Anda di halaman 1dari 18
Kuadran Perdamaian Demokratik: Integrasi Instalasi Demokrasi dan Trajektori Perdamaian Abstract. ANDI WIDJAJANTO This essay tries to represent a vast literature review on peace process and regime transition mainly published by academicians in the field of Political Science, International Relations as well as in the field of Peace Studies. The ultimate goal of this research is to design a quadrant of democratic peace that cart be used to address the complexity of conflict. The utilization of the quadrant indicates that those contemplating to initiate democratization and peace process in a state should think of themselves as planning a major policy initiative that will likely create a complex foundation to begin acomprehensive process which will simultaneously address the problem of security and development. PENGANTAR Tulisan ini merupakan suatu kajian kepus- takaan yang berupaya merckam evolusi pe- mikiran tentang proses demokratisasi dan mekanisme resolusi konflik, Gagasan awal dari kemunculan tulisan ini adalah kenya- taan yang menunjukkan bahwa proses de- mokratisasi yang cenderung dilakukan ne- gara-negara berkembang terjadi saat nega- racnegara tersebut sedang menerapkan be- ragam mekanisme resolusi konflik untuk mengatasi terutama konflik-konflik inter- nal. Tujuan utama dari tulisan ini adalah men- cari titik temu kajian tentang demokratisasi dan resolusi konflik yang memungkinkan perumusan suatu kebijakan perdamaian demokratis, Kebijakan ini merupakan in- tegrasi dari prinsip-prinsip, tahapan, serta kerangka kerja resolusi konflik dan demo- GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Kratisasi. Dalam tulisan ini, integrasi ter- sebut tampak dalam kuadran perdamaian demokratis yang merupakan awal dari te- aah lebih Ianjut untuk melakukan elabora- si fungsi-fungsi kerja yang muncul antara proses transisi sistem otoritarian ke sistem demokratis dengan proses transisi antara perang ke perdamaian. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini dibagi dalam tiga bagian. Di bagian per- tama, tulisan ini melakukan rekam jejak evolusi pemikiran tentang demokratisasi terutama untuk mengetahui tahapan de- mokratisasi serta prakondisi untuk de- mokratisasi. Di bagian kedua, tulisan ini memetakan evolusi pemikiran tentang re- solusi konflik. Di bagian ketiga, tulisan ini menawarkan kuadran perdamaian demo- kratis yang menjabarkan defivasi fungsi proses transisi demokrasi dalam kerangka kerja perdamaian. Kuadran Perdamaian Demokratik INSTALASI DEMOKRAST Evolusi pemikiran tentang demokratisasi didominasi oleh literatur tentang tahapan transisi rejim yang harus dilalui suatu ne- gara untuk membangun suatu rejim de- mokratis. Definisi tentang demokratisasi cenderung telah disepakati dan mengacu kepada karya Samuel Huntington yang memberikan kerangka substantif demo- kkratisasi sebagai: (1) berakhinya sebuah rejim otoriter; (2) adanya proses transisi yang memberikan kesempatan pada parti- sipasi publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rejim demokratis; serta, (3) Konsolidasi rejim demokrasi.! Proses menuju pembentukan rejim demo- kratis ini mencakup beberapa tahapan yang dikenal sebagai transisi demokrasi. Kajian transisi demokrasi merupakan salah satu konsentrasi akademik yang berkembang pesat, ditandai oleh maraknya kajian-kajian tentang gelombang demokratisasi yang ter- jadi di Eropa Selatan dan Amerika Latin pada akhir dekade 1970-an hingga dekade 1990-an. Studi-studi demokratisasi seperti yang terlihat pada karya Di Palma, Dia- mond, Huntington, Linz, Lipset, Lowen- thal, O’Donnel, Przeworksi, Remmer, Schmitter, Share, dan Stepan sangat diil- ‘hami oleh gelombang demokratisasi ketiga. Pada dasarnya, para akademisi sepakat bahwa transisi demokrasi adalah tahap awal proses demokratisasi yang ditandai dengan peningkatan partisipasi publik, li- beralisasi politik, peningkatan hak sipil, serta implementasi prosedur-prosedur de- mokvasi dalam ruang-ruang publik. Tahap transisi ini di setiap negara terjadi melalui beberapa jalur yang berbeda tergantung dari prakondisi demokrasi yang ada di ma- Andi Widjajanto sing-masing negara. Share, misalnya, mengungkapkan empat ja- Jur dominan proses transisi yang divergen- sinya tergantung pada akselerasi demo- kratisasi serta komitmen politik pemimpin rejim.? Berdasarkan dua variabel tersebut, Share membuat empat kategori jalur transi- si yaitu (1) demokratisasi bertahap; (2) tran- saksi konsensual; (3) transisi revolusioner; seria, (4) transisi disintegratif. Upaya pe- metaan jalur transisi juga dilakukan oleh Lin yang menawarkan dua jalur transisi, yakni reforma dan ruptura’; Stepan yang juga melihat adanya tiga variasi transisi: demokratisasi oleh rejim, demokratisasi oleh oposisi, serta perangé; atau Lynn Karl yang menemukan jalur akar ramput dan jalur elit); serta Rustow yang menginisiasi tiga jalur (lop-down, bottom-up, dan nego- siasi) Kajian tentang tahapan demok- ratisasi ini mencapai kulminasinya dengan diterbitkannya kaya Huntington (1991) yang berjudul “The Third Wave of Democrat- ization in the Late Twentich Century”. Dalam karya Klasik tersebut, Huntington meng- ungkapkan adanya empat model transisi menuju demokrasi? Jalur pertama adalah transformation yang prosesnya diinisiasi oleh elit politik yang sedang berkuasa. Jalur kedua adalah transplacement yang, dilaku- kan melalui negosiasi politik antara rejim politik dan kekuatan oposisi. Jalur ketiga adalah replacement yang terjadi karena ada- nya gerakan politik massa yang menuntut perubahan rejim. Jalur terakhir adalah intervention yang dilakukan oleh negara lain secara politik, ekonomi, atau operasi miiliter. Model transisi dan waktu_pelaksanaan transisi akan berbeda antar satu negara de- ngan negara lainnya. Perbedaan ini muncul GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 ‘Kuadran Perdamatan Demokratike disebabkan oleh ragam prakondisi demo- krasi yang ada di masing-masing negara. ‘Ada tiga prakondisi demokrasi yang akan menimbulkan deviasi transisi demokrasi. Prakondisi pertama adalah moderisasi dan kesejahteraan. Prakondisi ini diung- kapkan oleh Seymour M. Lipset yang se- cara tegas menyatakan bahwa “semakin ka- ya suatu bangsa, semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi.”* Pendapat Lipset ini didukung oleh Dahl yang mengatakan bahwa korelasi positif antara tingkat modernisasi dan kese- jahteraan suatu negara dengan kebetha- silan demokratisasi merupakan tesis yang sulit untuk diperdebatkan? Huntington juga melakukan afirmasi bagi tesis Lipset dengan mengelaborasi_ sejumlah faktor kondusif yang ditimbulkan dari modern- isasi dan kesejahteraan bagi demokratisasi seperti tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan, urbanisasi, serta kebebasan media massa.'° Prakondisi kedua adalah budaya politik. Konsep yang diperkenal- kan oleh Almond dan Verba ini menekan- kan aspek fenomenologis sebagai prasyarat tumbuhnya demokrasi.”” Prakondisi ketiga adalah struktur sosial yang ditandai de- ngan keberadaan kelompok tertentu dalam masyarakat seperti akademisi, pekerja me- dia massa, kelompok menengeh, serta ak- tivis masyarakat sipil yang secara konsisten mendukung demokrasi, Kajian-kajian ten- tang hubungan antara struktur sosial dan demokratisasi dilakukan misalnya oleh Moore yang melihat peran kelompok Bor- juis di Inggris dalam transisi demokrasi dan ‘Therborn yang melihat peran kelom- pok pemilik modal dalam transisi demo- kasi. Proses transisi ini hanya akan mengha- GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Andi Widjajanto silkan instalasi sistem demokrasi jika di- ikuti dengan konsolidasi demokrasi. Kon- solidasi demokrasi, menurut Whitehead, mencakup peningkatan secara fundamental komitmen publik untuk menggunakan pro- sedur-prosedur demokratis untuk menata ruang publik yang muncul dalam proses bernegara. Tanpa adanya konsolidasi de- mokrasi, prosedur-prosedur _demokrasi yang diterapkan cenderung hanya akan menjadi etalase demokrasi yang tidak me- miliki penetrasi ke dalam sistem politik ne- gara. Prosedur-prosedur demokratis untuk melakukan instalasi demokrasi terdiri dari dan tidak terbatas pada pelaksanaan pemi- lihan umum, amandemen konstitusi nega- ra, devolusi politik, desentralisasi dan de- konsentrasi, serta revisi sistem hukum na- sional, Pada dasarnya, komitmen publik terhadap prosedur demokratis ini merupa- kan langkah awal untuk membangun bu- daya politik demokratis yang diharapkan muncul setelah proses institusionalisasi de- mokrasi terjadi.2* Namun, analisis sistemik kontemporer yang diberikan oleh Kaplan melihat bahwa proses pembentukan negara-bangsa di du- nia ketiga cenderung diwarnai oleh insta- bilitas demokratisasi, kemunculan gejala tribalism, perang saudara, dan ethnic cleans- ing. Gejala chaos di daereh pinggiran ini di- koji oleh Kaplan secara resiprokal dengan berusaha mencari garis penghubung antara dinamika sistemik dengan proses demo- kratisasi.26 Secara teoretis, proses demokratisasi_ me- mang lebih identik dengan konflik dari- pada perdamaian, Mansfield dan Snyder, misalnya, memperingatkan bahwa proses demokratisasi di suatu negara yang memi- liki legitimasi_vertikal'” yang cenderung, Kuadtan Perdamaian Demokratik rendah seperti Indonesia akan diikuti de- ngan: (1) pelebaran spektrum politik; (2) kemunculan kepentingan sesaat yang da- pat dinegosiasikan di Kalangan clit; (3) Kompetisi. untuk mendapat dukungan. massa seluas-luasnya; dan, (4) melemahnya otoritas politik pusat.* Keempat dampak proses demokratisasi ini cenderung akan membawa masyarakat ke arah konflik ho- rizontal terutama Karena institusi politik yang ada tidak dapat mengantisipasi ledak- an partisipasi politik yang begitu besar. Dengan demikian, proses demokratisasi akan cenderung diiringi oleh proses konso- lidasi kekuatan yang dapat secara efektif mengelola potensi penggunaan kekerasan. Kompetisi untuk mengelola kekerasan ini akan menghantui proses demokratisasi dan kegagalan institusi politik untuk mengelola kekerasan memicu terjadinya perang inter- nal.” TRAJEKTORI PERDAMAIAN Kemungkinan gagalnya instalasi demokra- si dapat bermuara kepada merebaknya pe- rang internal di suatu negara, Bagian ini berupaya untuk menjelaskan bahwa me- kanisme resolusi konflik dapat juga dite- rapkan untuk menyelesaikan suatu. kasus perang intemal yang terjadi saat proses demokratisasi sedang berlangsung. Kajian tentang resolusi konflik merupakan perpaduan antara para akademisi_ yang bergerak di studi perdamaian, hubungan internasional, studi pembangunan, serta psikologi dan antropologi sosial. Perintis pengembangan kajian teoretis tentang re- solusi Konflik adalah Burton® melalui pe- nerbitan “The Conflict Series”. Kajian teore- Andi Widjajanto tik juga dilakukan oleh Zartman yang ber- upaya mengembangkan mekanisme pene- rapan resolusi konflik”! Tema serupa juga dikaji oleh Galtung yang menawarkan hi- potesis-hipotesis tentang perdamaian mela- lui empat jenis teori (Teori Perdamaian, Konflik, Pembangunan, dan Peradaban).” Kajian-kajian tentang perang internal yang menggunakan perpektif resolusi konflik ini juga telah dilakukan oleh Brown dan Oudraat yang berupaya mencari pola ke- terlibatan internasional dalam resolusi pe- rang internal. Kajian resolusi konflik juga dikembangkan oleh Hampson yang menjabarkan empat pendekatanutama (hard realism, soft realism, ‘governance-based, dan social-psychological ‘approaches) yang dapat dijadikan dasar un- tuk mengembangkan mekanisme resolusi konflik yang melibatkan intervensi pihak ketiga Kajian Hampson ini membuka ke- mungkinan untuk memecah rangkaian pe- nyebab kenflik menjadi tiga lapisan besar: kekerasan bersenjata, pertikaian elit, dan sumber-sumber historis-subyektif. Usaha untuk mengatasi tiga lapisan konflik terse- but membutuhkan kombinasi dari beragam tehnik resolusi konflik seperti rekonstruksi ekonomi, penerapan good-governance, de- mokratisasi, rekonsiliasi, post-conflict rehabi- litation, dan peace-maintenance:® Tesis utama dari kelompok resolusi konflik adalah perdamaian merupakan suatu pro- ses untuk meneiptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia Ide Burtonian ini diidenti- fikasikan oleh Banks sebagai suatu ide yang mencoba untuk menciptakan perda- maian yang positif” Masalah utama dari konsepsi di atas adalah bagaimana mencip- takan suatu institusi yang efektif untuk me- GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 ‘Kuadran Perdamaian Demokratike nyelesaikan konflik. Kaum pence researcher memberikan dua jawaban utama terhadap pertanyaan ini. Jawaban pertama berusaha untuk mengembangkan prosedur resolusi Konflik (conflict prevention, conflict manage- ment, conflict resolution dan conflict prevent- ion) yang di dalamnya terdapat upaya un- tuk: (1) mengembangkan proses fasilitasi; (2) merancang strategi keterlibatan pihak ketiga; dan, (3) memulai proses perubahan struktural yang diperlukan untuk menghi- langkan sebab-sebab fundamental kon{lik Jawaban kedua dari masalah penciptaan institusi resolusi konflik berkisar tentang Kemungkinan terjadinya keberhasilan pe- nerapan resolusi konflik, yang tergantung, dari usaha untuk mengatasi penyebab kon- flik ini, yang dipecah menjadi tiga lapisan besar: kekerasan bersenjata, pertikaian elit, dan sumber-sumber _historis-subyektif” Ketiga lapis konflik ini harus ditangani de- ngan_ bijak untuk dapat mengeliminasi sumber-sumber kekerasan struktural. Ketiga lapis konflik tersebut diatasi dengan menerapkan empat tahap resolusi konflik® Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk me- ngendalikan kekerasan bersenjata yang ter- jadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re- integrasi elit politik dari kelompok-ke- lompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk me- nerapkan problem-solving approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan —_perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat meng- arah kepada pembentukan komunitas per- damaian yang langgeng, GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Andi Widjajanto Empat tahap resolusi konflik tersebut pada dasamya bertujuan untuk menciptakan suatu perdamaian yang positif, Perdamaian positif ini dapat dicapai dengan: (1) meng- identifikasi_ sumber-sumber __kekerasan struktural; (2) mengidentifikasi perubahan struktural yang dibutuhkan; dan, 3) me- Iembagakan proses resolusi konflik dalam struktur sosial. KUADRAN PERDAMAIAN DEMOKRA- TIS Integrasi antara kajian demokratisasi dan resolusi konflik akan menghasilkan dua kurva liner, yang dijabarkan berdasarkan model spektrum konflik dan tahapan resolusi konflik. Integrasi dua kurva linear tersebut dapat dilihat pada Bagan 1. Model ini dibentuk dengan menetapkan dua kur- va linear yang dibentuk dari dua sumbu: tingkat eskalasi konflik dan derajat demo- kkrasi sama-sama menentukan nilai sumbu vertikal y, sementara pertambahan waktu mengisi sumbu horizontal x. Sumbu verti- kal y memiliki dua nilai ekstrem, yaitu nilai maksimum untuk tingkat eskalasi konflik yang dapat dikategorikan sebagai perang (titik kulminasi kurva perang); serta nilai minimum untuk derajat demokrasi yang dapat dikategorikan sebagai sistem politik otoritarian (elevasi_ nol untuk kurva d mokrasi), Trajektori kurva perang dati titik kulminasi perang di sumbu vertikal y ke arah titik perdamaian di sumbu horizontal x ditentukan oleh implementasi mekanisme resolusi konflik. Dengan logika yang sama, instalasi demokrasi di titik elevasi mak- simum untuk kurva demokrasi ditentukan oleh Keberhasilan proses demokratisasi suatu negara. Hubungan antara kurva pe- rang dan demokrasi berbanding, terbalik, Kuadran Perdamaian Demokratik Tingkat eskalasi konflik berbanding terba- lik dengan derajat demokrasi. Konflik de- ngan tingkat eskalasi tinggi lebih mungkin terjadi di derajat demokrasi rendah. Atau, pencapaian demokrasi di suatu negara me- ‘mungkinkan penerapan mekanisme resolu- si konflik secara utuh. Demat : ere Korelasi antara tingkat eskalasi konflik dan derajat demokrasi membentuk empat ku- adran yang masing-masing memiliki fang; si-fungsi kerja yang terkait dengan proses demokratisasi dan resolusi konflik. Pem- bentukan empat kuadran tersebut dapat dilihat di Bagen 2. Kuadran I terbentuk saat kondisi terburuk otoritarian dan perang bertemu di xuang dan wakhu yang sama. Di kuadran ini, ske~ nario terburuk tentang demokratisasi dan resolusi konflik diberiakukan dengan mele- takkan kekerasan struktural dan kekerasan politik sebagai fungsi-fungsi Kerja domi- nan, Kuadran I tereipta saat negara-negara demokratis tetap terseret ke pertarungan perebutan kekuasaan ditandai dengan ada~ nya sekuritisasi isu oleh aktor keamanan. Di kuadran ini, pertarungan antara kelom- [pok pacifist dan Kelompok realis akan men- dominasi fungsi-fungsi kerja yang ada. Kuadran III merupakan kasus unik yang terjadi seat rejim otoritarian mampu menja~ dikan fungsi Kerja ekonomi kesejahteraan sebagai gerak dominan. Dominasi ekonomi Andi Widjajanto kesejahteraan dalam jangka waktu yang signifikan cenderung mampu meredam in- stabilitas demokratisasi dan sekaligus me- redam manifestasi konflik. Kvadzan IV merupakan kuadran ideal saat perdamaian demokratis tercipta. Di kuadran ini diper- kirakan human security dan hak asasi mant- sia mendominasi proses instalasi_ demo- krasi BAGAN 2 KUADRAN PERDAMAIAN DEMOKRATIS. PERN ‘roar ewOKaS! EE Kuadran I; Pengelolaan Kekerasan con PERORUAR Di kuadran J, tantangan terbesar bagi per- damaian demokratis adalah kekerasan struktural yang dicksploitasi menjadi keke- rasan politik, Kekerasan struktural pada dasamya bersumber dari akumulasi rasa frustasi individual karena apa yang ia ha- rapkan disediakan oleh sistem untuk peme- nuhan kebutuhan dasarnya secara nyata ti- dak didapatkan, Dengan demikiran, di kuadran ini, ada suatu kebutuhan untuk mengembangkan struktur dan institusi so- sial-politik yang dapat meningkatkan legi- timasi domestik negara di mata bangsa. Secara Konseptual, konsep legitimasi do- mnestik diperkenalkan oleh Holsti, khusus- GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Kuadran Perdamaian Demokratik nya yang berkenaan dengan hak negara untuk memerintah bangsa melalui penye- diaan jasa-jasa seperti keamanan, keadilan, perangkat hukum, ketaatan bemegara, dan variasi-variasi kesejahteraan.* Proses kon- solidasi demokrasi akan dipenuhi dengan usaha negara untuk memperoleh legitimasi horizontal dan vertikal. Legitimasi horizon- tal berkaitan dengan kemampuan negara untuk menciptakan dan menjaga kohesi so- sial antarkomponen bangsa, sementara, le- gitimasi vertikal berurusan dengan ke- mampuan negara untuk menerapkan pe- rangkat-perangkat administratif formalnya kepada seluruh komponen bangsa. Kega- galan negara untuk mendapatkan legitima- si vertikal dan horizontal akan memicu ter- jadinya tanggapan masyarakat mulai dari sekadar penolakan verbal terhadap peran negara (endurance) hingga pemberontakan bersenjata (arms rebellion).® Ayoob mempertajam kajian ini dengan me- nempatkan proses awal pembentukan ne- gara-bangsa di dunia ketiga yang berasal dari proses dekolonialisasi sebagai sumber ketidakamanan (insecurity) negara-negara dunia ketiga.° Hal ini disebabkan karena proses dekolonialisasi meninggalkan jejak hitam di negara-negara pascakolonial da- Jam bentuk rapuhnya batas teritorial nega- 1a, ketidaksiapan institusi politik, lenyap- nya stuktur adat, kegagalan rekayasa so- sial, hingga rendahnya kohesi sosial antar- Komponen bangsa. Ketidakamanan ini cen- derang ditangani negara dengan pola-pola represif dalam rentang waktu yang pan- jang untuk memperkuat legitimasi rejim politik. Ayoob melihat bahwa strategi represif ini cenderung dibutuhkan dalam proses awal pembentukan negara-bangsa.* Hal yang GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005, Andi Widjajanto, sama juga dilihat oleh Tilly® untuk kasus pembeniukan negara-bangsa di Eropa di abad ke-13 hingga ke-17. Kebutuhan nega- ra untuk menggunakan strategi represif ini akan menimbulkan security dilemma; dalam arti upaya maksimal negara untuk mem- proyeksikan kemampuan penggunaan ke- kerasan akan menurunkan legitimasi nega- ra tersebut di mata bangsa. Satu-satunya cara untuk mendapatkan legi- timasi negara adalah melalui perubahan struktural. Bagi Galtung, perubahan struk- tural bisa dimulai jika potensi kekerasan struktural (structural violence) yang ada da- lam sistem bisa diidentifikasi sehingga da- pat dirancang solusi-solusi yang mungkin diterapkan untuk _ menghilangkannya.* Proses merancang solusi tersebut akan me- maksa negara untuk secara kolektif” meng- eksplorasi cara-cara nonkekerasan untuk menyelesaikan sengketa dan menempatkan instrumen perang sebagai alternatif terak- hir. Kuadran Il: Kekuasaan Sebagai Deter- minan Di kuadran I, faksionaiisasi politik domes- tik berpengaruh terhadap munculnya kon- flik internal dalam proses demokratisasi. Kendala-kendala utama yang dimiliki ne- gara-bangsa baru dalam melaksanakan proses demokratisasi adalah ketidaksiapan struktur sosial negara untuk mengantisipa- si dinamika proses demokratisasi. Kaplan melihat ketidaksiapan ini cenderung terjadi saat ada upaya eksternal dan internal un- tuk mempercepat proses demokratisasi.* Hal ini terjadi di Aljazair, Lebanon, Rwan- da, dan Sierra Leone. Gejala ini mendorong Kaplan untuk menawarkan suata hybrid- regime yang dapat menjembatani kebutuh- Kuadran Perdamaian Demokratik an absolutisme negara dengan penyebaran iberalisasi politik. Mansfied dan Snyder, misalnya, menemu- ‘kan bahwa (1) proses demokratisasi cende- rung terjadi pada tahap awal proses pem- bentukan negara bangsa; dan (2) proses ini lebih berasosiasi dengan perang daripada perdamaian.® Temuan senada juga diberi- kan olch Hassan. Hassan mengkaji proses demokratisasi yang terjadi di Asia Tengga- ra dan berupaya mengeitkannya dengan tingkat stabilitas yang dialami suatu nege- ra, Hassan berkesimpulan bahwa proses demokratisasi di Asia Tenggara cenderung tidak stabil karena: (1) ledakan partisipasi rakyat tidak mampu dikelola oleh institusi politik yang ada; dan, (2) ketidakmampu- an negara untuk menerapkan prinsip good ‘governance. Kontribusi lain diberikan oleh Dassel yang melihat adanya pertarungan antara ke- Jompok sipil dan militer dalam proses pem- bentukan negara-bangsa yang, dikaji de- ngan menggunakan dia kerangka pemikir- an: militarist perspective dan diversionary war! Dassel melihat bahwa gerakan na- tional liberation yang terjadi untuk me- merdekakan negara-negara_pascakolonial mengharuskan elit politik untuk mengun- dang kelompok militer dalam rejim politik Kepentingan kelompok militer ini akan ter- capai saat terbuka peluang untuk menye- lesaikan krisis dengan strategi-strategi rep- resif, Bagi Dassel, peluang dominasi juga dilihat oleh elit sipil saat terjadi_ krisis politik domestik, Saat krisis texjadi, elit sipil cenderung melakukan proses sekuritisasi dengan memprovokasi munculnya konflik eksternal (diversionary war) yang dapat me- nyatukan bangsa dalam sat kepemim- pinan politik absolut. Usaha meneiptakan Andi Widjajanto diversionary war ini akan memberi kesem- patan kelompok militer untuk melakukan penetrasi ke struktur politik domestik. Kuadran [il: Ekonomi Kesejahteraan Di kuadran TI, masalah sumber daya eko- nomi, lingkungan hidup, dan demografi dapat dimunculkan sebagai variabel-va- riabel bebas yang dapat digunakan untuk menjelaskan arah proses demokratisasi. Keterkaitan antara demografi dan proses pembentukan negara-bangsa, misalnya, di- tunjukkan oleh Goldstone. Goldstone me- nyajikan suatu tinjauen historis yang men- deskripsikan bagaimana _pertumbuhan penduduk yang pesat cenderung diikuti ‘oleh Kegagalan institusional negara yang akan mengarah ke bentuk-bentuk keke- rasan oleh, terhadap, atau di negara, seperti pemberontakan, kekerasan komunal, atau bahkan perang saudara. Goldstone juga mengingatkan bahwa setelah 1870, pertum- uhan penduduk di negara-negara maju menunjukkan penurunan (negative grovth), namun ledakan pertumbuhan penduduk di negaranegara berkembang bara mulai di paruh kedua abad ke-20. Dengan demikian, bisa diprediksikan bahwa gelombang keke- rasan I dan II yang pernah terjadi Eropa di abad ke-16 hingga ke-19 akan terjadi dalam skala global di abad ke-20 dan ke-21. Ge- Jombang kekerasan global ini akan me- Janda negara-negara berkembang yang se- bagian besar merupakan negara-negara hasil proses dekolonialisasi dan masih ber- gulat dengan transisi demokeasi:* Homer-Dixon memperluas analisis Gold- stone dengan meletakkan aspek demografi (pertumbuhan penduduk) sebagai salah sa- tu sumber degradasi lingkungan yang akan berinteraksi dengan dua sumber lainnya, GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005, ‘Kuadran Perdamaian Demokratike yaitu penurunan kuantitas dan kualitas re- newable resources serta adanya diskriminasi akses terhadap sumber daya.“ Degradasi lingkungan cenderung terjadi pada proses awal pembentukan negara-bangsa Karena pada kondisi awal ini, institusi politik- ekonomi yang ada belum dapat mengem- bangkan suatu rekayasa sosial untuk me- ngelola sumber daya yang tersedia. Kega- galan negara untuk mengatasi masalah degradasi lingkungan ini dapat menimbul- kan berbagai konflik, seperti konflik etnis (karena kompetisi perebutan sumber daya), krisis rejim politik, dan bahkan gejala sepa- ratisme. Salah satu alternatif rekayasa sosial yang terkait dengan kesejahteraan rakyat adalah Konsep pembangunan berkelanjutan. Dili- hat dari tradisi pemikiran, perspektif pem- bangunan lebih dekat dengan pemikiran strukturalis yang menekankan pentingnya upaya untuk menghilangkan sebab-sebab dasar konflik seperti ketidakadilan dan ke- timpangan sosial di dalam sistem inter- nasional. Perspektif ini juga lebih dekat dengan konsepsi United Nations Develop- ment Programme (UNDP) yang tertuang dalam Japoran Human Development Report 1994 yang menjadikan konsepsi_pemba- ngunan sebagai strategi ulama untuk mene capai perdamaian positif. Pembangunan merupakan salah satu solusi Klasik yang ditawarkan untuk menghilang- kan instabilitas sosial-politik. Konsep pas- ca-Perang Dunia II ini berkembang menjadi konsep rekonstruksi negara pascaperang di tahun 1950-an. Pada dekade 1960-an, Kon- sep pembangunan terkait dengan program pemerintah yang terencana berdasarkan ti- ga kurun waktu, yaitu pendek, menengah, dan panjang yang mengutamakan proses GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Andi Widjajanto industrialiasi serta investasi infrastruktur. Di dekade 1970-an, seiring dengan mere- baknya krisis ekonomi dunia yang didahu- lui oleh krisis minyak global, konsep pem- bangunan lebih berasosiasi dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, pengu- rangan kemiskinan, serta redistribusi pen- dapatan. Pergeseran cukup mendasar ter- jadi di dekade 1980-an ketika konsep pem- bangunan lebih ditujukan untuk melaku- kan perubahan struktural ekonomi makro negara dengan cara melakukan perimbang- an anggaran belanja negara serta neraca perdagangan, efisiensi pengeluaran di sck- tor publik, serta penghapusan subsidi. Saat ini, Konsep pembangunan didominasi oleh upaya untuk menghilangkan kemiskinan ekonomi serta kesenjangan sosial melalui pertumbuhan ekonomi yang. didasarkan pada investasi dan penerapan kemajuan il- mu pengetahuan dan teknologi.** Namun, sejarah menunjukkan bahwa pem- bangunan ekonomi tidak selalu membawa masyarakat ke arah keamanan dan per- damaian. Untuk menghilangkan kesenjang- an antara pembangunan dan perdamaian, keamanan harus_ditempatkan sebagai tu- juan eksplisit dari pembangunan. Kondisi ketidakamanan bagi negara dan bangsa se- lau menjadi hambatan utama pembangun- an di banyak negara. Jika suatu negara berusaha keluar dari lingkaran setan di ma- na instabilitas, kriminalitas, kemiskinan, dan kekerasan komunal saling memper- kuat satu sama lain, maka pembangunan dan keamanan haras didekati secara simul- tan. Strategi simultan antara pembangunan dan Keamanan telah terus-menerus dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Boutros Boutros-Ghali” dan Kofi Annan®, Kuadran Perdamaian Demokratik misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa ada keterkaitan erat antara kemiskinan, ke- senjangan sosial, dan konflik. Strategi si- multan global yang telah dilakukan pada dasamya merupakan fusi dati dua agenda pembangunan, yaitu, pembangunan berke- Janjutan (sustainable development) dan pem- bangunan manusia (hitman development). Konsep pembangunan berkelanjutan diper- Kenalkan oleh Komisi Brundtland. Komisi ini mendesak negara-negara di dunia un- tuk segera menjadikan pelestarian ling- kungan sebagai bagian integral dari agenda pembangunan. Komisi Brundtland melihat kelestarian lingkungan sebagai parameter dasar bagi keberhasilan pembangunan jangka panjang suatu negara. Konsep pembangunan manusia dipromosi- kan oleh UNDP dalam laporan pertama UNDP tentang Humen Development Report 1990. Laporan ini menyatakan bahwa “people must be center of all development [and] that while growth in national production (GDP) is absolutely necessary to mect all essential human objectives, what is important is to study how this growth translates -or fails to franslate- into human development." Lapos- an ini ditindaklanjuti dan menjelma menja- i laporan kelima UNDP tentang Human Development Report yang mengawali fusi Konsep pembangunan manusia dengan perluasan konsep keamanan yang kemu- dian dikenal sebagai konsep human se- curity Kuadran IV: Human Security, Hak Asasi Manusia, dan Kebebasan Sipil Di kuadran terakhir, pengeloaan ituman se- curity diharapkan dapat mengarah. kepada perwujtidan perdamaian demokratis. Un- tuk itu, hnman security didefinisikan secara 10 Andi Widjajanto Juas sehingga mencakup berbagai dimensi hak-hak asasi manusia, Khusus untuk asus pelanggaran HAM, Herbert Kelman® dan Ted Robert Gurr, misainya, meru- muskan suatu formula yang menyatakan bahwa “pengingkaran terhadap HAM ipso facto dengan pengingkaran terhadap har- ‘moni sosial dan perdamaian” Ciri Khas utama dari perspektif ini adalah adanya jangkar aturan hukum dan kon- vensi intemasional yang digunakan untuk menghilangkan masalah-masalah /ucman int- security. Perspektif ini melihat bahwa an- caman utama bagi fmman security adalah penolakan hak-hak asasi manusia dan tidak adanya supremasi hukum.® Penganut per- spektif ini selain berupaya untuk memper- kuat kerangka legal normatif di level regional dan global, juga berusaha mem- pertajam dan memperkuat hukum hak asa- si manusia serta sistem peradilan di level nasional. Bagi mereka, institusi interna- sional merupakan titik sentral untuk me- ngembangkan norma-norma hak asasi ma- nusia yang pada akhimnya akan menim- bulkan konvergensi di tingkat nasional se- suai dengan standar-standar dan praktik- praktik peradilan yang terjadi di masing- masing negara, Penekanan akan pentingnya hak asasi ma- nusia sebagai Komponen dasar hiorian security sebenamya sudah dimulai sejak perjanjian Peace of Westphalia, yang tertuang, dalam Traktat Osnabruck dan Munster 1648. Traktat ini tidak hanya mengakhiri perang agama di Eropa dan formalisasi dari prinsip kedaulatan negara, tetapi juga menandai diakuinya hakchak kelompok minotitas [agama] Hak-hak kelompok minoritas menjadi topik utama politik in- ternasional saat Woodrow Wilson mengait- GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Kuadran Perdamaian Demokratik kan hak minoritas dengan hak penentuan nasib sendiri (self-determination). Jaminan formal tentang hak minoritas ini diperoleh dengan adanya pengakuan Liga Bangsa- Bangsa (LBB) yang membentuk Komisi Mi- noritas untuk melakukan arbitrasi terhadap funtutan-tuntutan kelompok — minoritas akan pementthan hak mereka. Pengakuan formal komunitas internasional tentang hak-hak asasi manusia mencapai Kulminasinya saat PBB terbentuk. Walau- pun Piagam PBB tidak secara eksplisit mencatumkan substansi hak-hak asasi ma- nusia, Piagam PBB berhasil menunjukkan adanya kelerkaitan antara hak-hak asesi manusia dan keamanan internasional serta perdamaian dunia. Keterkaitan tersebut muncul di Mukadimah Piagam PBB serta Pasal 1, 55, dan 56 Piagam PBB, Pem- bukaan Piagam PBB secara Iugas menya- takan: “reaffirms faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the person, in the equal rights of men and women and of nations large and smal.” Pasal 1 Piagam PBB juga secara tegas menyatakan bahwa tuju-an pendirian PBB adalah “to develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of people.” Pasal 1 Piagam PBB juga me-netapkan bahwa tujuan PBB adalah men-dorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan funda-mental untuk seluruh umat manusia_ tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, maupun agama, Dalam Pasal 55 dan 56, seluruh anggota PBB mengikat diri dalam suatu komitmen GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Andi Widjajanto “to promote the conditions of stability and well-being which are necessary for peaceful and friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self- determination of peoples.” Kodifikasi formal terhadap substansi hak- hak asasi manusia akhirnya berhasil dila- kukan dengan diadopsinya Universal Declaration of Human Rights Majelis Umum PBB (1948). Deklarasi ini memuat 30 prin- sip hak asasi manusia, yang oleh Moravsick dikelompokkan dalam enam kluster hal: ()) hak-hak individu, yang antara lain mencakup hak hidup, kedudukan sama di mata hukum, perlindungan terhadap perla- Kuan diskriminasi yang berbasis ras, etnik, jenis kelamin, atau agama; (2) hak-hak le- gal, yang mencakup antara lain akses un- tuk mendapatkan perlindungan hukum serta hak untuk mendapatkan proses hu- kum yang sah, netral, dan imparsial; (3) ke- bebasan sipil, yang mencakup kebebasan berpikit, berpendapat, dan menjalankan ibadah agama/kepercayaan; (4) hak-hak pe- menuhan kebutuhan dasar, yang menca- kup akses terhadap bahan pangan, jaminan dasar kesehatan, dan terpenuhinya kebu- tuhan hidup minimum; (5) hak-hak eko- nomi, yang mencakup hak untuk bekerja, hak rekreasi, serta hak atas jaminan sosial; dan (6) hak-hak politik, yang mencakup hak untuk dipilih dan memilih dalam pe- milihan umum serta hak untuk berpartisi- pasi dalam penyelenggaraan negara.” Implemeniasi dari kodifikasi formal terse- but dilakukan dengan mengandalkan tiga instrumen untuk mempromosikan human security. Instrumen pertama adalah pem- berian sanksi kepada suatu kelompok do- mestik atau bahkan negara dengan menu- WW Kuadran Perdamaian Demokratik tup akses ke Jalu lintas serta pasokan ba- rang, jasa, serta modal internasional. Sanik- si ini pernah diberikan oleh PBB ke-pada Rhodesia/Zimbabwe (1966-1979) untuk ka- sus proklamasi unilateral rejim Smith, Afri- ka Selatan selama masa aparteid, Irak un- tuk kasus invasi Kuwait (1990), serta Haiti untuk kasus kudeta Jenderal Cedras (1993- 1994) Instrumen kedua ada-lah manipu- lasi opini publik untuk menyorot kebijakan dan praktik negara yang melanggar prin- sip-prinsip universal hak asasi manusia. In- strumen kedua ini dilakukan oleh badan- badan internasional yang bergerak di bi- dang hak asasi manusia, seperti UN Hu- man Rights Commission, Amnesty Interna- tional, Human Rights Watch, dan juga or- ganisasi-organisasi masyarakat sipil lokal, Instrumen ketiga adalah kooptasi terhadap Kerangka legal formal di suatu negara. Hal ini dilakukan de-ngan melakukan refor- masi hukum nasional sesuai dengan prin- sip-prinsip universal tentang hak asasi manusia, Kooptasi terhadap sistem hukum nasional bisa dilakukan, misalnya, dengan menjadikan konvensi-konvensi internasio- nal tentang hak asasi manusia sebagai sum- ber hukum yang menjadi bagian dari yu- isprudensi dan statuta hukum nasional. Kemunculan inuman security pada akhirnya mengarahkan negara untuk lebih menguta- makan perlindungan keselamatan warga negara terutama saat konflik bersenjata me- rebak di suatu wilayah. Perlindungan war- ga negara oleh negara menjadi perhatian Intemational Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS). Komisi yang diketuai oleh Gareth Evans dan Mohamed Sahnoun ini berupaya untuk menghentikan perdebatan tentang hak negara untuk me- lakukan intervensi kemanusiaan dengan memperkenalkan konsep “kewajiban untuk 2 ‘Andi Widjajanto melindungi” (responsibility to protect). Kon- sep “kewajiban untuk melindungi” meng- haruskan negara untuk melakukan evalua~ si ferutama untuk melindungi‘komunitas tertentu dari pembunuhan massal, melin- dungi perempuan dari kekerasan seksual massal, serta melindungi perempuan dan anak-anak dari bencana kelaparan massal. Untuk melakukan “kewajiban untuk melin- dungi” negara harus mengembangkan ka- pasitas institusional agar dapat mengim- plementasi tiga bentuk operasional dari strategi “kewajiban untuk melindungi Ketiga bentuk operasional tersebut adalah Kewajiban untuk melakukan_ tanggapan (responsibility to react), kewajiban untuk me- Jakukan tindakan pencegahan (responsibility to prevent), dan kewajiban untuk melaku- kan proses rekonstruksi (responsibility to re- build. Strategi periahanan yang merupakan ba- gian dari konsep responsibility to protect ter- utama berkaitan dengan konsep responsi- bility to react. ICISS mengakui bahwa ke- wajiban negara untuk melakukan tanggap- an dapat melibatkan operasi militer. Na- mun, ICISS menekankan bahwa operasi liter hanya dapat dilakukan untuk kasus- kasus konflik Khusus dan yang jelas me- nunjukkan adanya atau potensi adanya es- Kalasi ke arah terjadinya kekerasaan ber- senjata massal. Operasi_ militer untuk mengimplementasikan konsep responsibility to react harus menjadi bagian dari strategi pertahanan yang peka terhadap isu human security. Penciptaan strategi pertahanan yang sensitif terhadap isu human security mengharuskan negara untuk secara tajam membahas metode perang (methods of war- fare) dan bertujuan untuk menciptakan ke- rangka formal yang tegas melarang ang- katan bersenjata untuk menggelar metode GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 ‘Kuadran Perdamaian Demokratik perang tertentu. Kerangka moral yang ber- usaha dibangun adalah doktrin jus! war yang tidak mengakui motivasi lain dari perang selain dari usaha untuk memper- tahankan diti dari agresi lawan (legitimate self-defense). PENUTUP. Metode penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah studi kepustakaan yang diarahkan untuk membentuk pe- mahaman baru tentang keterkaitan antara proses demokratisasi dan resolusi konflik, Pemahamam baru tersebut ditawarkan da- lam model kuadran perdamaian demo- kratik yang berupaya melakukan integrasi instalasi demokrasi dengan trajektori per- damaian, Proses instalasi demokrasi dan trajektori perdamaian yang terjadi diharap- kan tidak pernah meninggalkan pijakan bahwa proses tersebut mengandung ga- gasan self-liberating enterprise, suatu paham yang selalu identik dengan proses pembo- basan dari penindasan. DAFTAR PUSTAKA Almond, Gabriel dan Sydney Verba. 1963. Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Boston: Little & Brown. Annan, Kofi A.. 1999. Facing the Humanita- rian Challenge: Towards A Culture of Pre- vention. New York: UN Department of Public Information. Ayoob, Mohammed. “State Making, State Breaking, and State Failure.” Dalam Crocker, Chester A., etal, (eds). 1996. GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Andi Widjajanto Managing Global Choos: Sources of And Responses to International Conflict. Washing- ton DC: USIP Ayoob, Mohammed. 1995. The Third World Security Predicament: State Making, Regional Conflict, and the International System. Lon- don: Lynne Rienner. Banks, Michael. “Four Conceptions of Peace.” Dalam Sandole, Dennis J.D. dan Sandole-Staroste, Inggrid _(eds.). 1987. Conflict Management and Problem Solving: Interpersonal to International Applications. London: Frances Printer. Boutros-Ghali, Boutros. 1992, An Agenda for Peace, Preventive Diplomacy, Peacemaking and Peacekeeping: Report of the Secretary-General. UN GAOR/SCOR, 47% Sess, Preliminary List Ttem 10, at 55, UN Does, A/47/277 & $/2411. Brown, Michael E, dan Chantal de Jonge Oudraat “Internal Conflict and Interna- tional Action: An Overview. Dalam Brown, Burton, John W.. 1990. Conflict: Resolution and Provention. London: MacMillan. Burton, John W.. 1986. ‘The Procedures of Conflict Resolution’ dalam Edward E. Azar and John Burton, International Conflict Resolution: Theory and Practice, Sussex: Wheatsheaf. Buzan, Barry. 1991. People States & Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Eva, 24 ed.. London: Harvester Wheatsheaf, Dahl, Robert A.. 1971 Polyarchy: Partici- pation and Opposition, New Haven: Yale University Press. 2B Kuadran Perdamaian Demokratik Dassel, Kurt. “Civillians, Soldiers, and Strife: Domestic Sources of International “Aggression.” International Security, Vol. 23, No. 1, Summer 1998. Donnelly, Jack. 1993, International Human Rights. Boulder, Colorado: Westview Press. Doxey, Margareth P.. 1996. International Sanctions in Contemporary Perspective. Lon- don: Macmillan. Elson, Diane. “Economic Paradigms in Old and New: The Case of Hunan Development.” Dalam Roy Culpeper, Albert Berry, dan Francis Stewart (eds.). 1999. Global Development Fifty Years After Bretton Woods. London: Macmillan. Fisher, Ronald J.. 197. Interactive Conflict Resolution, New York: Syracuse University Press. Fisher, Ronald J. dan L. Keashly, “The Potential Complementary of Mediation and Consultation within a Contingency Mo- del of Third Party Intervention.” Journal of Peace Research, Vol. 28, No. 1, 1991. Galtung, Johan. 1996. Peace by Peacefiel Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization, London: SAGE. Goldstone, Jack A. “Demography, Domestic Conflict, and the International Order.” Dalam Paul, T.V. dan John A. Hall (eds.). 1999. International Order and the Future of World Politics. Cambridge: CUP. Goldstone, Jack A. “The Coming of Chinese Collapse.” Foreign Policy, No. 99, Summer, 1995. 4 Andi Widjajanto Gurr, Ted Robert, “Minorities, Nationalists, and Ethnopolitical Conflict.” Dalam Crocker, Chester A., Fen Osler Hampson and Pamela Aall, (eds). 1996. Managing Global Chaos: Sources and Responses to International Conflict. Washington, DC: United States Institute of Peace. Hampson, Fen Osler, et.al.. 2002. Madness in the Multitude: Human Security and World Disorder. Oxford: Oxford University Press. Hamspon, Fen Osler. “Third Party Roles in the Termination of Intercommunal Conflict.” Millennium: Journal of Interna- tional Studies, Vol. 26, No. 3, 1997. Hassan, Mohamed Jawhar. “The Nexus between Democracy and Stability: The Case of Southeast Asia.” Contemporary Southeast Asia, Vol. 18, No. 2, September 1996. Holsti, Kalevi J.. 1996. The State, War, and the State of War. Cambridge: CUP. Homer-Dixon, Thomas F.. “Environmental Searcities and Violent Conflict: Evidence form Cases,” International Security, Vol. 19, No. 1, Summer, 1994, Huntington, Samuel P.. 1991, The Third Wave of Democratization in the Late Twentich Century. Norman: University of Oklahoma Press. Huntington, Samuel P.. “Will More Coun- tries Become Democratic?” Political Science Quaterly, No.9, 1984. International Commission on Intevention and State Sovereignty (ICISS). 2001. The Responsibility to Protect. Ottawa: Interna- tional Development Research Centre. GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Kuadran Perdamaian Demokratik Kaplan, Robert. D.. 2000. The Coming of Anarchy: Shattering Dreams of the Post Cole War. New York: Vintage Books. Karl, T. Lynn. “Dilemmas of Democratizat- ion in Latin America.” Comparative Politics, No. 5, October 1990. Kelman, Herbert, “The Social Context of Torture: Policy Process and Authority” da- Jam RD, Crelinsten dan A.P. Schmid (eds.). 1993. The Politics of Pain: Torturers and their Masters. Leiden: Centre for the Study of Social Conflicts, Krasner, Stephen D.. 1999. Sovereignty: Or- ganized Hypocrisy (New Jersey: Princeton University Press. Lauren, Paul G.. 1998. The Evolution of Human International Rights: Vision Seen, University Park: Pennsylvania State Unie versity Press, Linz, Juan. “Crisis, Breakdown, and Re- equilibrium. Dalam Linz, Juan dan Alfred Stepan. 1978. The Breakdown of Democratic Regimes. Baltimore: The John Hopkins University Press, Mansfield, Edward D. dan Jack Snyder, “Democratization and the Danger of War.” International Security, Vol. 20, No. 1, Summer 1995, Martin Lipset, Seymour. “Some Social Re- quisites of Democracy: Economic Develop- ment and Political Legitimacy.” American Political Science Review, No. 53, 1959, Moore, Barrington, Jr... 1966. Social Origins of Dictartorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World. GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Andi Widjajanto Boston: Beacon Press. Moraveik, Andrew. “Explaining Inter- national Human Rights Regimes: Liberal Theory and Western Europe.” European Journal of International Affairs 1, June 1996. Onme, John. "The Utility of Force in a World of Scarcity.” International Security, Vol. 22, No. 3, Winter, 1997/98. Putnam, Robert, 1993. Making Democracy Work. Princeton: Princeton University Press. Rustow, Dankwart A.. “The Surging Tide of Democracy.” Journal of Democracy, No. 1, 1992, Share, Donald. “Transition to Democracy and Transition to Through Tyansaction” Comparative Politics, Vol. 19, No. 4, 1987. Stepan, Alfred. "Paths Toward Democra- tization: Theoritical and Comparative Con- siderations.” Dalam O'Donnel, Guillermo et. al. (eds,). 1986 Transitions from Authoritarian Rule: Comparative Perspectives, Baltimore: The John Hopkins University Press. Therborn, Goran. “The Rule of Capital and the Rise of Democracy.” Dalam David Held, etal, (eds.). 1983. States and Societies Oxford: Martin Robertson. Tilly, Charles. “Reflections on the History of European State-Making.” Dalam Tilly (ed.). Formation of National Interest in Western Europe. 1975, Princeton: Princeton University Press, 15 Kuadran Perdarnaian Demokratik United Nations Development Program (UNDP). 1994. Human Development Report. New York: Oxford University Press. United Nations Development Program (UNDP). 1990. Human Development Report. New York: Oxford University Press. Whitehead, Laurence. “The Consolidation of Fragile Democracies.” Dalam Robert Pastor (ed.). 1989. Democracy in the Ame- rieas. New York: Holmes. Widjajanto, Andi, “Peran Masyarakat Sipil dalam Resolusi Konflik.” Civic: Journal for Civil Society Empowerement, Vol. 1, No. 3, Desember 2003. World Commission on Environment and Development (Brundtland Commission). 1987. Our Common Future. New York: Ox- ford University Press. Zartman, William I. dan J.L. Rasmussen (eds). 1997. Peacemaking in International Conflict: Methods and Techniques. Washing: ton D.C: USIP, CATATAN BELAKANG 1 Samuel P. Huntington, The Third Wave of Domo- cratization in the Late Twentich Century, (Nosmar: University of Oklahoma Press, 1991), lm. 58. 2 Donald Shate, “Transition to Democracy and Transition to Througg Transaction,” Comparative Politics, Vol. 19, No. 4, 1987 3 Juan Linz, "Crisis, Breakdown, and Reeguilibrium,” dalam Juan Linz dan Alived Stepan, The Breakown of Democratic Regimes, (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1978), hltn. 34 “Allred Stepan, “Paths Toward Democratization: ‘Theoretical and Comparative Considerations,” dalam Guillermo O'Donnel, etaly (Cds), Transitions from ‘Authoritarian Rule: Comparative Perspectives (Baltimore: 16 Andi Widjajanto ‘The John Hopkins University Press, 1986), him. 103- 107. 2. Lynn Karl, "Dilemmas of Democratization in Latin America," Comparative Politics, No. 5, Oktober 1980. © Dankwart A. Rustow, “The Surging Tide of Democracy,” Journal af Democracy, No. 1, 1992, him. 119-122. > Huntington, Op. Cit, hm. 145. Lihat juga versi awalnya pada Huntington, “Will More Countries Become Democratic?” Political Science Quaterly, No. 99, 1984. © Seymor Martin Lipset, “Some Social Requisites of Democracy: Economie Development and Political Legitimacy,” American Political Science Review, No53, 1059, him. 75. © Robert A. Dahl, Oligarchy: Participation and Opposition, (New Haven: Yale University Press, 1971), him. 6. 0 Huntington, Loc. Cit, him. 199, 0 Gabriel Almond dan Sydney Verba, Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, (Boston: Little & Brown, 1963). © Barrington Moore, Jr, Sacial Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant inthe Making of the ‘Moder World (Boston: Beacon Press, 1966). 2 Goran Therborn, “The Rule of Capital and the Rise of Democracy,” dalam David Held, et.al, (eds.), States ‘and Sacieies (Oxford: Martin Robertson, 1983) % Laurence Whitehead, “The Consolidation of Fragile Democracies’, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York: Holmes, 1989), hlm.30. 's Robert Putnam, Making Democracy Work (Princeton: Princefon University Press, 1993). 's Robert. D Kaplan, The Coming of Anarchy: Shattering Dreams of the Post Cold War, (New York: Vintage Books, 2000), V, Pembahasas tentang konsep legitimast baik vertikal dan horizontal lihat KJ. Holsti, The State, War, and the ‘State of War, (Cambridge: CUP, 1996), Bab 5. Lihat juga Barry Buzan, People States & Fear: An Agenda for Islernational Security Shadies in the Posi-Cold War Era, 204 ed. (London: Harvester Wheatsheaf, 1991), Bab 5. ‘Edward D, Mansfield dan Jack Snyder, “De- mocratization and the Danger of War” International Security, Vol. 20, No. 1 (Summer 1995). © Thid., hl, 255-298. {sJohn Burton, Conflict: Resolution and Prevention, (Lone don: Macmillan, 1990). ™ William I. Zartman dan J. L. Rasmussen (eds: Peacemaking in International Conflict: Methods and ‘Techitques, (Washington D.C. USIP, 1997) GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 Kuadran Perdamaian Demokratik Andi Widjajanto ® Johan Gattung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization, (London: SAGE, 1996. ® Michael E. Brown dan Chantal de Jonge Oudraat, “Internal Conflict and International Action: An, Overview," dalam Brown, etal. (1996), Op. Cit, % Pembagian ini didasari pada tulisan Fen Osler Hampson, “Thitd Party Roles in the Temuination of Intercommmunal Conflict” Millenium Jounal of fter- ‘ational Stusties, Vol. 26, No.3 (1997), % Pembahasan lebih lanjut dari kombinasi variasi teknik resolusi konflik lihat Ronald J Fisher, Interactive Confct Resolution, (New York: Syracuse University Press, 1997). Lihat juga R. J. Fisher dan L. Keashly, “The Potential Complementary of Mediation and Consultation within a Contingency Model of Third Party Intervention,” journal of Peace Research, Vol. 28, No. 1 (1991). % Penekanan pada Konsep kebutuhan dasar manusia asic human needs) menyebabkan pendekatan yang dlipelopori Burton juga dikenal sebagai Human Needs Approach. Lihat, John W. Burton, Conflict: Resolution ard Prevention, (London: MacMillan, 1990), him. 36-48. ” Michael Banks, “Four Conceptions of Peace,” dalam Sandole, Dennis J.D. and Sandole-Staroste, Inggrid (eds), Conflict Management and Problems Solving: Interpersonal to International Applications, (London: Frances Printer, 1987). john W. Burton, “The Procedures of Conflict Resolution,” dalam Edward B. Azar and John Burton, International Conflict Resolution: Theory and Practice (Sussex: Wheatsheaf, 1986), nl. 101 ® Pembagian ini didasari pada tulisan Osler Hampson (1997), toe. Cit. ® Andi Widjajanto, “Peran Masyarakat Sipil Dalam Resolust Konilik:” Civic: Journal for Civil Society Empowerement, Vol. 1, No. 3, Desemibor 2008, km. 43- 52 © Kalevi J. Holst, State, War and the State of War (Cambricige: CUP, 1996), Bab 5. Lihat juga, Barry Buzan, People States & Foor : An Agenda for Inter national Security Studies in the Post Cold War Era, 2°4 ed, (London: Farvester Wheatsheat, 1991), Bab 3, 2 Bhi, him, 119-122. ® Mohammed Ayoob, The Thint World Security Predicament: State Making, Regional Conflict, and the International System: (London: Lynne Rienner, 1995), Ch. 2 Tihat juga Ayoob, “State Making, State Breaking, and State Failure” dalam Crocker, Chester A, etal, (eds), Managing Global Chaos: Sources of And Responses to International Conflict, (Washington DC: USIP, 1996). GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005 * Ayoob (1995), Op. Cit, him. 28-32, ® Charles Tilly, “Reflections on the History of European State-Making,” dalam Tilly (ed.), Formation of National Interest in Western Europe, (Princeton: Princeton University Press, 1975). “Johan Galtung. Op. Cit, (1999), ¥ Upaya kolektif ini pada awalnya diidentifikasi oleh Burton sebagai upaya untuk membentak world sciety, Galtung kemudian merevisinya sebagai upaya untuk menciptakan tton-teritoral federalism, Lihat John Burton, Oy. Cit. (1972) dan Johan Galtung, Ibid, fim. 273278 ® Robert. D Kaplan, The Coming of Anarchy: Shattering Dreams of the Post Cold War, (New York: Vintage Books, 2000), ® Edward D. Mansfied dan Jack Snyder, “De- mocratization and the Danger of Wat,” International Security, Vol. 20, No. 1 (Summer 1995). © Mohamed Jawhar Hassan, “The Nexus Between Democracy and Stability: The Case of Southeast Asia.” Contemporary Southeast Asis, Vol. 18, No2, (September 1996) 4 Kurt Dassel, “Civilians, Soldiers, and Strife: Domestic Sources of Intemational Aggression,” Inter- national Security, Vol. 23, No. 1 Sammer 1998). © Jack A. Goldstone, “Demography, Domestic Con- fit, and the International Order” dalam T.V Paul dan John A. Hall (eds,) International Order an the Future of World Politics, (Cambridge: CUP, 1999) ‘© Prediksi tentang keterkaitian antara dinamika spel demograti dan gelombang kekerasan dengan studi kkasus Cina disajikan oleh Orme dan Goldstone. Lihat John Orme, “The Utility of Force in a World of Scarcity,” International Security, Vol. 22, No. 3 (Winter, 1997/98). Lihat juga Jack Goldstone, “The Coming of Chinese Collapse,” Foreign Policy, No. 99 (Summer, 1998). * Goldstone (1995), Loc Cit. “ Thomas F, Homer-Dixon, “Environmental Scarcties and Violent Conflict: Evidence from Cases,” Interna. tional Security, Vol. 19, No. 1 (Summer, 1994} “© Fen Osler Hampson, etal, Madness in the Multitude: Human Security aud World Disorder, (Oxford: Oxford University Press, 2002), him. 18-19. “Diane Elson, “Economie Paradigms in Old and New: The Case of Human Development,” dalam Roy Culpeper, Albert Berry, dan Francis Stewart (eds), Global Development Fifly Years After Bretion Woods, (London: Macmillan, 1999), © Boutros Boutros-Ghall, An Agenda for Peace, Pre ventive Diplomacy, Peacemaking anc Peacekeeping: Report af the Secretary-Coneral, UN GAORISCOR, 47% Sess, v7 Kuadran Perdarnaian Demokratik —_— Preliminary Tist Item 10, at 55, UN Docs, A/A7/277 & 721 (1992). © Kofi Annan, Fecing the Humanitarian Chatenge: To- ‘wards A Culture of Prevention, (New York: UN Department of Public information, 1999), him. 47 © Osler Hampson, Loc. Cit, im. 152-153. ‘© World Commission on Environment and Develop- ‘ment (Brundtland Commission), Our Common: Future, (New York: Oxtord University Press, 1987) % United Nations Development Program (UNDP), Human Deseloprient Report, (New York: Oxford Uni- versity Press, 1990). 5 United Nations Development Progtam (UNDP), Human Development Report, (New York: Oxford Uni- versity Press, 1994). © Herbert Kelman, "The Social Context of Torture Policy Process and Authority” dalam RD. Crelinsten dar A. P. Schmid (eds), The Politics of Pain: Toturers and iheir Masters, (Leiden: Centre for the Study of Social Conficts, 1983), him. 30, % Ted Robert Gurr, “Minorities, Nationalists, and Ethnopolitical Conflict,” dalam Chester A. Crocker, Fen Osler Hampson and Pamela Aall, (eds), Maneging Global Chaos: Sources and Responses to Intertational Cowflct, (Washington, DC: United States Institute of Peace, 1996), hl. 63, 5 Jack Donnelly, nfernational Human Rights, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1999) Lihat juga Paul G Tauren, The Evolution of Human International Rights: Vision Seen, (University Paric Pennsylvania, State University Press, 1998). + Stephen Krasner. Sovereignty: Organizied Hypocrisy (New Jersey: Princeton University Press, 1999) Lihat juga Fen Osler Hampson, etal. Mariess inthe ‘Muliitude, Human Security and World Disorder (Oxtord’ Osford University Press, 2002), hen.18-19 S Andrew Morsvak, “Explaining International Human Rights Regimes: Liberal Theory and Wesiem urope,” European Journal of International Affirs 1, Gui 1996) 8 Bid © Margareth P. Doxey, International Sanctions in Contemporary Perspective, (London: Macmillan, 1996). © International Commission on Intevention and State Sovereignty (ICISS), The Responsibility to Protect, (Ottawa: International Development Research Centre, 2001) him. 17 Mb, hi, 31-82. 18 Andi Widjajanto GLOBAL Vol. 7 No. 2 Mei 2005

Anda mungkin juga menyukai