Anda di halaman 1dari 13

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

PENYAKIT ALZHEIMER

Hari, Tanggal Praktikum: Selasa, 7 April 2020


Ni Kadek Puspa Yuningsih
171200179
Kelompok IV/ A2B

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2020
PRAKTIKUM II
PENYAKIT ALZHEIMER

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Alzheimer.
2. Mengatahui patogenesis Alzheimer.
3. Mengetahui Klasifikasi Alzheimer.
4. Mengetahui tatalaksana penyakit Alzheimer
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait Alzheimer secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Alzheimer
Demensia merupakan hilangnya ingatan yang bisa timbul bersama
dengan gejala gangguan perilaku maupun psikologis pada seseorang
(Ikawati, 2009) . Gambaran paling awal berupa hilangnya ingatan
mengenai peristiwa yang baru berlangsung. Terganggunya intelektual
seseorang dengan Demensia secara signifikan mempengaruhi aktivitas
normal dan hubungan. Mereka juga kehilangan kemampuan untuk mengontrol
emosi dan memecahkan sebuah masalah, sehingga bukan tidak mungkin m
ereka mengalami perubahan kepribadian dan tingkah laku. Penyebab pertama
penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50 - 60%) dan kedua oleh
cerebrovaskuler (20%) (Japardi, 2002) .
Penyakit Alzheimer adalah penyakit degeneratif otak dan penyebab
paling umum dari demensia . Hal ini ditandai dengan penurunan memori,
bahasa, pemecahan masalah dan keterampilan kognitif lainnya yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari -
hari. Penurunan ini terjadi karena sel - sel saraf (neuron) di bagian otak yang
terlibat dalam fungsi kognitif telah rusak dan tidak lagi berfungsi normal.
2.2 Etiologi Elzheimer
Etiologi dari penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti.
Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan sedang diteliti ( Gen ApoE atau
B-secretase) (Dipiro et al, 2008).
Tabel 1. Faktor resiko menderita Alzheimer.

2.3 Patofisiologi Stroke


Ada beberapa mekanisme yang dikatakan menyebabkan plak neuritic dan
neurofibrilary level (NFTS) yang tinggi di daerah kortikal dan lobus temporal
tengah, antara lain (Chisholm-burns et al, 2008; Dipiro, 2008),
a. Hipotesis Amiloid Kaskade
Plak neuritic atau pikun adalah tumpukan protein ekstraseluler dari
fibril dan agregat amorf protein B-amiloid. Protein ini merupakan pusat
patogenesis Alzheimer. Protein B-amiloid hadir dalam bentuk non-toksin
yang larut dalam otak manusia. Pada penyakit Alzheimer, perubahan
konformasi yang terjadi membuat bentuk larut dan menyebabkannya
terkubur dalam plak difus amorf yang terkait dengan neuritis dystrophi.
Seiring waktu, tumpukan menjadi padat menjadi plak dan protein B-amiloid
menjadi terpadatkan ke dalam plak dan protein B-amiloid menjadi fibrillar
dan neurotoksik. Peradangan terjadi secara sekunder untuk kelompok
astrosit dan mikroglia sekitar plak tersebut. Peradangan yang terjadi akibat
protein ß-amiloid disebut pula hipotesis Alzheimer berdasarkan mediator
peradangan.
b. Neurofibrillary Tangles
Neurofibrillary tangles termasuk intraseluler dan terdiri dari protein
tau abnormal terfosforilasi yang terlibat dalam perakitan mikrotubulus.
Tangles atau kekusutan mengganggu fungsi saraf yang mengakibatkan
kerusakan sel, dan kehadirannya telah berkorelasi dengan keparahan
dementia. Kekusutan ini tidak larut bahkan setelah sel mati, dan tidak dapat
dihilangkan. Neuron yang dominan dipengaruhi adalah neuron yang
menyediakan sebagian besar persarafan kolinergik ke korteks. Oleh karena
itu, pencegahan adalah kunci untuk terapi target kekusutan ini.
c. Hipotesis Kolinergik
Neurotransmitter asetilkolin (Ach) bertanggung jawab untuk
mentransmisikan pesan antara sel-sel saraf tertentu dalam otak. Pada
penyakit Alzheimer, plak dan tangles merusak jalur ini, menyebabkan
kekurangan asetilkolin, sehingga terjadi gangguan dalam belajar dan
mengingat. Hilangnya aktivitas asetilkolin berkorelasi dengan keparahan
penyakit Alzheimer. Dasar dari pengobatan farmakologis penyakit
Alzheimer adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak.
Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah
sinaptik. Memblokir enzim ini mengarah ke peningkatan kadar asetilkolin
dengan tujuan menstabilkan transmisi neuro. Inhibitor kolinesterase yang
disetujui di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit Alzheimer meliputi
tacrine, donepczil, rivastigmine, dan galantamine.
d. Abnormalitas Neurotransmitter Lain
Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan otak penderita
Alzheimer mempunyai peranan penting. Neurotransmitter tersebut antara
lain seperti dopamin, serotonin, monoamin oksidase, dan glutamat. Glutamat
adalah neurotransmitter rangsang utama dalam sistem saraf pusat (SSP)
yang terlibat dalam memori, pembelajaran, dan plastisitas saraf. Kerjanya
dengan cara menyediakan informasi dari satu daerah otak ke daerah lain dan
mempengaruhi kognisi melalui fasilitasi dari koneksi dengan neuron
kolinergik di korteks serebral dan basal forebrain. Pada penyakit Alzheimer,
salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak
normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Hal
ini menyebabkan kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade sekunder
yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan produksi APP.
Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan pengembangan plak pada
tingkat yang lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine
merupakan antagonis NMDA non-kompetitif yang bekerja berdasarkan
patofisiologi ini. Memantine saat ini satu-satunya agen kelas ini yang
disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
e. Kolesterol dan Penyakit Vaskular Otak
Disfungsi pembuluh darah dapat mengganggu distribusi nutrien pada
sel saraf dan mengurangi pengeluaran protein B-amiloid dari otak.
Peningkatan konsentrasi kolesterol juga dikaitkan dengan penyakit
Alzheimer. Kolesterol meningkatkan sintesis protein B-amyloid yang dapat
memicu pembentukan plak. Selain itu, apo E4 alel dianggap terlibat dalam
metabolisme kolesterol dan berhubungan dengan tingginya kolestrol.
f. Mekanisme Lain
Estrogen tampaknya memiliki sifat yang melindungi terhadap
kehilangan memori yang berhubungan dengan penuaan normal. Telah
disarankan bahwa estrogen dapat menghalangi produksi protein ß-amyloid
dan bahkan memicu pertumbuhan saraf pada terminal saraf kolinergik.
Estrogen juga merupakan antioksidan dan membantu mencegah kerusakan
sel oksidatif.

2.4 Gejala dan Data Klinik (Clinical Presentation)


a. Keadaan Umum Diagnosis penyakit Alzheimer bergantung pada pengujian
status mental yang menyeluruh dan tes neuropsikologi, riwayat medis dan
psikiatris, neurologis ujian, wawancara pengasuh dan keluarga anggota,
serta laboratorium dan pencitraan data untuk mendukung diagnosis dan
menyingkirkan penyebab lainnya.
b. Tanda dan Gejala (Chisholm-burns et al, 2008)
 Kognitif: kehilangan memori, masalah dengan bahasa, disorientasi
waktu dan tempat, penilaian buruk atau menurun, masalah dengan
belajar dan berpikir abstrak, lupa tempat menyimpan sesuatu.
Tahapan penurunan kognitif berdasarkan stadium Alzheimer dapat
dilihat pada tabel 2. di bawah ini.
Tabel 2.. Tahapan penurunan kognitif menurut GDS (Chisholm-burns et al,
2008)

 Non-kognitif: perubahan mood atau perilaku, perubahan dalam


kepribadian, atau kehilangan inisiatif.
 Fungsional: kesulitan melakukan tugas yang familiar
c. Tes laboratorium (Chisholm-burns et al, 2008)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau computed tomography
(CT) digunakan untuk mengukur perubahan dalam ukuran otak dan
volume dan menyingkirkan stroke, tumor otak, atau edema serebral.
 Tes untuk mengecualikan kemungkinan penyebab demensia
meliputi depresi layar, vitamin B12, fungsi tiroid tes [thyroid-
stimulating hormone (TSH) dan triiodothyronine bebas dan
tiroksin], jumlah sel darah lengkap, dan kimia panel.
 Tes diagnostik lain yang perlu dipertimbangkan untuk diagnosis
diferensial: tingkat sedimentasi eritrosit, urinalisis, toksikologi, dada
x-ray, layar logam berat, tes HIV, cairan serebrospinal (CSF),
pemeriksaan electroencephalography, dan neuropsikologi tes seperti
Folstein Mini Mental Status Exam

2.5 Penatalaksanaan Terapi Alzheimer


a. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi melibatkan pasien, keluarga, atau pengasuh untuk
mensupport, menghadapi dan memahami kondisi pasien. Hidup pasien dengan
penyakit Alzheimer harus menjadi semakin lebih sederhana, terstruktur, dan
keluarga pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi perubahan dalam
kehidupan yang akan terjadi sepanjang penyakit menjadi lebih parah. Prinsip-
prinsip dasar dalam pengobatan pasien dengan Alzheimer meliputi,
 Menggunakan pendekatan yang halus terhadap pasien
 Menjamin rasa nyaman bila diperlukan
 Berempati dengan masalah pasien
 Menjalankan rutinitas sehari-hari secara tetap
 Menyediakan lingkungan yang aman
 Memberikan kegiatan di siang hari
 Menghindari overstimulasi
 Menggunakan barang-barang dekoratif yang akrab di ruang tamu
 Menanggapi penurunan mendadak dalam fungsi dan penampilan dengan
perhatian yang lebih professional
(Chisholm-burns et al, 2008)
b. Terapi Farmakologi
1. Farmakoterapi dari Gejala Kognitif
Terapi ini bertujuan mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda
perkembangan penyakit.
 Golongan Inhibitor Kolinesterase
Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda
perkembangan penyakit adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di
otak. Inhibitor kolinesterase memblok enzim asetilkolinesterase yang
menyebabkan peningkatan kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan
transmisi neuro. Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi
asetilkolin di celah sinaptik. Inhibitor kolinesterase yang disetujui
penggunaanya di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit Alzheimer
meliputi tacrine, donepezil, rivastigmine, dan galantamine (Chisholm-
burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).
a) Donepezil
Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati
penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Donepezil tersedia
dalam bentuk tablet oral. Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur,
sebelum atau sesudah makan. Obat ini akan diberikan dosis rendah pada
awalnya lalu ditingkatkan setelah 4 hingga 6 minggu. Efek samping yang
sering terjadi sewaktu minum Donepezil adalah sakit kepala, nyeri seluruh
badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang, berat
badan turun, kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekwensi
buang air kecil (Chisholm-burns et al, 2008).
b) Rivastigmine
Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati
penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Rivastigmine biasanya
diberikan dua kali sehari setelah makan. Karena efek sampingnya pada
saluran cerna pada awal pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine
umumnya dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari,
dan secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2 minggu. Dosis
maksimum biasanya hingga 6 mg dua kali sehari. Jika pasien mengalami
gangguan pencernaan yang bertambah parah karena efek samping obat
seperti mual dan muntah, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan
sebaiknya minum obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan
dengan dosis yang sama atau lebih rendah (Chisholm-burns et al, 2008 ;
Dipiro, 2008).
c) Galantamine
Galantamine biasanya diberikan dua kali sehari, setelah makan pagi
dan malam. Seringkali Galantamine diberikan dengan dosis rendah pada
awalnya yaitu 4 mg dua kali sehari untuk beberapa minggu dan dilanjutkan
dengan 8 mg dua kali sehari untuk kali sehari untuk beberapa minggu dan
dilanjutkan dengan 8 mg dua kali sehari untuk beberapa minggu
pengobatan selanjutnya. Meskipun demikian, beberapa pasien
membutuhkan dosis yang lebih besar. Untuk kapsul lepas lambat diminum
satu kali sehari. Obat dari golongan antikolinergik yang langsung masuk
ke dalam otak, seperti Atropin, Benztropin dan Ttriheksiphenil
memberikan efek yang berseberangan dengan Galantamine dan harus
dihindari minum obat tersebut jika dalam pengobatan dengan
Galantamine. Efek samping yang sering terjadi dari Galantamine adalah
mual, muntah, diare, kehilangan berat badan. Efek samping ini umumnya
terjadi pada awal pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Efek samping
yang terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Minum Galantamine
sesudah makan dan minum dengan air yang cukup akan mengurangi akibat
efek sampingnya (Chisholm-burns et al, 2008).
 Golongan Antagonis Reseptor NMDA
Golongan lain adalah antagonis reseptor NMDA. Pada penyakit
Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat
(NMDA), tidak normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat yang
tak teregulasi. Golongan ini bekerja dengan cara menghambat reseptor
tersebut schingga kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade
sekunder yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan produksi
APP tidak terjadi. Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan
pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari
protein tau. Memantine saat ini satu-satunya agen di kelas ini yang
disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati
penyakit Alzhaimer taraf sedang hingga berat. Obat ini diawali dengan
dosis rendah 5 mg setiap minggu dilakukan selama 3 minggu untuk
mencapai dosis optimal 20 mg/hari. (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro,
2008)
 Golongan Obat Non Konvensional
b. Estrogen
Penggantian estrogen telah dipelajari secara ekstensif untuk
pengobatan dan pencegahan AD. tidak semua epidemiologi studi
menunjukkan kejadian yang lebih rendah dari AD pada wanita yang
memakai terapi sulih estrogen postmenopausa. Hasil dari survei
epidemiologi mendorong peneliti untuk melihat penggunaan estrogen
preventif dan sebagai pengobatan untuk penurunan kognitif (Dipiro et al,
2008).

c. Agen Antiradang
Studi epidemiologi menunjukkan pelindung efek terhadap AD pada
pasien yang telah menggunakan NSAIDS. Pengobatan untuk kurang dari 2
tahun dikaitkan dengan risiko relatif lebih rendah, namun durasi
pengobatan yang lebih lama menurunkan risiko ini lebih lanjut (Dipiro et
al, 2008).
d. Linid-Lowering Agents
Lipid-Lowering Agents Kepentingan dalam efek proteksi yang
potensial pada pasien AD adalah agen penurun lipid (Lipid-Lowering
Agents), khususnya 3-hidroksi- 3-methylglutaryl-koenzim A reduktase
inhibitor. Studi epidemiologi menunjukkan hubungan antara tinggi usia
pertengahan, kadar kolesterol total dan AD. Uji klinis prospektif perlu
dilakukan, seperti uji untuk mengatasi kognitif, durasi efek pengobatan,
efektivitas individu agen, dan dosis yang optimal. Simvastatin telah
dipelajari dalam satu percobaan klinis menunjukkan penurunan BAP pada
pasien dengan AD yang ringan, tetapi tidak pada pasien dengan tingkat
penyakit yang parah. Atorvastatin saat ini sedang dipelajari dalam uji
klinis (Dipiro et al, 2008).
e. Antioksidan
Berdasarkan teori patofisiologis yang melibatkan oksidatif stres dan
akumulasi radikal bebas di AD, telah berkembang tentang penggunaan
antioksidan dalam pengobatan AD. Vitamin E seringkali
direkomendasikan sebagai pengobatan adjunctive untuk pasien AD. Efek
samping yang terjadi dengan mengkonsumsi vitamin E adalah gangguan
hemostasis, kelelahan, mual, diare dan nyeri perut. Vitamin E dapat
menyebabkan pendarahan jika digunakan bersama dengan obat lain seperti
aspirin, ibuprofen atau naproxen. Sebuah analisis menemukan bahwa dosis
tinggi vitamin E meningkatkan kematian pada orang yang berusia lanjut.
Untuk itu, perlu menghindarkan pemberian vitamin E dalam dosis tinggi
per hari pada pasien AD (Dipiro et al, 2008).
f. Ginkgo biloba
Ginkgo biloba Ginkgo biloba adalah ekstrak dari tanaman Ginkgo
yang mengandung bahan-bahan yang mempunyai efek yang positif pada
sel-sel otak dan tubuh. Ginkgo biloba memiliki efek antioksidan dan anti-
inflamasi yang dapat melindungi membran sel, dan mengatur kerja dari
sistem saraf. Produk dari metabolisme oksidatif, seperti radikal bebas,
dapat merusak sel saraf (neurotoksik). Ginkgo biloba dapat mengurangi
kerusakan saraf yang terjadi akibat radikal bebas tersebut dan secara
potensial dapat memperlambat onset dan progresivitas penyakit Alzheimer
(Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro et al, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Chisholm-burns, M. A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J. M. Kolesar,


J. C. Rotschafer, and J. T. Dipiro. 2008. Pharmacotheraphy Principles and
Practice. USA : The McGraw-Hill Companies inc. P. 1372
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008.
Pharmacotherapy A Patophisiologic Approach Seventh Edition. New York :
McGraw- Hill Companies

Ikawati, Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan , hal 43-50,


Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta

Japardi 2002, Gangguan Tidur , Fakultas Kedokteran Bagian Bedah : USU

Lacy, C.F., L.L. Armstrong, M.P.Goldman, L.L.Lance. 2009. Drug Information


Handbook: A Comprehensive Resource for All Clinicians and Healthcare
Professionals 18* Edition North America : Lexy Comp Inc.

Anda mungkin juga menyukai