A. Latar Belakang
Di kawasan Asia Pasifik, hampir semua indikator kerja paksa dialami oleh korban.
Hal itu mencakup penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan gerakan, isolasi,
kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penyimpanan/penahan dokumen
identitas, pemotongan gaji, jeratan hutang, kondisi kerja dan kehidupan yang kasar,
dan lembur berlebihan. Sementara itu, kasus kerja paksa yang paling mencolok terjadi
di sektor perikanan yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing. SBMI
dan Greenpeace (2021) menyebut 338 kasus terjadi yang menimpa awak kapal
perikanan dalam kurun waktu 2014 – 2021. Laporan juga menduga banyak korban
yang tidak melapor karena mereka tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban.
Fakta tersebut sungguh ironis pada saat Indonesia sedang surplus angkatan kerja
melalui peningkatan kualifikasi kerja dan perluasan kesempatan kerja, baik di sektor
formal maupun non-formal. Di sektor formal, Indonesia telah meletakkan model
institusi pendidikan menengah melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang
dipersiapkan untuk siap kerja bagi setiap lulusannya. Dengan didirikannya Bursa
Kerja Khusus (BKK) di SMK yang berfungsi sebagai unit pelaksana yang
memberikan pelayanan dan informasi lowongan kerja, pelaksana pemasaran,
penyaluran dan penempatan tenaga kerja; justeru eksistensinya membuat para lulusan
SMK dan penduduk yang baru memasuki usia dewasa rentan menjadi korban
perdagangan orang dan kerja paksa.
Pada tahun 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan 138
kasus perdagangan anak dengan modus magang di tempat kerja di luar negeri.
Semuanya merupakan pelajar SMK di daerah Jawa Tengah dan Nusa Tenggara
Timur. Kasus bermula ketika PT Sofia yang merupakan perusahaan perekrutan
pekerja migran Indonesia (P3MI) menawarkan kesempatan penyaluran dan
penempatan magang di perusahaan manufaktur di Malaysia melalui BKK.
Kesempatan itu mewajibkan bagi pelajar SMK untuk menyiapkan biaya penempatan
yang tinggi. Namun jika tidak memiliki biaya, para pelajar bisa berhutang kepada
P3MI. Hal ini merupakan praktik jeratan hutang yang diterapkan. Sementara di
tempat kerja, mereka tidak diberikan jam istirahat yang cukup, pemotongan gaji dan
penahanan gaji.
Di beberapa SMK, BKK tidak hanya melayani bagi para siswa di sekolah tersebut,
melainkan mereka telah mengembangkan model sendiri dengan menjaring non pelajar
SMK yang ingin meningkatkan kualifikasi kerja melalui skema non-formal. Di salah
satu sekolah di Cirebon misalnya, BKK di sebuah SMK tersebut menawarkan
program pelatihan kerja di sektor perikanan. Setelah mereka mendapatkan pelatihan
kerja, BKK menyediakan sejumlah lowongan kerja yang dapat dilamar oleh para
pelajar non-formal yang telah mengikuti program pelatihan. Praktik yang demikian
meningkatkan risiko pelajar, baik formal dan non-formal, terhadap praktik
perdagangan orang atau perbudakan modern jika BKK tidak mengembangkan dan
menyiapkan bahan ajar yang spesifik di dalam program pelatihan.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diketahuinya praktik-praktik penyebaran informasi lowongan kerja, pelatihan,
penyaluran, dan penempatan kerja yang dilakukan oleh SMK;
2. Teridentifikasinya praktik penyaluran dan penempatan kerja pelajar dan
lulusan SMK di dalam maupun luar negeri; dan
3. Tersedianya saran dan rekomendasi berbasis bukti dan rujukan dalam
formulasi kebijakan dalam orientasi pra kerja di lingkungan SMK.
C. Pertanyaan Penelitian
Untuk informasi dan klarifikasi lebih lanjut dapat menghubungi Muhammad Sofwan
Hadi (sofwan@infest.or.id | +62 812-2977-5519)