Anda di halaman 1dari 28

Makalah Ekonomi Kemiskinan

“DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN UKURANNYA”

Dosen Pengampu: Dr. Faisal R. Dongoran SE., M. Si

Disusun Oleh:
KELOMPOK 3

1. Dinah Hulwah (7191141020)


2. Farida (7192441010)
3. Lia Sakina Zahra (7191141012)
4. Linda Teresia Sinaga (7192441002)
5. Rohot Jeki Manurung (7192441014)
6. Sri Devi Br. Sembiring (7192441005)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ekonomi Kemiskinan ini yang
berjudul “Distribusi Pendapatan dan Ukurannya”.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah kami ini.Akhir kata
kami mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen Dr. Faisal R. Dongoran SE., M. Si
selaku Dosen Pengampu mata kuliah ini yang telah memberikan kesempatan kepada kami
sekaligus memberikan materi presentasi kepada kelompok 3. Kiranya makalah ini dapat
bermannfaat bagi pembaca dan juga penulis.

Medan, 05 Maret 2022

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pertumbuhan dan Pemerataan Distribusi.....................................................................3
2.2 Berbagai Ukuran Ketimpangan Distribusi..................................................................6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................................11
3.2 Saran..........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Distribusi pendapatan merupakan unsur penting untuk mengetahui tinggi atau
rendahnya kesejahteraan maupun kemakmuran suatu negara. Distribusi pendapatan yang
merata kepada masyarakat akan menciptakan perubahan dan perbaikan suatu negara
seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, mengurangi
pengangguran, dan sebagainya. Sebaliknya, jika distribusi pendapatan tidak merata maka
perubahan suatu negara akan menunjukan adanya ketimpangan distribusi pendapatan.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara memang sangat penting
khususnya di Negara- negara berkembang salah satunya adalah Indonesia.
Tujuan awal pembangunan pada dasarnya lebih berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, maka aspek prioritas dengan kriteria efisiensi yang tinggi
menyebabkan sektor - sektor ekonomi tumbuh tidak merata. Dengan mengutamakan
tujuan pembangunan yaitu meningkatkan pertumbuhan yang tinggi maka aspek tujuan
pemerataan akan tersingkir. Sebaliknya jika tujuan pembangunan yang adalah pemerataan
seperti dalam hal pemerataan pendapatan, maka tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi tidak dapat tercapai (Hasibuan, 1993).
Ketimpangan merupakan masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang
khususnya Indonesia. Ketimpangan dapat berupa ketimpangan pendidikan, ketimpangan
ekonomi, ketimpagan pendapatan, ketimpangan kesehatan dan ketimpangan industri
(Agusta, 2014). Pada negara berkembang ketimpangan pendapatan menjadi fokus
penting, Professor Kuznet mengemukakan bahwa tahap awal pertumbuhan ekonomi yaitu
kondisi distribusi pendapatan cenderung memburuk atau mengalami kondisi dimana
ketimpangan pendapatan sangat tinggi. Ketimpangan yang semakin besar menyebabkan
berbagai masalah diantaranya adalah meningkatnya angka kriminalitas, meningkatnya
imigrasi yang nantinya akan berpengaruh pada ketidakstabilan dalam perekonomian.
Akan tetapi pada tahap berikutnya akan semakin membaik.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan dan pemerataan distribusi?
2. Apakah saja ukuran ketimpangan distribusi?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Mengetahui apa itu pertumbuhan dan pemerataan distribusi
2. Mengetahui berbagai ukuran ketimpangan distribusi

2
BAB II
PEMBAHASAN
Bab 6

Kemiskinan di indorneia dan belahan dunia

KEMISKINAN DI INDONESIA DAN BERBAGAI BELAHAN DUNIA

Kemiskinan di Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dihadapkan pada masalah kemiskinan
yang tidak bisa diabaikan. Penyebab kemiskinan di Indonesia harus menjadi salah satu
perhatian utama bagi pemerintah. Pasalnya, kemiskinan adalah masalah paling mendasar
dan pelik yang masih dialami negeri ini. Masalah ini tentunya tidak hanya terjadi di
Indonesia, banyak negara yang juga berkutat dengan kemiskinan.

Menurut data laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin Indonesia paling
banyak ditemukan di Jawa Timur hingga Maret 2021. Setidaknya ada 4,6 juta orang
tergolong miskin di Jawa Timur dengan proporsi mencapai 16,6% dari total penduduk
miskin nasional. Penduduk miskin juga banyak ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Penduduk miskin yang hidup di Jawa Barat sebesar 4,2 juta orang dan di Jawa Tengah
sebanyak 4,1 juta orang.

Jumlah penduduk miskin secara nasional sebanyak 27,54 juta jiwa pada Maret 2021.
Jumlah itu turun 0,01 juta orang dibandingkan pada September 2020. Kendati demikian,
angkanya meningkat 1,12 juta orang dari Maret 2020.

Berbagai program untuk menanggulagi kemiskinan telah diadakan oleh pemerintah,


namun belum dapat membuahkan hasil. Menurut Alif Basuki (2007) Ada dua faktor
penting yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Pertama program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung fokus pada
upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin, kedua adanya latar belakang
paradigma dan pemahaman yang kurang tepat tentang kemiskinan itu sendiri sehingga
program penanggulangan kemiskinan ini tidak tepat sasaran. Penaggulangan kemiskinan
haruslah berperspektif kepada hak. Artinya Negara harus berusaha semaksimal mungkin

3
memenuhi hak-hak dasar rakyatnya. Meliputi hak atas pendidikan, kesehatan,
perumahan, pekerjaan layak dll.

Menurut Ritonga (2003) bahwa, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini


belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa kelemahan mendasar, antara lain: (1) pembangunan terlalu berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek pemerataan, (2) cenderung
lebih menekankan pendekatan sektoral yang kurang terintegrasi, dan (3) kurang
mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi (Mega, 2003).
Suharto (2003) menambahkan bahwa, hampir semua pendekatan dalam mengkaji
kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi dan paradigma yang bersandar
pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang berpusat pada produksi. Metode
yang digunakan masih belum mencerminkan dinamika kemiskinan karena belum mampu
menggali akar penyebab kemiskinan menurut konsep masyarakat miskin itu sendiri,
bukan menurut orang luar.

Sebagaimana dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia dengan mudah


ambruk karena berat di atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya
perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada
pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah
dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha besar
ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling memperkuat
dengan kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam


upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-
informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah
karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi
di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro
yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan
(mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal
tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan
antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap
terjaga.

4
Kemiskinan di Berbagai Belahan Dunia

Masalah kemiskinan telah menjadi problema sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk
minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini
mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan‐
kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. Kemiskinan sebagai suatu
penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara‐negara yang sedang
berkembang, tetapi juga negara‐negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara
Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700‐an pada era kebangkitan
revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari
tenaga‐tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah
rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di
permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi,
kriminalitas, pengangguran. Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah
kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930‐an. Pada tahun
1960‐an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian
besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak
memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, dibalik keadaan itu tercatat
sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.

Masalah kemiskinan bukan hanya melibatkan negara dunia ketiga melainkan juga

negara yang sedang berkembang. Hal ini karena disamping kemiskinan berkaitan dengan
orang yang tidak mampu membiayai hidupnya secara layak (kemiskinan absolut) namun
juga berkaitan dengan perbandingan yang timpang antara penduduk berpenghasilan
tinggi dengan penduduk berpenghasilan yang paling rendah. Data yang sudah cukup lama
pada tahun 1993 total penduduk miskin dunia sekita 1,2 milyar. Dari jumlah itu sebagaian
besar berada di kawasan Asia Selatan sebesar 520 juta. Di bagian belahan dunia lainnya,
di Asia Timur penduduk miskin sebesar 220 juta, sub Sahara Afrika sebesar 160 juta, di
timur tengah/Afrika utara sebesar 60 juta dan kawasan Amerika latin sebesar 70 juta
(Word Bank report).

5
Angka estimasi relatif baru 19951999 dari UNCTAD, United Nations Report 2002 jumlah
penduduk 49 negara terbelakang (LDC) sebesar 613 juta yang hidup dengan

biaya di bawah $1 per hari sebesar 307 juta orang. Sedang penduduk yang hidup dengan
biaya per hari di bawah $2 sebesar 495 juta orang. Di negara terbelakang Afrika pada

pertengahan tahun 1990an, terdapat 87 persen penduduknya hidup dengan kon sumsi di
bawah $2 per hari dengan rata‐rata konsumsi per hari hanya 85 sen Dollar. 65 persen
hidup dengan konsumsi di bawah $1 per hari dan dengan rata‐rata konsumsi per hari
hanya 59 sen Dollar. Data lain di negara terbelakang di Asia menunjukkan pada per‐
tengahan tahun 1990an, terdapat 65 persen penduduk yang hidup dengan konsumsi di
bawah $2 dan dengan rata‐rata konsumsi per hari hanya $1,42. Sedangakan terdapat 23%
penduduk yang hidup dengan konsumsi di bawah $1 dengan rata‐rata konsumsi hanya
sebesar 90 sen Dollar.

Kemiskinan Penduduk Dunia Akibat Pandemi Covid 19

Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan terdapat kesenjangan ekonomi di negara
berkembang dengan negara berpendapatan rendah dan jumlah orang miskin ekstrem
telah meningkat akibat pandemi Covid-19. Pendapatan per kapita pada negara
berkembang diperkirakan 5 persen pada 2021, tetapi negara miskin hanya mencatatkan
0,5 persen. Hal ini juga diperparah dengan kondisi inflasi tinggi, minimnya lapangan kerja,
dan krisis listrik di beberapa negara. Selain itu, pabrik dan pelabuhan banyak yang tutup,
menyebabkan logistik dan rantai pasok semakin memburuk.

Pandemi mendorong kemiskinan di seluruh dunia yang sudah mencapai 100 juta orang
menjadi miskin ekstrem. Konsisi tersebut didukung dengan adanya kenaikan 12 persen
terhadap utang pada negara berpendapatan rendah mencapai US$860 miliar. Bank Dunia
memperkirakan sebagian besar orang miskin ekstrem baru yang jumlahnya lebih dari 110
juta agt5kan berada di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara. Di masa pandemi,
pertumbuhan ekonomi global diperkirakan turun 5,2 persen, lebih rendah dari delapan
dekade terakhir.

6
Negara termiskin di Dunia

Sudan Selatan menjadi negara dengan tingkat kemiskinan tertinggi di dunia pada
2021. Bank Dunia mencatat rasio penduduk miskin dibanding populasi di Sudan Selatan
mencapai 82,3%.

Negara termiskin selanjutnya adalah Guinea Khatulistiwa (76,8%) dan Madagaskar


(70,7%). Sudan Selatan merupakan negara kaya minyak yang baru mendapatkan
kemerdekannnya pada 9 Juli 2011 setelah berkonflik selama enam tahun dengan Sudan.
Konflik politik, jatuhnya harga minyak, dan tingginya biaya keamanan masih menjadi isu
utama negara tersebut pasca-kemerdekaaan.

Konflik serta kekerasan yang sering terjadi di Sudan Selatan membuat penduduknya sulit
untuk bercocok tanam dan memanen hasil pertanian. Adapun pendapatan per kapita
penduduk Sudan Selatan US$791 per tahun (Rp11,45 juta).

Negara-negara di Benua Afrika mendominasi daftar negara termiskin di dunia. Beberapa


faktor yang menyebabkan kemiskinan lekat dengan Benua Hitam yaitu perang yang
berkepanjangan ditambah dengan ketidakstabilan politik dan pemimpin yang otoriter.

Perang yang berkepanjangan serta ketidakstabilan politik membuat investor juga enggan
melakukan investasi ke negara-negara Afrika, sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan
sangat lambat. Lambatnya pertumbuhan ekonomi juga berdampak pada rendahnya
kualitas pendidikan dan kesehatan.

Bab 7
*#5. Resume Materi "Mengukur Kemiskinan"* (Not to Replay)

Mengapa harus mengukur kemiskinan? Merupakan suatu pertanyaan yang sulit untuk
dijawab. Namun pertanyaan dan jawabannya sangat terkait erat dengan penjelasan yang
diberikan pada bab-bab sebelumnya. Berkaitan dengan pengertian kemiskinan, dampak
dan akibat yang ditimbulkan dari kemiskinan itu sendiri serta tujuan dari pembangunan
ekonomi. Oleh karena itu, ukuran kemiskinan bermanfaat untuk memantau kondisi sosial
dan ekonomi suatu individu, keluarga, masyarakat dan negara sekaligus memberikan
tolok ukur keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan.

7
Apakah suatu kebijakan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh, atau hanya sebahagian atau bahkan menambah angka kemiskinan? Dengan
demikian, ukuran kemiskinan merupakan indikator keberhasilan dari program dan
kebijakan pemerintah.

Mengingat bahwa tujuan akhir dari pembangunan ekonomi adalah meningkatkan


kesejahteraan rakyat, yang juga berarti mengurangi dan mengentaskan kemiskinan. Maka
dalam hal ini, ukuran kemiskinan berfungsi sebagai indikator keberhasilan pembangunan
ekonomi. Karena ia sebagai indikator, maka secara berkala ia perlu diukur.

Pertanyaan berikutnya adalah, apa ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan?
Dapatkah ukuran itu menggambarkan situasi yang sesungguhnya? Mungkinkah ukuran itu
mampu menjadi indikator dari keberhasilan pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat? Tentu sangat tergantung pada sisi mana yang diukur dari
kemiskinan tersebut, serta ukuran apa yang digunakan. Berbagai ukuran yang sering
digunakan untuk mengukur kemiskinan:

1. Poverty Headcount atau Headcount Index

Poverty headcount dihitung dengan cara membandingkan tingkat pendapatan setiap


rumah tangga dalam suatu populasi terhadap garis kemiskinan. Misalnya, rumahtangga
dengan tingkat pendapatan kurang dari garis kemiskinan, diberi nilai 1 (berarti miskin),
sedangkan rumahtangga dengan tingkat pendapatan di atas garis kemiskinan di beri nilai
0.

Headcount index merupakan rata-rata sampel dari variabel I(y,z), yang ditimbang dengan
jumlah individu dalam setiap rumahtangga (m). Untuk mengukur ini, terlebih dahulu
dihitung jumlah individu miskin q. Headcount index dihitung dengan cara membagi jumlah
individu miskin dengan total penduduk. Dengan demikian, headcount index merupakan
rasio jumlah orang miskin terhadap total penduduk.

Ukuran ini efektif digunakan bila kita hanya mengukur persentase penduduk yang berada
di bawah garis kemiskinan. Jika persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan berkurang atau bertambah, maka kita dapat mengatakan bahwa tingkat
kemiskinan berkurang atau bertambah.

8
Poverty headcount (sering juga disebut dengan headcount index) merupakan ukuran
kemiskinan yang sangat sederhana, namun sangat sering digunakan (Morduch, 2005).
Poverty headcount menganggap bahwa distribusi pendapatan di antara penduduk miskin
bersifat homogen sehingga ukuran ini tidak dapat menujukkan tingkat keparahan, serta
tingkat pemerataan dari penduduk miskin itu sendiri dan hanya dapat menunjukkan
miskin-tidak miskin. Inilah kelemahan dari poverty headcount yang paling banyak disoroti
dan dikritik oleh para ahli dan pengamat sosial.

Alasan lain mengapa banyak diperdebatkan dapat dijelaskan sebagai berikut. Poverty
headcount hanya mampu menggambarkan jumlah kemiskinan, dan dapat
membandingkan rasio jumlah orang miskin antar waktu guna menilai keberhasilan
program pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Misalnya, bila tahun yang
lalu poverty headcount sebesar 20 persen (artinya jumlah penduduk miskin sebesar 20
persen dari total penduduk), dan tahun ini menjadi sebesar 15 persen, tentu dapat
dikatakan bahwa pemerintah telah berhasil mengurangi angka kemiskinan sebanyak 5
persen (dari 20 menjadi 15) dalam kurun waktu satu tahun belakangan, dan ini
merupakan suatu prestasi.

2. Poverty Gap atau Income Shortfall

Poverty gap mengukur jumlah uang atau pendapatan yang diperlukan untuk mengangkat
penduduk miskin (yang berada di bawah garis kemiskinan) keluar dari kemiskinan (ke atas
garis kemiskinan). Dengan kata lain, poverty gap mengukur jumlah kekurangan
pendapatan (income shortfall) individu dari garis kemiskinan.

Perhitungan poverty gap (income shortfall) berarti menghitung kekurangan pendapatan


dari masyarakat miskin yang ada dalam suatu populasi.

3. Watts Index

Watts (1968), merumuskan suatu ukuran kemiskinan yang sederhana namun relatif lebih
bersifat adil. Ia berpendapat bahwa memberikan sejumlah uang kepada orang yang jauh
di bawah garis kemiskinan (lebih miskin) akan lebih berarti daripada memberikan uang
tersebut kepada orang yang sedikit di bawah garis kemiskinan.

9
indeks Watts dihitung menggunakan logaritma, sehingga lebih sensitif terhadap
perubahan pendapatan, utamanya perubahan pendapatan pada kelompok terendah atau
yang sangat miskin (Morduch, 2005).

4. Sen Index

Ukuran ini dikemukakan oleh Sen tahun 1976. selain menggambarkan persentase
penduduk miskin, indeks Sen juga menggambarkan luasnya kemiskinan (the extent of
immiseration) serta distribusi pendapatan di antara penduduk miskin.

Misalkan, yP adalah kesamaan distribusi setara pendapatan di antara orang miskin


(equally distributed equivalent), yang menggambarkan bahwa bila suatu pendapatan
didistribusikan kepada masyarakat miskin, akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang
sama di antara mereka.

5. Foster-Greer-Thorbecke (FGT)

Foster, Greer dan Thorbecke mencoba memasukkan unsur derajat kemiskinan dari orang
yang termiskin melalui parameter α. Bila nilai α=0, maka sama dengan headcount ratio .
Indeks ini banyak digunakan dalam berbagai penelitian empiris tentang kemiskinan
karena sensitivitasnya terhadap kedalaman kemiskinan (depth of poverty) dan keparahan
kemiskinan (severity of poverty).

Kelemahan dari indeks ini adalah ketidakmapuannya menggambarkan kedalaman (depth


of poverty) dan keparahan (severity of poverty) dari kemiskinan yang dibahas pada
“Poverty headcount atau headcount index. Dan untuk mengatasi kelemahan ini,
digunakan indikator rasio kesenjangan pendapatan (income gap ratio) atau lebih dikenal
dengan poverty gap index atau poverty gap ratio yang mengukur perbedaan rata-rata
pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan.

Indeks ini disebut juga dengan poverty gap index, merupakan ukuran rata-rata
ketimpangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Oleh karena itu, indeks ini juga sering digunakan untuk mengukur kedalaman kemiskinan
(depth of poverty).

6. Ukuran dari UNDP

10
United Nation Development Programme (UNDP), sejak tahun 1997 hingga tahun 2009
meluncurkan beberapa indeks yang semuanya berhubungan dengan kemiskinan. Indeks-
indeks tersebut antara lain: The Human Development Index (HDI) atau indeks
pembangunan manusia, The human Poverty Index (HPI) atau indeks kemiskinan manusia.
Indeks ini terbagi dua, yaitu human poverty index for developing countries (HPI-1), dan
human poverty index for selected OECD countries (HPI-2), The Gender related
Development Index (GDI) atau indeks pembangunan gender, The Gender Empowerment
Measure (GEM) atau tingkat upaya pemberdayaan gender.

7. Ukuran lain dari UNDP (yang diperbaharui)

Sejak tahun 2010, UNDP mengeluarkan ukuran baru dan tidak menggunakan lagi ukuran
yang sebelumnya (seperti di atas). Ukuran tersebut adalah: (1) Human Poverty Index
(HDI), meski namanya sama dengan yang sebelumnya (yang digunakan sebelum tahun
2010), namun sejak tahun 2010, HDI dihitung dengan metode yang berbeda dari
sebelumnya, (2) Inequality-ajusted Human Development Index (IHDI), Gender Inequality
Index (GII) dan Multidimensional Poverty Index (MPI).

BAB 8
Pertumbuhan dan Pemerataan Distribusi
a. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi
yang berlangsung dari tahun ke tahun (Sadono,1985:19), sehingga untuk mengetahui
tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan pendapatan nasional dari berbagai
tahun yang dihitung berdasarkan harga konstan dan harga berlaku. Perubahan dalam
nilai pendapatan nasional hanya disebabkan oleh suatu perubahan dalam suatu tingkat
kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita
dalam jangka panjang (Boediono,1999:1). Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan
kenaikan output per kapita. Di sini ada dua sisi penting yaitu output total dan jumlah
penduduk. Output per kapita adalah output total dibagi jumlah penduduk. Aspek
ketiga dari definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka panjang.
Kenaikan output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan
penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian
dikatakan tumbuh apabila dalam jangka waktu 5 tahun mengalami kenaikan output

11
per kapita. Menurut Kuznets dalam (Todaro,2000:144) pertumbuhan ekonomi adalah
kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari suatu negara yang bersangkutan untuk
menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu
sendiri ditentukan atau di mungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-
penyesuaian teknologi, institusional dan ideologis terhadap berbagai keadaan yang
ada
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
proses perekonomian dikatakan mengalami suatu perubahan atau pertumbuhan
apabila tingkat kegiatan ekonomi adalah lebih tinggi daripada yang dicapai pada
waktu sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangan baru tercipta apabila jumlah fisik
barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan bertambah besar pada tahun berikutnya.
Sedangkan, untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami pertumbuhan
perlu ditentukan perubahan yang sebenarnya terjadi dalam kegiatan-kegiatan ekonomi
dari tahun ke tahun tersebut.

b. Laju Pertumbuhan Ekonomi


Laju pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output per kapita
dalam jangka panjang (Suseno,1990:35). Laju pertumbuhan ekonomi menunjukan
tingkat pertumbuhan agregat pendapatan untuk masing-masing tahun dibandingkan
tahun sebelumnya (BPS,1999:9). Dari berbagai definisi di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa laju pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan pendapatan
secara agregat masing-masing tahun dibandingkan tahun sebelumnya.

c. Definisi Distribusi Pendapatan


Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya
pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya
(Dumairy,1997:54). Distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua ukuran pokok
yaitu; distribusi ukuran, adalah besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima
masing-masing orang dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-
faktor produksi (Todaro,2000:180). Dari dua definisi diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya
hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang
ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi di kalangan penduduknya.

12
d. Pembangunan dengan Pemerataan
Perubahan ekonomi di samping mengejar laju pertumbuhan ekonomi juga
harus memperhatikan aspek pemerataan. Ada dua argumen yang berhubungan dengan
masalah pembangunan ekonomi dengan pemerataan (Todaro, 2000:212).
1. Argumen tradisional
Argumen tradisional memfokuskan lebih di dalam pengelolaan faktor-faktor
produksi, tabungan dan pertumbuhan ekonomi. Distribusi pendapatan yang sangat
tidak merata merupakan sesuatu yang terpaksa dikorbankan demi memacu laju
pertumbuhan ekonomi secara cepat Akibat dari pengaruh teori dan kebijakan
perekonomian pasar bebas, penerimaan pemikiran seperti itu oleh kalangan
ekonom pada umumnya dari negara-negara maju maupun negara-negara
berkembang, baik secara implisit maupun eksplisit menunjukan bahwa mereka
tidak begitu memperhatikan pentingnya masalah kemiskinan dan ketimpangan
distribusi pendapatan. Mereka tidak saja menganggap ketidakadilan pendapatan
sebagai syarat yang pantas dikorbankan dalam menggapai proses pertumbuhan
ekonomi secara maksimum dan bila dalam jangka panjang hal itu dianggap syarat
yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk melalui mekanisme
persaingan penetesan kebawah (trickle down effect) secara alamiah.
2. Argumen tandingan
Karena terdapat banyak ekonom pembangunan yang merasa bahwa
pemerataan pendapatan yang lebih adil di negara-negara berkembang tidak bisa di
nomor duakan, karena hal itu merupakan suatu kondisi penting atau syarat yang
harus diadakan guna menunjang pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000:213).
Dalam argumen tandingan tersebut terdapat lima alasan yaitu;
Pertama, ketimpangan yang begitu besar dan kemiskinan yang begitu luas
telah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga masyarakat miskin tidak
memiliki akses terhadap perolehan kredit. Berbagai faktor ini secara bersama-
sama menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan GNP per kapita dibandingkan
jika terdapat pemerataan pendapatan yang lebih besar.
Kedua, berdasarkan observasi sekilas yang ditunjang oleh data-data empiris
yang ada kita mengetahui bahwa tidak seperti yang terjadi dalam sejarah
pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, orang-orang kaya di negara-negara
dunia ketiga tidak dapat diharapkan kemampuan atau kesediaannya untuk
menabung dan menanamkan modalnya dalam perekonomian domestic

13
Ketiga, rendahnya pendapatan dan taraf hidup kaum miskin yang berwujud
berupa kondisi kesehatannya yang buruk, kurang makan dan gizi dan
pendidikannya yang rendah justru akan menurunkan produktivitas ekonomi
mereka dan pada akhirnya mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi
nasional secara keseluruhan.
Keempat, upaya-upaya untuk menaikkan tingkat pendapatan penduduk miskin
akan merangsang meningkatnya permintaan terhadap barang-barang produksi
dalam negeri seperti bahan makanan dan pakaian.
Kelima, dengan tercapainya distribusi pendapatan yang lebih adil melalui
upaya-upaya pengurangan kemiskinan masyarakat, maka akan segera tercipta
banyak insentif atau rangsangan-rangsangan materiil dan psikologis yang pada
gilirannya akan menjadi penghambat kemajuan ekonomi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa promosi pertumbuhan ekonomi
secara cepat dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan serta penanggulangan
ketimpangan pendapatan bukanlah tujuan-tujuan yang saling bertentangan
sehingga yang satu tidak perlu diutamakan dengan mengorbankan yang lain.

2.1 Berbagai Ukuran Ketimpangan Distribusi


a. Ukuran Distribusi Pendapatan
Para ekonom membedakan antara dua ukuran pokok distribusi pendapatan,
baik untuk tujuan analitis maupun pengumpulan data kuantitatif, yaitu :
1. Distribusi Ukuran
Distribusi pendapatan pribadi (personal) atau distribusi ukuran pendapatan
adalah yang paling banyak digunakan oleh para ahli ekonomi. Distribusi ini hanya
menyangkut orang per orang atau rumah tangga dan total pendapatan yang mereka
terima. Cara pendapatan itu diperoleh tidak dipermasalahkan. Demikian pula tidak
dipermasalahkan banyaknya yang diperoleh oleh masing-masing individu,
merupakan hasil dari pekerjaan mereka atau dari sumbersumber lain seperti
misalnya penarikan bunga, laba usaha, sewa, hadiah, warisan dan sebagainya.
Selain itu juga diabaikan sumbersumber pendapatan yang menyangkut lokasi dan
jenis pekerjaan.
Oleh karena itu, para ahli ekonomi dan statistik lebih suka menggabungkan
semua individu dengan mengambil skala pendapatan per orang dan kemudian
membagi total penduduk ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan

14
“ukuran” atau besarnya pendapatan yang mereka terima. Suatu metode yang lazim
digunakan membagi keseluruhan penduduk ke dalam lima kelompok (quintile)
atau sepuluh kelompok (decile) menurut skala tingkat pendapatan mereka dan
kemudian menentukan berapa proporsi yang diterima oleh masing-masing
kelompok pendapatan itu dari total pendapatan nasionalnya.
2. Distribusi fungsional
Ukuran distribusi pendapatan kedua adalah distribusi pendapatan fungsional
atau distribusi pendapatan per faktor produksi. berbeda dengan distribusi ukuran
yang membahas dalam lingkup individual, distribusi fungsional mempersoalkan
persentase penghasilan keseluruhan dari tenaga kerja, dan membandingkannya
dengan persentase total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba
(masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ukuran distribusi pendapatan ini
berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-
masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal).

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan


Ketimpangan dalam kamus bahasa Indonesia berarti hal yang tidak
sebagaimana semestinya, dapat pula berarti ketidakadilan. Ketimpangan atau
kesenjangan merupakan salah satu persoalan dalam paradigma pembangunan
ekonomi negara khususnya Indonesia sebagai negara berkembang. Munculnya
kesenjangan ekonomi menimbulkan banyak masalah lain yang bermunculan, seperti
penduduk miskin bertambah, pengangguran meningkat, tingkat kejahatan meningkat,
kualitas penduduk (SDM) menurun, kemampuan daya beli masyarakat menurun.
Adelman dan Morris sebagaimana dikutip oleh Nurul Huda, mengemukakan
delapan faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara
sedang berkembang, yaitu:
1) Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan
per kapita.
2) Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional
dengan pertambahan produksi barang-barang.
3) Ketidakmerataan atau ketimpangan pembangunan antar daerah.
4) Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital
intensive), sehingga persemtase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar

15
dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga
pengangguran bertambah.
5) Rendahnya mobilitas sosial.
6) Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan
kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha
golongan kapitalis.
7) Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang
dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan
permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara sedang berkembang.
8) Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat, seperti pertukangan dan industri
rumah tangga.
Sejumlah studi empirik berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab
ketidakmerataan distribusi pendapatan dari berbagai tinjauan. Beberapa studi
menyampaikan variabel makroekonomi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan
seperti inflasi dan pengangguran menurut studi Mocan (1999), Blejer dan Guererro
(1990).
Sementara itu, studi lain menunjukkan kebijakan fiskal terutama tingkat pajak
berpengaruh terhadap ketidakmerataan distribusi pendapatan menurut Auten dan
Carroll (1999) serta Feenberg dan Poterba (1993). Beberapa studi empirik berfokus
pada hipotesis kurva U terbalik Kuznets, antara lain Mushinki (2001) dan Thornton
(2001) yang menguji hubungan antara ketidakmerataan distribusi pendapatan dan
tingkat pembangunan yang didukung oleh hasil penelitian.

c. Teknik Perhitungan Ketimpangan Distribusi Pendapatan


Ada beberapa cara perhitungan yang dijadikan sebagai indikator ketimpangan
distribusi pendapatan di suatu wilayah, diantaranya:
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual
antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan
total yang benar-benar diterima selama, misalnya satu tahun. Jumlah
penerima pendapatan (populasi) dinyatakan pada sumbu horizontal,
sedangkan pendapatan total yang diterima dinyatakan oleh sumbu
vertikal. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang

16
merupakan garis pemerataan sempurna), maka semakin timpang atau
tidak merata distribusi pendapatannya.
2. Gini Rasio
Gini rasio atau juga disebut koefisien gini diambil dari nama
dari ahli statistik Italia yang merumuskannya pertama kali pada tahun
1992. Rasio ini merupakan salah satu alat ukur yang sering digunakan
dalam setiap studi-studi empiris sebagai indikator ketimpangan
distribusi pendapatan. Menurut Bappenas sebagaimana dikutip oleh Nurul Huda,
gini rasio merupakan alat ukur atau indikator yang menerangkan distribusi
pendapatan aktual, pengeluaran konsumsi atau variabel lain yang
terkait dengan distribusi dimana setiap orang menerima bagian secara
sama atau identik. Nilai gini rasio berada pada selang 0 sampai
dengan 1. Bila 0: kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi
yang sama dari pendapatan) dan bila 1: ketidakmerataan sempurna
dalam pembagian/distribusi pendapatan, artinya satu orang (atau satu
kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan
negara tersebut.
a. G < 0,3 → ketimpangan rendah
b. 0,3 ≤ G ≤ 0,5 → ketimpangan sedang
c. G > 0,5 → ketimpangan tinggi
3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Bruto adalah nilai dari akhir keseluruhan
barang dan jasa yang dihasilkan oleh semua unit ekonomi dalam suatu
negara, termasuk barang dan jasa yang dihasilkan warga negara lain
yang tinggal di negara tersebut. Pada perhitungan PDRB dapat
menggunakan dua harga yaitu PDRB harga berlaku dan PDRB harga
konstan, yang dimana PDRB harga berlaku merupakan nilai suatu
barang dan jasa yang dihitung atas dasar harga yang berlaku pada
tahun tersebut, dan PDRB harga konstan adalah nilai suatu barang dan
jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada tahun tertentu
yang dijadikan sebagai tahun acuan atau tahun dasar.
Dalam menghitung PDRB dapat dilakukan dengan empat pendekatan antara
lain:
a. Pendekatan Produksi

17
Dengan metode ini, produk domestik bruto adalah nilai
barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan oleh
faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan asing.
Pendekatan ini disebut juga pendekatan nilai tambah. Berikut
adalah komponen pendapatan nasional yang termasuk pada metode
produksi yaitu, 1) pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan;
2) pertambangan dan penggalian; 3) industri pengolahan; 4) Listrik, gas, dan
air minum; 5) bangunan; 6) perdagangan, hotel dan restoran; 7) pengangkutan
dan komunikasi; 8) bank dan lembaga keuangan lainnya; 9) sewa rumah; 10)
pemerintahan dan pertahanan; 11) jasa-jasa. Hasil produksi dari setiap
lapangan usaha tersebut dijumlahkan dalam satu tahun lalu dikalikan harga
satuan masing- masing.
b. Pendekatan Pendapatan
Pendekatan ini merupakan jumlah pendapatan yang
diterima oleh pemilik faktor-faktor produksi (rumah tangga) yang
digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam satu
tahun tertentu. Komponen-komponen pendapatan menurut
pendekatan ini adalah:
1) Alam dengan sewa (rent) sebagai balas jasa
2) Tenaga kerja dengan upah/gaji (wage) sebagai balas jasa
3) Modal dengan bunga (Interest) sebagai balas jasa
4) Skil kewirausahaan (entrepreneurship) dengan laba (profit).
c. Pendekatan Pengeluaran
Pendekatan pengeluaran dapat diartikan sebagai jumlah
pengeluaran secara nasional untuk membeli barang dan jasa dalam
satu periode, biasanya satu tahun. Nilai barang dan jasa yang
dihitung hanya barang dan jasa yang diproduksikan oleh faktor-
faktor produksi warga negara. Terdapat empat komponen penting dalam
pendekatan ini yaitu konsumsi (comsumtion) rumah tangga, belanja
pemerintah (government expenditure) mencakup pembelanjaan barang dan
jasa oleh pemerintah yang dibedakan menjadi konsumsi dan investasi,
investasi (investement), dan ekspor neto sama dengan pembelian
produk dalam negeri oleh orang asing (ekspor) dikurangi dengan

18
pembelian produk luar negeri oleh warga negara tersebut pada
akhir tahun (impor) dalam periode yang sama (export-import)
4. Metode Alokasi
Metode alokasi digunakan pada data-data suatu unit produksi
di suatu daerah tidak tersedia. Nilai tambah dari suatu unit produksi
di daerah tersebut dihitung dengan menggunakan data yang telah
dialokasikan dari sumber yang ditingkatnya lebih tinggi, seperti
data suatu kabupaten diperoleh dari alokasi data provinsi.

Bab 9
Kebijakan mengurangi kemiskinan
*#7. Resume Materi "Kebijakan Mengurangi Kemiskinan."* (Not to Replay)
Kebijakan mengurangi kemiskinan, khususnya kebijakan fiskal. Bagaimana kebijakan fiskal
dapat mengurangi kemiskinan, serta berbagai instrumen yang digunakan.
Menurunkan angka kemiskinan telah menjadi tujuan utama dari kebijakan publik di hampir
semua negara termasuk negara industri (Moller et al, 2003). Pengurangan kemiskinan akan
berbeda di setiap negara, tergantung dari beberapa hal, seperti konsep kemiskinan yang
dianut, karakteristik kemiskinan yang dialami, kondisi demografi, kondisi geografi, serta
kemampuan ekonomi dan arah kebijakan dari negara tersebut.
Penggunaan kata “pengurangan” atau “penanggulangan” mungkin lebih tepat daripada kata
“pengentasan”, karena konsep dan ukuran kemiskinan itu akan selalu berubah seiring
berubahnya waktu sehingga selalu saja ada masyarakat yang “miskin”. Ketika kesejahteraan
masyarakat meningkat, maka ukuran kemiskinan itupun akan meningkat, bahkan konsep
dari apa yang dikatakan miskin itu sendiri dapat berubah.
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan yang sangat terkait dengan distribusi pendapatan
dan kemiskinan. Wujud dari kebijakan ini dapat dilihat dari perkembangan pendapatan dan
pengeluaran negara dalam Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN
merupakan instrumen penting kebijakan pemerintah, tidak boleh hanya difahami sekadar
sebagai suatu dokumen keuangan semata, melainkan juga harus dipahami sebagai dokumen
politik. Ini terjadi karena dalam perumusan dan penetapan isinya mengandung banyak
aspek yang berkaitan dengan proses dan kompromi kepentingan politik. Selain itu, dokumen
APBN itu juga merefleksikan komitmen politik dan prioritas kebijakan sosial ekonomi
pemerintah.
Anggaran publik yang menegaskan prinsip pro-poor juga memiliki landasan konstitusional
yang kuat. Landasan filosofi keuangan publik yang dianut oleh Republik Indonesia adalah

19
kedaulatan rakyat dan bukan hanya perwujudan pengelolaan keuangan negara. Oleh
karenanya, pengalokasian anggaran harus didasarkan pada aspek keberpihakan, yaitu
keberpihakan pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi, sosial, politik,
maupun budaya. Jika proses penganggaran negara dan daerah bervisi pro-poor, maka
anggaran publik yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor budget) menjadi instrumen
politik terpenting dalam pengurangan kemiskinan. Di sinilah politik anggaran menempati
posisi penting dalam mensejahterakan rakyat.
Menyadari hal ini, seyogyanya kebijakan anggaran jangan hanya berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi semata. Kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, sesungguhnya merupakan masalah.
Pemerintah harus menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang tidak semata
tinggi, tetapi juga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk penduduk
miskin (pro-poor growth). Kebijakan dan program pembangunan ekonomi seharusnya
dititikberatkan kepada sektor ekonomi riil yang secara langsung maupun tidak langsung
menyentuh kehidupan mayoritas kaum miskin, seperti pertanian, perikanan, usaha kecil
menengah, dan sektor informal.
Kebijakan fiskal merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian dan
pembangunan ekonomi suatu negara. Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok, yaitu
perpajakan (tax policy) dan pengeluaran pemerintah (government expenditure) (Mankiw,
2003; Turnovsky, 1981).
Variabel instrumen dari kebijakan fiskal dapat berupa pajak (tax), transfer pemerintah
(government transfer), subsidi (subsidies) dan pengeluaran pemerintah (government
expenditure). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang
dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation
function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization
function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods) atau
proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat (private
goods), barang sosial (social goods) dan kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi
distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan
merata di masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi sesuai dengan namanya bertujuan untuk
mempertahankan tingkat pengangguran yang rendah, stabilitas tingkat harga, dan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang sesuai.
Bagaimana Peranan Kebijakan Fiskal dalam Menurunkan Ketimpangan Distribusi
Pendapatan dan Kemiskinan
Ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan persoalan yang
krusial bagi setiap negara, sehingga pemerintah di masing-masing negara berusaha untuk
mengurangi persoalan tersebut melalui intrumen fiskal.
Dari sisi penerimaan, anggaran pemerintah untuk pembiayaan publik dapat dihasilkan dari
dua sumber, yaitu domestik dan pinjaman luar negeri. Penerimaan dalam negeri, dapat

20
diperoleh dari pajak pendapatan, pajak penjualan dan pajak produksi, sedangkan dari luar
negeri, pinjaman dapat dari berbagai bentuk seperti pinjaman luar negeri untuk publik.
Dari sisi pengeluaran, penurunan kemiskinan dan redistribusi pendapatan
diimplementasikan melalui tiga instrumen alokasi anggaran pemerintah, yaitu (1) subsidi
langsung atau subsidi individu yang ditargetkan pada rumahtangga berpendapatan rendah,
(2) subsidi harga, subsidi yang dialokasikan untuk komoditi yang digunakan oleh
rumahtangga menjadi lebih murah terutama untuk kebutuhan pokok, dan (3) pengeluaran
langsung pemerintah terhadap pelayanan publik dan infrastruktur, terutama dalam
meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan, yang diutamakan bagi kelompok
rumahtangga yang berpendapatan rendah.
Penerimaan pemerintah berasal dari pajak, non pajak, dan hibah. Pajak meliputi pajak
pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan pajak daerah, yaitu pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis pajak pusat terdiri dari: (1) pajak penghasilan (PPh),
(2) pajak pertambahan nilai barang dan jasa (PPn), (3) pajak penjualan atas barang mewah
(PPnBM), (4) pajak bumi dan bangunan (PBB), (5) bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB), (6) bea meterai, (7) cukai, (8) pajak/pungutan ekspor, dan (9) bea
masuk, dan lainnya (Hutahaean, et al., 2002).
Pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) mempunyai efek (transmisi)
yang relatif cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha
perusahaan (James dan Nobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh dan PPn sensitif terhadap
perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari sisi pajak, intervensi pemerintah
untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan instrumen PPh dan PPn (Darsono,
2008).
Analisis yang mengkombinasikan sistem pajak pendapatan (PPh) dengan pajak pertambahan
nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson dan Stiglizt (1976), Mirrlees (1976), dan Myles (1997).
Dalam model ini diasumsikan bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen
sebagai barang 1 dengan tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak bersifat linear
terhadap n barang. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai seorang
konsumen disesuaikan dengan kemampuan membayar pajak (s) dan tingkat pajak (T).
Bagaimana peranan Subsidi dan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah
tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau
mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih
murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah
output (Spencer & Amos, 1993).
Subsidi atau transfer merupakan suatu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan
sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan bagi penerima subsidi atau
mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli
barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Subsidi

21
dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan
subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).
Subsidi dalam bentuk uang dapat diberikan pemerintah kepada konsumen sebagai
tambahan penghasilan atau kepada produsen agar dapat menurunkan harga barang yang
diproduksinya.
Subsidi dalam bentuk barang adalah subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu
yaitu pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu
pula kepada konsumen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran dibawah harga pasar
(Handoko dan Patriadi, 2005).
Subsidi dalam belanja negara dialokasikan dalam rangka meringankan beban masyarakat
dalam memperoleh kebutuhan dasarnya, dan sekaligus untuk menjaga agar produsen
mampu menghasilkan produk, khususnya produk kebutuhan dasar masyarakat, dengan
harga yang terjangkau. Pemberian subsidi ditujukan untuk menjaga stabilitas
perekonomian, khususnya stabilitas harga. Dengan subsidi diharapkan bahan kebutuhan
pokok masyarakat tersedia dalam jumlah yang mencukupi dengan harga yang stabil serta
terjangkau oleh daya beli masyarakat (Nota Keuangan dan APBN, 2009).
Di negara berkembang, subsidi penting sebagai instrumen fiskal untuk mendorong
produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Subsidi merupakan bentuk transfer
pemerintah yang efisien sekaligus sebagai alat redistribusi kesejahteraan antar penduduk
dan antar produsen dengan konsumen. Inilah pokok pentingnya subsidi, sehingga pada
perekonomian majupun masih menggunakan instrumen subsidi dari pemerintah ke sektor
swasta.
Dampak dari subsidi pemerintah khususnya untuk produk pertanian dapat dilihat pada
Gambar 9.2. Kurva penawaran produk pertanian dalam jangka pendek (SR) (Gambar 9.2(a))
diasumsikan sangat tidak elastis karena untuk menghasilkan produk pertanian
membutuhkan waktu yang panjang bahkan musiman.
Jika pemerintah membayar agregat subsidi untuk produk pertanian, maka akan berdampak
terhadap peningkatan permintaan produk pertanian (kurva permintaan bergeser ke kanan
atas). Harga produk pertanian akan naik, walau kenyataannya petani hampir tidak bisa
meningkatkan produksinya.
Kebijakan pemberian subsidi biasanya dikaitkan dengan barang dan jasa yang memiliki
eksternaliti yang positif dengan tujuan untuk menambah output dan hal ini merupakan efek
positif dari subsidi. Sedangkan efek negatif dari subsidi bahwa subsidi dapat menciptakan
alokasi yang tidak efisien karena konsumen membayar harga yang lebih rendah dari harga
pasar sehingga ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang
yang disubsidi.
Selain itu, karena harga lebih rendah dari opportunity cost, maka dapat terjadi pemborosan
dalam penggunaan sumberdaya untuk memproduksi barang yang disubsidi (Spencer &
Amos, 1993). Subsidi yang tidak transparan dan tidak well-targeted dapat menyebabkan
distorsi harga, inefisiensi dan tidak dinikmati oleh orang yang berhak (Basri, 2002).

22
Satu dari beberapa permasalahan kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia selama
ini adalah kurangnya koordinasi antar lembaga. Program pengurangan kemiskinan sering
dilakukan secara parsial oleh satu atau beberapa lembaga tanpa didasari oleh koordinasi
yang baik. Akibatnya sering program yang diluncurkan kurang tepat sasaran, kurang terarah
dan terkontrol bahkan dapat menimbulkan program tumpang-tindih atau menciut ketika
sampai di bawah.
Oleh karena itu, pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 13 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang disempurnakan dengan
Perpres Nomor 15 tahun 2010 tentang tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Perpres ini mengamanatkan pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) di tingkat pusat dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.
Sejak saat itu, arah kebijakan penanggulangan kemiskinan dirumuskan oleh pemerintah
dalam empat arah kebijakan, yaitu: (1) meningkatkan program perlindungan sosial, (2)
meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar, (3) pemberdayaan kelompok masyarakat
miskin, dan (4) pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif.
Empat strategi pengurangan kemiskinan, yaitu: (1) mengurangi beban pengeluaran
masyarakat miskin, (2) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin, (3)
mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro dan kecil, dan (4) membentuk
sinergi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
Dalam berbagai kajian pembangunan ekonomi akan berpengaruh terhadap pengurangan
kemiskinan. Namun pembangunan ekonomi yang hanya pro growth dikhawatirkan tidak
cukup untuk mengurangi angka kemiskinan dengan cepat, bahkan dapat meningkatkan
kesenjangan pendapatan di antara masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi
harus diarahkan bukan hanya pro growth, tetapi juga harus pro poor, pro job, serta pro
environtment.

Studi yang dilakukan Van Zanden dan Marks (2012) tentang perekonomian dari tahun 1800
hingga 2010, menemukan bahwa satu dari beberapa penyebab rendahnya rata-rata
peningkatan kesejahteraan di Indonesia di banding dengan negara lain, adalah faktor
produktivitas yang rendah. Kurun waktu 200 tahun (1815-2000), angka rata-rata
pertumbuhan total faktor produktivitas Indonesia hanya sebesar 0,22 persen dan dengan
gamblang dikatakan bahwa kurun waktu tersebut, “lebih banyak peluh daripada inspirasi
yang mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia” (Van Zanden dan Marks, 2012:34).
Suselo dan Tarsidin (2008) melakukan kajian tentang struktur perekonomian Indonesia dan
dampaknya terhadap tingkat kemiskinan. Kajian ini menggunakan pendekatan sektoral di
mana pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan didekomposisi berdasarkan sektor ekonomi.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur dan kemiskinan sektoral di
Indonesia diukur dengan head count ratio yang merupakan fungsi dari pertumbuhan GDP riil
dan share GDP riil. Sedangkan untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan

23
ekonomi dengan perubahan struktur ekonomi digunakan income gap ratio yang juga
merupakan fungsi dari GDP ril dan share GDP riil dari masing-masing sektor ekonomi.
Tingkat kemiskinan di suatu sektor usaha dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi kemiskinan yang
terjadi hanya dalam lingkup sektor usaha yang bersangkutan (dalam hal ini diukur dengan
head count ratio dan income gap ratio sektoral) dan dari sisi kemiskinan di sektor usaha
yang bersangkutan secara relatif terhadap kemiskinan di tingkat nasional (yang diukur
dengan head count ratio dan income gap ratio tertimbang (weighted)).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang
berlangsung dari tahun ke tahun (Sadono,1985:19), sehingga untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan pendapatan nasional dari berbagai tahun yang
dihitung berdasarkan harga konstan dan harga berlaku. Distribusi pendapatan
mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara
baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi
di kalangan penduduknya. Suatu proses perekonomian dikatakan mengalami suatu
perubahan atau pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi adalah lebih tinggi
daripada yang dicapai pada waktu sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangan baru
tercipta apabila jumlah fisik barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan bertambah besar
pada tahun berikutnya. Sedangkan, untuk mengetahui apakah suatu perekonomian
mengalami pertumbuhan perlu ditentukan perubahan yang sebenarnya terjadi dalam
kegiatan-kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun tersebut.

3.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat untuk seluruh pembaca, khususnya kami selaku
penulis. Semoga materi “Distribusi Pendapatan dan Ukurannya” yang
ditampilkan/disajikan dapat dijadikan referensi bagi orang lain yang membutuhkan
materi tersebut. Kami juga berharap agar pemakalah selanjutnya dapat membuat makalah
mengenai materi yang sama dalam versi lebih baik.

24
DAFTAR PUSTAKA

Boediono. 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta : BPFE.

Yus Wijayanto, Dani. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah di
Kabupaten Semarang Periode 1999-2003. Skripsi. Program Sarjana Ekonomi
Universitas Negeri Semarang.

(http://repository.uin-suska.ac.id/14330/8/8.%20BAB%20III_201842EI.pdf, diakses tanggal


04 Maret 2022)

25

Anda mungkin juga menyukai