Anda di halaman 1dari 12

JURNAL AWAL PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI III
PRAKTIKUM II : PENYAKIT ALZHEIMER

KELOMPOK III

I Wayan Juniarsa

171200248

A2D FARMASI KLINIS

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 7 April 2020


Dosen Pengampu : Ida Ayu Manik Partha Sutema, S.Farm., M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2020
PRAKTIKUM II
PENYAKIT ALZHEIMER
I. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui definisi Alzheimer.
2. Mengetahui patofisiologi Alzheimer.
3. Mengetahui Klasifikasi Alzheimer.
4. Mengethaui tatalaksana penyakit Alzheimer.
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait Alzheimer secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.
II. Dasar Teori
2.1 Definisi Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer merupakan sebagian besar penyebab umum demensia,
menyumbang sekitar 60 persen sampai 80 persen kasus.Kesulitan mengingat
percakapan terakhir, nama atau peristiwa sering kalimerupakan gejala klinis awal,
apatis dan depresi juga gejala seringyang terjadi diawal. Termasuk gangguan
komunikasi, disorientasi, kebingungan, penilaian buruk, perubahan perilaku,pada
akhirnya kesulitan berbicara, menelan dan berjalan.(Alzheimer’s Association,
2015).
Penyakit Alzheimer merupakan sebuah kelainan otak yang bersifat
irreversible danprogresif yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf sehingga
menyebabkan kematian sel otak. Penyakit Alzheimer terjadi secara bertahap, dan
bukan merupakan bagian dari proses penuaan normal dan merupakan penyebab
paling umum dari demensia. Demensia merupakan kehilangan fungsi intelektual,
seperti berpikir, mengingat, dan berlogika, yang cukup parah untuk mengganggu
aktifitas sehari-hari.Demensia bukan merupakan sebuah penyakit, melainkan
sebuah kumpulan gejala yang menyertai penyakit atau kondisi tertentu. Gejala
dari demensia juga dapat termasuk perubahan kepribadian, mood, dan perilaku
(Society NAOAA, 2000)
Penyakit Alzheimer (AD) adalah gangguan neurodegeneratif yang
ditandai oleh gangguan kognitif dan perilaku yang secara signifikan mengganggu
fungsi sosial dan pekerjaan. Ini adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan
dengan periode praklinis yang panjang dan perjalanan progresif (Medscape).
2.2 Farkto Risko Penyakit Alzheimer
Penyebab Alzheimer Alzheimer merupakan manifestasi penyakit seperti
dementia yang berangsurangsur dapat memburuk hingga menyebabkan kematian.
Alzheimer diduga terjadi karena penumpukan protein beta-amyloid yang
menyebabkan plak pada jaringan otak. Secara normal, beta-amyloid tidak akan
membentuk plak yang dapat menyebabkan gangguan sistem kerja saraf pada otak.
Namun, karena terjadi misfolding protein, plak dapat menstimulasi kematian sel
saraf.
Para ahli percaya bahwa Alzheimer, seperti penyakit kronis umum
lainnya, berkembang sebagai akibat dari beberapa faktor. Penyebab ataupun
faktor yang menyebabkan seseorang menderita penyakit Alzheimer antara lain
sebagai berikut:
a. Usia
Faktor risiko terbesar untuk penyakit Alzheimer adalah usia.
Kebanyakan orang dengan penyakit Alzheimer didiagnosis pada
usia 65 tahun atau lebih tua. Orang muda kurang dari 65 tahun juga
dapat terkena penyakit ini, meskipun hal ini jauh lebih jarang.
Sementara usia adalah faktor risiko terbesar.
b. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluarga yang memiliki orangtua,
saudara atau saudari dengan Alzheimer lebih mungkin untuk
mengembangkan penyakit daripada mereka yang tidak memiliki
kerabat dengan Alzheimer's. Faktor keturunan (genetika), bersama
faktor lingkungan dan gaya hidup, atau keduanya dapat menjadi
penyebabnya.
c. Pendidikan dan Pekerjaan
Beberapa ilmuwan percaya faktor lain dapat berkontribusi atau
menjelaskan peningkatan risiko demensia di antara mereka dengan
pendidikan yang rendah. Hal ini cenderung memiliki pekerjaan
yang kurang melatih rangsangan otak. Selain itu, pencapaian
pendidikan yang lebih rendah dapat mencerminkan status sosial
ekonomi rendah, yang dapat meningkatkan kemungkinan
seseorang mengalami gizi buruk dan mengurangi kemampuan
seseorang untuk membayar biaya perawatan kesehatan atau
mendapatkan perawatan yang disarankan.
d. Traumatic Brain Injury (TBI)
Trauma Cedera Otak sedang dan berat meningkatkan risiko
perkembangan penyakit Alzheimer. Trauma Cedera Otak adalah
gangguan fungsi otak yang normal yang disebabkan oleh pukulan
atau tersentak ke kepala atau penetrasi tengkorak oleh benda asing,
juga dapat didefinisikan sebagai cedera kepala yang
mengakibatkan hilangnya kesadaran. Trauma Cedera Otak
dikaitkan dengan dua kali risiko mengembangkan Alzheimer dan
demensia lainnya dibandingkan dengan tidak ada cedera kepala.
(Alzheimer’s Association, 2015)
2.3 Gejala Penyakit Alzheimer
Gejala penyakit Alzheimer bervariasi antara individu. Gejala awal yang paling
umum adalah kemampuan mengingat informasi baru secara bertahap memburuk.
Berikut ini adalah gejala umum dari Alzheimer:
a. Hilangnya ingatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari.
b. Sulit dalam memecahkan masalah sederhana.
c. Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang akrab di rumah, di tempat kerja
atau di waktu luang.
d. Kebingungan dengan waktu atau tempat.
e. Masalah pemahaman gambar visual dan hubungan spasial.
f. Masalah baru dengan kata-kata dalam berbicara atau menulis.
g. Lupa tempat menyimpan hal-hal dan kehilangan kemampuan untuk
menelusuri kembali langkah-langkah.
h. Penurunan atau penilaian buruk.
i. Penarikan dari pekerjaan atau kegiatan sosial.
j. Perubahan suasana hati dan kepribadian, termasuk apatis dan depresi.
(Alzheimer’s Association, 2015)
2.4 Patofisiologi Penyakit Alzheimer
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang
dijumpai pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa
kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein
beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP).
Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan
mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan
kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid
dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan
morfologik (structural) dan biokimia pada neuron – neuron. Perubahan morfologis
terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi
soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan
neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian
besar terdiri dari protein “tau”. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai
penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus
dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD
terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan
pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama – sama.
Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya
masing – masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan
interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti
kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang
rusak menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-
beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel
neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada
keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam
pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen
oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi
gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel –
sel glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril plak yang membeku, padat,
matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh.
Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga menggagu
hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga
mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor.
Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada
AD. Secara neurokimia kelainan pada otak.
2.5 Klasifikasi Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer, terdiri dari 2 tipe yaitu:
1. Demensia presinilis (Alzheimer tipe 2)
yang menyerang orang dewasa sebelum berumur 65 tahun
2. Demensia sisnilis (Alzheimer tipe 1)
yang menyerang setelah usia 65 tahun.
2.6 Tatalaksana Penyakit Alzheimer
2.6.1 Penatalaksanaan Farmakologi
Pengobatan penyakit Alzheimermasih sangat terbatas oleh karena
penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik
dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan
keluarga. Tidak ada pengobatan spesifik untuk penyakit Alzheimer.
Pengobatan secara simptomatik, sosial, terapi psikiatri dan dukungan
keluarga menjadi pilihan terapi yang digunakan saat ini.
Acetylcholinesterase inhibitorsatau N-methyl-D-aspartate(NMDA)
inhibitor(Memantin) dapat meningkatkan fungsi kognitif pada penyakit
Alzheimer stadium awal (Japaradi 2002, Reinhard 2004).
1) Kolinesterase inhibitor
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan
inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit Alzheimer,
dimana pada penderita Alzheimerdidapatkan penurunan kadar
asetilkolin.Cholinesterase inhibitortelah diakui untuk pengobatan
penyakit Alzheimer ringan sampai sedang yang juga dapat
dijadikan standar perawatan untuk pasien dengan penyakit
Alzheimer. Kerja farmakologis dari Donepezil, rivastigmine, dan
galantamine adalah menghambat cholinesterase, dengan
menghasilkan peningkatan kadar asetilkolin di otak .Untuk
mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase. Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki
memori dan apraksia selama pemberian berlangsung. 4 jenis
kolinesterase inhibitor yang paling sering digunakan adalah
a) Donepezil (merk dagang ARICEPT®) disetujui untuk
pengobatan semua tahap Alzheimer disease. Donepezil
dimulai dengan dosis 5 mg per hari, kemudian dosis
ditingkatkan menjadi 10 mg per hari setelah satu bulan.
b) Galantamine (merk dagang RAZADYNE®) disetujui untuk
tahap ringan sampai sedang. Galantamine dimulai dengan
dosis 4 mg dua kali sehari. Pertama-tama, dosis
ditingkatkan menjadi 8 mg dua kali sehari dan akhirnya
sampai 12 mg dua kali sehari. Seperti rivastigmine, waktu
yang lebih lama antara peningkatan dosis berhubungan
dengan penurunan efek samping.
c) Rivastigmine (merk dagang EXELON®) untuk tahap
ringan sampai sedang. Dosis rivastigmine ditingkatkan dari
1,5 mg dua kali sehari sampai 3 mg dua kali sehari,
kemudian menjadi 4,5 mg dua kali sehari, dan untuk
maksimal dosis 6 mg dua kali sehari.
d) Tacrine (COGNEX®) merupakan kolinesterase inhibitor
pertama yang disetujui untuk digunakan sejak tahun 1993,
namun sudah jarang digunakan saat ini karena faktor resiko
efek sampingnya, salah satunya adalah kerusakan hati.
2) Memantin
Memantin merupakan obat yang telah diakui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer
sedang sampai berat. Dosis awal untuk penggunaan Memantin
adalah 5 mg perhari, kemudian dosis ditingkatkan berdasarkan
penelitian, hingga 10 mg dua kali sehari. Memantine tampaknya
bekerja dengan cara memblok saluran N-methyl-D-aspartate
(NMDA)yang berlebihan. Memantine yang dikombinasikan
dengan cholinesterase inhibitormaupun yang tidak, tampaknya
dapat memperlambat kerusakan kognitif pada pasien dengan AD
yang moderat
3) Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita
Alzheimerdidapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase
dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase
(45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus
basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari
selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna
terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang
sama.
4) Haloperidol
Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis
(delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-
5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila
penderita Alzheimermenderita depresi sebaiknya diberikan
tricyclic anti depresant (Amitryptiline 25-100 mg/hari)
5) Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrat endogen yang disintesa didalam
mitokondria dengan bantuan enzim ALC transferase. Penelitian ini
menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas
asetilkolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-
2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan
bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas
kerusakan fungsi kognitif.
6) Antioksidan
Pada pasien dengan AD sedang-berat, penggunaan antioksidan
selegiline, α-tokoferol (vitamin E), atau keduanya, memperlambat
proses kematian. Karena vitamin E memiliki potensi yang rendah
untuk toksisitas dari selegiline, dan juga lebih murah, dosis yang
digunakan dalam penelitian untuk diberikan kepada pasien AD
adalah 1000 IU dua kali sehari. Namun, efek yang menguntungkan
dari vitamin E tetap kontroversial, dan sebagian peneliti tidak lagi
memberikan dalam dosis tinggi karena ternyata memiliki potensi
dalam menimbulkan komplikasi kardiovaskular (Harsono 2009).
2.7.1 Penatalaksanaan Non Farmakologi
1) Makan diet Mediterania
Para peneliti menemukan bahwa orang yang secara teratur
mengkonsumsi diet Mediterania 38 persen lebih rendah untuk
terserang penyakit Alzheimer. Sebuah diet Mediterania yang kaya
dalam kacang-kacangan, lemak sehat (dari salad dressing, alpukat),
tomat, ikan, sayuran, sayuran berdaun gelap dan dan buah-buahan.
Diet Mediterania juga dikenal karena rendah daging merah, daging
organ, mentega dan susu tinggi lemak.
2) Berhenti merokok
Sebuah studi baru-baru ini dalam Archives of Internal
Medicine menemukan bahwa merokok secara langsung terkait
dengan peningkatan dramatis dalam demensia di kemudian hari.
Studi ini menemukan bahwa mereka yang dilaporkan merokok dua
bungkus rokok sehari memiliki resiko 100% lebih besar dari
diagnosis demensia dibandingkan non-perokok.
3) Makan seledri dan paprika hijau
Peneliti dari Universitas Illinois di Urbana-Champaign
melihat efek dari luteolin pada otak tikus, menurut penelitian yang
diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of
Sciences. Luteolin, yang ditemukan dalam seledri dan paprika
hijau, ditemukan untuk mengurangi radang otak yang disebabkan
oleh Alzheimer dan dapat mengurangi gejala kehilangan memori.
4) Minum kopi
European Journal of Neurology menemukan bahwa mereka
yang memiliki asupan kafein meningkat memiliki risiko yang jauh
lebih rendah berkembangnya penyakit Alzheimer daripada mereka
yang dengan sedikit atau tidak mengkonsumsi kafein. Studi lain
yang dipublikasikan dalam Journal of Alzheimer’s Disease
menemukan bahwa kadar kafein abnormal secara signifikan
menurukan protein yang terkait dengan penyakit Alzheimer dan 50
persen pengurangan di tingkat amyloid beta, zat membentuk
gumpalan lengket plak dalam otak orang-orang dengan penyakit
Alzheimer. Ini berarti bahwa studi ini menemukan bahwa kafein
dapat menjadi penting dalam mencegah Alzheimer, tetapi
sebenarnya dapat menjadi pengobatan terapi bagi mereka yang
sudah didiagnosis dengan penyakit. Hal ini merupakan
perkembangan besa, Ini juga merupakan alasan besar untuk
melanjutkan kebiasaan latte harian Anda.
5) Latihan (Olahraga)
Beberapa penelitian telah menunjukkan manfaat olahraga
pada orang dengan penyakit Alzheimer. Journal of American
Medical Associate menerbitkan penelitian yang menemukan
bahwa latihan olahraga untuk pasien dengan penyakit Alzheimer
tidak hanya meningkatkan kondisi fisik dan memperpanjang
mobilitas independen mereka. Mobilitas Independen penting
terutama bagi mereka dengan penyakit Alzheimer, karena salah
satu gejala Alzheimer yang sering tidak dibahas adalah kurangnya
keseimbangan, jatuh dan tersandung. Hal ini menyebabkan cedera
dan kebutuhan untuk pengawasan konstan pada pasien Alzheimer.
Dengan menggabungkan 60 menit latihan pada hari-hari dalam
seminggu, dan istirahat teratur, seseorang dapat meningkatkan
mobilitasnya.

III. Alat dan Bahan


3.1 Alat
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.

3.2 Bahan
1. Text Book
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
DAFTAR PUSTAKA

Bird TD, Miller BL. Alzheimer's Disease and Other Dementias. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005. p. 1-22.
Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Japardi I. 2002. Penyakit Alzheimer. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara.
Reinhard Rohkamm MD. 2004 Color Atlas of Neurology Germany: Thieme

Shaheen E Lakhan, MD, PhD, MS, Med. 2019. Alzheimer Disease.


[https://emedicine.medscape.com/article/1134817-overview#a4] (diakses tanggal 6 april
2020)
Society NAOAA. Alzheimer’s Disease and Dementia : A Growing Challenge2000:[1-6 pp.]

Anda mungkin juga menyukai