Anda di halaman 1dari 4

Nama : Yazid Imam Bustomi

1. Jelaskan Pengertian Hermeneutika secara etimologi dan terminologi.  

2. Jelaskan pemikiran  Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher.

3. Jelaskan pemikiran hermeneutika Wilhelm Dilthey. 

4. Jelaskan pemikiran hermeneutika Ferdinand de Saussure.

5. Jelaskan perbedaan antara pemikiran hermeneutika antara Friedrich Schleiermacher,


Wilhelm Dilthey dan Ferdinand de Saussure.

Jawaban

1. Secara bahasa, akar kata Hermeneutika merujuk pada bahasa para filosuf kuno,
Yunani: hermeneuein (menafsirkan, menginterpretasikan, menerjemahkan)
dan hermeneia (penafsiran atau interpretasi). Hermeneuein memposisikan diri sebagai
kata kerja, sementara hermeneia merepresentasikan diri sebagai kata benda.
Istilah hermeneueine dan hermeneia dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam
sejumlah literatur peninggalan masa Yunanai Kuno, seperti “Organon” karya
Aristoteles yang didalamnya terdapat risalah terkenal pada bab logika proposisi yang
bertajuk “Peri Hermeneias” (tentang penafsiran). Ia juga digunakan dengan bentuk
nominal dalam epos Oedipus at Colonus. Kemudian, varian ini berkembang pesat
oleh Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus yang
mencurahkan nuansa makna hermeneutika pada signifikansi modern, khususnya pada
sastra dan interpretasi kitab suci.
Masih dalam kerangka pemahaman bahasa, istilah Hermenutika seringkali
diasosiasikan dengan kata Hermez, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani,
dimana (dimaknai) sebagai utusan “Tuhan Perbatasan”. Tepatnya, Hermez
diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke
dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Di sinilah terjadi mediasi di
mana pemahaman manusia awalnya tak dapat ditangkap lewat intelegensia, kemudian
menjadi (sesuatu yang) dipahami. Dari kerangka tersebut, kemudian muncul
pemahaman bahwa kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes merupakan
sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. 
2. Hermeneutika Schleiermacher mengasumsikan bahwa setiap tulisan selalu
mempunyai dua aspek. Pertama, aspek gramatikal: yang merupakan intisari dari
keseluruhan pemikiran atau perkataan seseorang yang diungkapkan dalam tertib
berbahasa. Kedua, yakni aspek psikologis meliputi latar belakang personal dari
kehidupan penulis yang menggerakkannya dalam ekspresi bahasa demikian. engan
demikian, menurut Schleiermacher ada dua pendekatan untuk dapat menelusuri
keasingan suatu teks. Kedua pendekatan ini bisa dibedakan, namun tidak boleh
dipertentangkan. Sebab keduanya saling memerlukan dan melengkapi satu sama lain.
Pertama, pendekatan objektif yang berdasarkan bahasa atau gramatika. Dalam
pendekatan gramatikal, pemahaman atas suatu teks dicapai melalui penelitian objektif
atas arti kata-kata di dalam teks itu, gaya bahasa, etimologi, dan tata-bahasa yang
dipakai oleh si penulis. Pendekatan gramatikal adalah upaya rekonstruksi konteks
linguitik-historis suatu teks; aturan-aturan sintaksis suatu komunitas bahasa dimana
teks itu ditulis.
Kedua, pendekatan subjektif dengan memperhatikan psikologi si penulis (interpretasi
psikologis atas teks). Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, penafsir perlu
keluar dari zamannya, merekonstruksi zaman pengarang dan menampilkan kembali
keadaan dimana pengarang dahulu berada pada saat ia menulis teksnya. Penafsir harus
menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang menjadi sasaran utama tulisan
tersebut. Penafsir merekonstruksi pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang,
gaya bahasa yang dipakainya, dan keunikannya. Dengan demikian, penafsir seolah-
olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang.
3. pemikiran Wilhelm Dilthey banyak diwarnai oleh Schleiermacher. Salah satunya
gagasan Besserverstehen. Menurut Dilthey, sangat memungkinkan jika seorang
penafsir akan bisa memahami pengarang dengan lebih baik dibanding dengan
pengarang itu memahami dirinya sendiri. Namun, kondisi tersebut tidak diraih secara
otomatis. Untuk mencapai kondisi tersebut, seorang penafsir harus melalui beberapa
tahap. Lantaran, pemahaman itu memiliki beberapa tingkat makna. Tingkat makna
pertama, pemahaman sebagai menangkap sebuah makna dengan melalui tanda yang
menunjukkan atau mewakili apa yang dimaksud (understanding as grasping of a
meaning by way of a sign that stands for or represents what is meant). Tingkat makna
kedua, pemahaman sebagai nacherleben, yaitu mengimbas kembali perasaan dan
pengalaman yang dipercayai telah dialami oleh pengarang, dengan berdasarkan
kepada pengalaman-pengalaman yang termanifestasikan dalam ungkapan yang dapat
diakses. Seorang penafsir dalam dua tingkat ini belum bisa mencapai tahap
Besserverstehen. Tetapi pada tingkat yang kedua ini, penafsir merasakan persis
dengan apa yang difikirkan dan dirasakan oleh pengarang-tidak kurang dan tidak
lebih. Hanya pada tingkat makna yang ketiga dari pemahaman, maka Besserverstehen
dapat diraih
Level makna pada tingkat ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa makna dalam
konteks, signifikansi dan implikasi dari sebuah pernyataan, tindakan atau peristiwa
tidak pernah bisa tetap dan sempurna. Sejarah adalah jaringan pola, hubungan dan
keterkaitan yang kompleks yang akal seseorang tidak pernah bisa memahaminya
secara utuh. Dalam kehidupan, terdapat beragam faktor penting yang tidak disadari.
Menangkap faktor-faktor tersebut yang saling terkait merupakan tugas yang tidak
pernah usai. Pemahaman manusia mengenai dirinya sendiri dan kekuatan-kekuatan
yang berlaku dalam kehidupannya tidak pernah lengkap. Kondisi ini membuka ruang
kemungkinan bagi sejarawan untuk selalu meliput dasar yang sama di masa
mendatang untuk mencapai pemahaman yang lebih penuh mengenainya dengan
berdasarkan kepada ilmu pengetahuan tentang keadaan yang lebih lengkap karena
biasanya lebih banyak ilmu tersedia setelah bertahun-tahun berlalu. Pemahaman yang
lebih lengkap inilah yang menyebabkan Besserverstehen bisa diraih dan inilah tugas
implisit seorang sejarawan

4. Saussure mengemukakan dua konsep dalam semiotika, yaitu penanda dan petanda.
Keduanya, mengarakterisasi “tanda”. Jadi, dalam setiap “tanda” ada unsur “penanda”
dan “petanda”. Penanda adalah konsep akustik atau suara. Sedangkan petanda adalah
konsep mental. Misalnya: konsep mental mengenai mahkluk dengan ciri: berkaki
empat, berbulu, setia, banyak dipelihara di rumah; konsep mental itu menyatu dengan
konsep akustik “kucing”. Jadi ada sebuah tanda yang menyatukan antara konsep
akustik “kucing” dan konsep mental mahkluk tertentu.
perihal tanda dalam semiotika Ferdinand de Saussure, ada tiga macam acuan soal
penanda dan yang ditandai (baca: signifier and signified). Pertama, tanda ikonik (dari
kata ikon) untuk tanda yang memuat kemiripan, bahkan keserupaan dengan objeknya
atau yang ditandai. Contoh ikonik ini ialah lukisan realis itu serupa dan mirip betul
dengan objek yang dilukis. Lukisan diri Affandi saat periode realisnya persis serupa
dengan wajah asli Affandi.

Dalam perkembangannya, Saussure terus menggarap semiotika menjadi semiologi


sehingga kita dipertajam untuk menafsir tanda-tanda, perlambangan, simbol-simbol,
ikon-ikon, baik di ilmu bahasa, di kebudayaan yang di dalamnya berada seni, maupun
pertanda dalam keseharian kita yang muncul di bentang penafsiran. Mengapa soal
tanda yang introduktif dan teksnya disaji logis dan runut berdasar penalaran budi di
depan? Pertama, dalam pandemi covid-19 masih membutuhkan cara pandang asa
benar-benar membawa kita mudah menyerah ke analisis teori konspirasi, yang kerap
merancukan dan membuat kecut. Apalagi, bila ada yang mengatakan covid-19 itu
‘buat-buatan’ sehingga tidak menganggapnya serius ada.

5. Sekalipun terpengaruh dengan teori penafsiran Schleiermacher, Dilthey juga


memiliki perbedaan penekanan dengan Schleiermacher. Jika Schleiermacher
menekankan kepada susunan keseluruhan baik itu secara gramatikal dan psikologis
dalam menafsirkan, maka Dilthey lebih menekankan kepada sejarah. Menurut
Dilthey, Schleiermacher telah gagal mempertimbangkan pentingnya perspektif sejarah
untuk menyempurnakan tugas hermeneutika, yaitu memahami pengarang lebih baik
dari pada pengarang tersebut memahami dirinya sendiri. Sedangkan Saussure lebih
dengan pendekatan symbol-simbol bagi setiap apa yang akan diinterpretasikannya.

Anda mungkin juga menyukai