Penyakit Alzheimer (Alzheimer Disease/AD) adalah bentuk paling umum dari penyakit demensia (pikun), dan prevalensi AD meningkat dengan setiap dekade kehidupan. Alzheimer adalah demensia progresif secara bertahap mempengaruhi kognisi, perilaku, dan status fungsional. Mekanisme patofisiologis yang mendasari AD yang tepat tidak sepenuhnya diketahui, dan tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkannya. Meskipun obat dapat mengurangi gejala AD untuk sementara waktu, penyakit ini akhirnya berakibat fatal. AD sangat mempengaruhi keluarga serta pasien. Kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan dan bantuan meningkat sampai tahap akhir dari penyakit, ketika pasien AD menjadi sangat tergantung pada anggota keluarga, pasangan, atau pengasuh lainnya untuk semua kebutuhan dasar mereka. Ini adalah pengalaman yang sangat umum terjadi dari jutaan orang di Amerika Serikat yang merawat orang dengan AD (Dipiro et al, 2008). Terapi yang dapat diberikan untuk pasien AD yaitu terapi farmakologis dengan penggunaan obat-obatan dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis pada pasien AD difokuskan pada tiga domain: mempertahankan fungsi kognitif, perilaku dan gejala kejiwaan (Dipiro et al, 2008). Sedangkan terapi non farmakologi dilakukan untuk mempertahankan fungsi kognitif yang masih ada dengan berbagai macam program kegiatan yang dapat diberikan, antara lain terapi relaksasi dan latihan fisik untuk menyehatkan kerja otak, serta senam otak. (Brice, 2003). 1.2 Tujuan Farmakoterapi Memelihara mempertahankan fungsi kognitif, perilaku dan gejala kejiwaan pasien, menunda perkembangan penyakit, dan mengontrol gangguan/kelakuan yang tidak diinginkan. (Dipiro et al, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi Etiologi dari penyakit Alzheimer
belum diketahui secara pasti. Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan sedang diteliti ( Gen ApoE atau ȕ-secretase) (Dipiro et al, 2008). Faktor Resiko Umur Riwayat keluarga Keterangan Kemungkinan menderita Alzheimer meningkat dua kali lipat tiap lima tahun setelah umur 65 tahun. Setelah umur 85 tahun, resiko meningkat hingga 50%. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai orangtua, saudara atau anak yang menderita Alzheimer, lebih berisiko untuk terkena Alzheimer dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga. Abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (ApoE) terutama pada ras Kaukasian. Ada hubungan yang erat antara cedera kepala yang berat dan peningkatan resiko terjadinya Alzheimer. 2.2 Patofisiologi Terdapat beberapa mekanisme yang dikatakan sebagai penyebab tingginya kadar plak neuritik dan neurofibrilary tangles (NFTs) pada area kortikal dan lobus temporal bagian tengah antara lain (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008). a. Hipotesis Amiloid Kaskade Plak neuritik atau pikun adalah timbunan protein ekstraselular dari fibril dan agregat amorf dari ȕ-amiloid protein. Protein ini merupakan pusat patogenesis Alzheimer. Protein ȕamiloid hadir dalam bentuk non- toksin yang larut dalam otak manusia. Pada penyakit Alzheimer, perubahan konformasi yang terjadi membuat bentuk tersebut larut dan menyebabkannya untuk tertimbun ke plak difus amorf yang terkait dengan dystrophi neuritis. Seiring waktu, timbunan menjadi terpadatkan ke dalam plak dan protein ȕ-amiloid menjadi fibrillar dan neurotoksik. Peradangan terjadi secara sekunder untuk kelompok astrosit dan mikroglia sekitar plak tersebut. Peradangan yang terjadi akibat protein ȕ-amiloid disebut pula hipotesis Alzheimer berdasarkan mediator peradangan. b. Neurofibrillary Tangles Neurofibrillary tangles termasuk intraseluler dan terdiri dari protein tau abnormal terfosforilasi yang terlibat dalam perakitan mikrotubulus. Tangles atau kekusutan mengganggu fungsi saraf yang mengakibatkan kerusakan sel, dan kehadirannya telah berkorelasi dengan keparahan dementia. Kekusutan ini tidak larut bahkan setelah sel mati, dan tidak dapat dihilangkan. Neuron yang dominan dipengaruhi adalah neuron yang menyediakan sebagian besar persarafan kolinergik ke korteks. Oleh karena itu, pencegahan adalah kunci untuk terapi target kekusutan ini. c. Hipotesis Kolinergik Neurotransmitter asetilkolin (Ach) bertanggung jawab untuk mentransmisikan pesan antara sel-sel saraf tertentu dalam otak. Pada penyakit Alzheimer, plak dan tangles merusak jalur ini, menyebabkan kekurangan asetilkolin, sehingga terjadi gangguan dalam belajar dan mengingat. Hilangnya aktivitas asetilkolin berkorelasi dengan keparahan penyakit Alzheimer. Dasar dari pengobatan farmakologis penyakit Alzheimer adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak. Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik. Memblokir enzim ini mengarah ke peningkatan kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan transmisi neuro. Inhibitor kolinesterase yang disetujui di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit Alzheimer meliputi tacrine, donepezil, rivastigmine, dan galantamine. d. Abnormalitas Neurotransmitter Lain Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai peranan penting. Neurotransmitter tersebut antara lain seperti dopamin, serotonin, monoamin oksidase, dan glutamat. Glutamat adalah neurotransmitter rangsang utama dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat dalam memori, pembelajaran, dan plastisitas saraf. Kerjanya dengan cara menyediakan informasi dari satu daerah otak ke daerah lain dan mempengaruhi kognisi melalui fasilitasi dari koneksi dengan neuron kolinergik di korteks serebral dan basal forebrain. Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat, N- metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Hal ini menyebabkan kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan produksi APP. Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine merupakan antagonis NMDA non-kompetitif yang bekerja berdasarkan patofisiologi ini. Memantine saat ini satu-satunya agen di kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer. e. Kolesterol dan Penyakit Vaskular Otak Disfungsi pembuluh darah dapat mengganggu distribusi nutrien pada sel saraf dan mengurangi pengeluaran protein ȕ-amiloid dari otak. Peningkatan konsentrasi kolesterol juga dikaitkan dengan penyakit Alzheimer. Kolesterol meningkatkan sintesis protein ȕ-amyloid yang dapat memicu pembentukan plak. Selain itu, apo E4 alel dianggap terlibat dalam metabolisme kolesterol dan berhubungan dengan tingginya kolestrol. f. Mekanisme Lain Estrogen tampaknya memiliki sifat yang melindungi terhadap kehilangan memori yang berhubungan dengan penuaan normal. Telah disarankan bahwa estrogen dapat menghalangi produksi protein ȕ-amyloid dan bahkan memicu pertumbuhan saraf pada terminal saraf kolinergik. Estrogen juga merupakan antioksidan dan membantu mencegah kerusakan sel oksidatif.