Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Alzheimer (Alzheimer Disease/AD) adalah bentuk paling umum dari penyakit
demensia (pikun), dan prevalensi AD meningkat dengan setiap dekade kehidupan. Alzheimer
adalah demensia progresif secara bertahap mempengaruhi kognisi, perilaku, dan status
fungsional. Mekanisme patofisiologis yang mendasari AD yang tepat tidak sepenuhnya
diketahui, dan tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkannya. Meskipun obat dapat
mengurangi gejala AD untuk sementara waktu, penyakit ini akhirnya berakibat fatal. AD
sangat mempengaruhi keluarga serta pasien. Kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan
dan bantuan meningkat sampai tahap akhir dari penyakit, ketika pasien AD menjadi sangat
tergantung pada anggota keluarga, pasangan, atau pengasuh lainnya untuk semua kebutuhan
dasar mereka. Ini adalah pengalaman yang sangat umum terjadi dari jutaan orang di Amerika
Serikat yang merawat orang dengan AD (Dipiro et al, 2008).
Terapi yang dapat diberikan untuk pasien AD yaitu terapi farmakologis dengan
penggunaan obat-obatan dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis pada pasien AD
difokuskan pada tiga domain: mempertahankan fungsi kognitif, perilaku dan gejala kejiwaan
(Dipiro et al, 2008). Sedangkan terapi non farmakologi dilakukan untuk mempertahankan
fungsi kognitif yang masih ada dengan berbagai macam program kegiatan yang dapat
diberikan, antara lain terapi relaksasi dan latihan fisik untuk menyehatkan kerja otak, serta
senam otak. (Brice, 2003).
1.2 Tujuan Farmakoterapi
Memelihara mempertahankan fungsi kognitif, perilaku dan gejala kejiwaan pasien,
menunda perkembangan penyakit, dan mengontrol gangguan/kelakuan yang tidak
diinginkan. (Dipiro et al, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Etiologi dari penyakit Alzheimer


belum diketahui secara pasti. Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan
sedang diteliti ( Gen ApoE atau ȕ-secretase) (Dipiro et al, 2008).
Faktor Resiko Umur Riwayat keluarga Keterangan Kemungkinan menderita
Alzheimer meningkat dua kali lipat tiap lima tahun setelah umur 65 tahun. Setelah umur
85 tahun, resiko meningkat hingga 50%. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang
mempunyai orangtua, saudara atau anak yang menderita Alzheimer, lebih berisiko untuk
terkena Alzheimer dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga.
Abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (ApoE) terutama pada ras Kaukasian. Ada
hubungan yang erat antara cedera kepala yang berat dan peningkatan resiko terjadinya
Alzheimer.
2.2 Patofisiologi
Terdapat beberapa mekanisme yang dikatakan sebagai penyebab tingginya kadar
plak neuritik dan neurofibrilary tangles (NFTs) pada area kortikal dan lobus temporal
bagian tengah antara lain (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).
a. Hipotesis Amiloid Kaskade Plak neuritik atau pikun adalah timbunan protein
ekstraselular dari fibril dan agregat amorf dari ȕ-amiloid protein. Protein ini
merupakan pusat patogenesis Alzheimer. Protein ȕamiloid hadir dalam bentuk non-
toksin yang larut dalam otak manusia. Pada penyakit Alzheimer, perubahan
konformasi yang terjadi membuat bentuk tersebut larut dan menyebabkannya untuk
tertimbun ke plak difus amorf yang terkait dengan dystrophi neuritis. Seiring waktu,
timbunan menjadi terpadatkan ke dalam plak dan protein ȕ-amiloid menjadi fibrillar
dan neurotoksik. Peradangan terjadi secara sekunder untuk kelompok astrosit dan
mikroglia sekitar plak tersebut. Peradangan yang terjadi akibat protein ȕ-amiloid
disebut pula hipotesis Alzheimer berdasarkan mediator peradangan.
b. Neurofibrillary Tangles Neurofibrillary tangles termasuk intraseluler dan terdiri dari
protein tau abnormal terfosforilasi yang terlibat dalam perakitan mikrotubulus.
Tangles atau kekusutan mengganggu fungsi saraf yang mengakibatkan kerusakan sel,
dan kehadirannya telah berkorelasi dengan keparahan dementia. Kekusutan ini tidak
larut bahkan setelah sel mati, dan tidak dapat dihilangkan. Neuron yang dominan
dipengaruhi adalah neuron yang menyediakan sebagian besar persarafan kolinergik ke
korteks. Oleh karena itu, pencegahan adalah kunci untuk terapi target kekusutan ini.
c. Hipotesis Kolinergik Neurotransmitter asetilkolin (Ach) bertanggung jawab untuk
mentransmisikan pesan antara sel-sel saraf tertentu dalam otak. Pada penyakit
Alzheimer, plak dan tangles merusak jalur ini, menyebabkan kekurangan asetilkolin,
sehingga terjadi gangguan dalam belajar dan mengingat. Hilangnya aktivitas
asetilkolin berkorelasi dengan keparahan penyakit Alzheimer. Dasar dari pengobatan
farmakologis penyakit Alzheimer adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di
otak. Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah
sinaptik. Memblokir enzim ini mengarah ke peningkatan kadar asetilkolin dengan
tujuan menstabilkan transmisi neuro. Inhibitor kolinesterase yang disetujui di
Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit Alzheimer meliputi tacrine, donepezil,
rivastigmine, dan galantamine.
d. Abnormalitas Neurotransmitter Lain Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan
otak penderita Alzheimer mempunyai peranan penting. Neurotransmitter tersebut
antara lain seperti dopamin, serotonin, monoamin oksidase, dan glutamat. Glutamat
adalah neurotransmitter rangsang utama dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat
dalam memori, pembelajaran, dan plastisitas saraf. Kerjanya dengan cara
menyediakan informasi dari satu daerah otak ke daerah lain dan mempengaruhi
kognisi melalui fasilitasi dari koneksi dengan neuron kolinergik di korteks serebral
dan basal forebrain. Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat, N-
metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat
yang tak teregulasi. Hal ini menyebabkan kenaikan ion kalsium yang menginduksi
kaskade sekunder yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan produksi APP.
Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan pengembangan plak pada tingkat yang
lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine merupakan antagonis
NMDA non-kompetitif yang bekerja berdasarkan patofisiologi ini. Memantine saat ini
satu-satunya agen di kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
e. Kolesterol dan Penyakit Vaskular Otak Disfungsi pembuluh darah dapat mengganggu
distribusi nutrien pada sel saraf dan mengurangi pengeluaran protein ȕ-amiloid dari
otak. Peningkatan konsentrasi kolesterol juga dikaitkan dengan penyakit Alzheimer.
Kolesterol meningkatkan sintesis protein ȕ-amyloid yang dapat memicu pembentukan
plak. Selain itu, apo E4 alel dianggap terlibat dalam metabolisme kolesterol dan
berhubungan dengan tingginya kolestrol.
f. Mekanisme Lain Estrogen tampaknya memiliki sifat yang melindungi terhadap
kehilangan memori yang berhubungan dengan penuaan normal. Telah disarankan
bahwa estrogen dapat menghalangi produksi protein ȕ-amyloid dan bahkan memicu
pertumbuhan saraf pada terminal saraf kolinergik. Estrogen juga merupakan
antioksidan dan membantu mencegah kerusakan sel oksidatif.

Anda mungkin juga menyukai