Anda di halaman 1dari 2

Sociocultural Influences on Food Choices and Implications for Sustainable Healthy Diets

Pola makan dan pilihan dalam menentukan menu makanan individu dapat mengalami
perubahan dratis akibat beberapa faktor seperti produksi pangan dan distribusi. Pada studi
kasus ini mengambil sample di Amerika Latin yaitu, transformasi pola makan setiap individu
terjadi disebabkan oleh perkembangan ekonomi yang pesat, urbanisasi, mata pencaharian
(pendapatan), dan sistem pangan yang disertai dengan transisi gizi (pergeseran signifikan dari
pola makan nabati ke pola makan dengan proporsi energi yang lebih tinggi dari makanan
sumber hewani yang memiliki lebih banyak minyak nabati serta lemak, dan lebih banyak gula
tambahan). Selain itu, pemikiran tentang pola diet juga muncul akibat sosiokultural yang
terjadi di suatu wilayah geografis atau kelompok sosial.

Pada studi kasus melakukan pendekatan melalui aspek ideasional untuk mengetahui pengaruh
sosial budaya terhadap pilihan makanan dan implikasinya terhadap pola makan sehat bagi
individu. Aspek ideasional meliputi peran dan status organisasi sosial tentang produksi,
persiapan, konsumsi, dan akreditas yang berkaitan dengan makanan.

1. Hubungan Identitas dan Makanan


Makanan dapat menjadi simbol identitas pribadi, afiliasi kelompok, dan identitas
budaya. Salah satu contoh ialah pandangan masyarakat pada kalangan remaja yang
biasanya identik dengan “makanan cepat saji” agar terlihat elegan dan modern.
Sedangkan makanan sehat identik dengan keluarga karena keluarga pasti akan
menyajikan makanan yang sehat. Contoh lain yang sering kita lihat di sekitar ialah
makanan juga dapat menandakan sebagai status sosial, seperti makanan yang mewah
dan mahal akan ditandai sebagai kalangan orang atas, sedangkan makanan yang
sederhana dan murah akan ditandai sebagai kalangan menengah dan bawah.
2. Hubungan Gender dan Makanan
Gender mengungkapkan banyak aspek ideasional dan normatif terhadap makanan.
Keyakinan seputar feminitas atau maskulinitas berkontribusi pada pemilihan makanan
berdasarkan gender, seperti terdapat perbedaan antara pola konsumsi makanan wanita
dan pria. Contoh sederhananya adalah wanita makan lebih sedikit, tetapi juga
memakanan makanan yang ringan dan makanan halus, seperti sayuran dan buah-
buahan. Sedangkan, pria diberikan perlakuan istimewa terkait makanan sumber
hewani dan makanan berat. Kesenjangan ini terjadi disebabkan wanita memiliki
larangan atas dasar kesuburan, kehamilan, dan kualitas ASI. Contoh kasusnya adalah
wanita di pedesaan Nepal mengonsumsi lebih sedikit makanan bergizi dan memiliki
asupan kalori, beta karoten, vitamin B, dan vitamin C yang lebih rendah.
3. Hubungan Agama dan Makanan
Agama membantu mendefinisikan makanan melalui berbagai aturan, simbol, dan
makna yang mencakup larangan makanan, penerimaan makanan, dan makanan di
antara kelompok-kelompok agama. Salah satu contoh pada agama hindu yang tidak
memperbolehkan mengonsumsi sapi, tetapi pada agama lain diperbolehkan untuk
dikonsumsi.
4. Larangan Makanan
Larangan makanan ada di setiap budaya karena beberapa alasan, seperti sanksi agama
dan kesehatan. Larangan makanan mungkin berlaku juga untuk individu berdasarkan
usia, jenis kelamin, atau posisi hierarkis. Beberapa pantangan makanan juga dikaitkan
dengan menstruasi, kehamilan, dan menyusui. Selama kehamilan, ketakutan akan
keguguran, persalinan yang sulit, dan implikasinya terhadap anak mungkin
memaksakan pembatasan makanan yang memengaruhi asupan makanan dan nutrisi.
Namun, tidak semua larangan berhubungan dengan nutrisi karena makanan yang
dilarang dapat diganti dengan yang lain. Pembatasan tersebut bersifat sementara
(berlangsung beberapa hari atau minggu).

Maka dari itu, perlu diadakan promosi perubahan sosial budaya dalam praktik pangan
agar individu tidak selalu mengonsumsi makanan fast food dan memiliki menu makan
diet sehat yang berkelanjutan. Dalam hal ini, individu mengharuskan memilih
makanan berdasarkan Kesehatan, tidak hanya menilai makanan dari penampilan, rasa,
dan harga saja. Salah satu contoh untuk mengubah pola makan masyarakat dalam
aspek sosial budaya ialah mengembalikan tradisi makanan tradisional. Makanan
tradisional lebih memperhatikan takaran dan resep yang alami sehingga dapat
membatasi asupan makanan yang dianggap berlebihan. Contoh, jika kita memakan
makanan cepat saji secara berkesinambungan akan memberikan dampak buruk bagi
kita. Berbanding terbalik dengan makanan tradisional yang menghubungkan antara
makanan, Kesehatan, dan lingkungan (keanekaragaman hayati dan penggunaan
lahan). Jika, makanan tradisional yang memiliki kandungan nutrisi berlebih yang
tidak baik untuk Kesehatan, maka dapat dilakukan modifikasi terhadap makanan
tradisional dengan cara mengurasi porsi penyajian dan mengurangi gula tambahan.

Anda mungkin juga menyukai