang meningkat pesat
melampaui 12 mg/dl dapat sangat fatal karena dapat menyebabkan henti jantung, blok jantung komplit, serta
kehilangan refleks nafas. Seluruh gejala ini ditemui akibat efek magnesium yang juga menghambat kanal kalsium
dan menurunkan kadar paratiroid yang dapat berakibat pada hipokalsemia.
Kepustakaan
1. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Semarang: SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang; 2004
2. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11 th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2006
3. Siregar P. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009