Anda di halaman 1dari 5

DINAMIKA POLITIK INDONESIA DI ERA REFORMASI

Dalam masyarakat yang dinamik selalu terlihat berbagai tuntutan, dukungan yang
berlangsung secara spontan. Tuntutan individu, tuntutan kelompok masyarakat terhadap
lembaga-lembaga pemerintah (supra struktur politik). Tuntutan ini berlangsung secara silih
berganti sesuai interest dari setiap kelompok yang selalu bersemangat untuk melakukan
tuntutan. Pada tataran sistem politik nasional, tuntutan berbagai kelompok kepentingan harus
bersemangat menurut tuntunan konstitusional. Dalam hal ini dinamika tuntutan itu bukan
untuk mengacaukan negara, bukan merusak tatanan politik, ekonomi dan hukum tapi tuntutan
itu diupayakan merekonstruksi struktur politik dan struktur ekonomi agar dinamika tidak
mengakibatkan khaos dalam massyarakat. Pada tataran lokal tuntutan politik masyarakat atau
kelompok kepentingan menjadi ganda. Hal ini disebabkan trauma politik masyarakat lokal
selama 32 tahun, dimana masyarakat daerah dibuat untuk tetap takut pada Kepala Desa,
Camat, Bupati dan Gubernur. Tidak ada dinamika individu anggota masyarakat dan
kelompok masyarakat kelompok kepentingan, partai politik di daerah, masyarakat menjadi
statis. Pada masa reformasi ketakutan masyarakat terbebas, kelompok kepentingan terbela,
partai politik dan berkembang dinamika masyarakat lokal yang dapat kita amati pada setiap
saat tuntutan masyarakat terhadap pemerintah apakah melalui kelompok kepentingan atau
partai politik setempat dan dibarengi dengan tuntutan masyarakat terhadap pemerintah pusat.
Tuntutan pada pemeritah pusat lebih dominan menunjuk pada Dynamics. Artinya masyarakat
daerah melakukan tuntutan politik pada pemerintah pusat karena ada tenaga penggerak dari
masyarakat yang berpikir dinamik. Atau selalu bersemangat agar terjadi perbaikan perubahan
pengaturan dan pelayanan pemerintah pusat terhadap masyarakat daerah dan pemerintah
daerah. Pada sisi lain dalam sistem politik demokrasi tuntutan masyarakat atas kepentingan
politik sebagai implementasi dinamika masyarakat, maka tuntutan in menurut mekanisme
sistem politik harus memiliki dinamika untuk mengakomodir berbagai tuntutan dari
masyarakat. Oleh karena itu pada tataran lokal, anggota DPRD, eksekutif beserta perangkat
dinas, dan birokrat wajib selalu bersemangat untuk menjemput berbagai tuntutan dan
dukungan dari masyarakat. Hal ini dimaksud untuk menciptakan dinamika akomodasi
keseimbangan tuntutan sehingga ada balance of power. Untuk menciptakan equilibirium,
maka anggota DPRD, eksekutif daerah beserta perangkat dinas dan birokrat harus bersikap
dynamics (tenaga gerak). Begitu pula dengan budaya politik, budaya politik merupakan salah
satu kajian dalam ilmu politik yang sangat mereflesikan adanya pengaruh lintas disiplin
dengan bidang-bidang ilmu sosial lainnya.
Talcott Parsons adalah salah seorang ilmuan yang gagasannya sangat mempengaruhi
perkembangan kajian budaya politik. Konsep budaya Talcott Parsons, mengilhami Gabriel
Almond untuk mengembangkan konsep budaya politik. Budaya di definisikan Almond
sebagai kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang relevan
dalam masyarakat yang ditransmisikan, dipelajari dan dimiliki bersama, budaya merupakan
hasil interaksi di antara manusia. Gagasan budaya di kembangkan oleh Parson ini dapat
dibedakan berdasarkan tiga kategori fungsional dan sistem,yaitu :kognitif atau sistem
kepercayaan, ‘cathectic’ atau sistem symbol ekspresif, dan evaluative atau sistem orientasi
nilai.

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Atau bisa dibilang
budaya politik adalah sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
ikut berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, pengambilan keputusan secara kolektif dan
penentuan kebijakan publik untuk kepentingan masyarakat seluruhnya.

Sedangkan partisipasi politik secara harfiah berarti partisipasi dalam konteks politik.
Pada hal ini mengacu pada partisipasi warga dalam proses politik. Partisipasi politik adalah
keterlibatan warga dalam semua tahap kebijakan, mulai dari saat membuat keputusan sampai
keputusan penilaian, termasuk kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
keputusan.

Lalu bagaimana dengan kehidupan politik pada masa Orde Baru? Ketika era Orde Baru
demokrasi dikekang, baik segala bentuk media dikontrol dan diawasi oleh pemerintah agar
tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah. Awalnya Orde Baru berupaya untuk
memperbaiki keadaan bangsa dan melakukan koreksi atas segala penyimpangan dan
kebobrokan pada masa Orde Lama. Pada awalnya memang rakyat merasakan peningkatan
dalam berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Namun lama-kelamaan terdapat berbagai
penyimpangan dan parahnya adalah monopoli kekuasaan Presiden Soeharto. Sistem
monopoli kekuasaan yang berpangkal pada Soeharto tersebut dapat dilihat bagaimana
dominannya kekuasaan Soeharto pada masa pemerintahannya yang berlangsung lebih dari
tiga dekade. Kelangsungan masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah terlepas dari peran
mesin politik yang digerakkan oleh Soeharto yaitu Golongan Karya (Golkar). Untuk
menambah dominasi kekuasaan politiknya, Soeharto juga menerapkan sistem Dwi Fungsi
ABRI. Dwi Fungsi ABRI menerapkan bahwa Militer/ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia) tidak lagi hanya bertugas sebagai lembaga yang berperan dalam ketahanan negara
melainkan juga ikut ambil bagian dalam kekuasaan politik dengan menempatkan orang-
orangnya di lembaga legislatif. Kekuasaan pada saat itu juga diisi oleh orang-orang yang
memiliki kedekatan dengan Soeharto. Secara tidak langsung birokrasi pada masa Orde Baru
didominasi oleh orang-orang yang memiliki loyalitas terhadap Soeharto. Selama lebih dari
tiga puluh tahun, bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang menganut sistem
politik otoriter. Kekuasaan Orde Baru menjadi kekuasaan otoriter yang memakai embel-
embel demokrasi. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi
yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan sang
penguasa. Hal itu terbukti dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tentang P4 yang
dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan Orde Baru (Andriani
Purwastuti, 2002:45).

Saefullah Fatah menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah oxymoron:
dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya, keterlibatan militer dalam
politik adalah sumber dari segala sumber penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya
dapat dijalankan oleh kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari
intervensi militer. Pada zaman Soeharto, militer mendominasi di berbagai bidang. Warga
dibatasi dalam mengemukakan aspirasi, media massa bahkan dikekang habis-habisan. Jika
saja ada yang memuat berita tentang bobroknya pemerintah pada saat itu, maka izin
penerbitan medianya akan dicabut oleh pemerintah. Banyak media massa yang
mengalaminya seperti majalah berita Tempo, Ekspres, koran Indonesia Raya, Sinar Harapan
dan sebagainya. Akhirnya masyarakat hanya memperoleh informasi di luar berita
“seharusnya” yang telah melewati tahap sensor, baik oleh Departemen Penerangan maupun
oleh media itu sendiri. Media hanya diperbolehkan untuk mempublikasikan kebaikan dan
keberhasilan pemerintah, sementara borok dan dosa pemerintah disembunyikan sehingga
rakyat menjadi buta akan informasi.

Pendirian partai-partai politik di era awal reformasi, khususnya menjelang Pemilu 1999
yang dicirikan oleh kuatnya faktor pembelahan masyarakat dan kepentingan politik serta
politik aliran, hampir “tidak” mencolok menjelang Pemilu 2004 dan 2009. Memang masih
ada beberapa partai baru yang tumbuh atas dasarorientasi dan kepentingan keagamaan atau
kepentingan kelompok, tetapi ada faktor lain yang menyebabkan munculnya partai baru,
yakni perpecahan pada tubuh partai politik dan ambisi beberapa tokoh di luar partai untuk
mendirikan partai politik. Sebagian besar partai-partai baru yang lahir setelah Pemilu 1999,
2004, dan 2009 disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.

Hasil Pemilu 1999 merupakan titik awal bagi sejumlah partai politik menjadi partai
yang memiliki dukungan atau memiliki eksistensi. Dari 21 parpol yang memperoleh kursi
DPR dan sejumlah kursi DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, terseleksi menjadi 13 parpol
peserta Pemilu 2004. Tiga belas partai itu adalah Partai Golkar, PDI-P, PKB, PPP, PD, PKS,
PAN, PBB, PBR, PDS, PKPB, PKPI, PPDK, PNBK, PNI Marhaen, Partai Pepolor, dan
Partai Penegak Demokrasi Indonesia. Dari 13 parpol, hanya beberapa partai yang
eksistensinya teruji, yakni pertama, partai lama seperti Golkar, PDI-P, PPP, PKB, dan PAN.
Pemilu 2004 mengantarkan dua partai baru yang memiliki dukungan yang relatif besar,
tergolong sebagai partai menengah, padahal kedua partai ini adalah partai baru, yaitu Partai
Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera walaupun PKS tidak bisa disebut sebagai “partai
baru” karena PKS adalah metamorfosis dari Partai Keadilan.

Sementara itu, dari hasil Pemilu 2009, 38 partai politik lolos sebagai peserta pemilu, di
antaranya adalah 22 partai yang dapat dibilang lama dan 16 partai baru serta 6 partai lokal
yang khusus berkompetisi di Aceh. Seperti pada kasus Pemilu 2004, pada Pemilu 2009 partai
yang sudah eksis memperoleh dukungan pada Pemilu 2004 kembali menjadi partai yang
berhasil lolos Parlementary Threshold (PT) 2,5%. Sembilan partai yang lolos tersebut dapat
dibagi menjadi partai lama seperti PD, Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Dua partai
baru yang mengikuti fenomena partai baru sebelumnya pada Pemilu 2004 adalah Gerindra
dan Hanura. Sisanya, 29 partai politik tidak lolos PT karena suara mereka sangat kecil.

Dari fenomena pasang surut partai politik sejak Pemilu 1999,2004, dan 2009, terdapat
pola bahwa partai-partai politik baru yang merupakan pecahan ideologi nasionalis dan
pembangunan relatif memperoleh dukungan ketimbang partai- partai baru yang mengusung
ideologi agama, seperti Islam dan Kristen. Sebagai contoh, lahirnya PD pada Pemilu 2004
merupakan partai yang lahir dari sebagian orang yang mendukung ideologi nasionalis dan
sebagian yang mendukung ideologi religius (keagamaan). Sementara itu, pada Pemilu 2009,
dua partai yang merupakan pecahan partai Golkar, yakni Gerindra dan Hanura memperoleh
dukungan dari masyarakat walaupun tidak sespektakuler kemunculan Partai Demokrat.
Sebaliknya, partai-partai yang mengusung ideologi agama atau identitas keagamaan seperti
PKNU, PMB, PBB, dan PBR, justru tidak mampu menggeser dukungan partai-partai yang
bersandar pada dukungan pemilih tradisional dari umat Islam. Pertumbuhan partai politik
baru di Indonesia dapat dikatakan akibat konflik internal partai yang memicu terjadinya
faksionalisasi dari dalam. Partai-partai baru yang lahir pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014
adalah akibat dari faksionalisasi tersebut.

Referensi :

ISIP4212/3SKS/MODUL 1-9

http://ejournal.politik.lipi.go.id

http://simposiumjai.ui.ac.id

https://www.kompasiana.com/fajarbaru/55291b37f17e6114388b45e9/era-reformasi-era-
narsisme-partai-politik

https://www.kompasiana.com/meitysttk/57c21279ab9273b026730b34/budaya-politik-dan-
partisipasi-politik-indonesia-pada-masa-orde-baru

Anda mungkin juga menyukai