HUKUM PIDANA Dosen Pengampu: Dr. Made Sugi Hartono, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Komang Krisna Hery Pratama NIM; 2114101120
PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2022 MENGESAMPINGKAN ASAS LEGALITAS
Oleh Komang Krisna Hery Pratama
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan
bahwa batas-batas dan hak-hak nusantara ditentukan dengan undang-undang. UUD 1945 dalam pembukaannya menyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah di Indonesia, sehingga negara berkewajiban melindungi setiap warga negara dari segala ancaman kejahatan. Perang melawan terorisme merupakan kebutuhan mendesak untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai dengan tujuan nasional yang telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Peristiwa Bom Bali merupakan tindak terorisme terburuk yang banyak dikecam dunia internasional. Soerjadi berpandangan, “strict justice is strict injustice”, yakni hukum bila diberlakukan secara ketat dan kaku justru dapat mengoyak rasa keadilan masyarakat luas, khususnya dalam hal ini terhadap para korban, keluarga, dan teman- teman keluarga kasus bom Bali. Asas legalitas merupakan asas terpenting dalam hukum pidana, bahkan dianggap sebagai ruh hukum pidana. Sebenarnya tidak tepat mempersempit ruang lingkup asas legalitas seperti ini, karena asas tersebut juga berlaku untuk bidang hukum yang umum. Tentu saja perluasan ruang lingkup asas ini juga akan berdampak pada perbedaan makna legitimasi itu sendiri. Dalam Hukum Pidana, Asas Legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Perumusan tersebut berarti aturan pidana diberlakukan ke depan, tidak surut ke belakang. Oleh karena itulah maka dalam Hukum Pidana tidak diperbolehkan diberlakukan surut (non-retroaktif). Undang-Undang Terorisme nampaknya mengambil sikap berbeda dengan mengadakan penyimpangan asas non-retroaktif. KUHP juga merumuskan perihal kemungkinan berlakunya surut suatu aturan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, tetapi tidak semua aturan baru dapat diberlakukan surut kebelakang. Pasal tersebut merumuskan: “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Dengan perumusan demikian maka dapat dimungkinkan adanya retroaktivitas apabila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundang- undangan dan peraturan yang baru itu menguntungkan atau meringankan terdakwa. Hal ini berarti bahwa tidak setiap ada perubahan undang-undang berarti ada retroaktif, bisa jadi undang-undang lama tetap diberlakukan (tidak ada retroaktif) apabila undang- undang lama justru lebih meringankan terdakwa. Peristiwa bom Bali terjadi pada 12 Oktober 2002 sedangkan Perpu 1/2002 ditetapkan pada 18 Oktober 2002. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penerapan Perpu 1/2002 telah diberlakukan surut dan bertentangan dengan asas non-retroaktif. Namun, penerapan Perpu 1/2002 secara surut ternyata memang diatur dalam Pasal 46 Perpu 1/2002: “Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.” Berdasarkan ketentuan Pasal 46 Perpu 1/2002 dapat diketahui bahwa aturan pemberantasan tindak pidana terorisme dapat diberlakukan terhadap kasus yang terjadi sebelum berlakunya Perpu 1/2002 melalui UU atau Perpu tersendiri. Berlandaskan pada ketentuan inilah lahir Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Dalam peristiwa tersebut, seseorang yang telah berbuat yang melanggar undang- undang, sedangkan sebelum peristiwa itu diputuskan oleh hakim, kemudian undang- undang itu diubah sedemikian rupa, sehingga perbuatan semacam itu tidak melanggar, maka orang itu tidak dihukum. Bukankah disini undang-undang yang baru yang lebih menguntungkan kepada terdakwa, sehingga undang-undang itulah yang dipakai. Sehingga dalam hal ini, asas Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian atau disampingkan khusus mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa. Hal ini berarti bahwa tidak setiap ada perubahan undang-undang berarti ada retroaktif, bisa jadi undang-undang lama tetap diberlakukan (tidak ada retroaktif) apabila undang- undang lama justru lebih meringankan terdakwa. Hal ini juga dapat dilihat dari tidak adanya rasa keadilan masyarakat luas, khususnya dalam hal ini terhadap para korban, keluarga, dan teman-teman keluarga kasus bom Bali. Beberapa negara, termasuk Rusia, Jerman, bahkan Belanda, telah mengesampingkan asas legalitas. Dapat dipahami bahwa makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang diatur dalam undang- undang pidana yang dapat dipidana, dan kekuasaan yang diatur dalam hukum pidana tidak dapat diterapkan secara surut. Konsekuensi dari implikasi ini adalah bahwa perbuatan seseorang tidak secara hukum diklasifikasikan sebagai kejahatan, tidak dapat dihukum, dan penggunaan analogi untuk membuat perbuatan itu menurut hukum dilarang. Sedangkan konsekuensi dari implikasi selanjutnya adalah hukum pidana tidak boleh diterapkan secara surut, semua ini berimplikasi pada penegakan hukum dan keadilan individu.