Anda di halaman 1dari 11

OBESITAS PADA ANAK

A. Definisi

Kelebihan berat badan dan besitas merupakan penumpukan lemak yang tidak normal
atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. (Who.int, 2015) Obesitas terjadi bila terjadi
pertambahan jumlah sel lemak dan pertambahan ukuran sel lemak (Sugondo,S.,2009).
Obesitas disebabkan oleh pemasukan jumlah makan yang lebih besar dari pada
pemakaiannya oleh tubuh sebagai energi. Energi yang berlebihan akan disimpan dalam
jaringan adiposa. (Hall dan Guyton, n.d.)Kelebihan berat badan dan obesitas merupakan
akumulasi lemak yang tidak normal yang dapat mengganggu kesehatan (Who.int, 2015).

Obesitas merupakan 2 keadaan patologis sebagai akibat dari konsumsi makanan yang
jauh melebihi kebutuhannya sehingga terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dari apa
yang diperlukan untuk fungsi tubuh (Soetjiningsih, 1995). Asupan energi diperoleh dari
makanan tinggi kalori sedangkan rendahnya pengeluaran energi dapat disebabkan oleh
kurangnya akifitas fisik (KKRI, 2012). Penyebab obesitas pada anak belum sepenuhnya
diketahui. Diduga obesitas pada anak disebabkan adanya interaksi antara faktor genetik dan
faktor nongenetik. Faktor genetik diantaranya salah satu atau kedua orang tua yang
mengalami obesitas, memiliki kemungkinan anaknya juga mengalami obesitas (Hidayati et
al, 2006; Soetjiningsih, 1995; Mistry dan Puthussery, 2015; Bhuiyan, Zaman dan Ahmed,
2013). Faktor nongenetik diantaranya kurangnya aktifitas fisik, perilaku menetap seperti
terlalu lama menonton televisi atau bermain game, nutrisi yang berlebihan, dan sosial
ekonomi. Faktor sosial ekonomi seperti gaya hidup seperti, pola makan, pendapatan orang
tua, tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi terjadinya obesitas pada anak (Sihadi, 2012;
Hidayati et al, 2006). Pola makan seperti makan dengan jumlah yang besar, makanan tinggi
energi seperti tinggi lemak, tinggi karbohidrat dan salah dalam memilih makanan seperti junk
food, makanan dalam kemasan dan minuman ringan (Sihadi, 2012; Payab et al., 2015).

Kurangnya aktifitas fisik seperti olah raga dan tingginya perikalu menetap yang
disebabkan oleh adanya berbagai media hiburan seperti televisi, playstation, komputer,
gedget dan sebagainya (Sihadi, 2012; KKRI, 2012; Mistry dan Puthussery, 2015). Dampak
kelebihan berat dan obesitas pada anak lebih ringan dibandingkan kelebihan berat badan dan
obesitas pada orang dewasa (Sihadi, 2012). Kelebihan 3 berat badan dan obesitas pada anak
dapat menyababkan terjadinya komplikasi seperti adanya gangguan pernapasan, penyakit
kulit, efek pfikologis seperti gangguan dalam pergaulan, gangguan ortopedi yang berakibat
terjadinya gangguan beraktifitas (Soetjiningsih, 1995). Kelebihan berat badan dan obesitas
pada anak bila tidak ditangani dengan baik dapat berlanjut menjadi kelebihan berat badan dan
obesitas pada dewasa. Kelebihan berat badan dan obesitas pada dewasa seperti meningkatkan
risiko diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan hiperlipidemia (Sihadi,
2012; Ariani dan Tembiring, 2007; Soetjiningsih, 1995; Kliegman, n.d).

Kelebihan berat badan dan besitas terjadi karena ketidakseimbangan asupan energi
antara pengeluaran energi. Obesitas adalah hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik menentukan habitus tubuh, napsu makan,
pemasukan energi, aktivitas fisik, dan pengeluaran energi. Faktor lingkungan menentukan
tingkat ketersediaan makanan, pilihan jenis makanan, tingkat aktivitas fisik dan untuk jenis
aktivitas fisik (Kliegman, n.d.). Perubahan lingkungan seperti adanya industri makanan
menyebabkan semakin sedikitnya keluarga yang menyiapkan makanannya sendiri.

Industri makanan menyediakan makanan dengan kalori tinggi, karbohidrat sederhana,


dan lemak. Banyaknnya anak yang senang mengkonsumsi makanan ini meningkatkan risiko
terjadinya obesitas. Tingginya konsumsi minuman yang tinggi karbohidrat seperti minuman
bersoda, minuman berenergi, dan sari buah menambah faktor ini (Kliegman, n.d.). 6 Tingkat
aktivitas fisik pada anak dan dewasa disebabkan oleh banyaknya kendaraan dan
berkuranganya minat untuk berjalan kaki. Televisi, komputer, video games, dan media
hiburan lainnya menyebabkan anak kurang melakukan aktivitas fisik ditambah lagi dengan
persepsi kurang amannya lingkungan menyebabkan anak untuk tetap diam di dalam rumah
(Kliegman, n.d.).

Penurunan waktu tidur pada anak-anak dan dewasa meningkatkan risiko terjadinya
obesitas, dengan dampak yang mungkin lebih besar pada anak-anak dibandingkan pada orang
dewasa. Penurunan waktu tidur berhubungan dengan penurunan tingkat leptin dan
peningkatan ghrelin yang menyebabkan peningkatan rasa lapar (Kliegman, n.d.). Faktor
genetik seperti mutasi beberapa gen berhubungan dengan obesitas gen Lep (ob), LepR (db),
POMC, MCR4R, PC-1, dan TrkB dapat menyebabkan obesitas. Sindrom genetik yang
mempunyai asosiasi dengan obesitas pada anak- anak diantaranya, sindrom Prader-Willi,
Pseudohypoparathyroidism, Sindrom Laurence-Moon-Biedl (Bardet-Biedl), Sindrom Cohen,
Sindrom Down, Sindrom Turner (Jameson dan Harrison, 2013; Kliegman, n.d.). Faktor
endokrin dan neurofisiologi yaitu penurunan tingkat leptin dan peningkatan ghrelin yang
menyebabkan peningkatan rasa lapar juga dapat menyebabkan terjadinya obesitas pada anak
anak-anak dan dewasa. Hormon pencernaan, termasuk cholecystokinin, GLP-1, peptida YY,
dan umpan balik dari neuronal vagal mendorong rasa kenyang, sedangkan ghrelin
merangsang nafsu makan. Jaringan adiposa memberikan umpan balik mengenai tingkat
penyimpanan energi ke otak melalui rilis hormon adiponektin dan leptin (Kliegman, n.d).

Obesitas yang muncul pada anak dan remaja meningkatkan risiko morbiditas dan
mortalitas pada usia dewasa muda dan dapat berlajut menjadi obesias pada usia dewasa
(Juonala et al., 2011; Mistry dan Puthussery, 2015). Obesitas pada anak menjadi faktor risiko
beberapa penyakit seperti kardiovaskular, diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, hiperlipidemia,
non alcoholic fatty liver disease (NAFLD), pubertas dini, haid yang tidak teratur dan sindrom
ovarium polikistik, steatohepatitis, sleep apnea, asma, gangguan muskuloskeletal, dan
masalah psikologi seperti depresi (Kliegman, n.d; Soetjiningsih, 1995; Lakshman, Elks and
Ong, 2012; Mistry dan Puthussery, 2015) Resistensi insulin meningkat seiring dengan
meningkatnya jaringan adiposa dan secara tidak langsung memiliki efek terhadap metabolise
lipid dan kesehatan kadiovaskular. NAFLD terjadi 10-25% remaja obesitas. NAFLD dapat
muncul dengan fibrosis berat atau steatohepatitis alkohol dan dapat menyebabkan sirosis dan
karsinoma hepatoseluler.

NAFLD berkaitan secara tidak langsung dengan penyakit kardiovaskular (Kliegman,


n.d). Anak obesitas memiiki risiko tinggi mengalami prediabetes, dislipidemia, steatosis hati,
dan hipertensi. Anak laki-laki cenderung memiliki profil risiko metabolisme dan
kardiovaskular yang lebih buruk dan komorbiditas yang lebih tinggi dibandingkan anak
perempuan (Dalla Valle et al., 2015). 10 Beberapa komplikasi mekanik dari obesitas seperti
obstructive sleep apnea dan gangguan orthopedi. Komplikasi orthopedi termasuk penyakit
Blount dan slipped femoral capital epiphysis. Komplikasi psikologikal pada anak obesitas
seperti ansietas, depresi, kurang percaya diri, tanda-tanda depresi, memburuknya prestasi
sekolah, isolasi sosial, masalah dengan intimidasi atau ditindas (Kliegman, n.d; Chung, Chiou
dan Chen, 2015).

Orang tua obesitas memiliki peran dalam terjadinya obesitas pada anak. Salah satu
dari orang tua kelebihan berat badan atau obesitas, anaknya tiga kali lebih besar kemungkinan
mengalami kelebihan berat badan atau obesitas dari pada orang tua yang tidak kelebihan
berat badan atau obesitas (Bhuiyan, Zaman dan Ahmed, 2013). Anak obesitas lima puluh
persen memiliki riwayat keluarga kelebihan berat badan atau obesitas (Mistry dan
Puthussery, 2015). Enam studi yang dilakukan di Asia Selatan empat diantaranya
menemukan hubungan positif antara status sosial ekonomi dan terjadinya kelebihan berat
badan dan obesitas pada anak. Status sosial ekonomi di tentukan melalui tempat tinggal
(perkotaan/pedesaan), biaya pendidikan per bulan, riwayat pendidikan orang tua, pekerjaan
orang tua, kekayaan menggunakan status sosial demografi, stratifikasi sosial ekonomi, dan
pengeluaran keluarga per bulan. Satu studi menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja
dengan sosial ekonomi yang lebih tinggi dan tinggal di perkotaan delapan belas kali lebih
mungkin untuk menjadi kelebihan berat badan atau obesitas dibandingkan dengan sosial
ekonomi rendah dan tinggal di pedesaan. Status sosial ekonomi yang lebih tinggi di negara
berkembang merupakan faktor penyapihan dini pemberian ASI dan memberikan pengganti
ASI. Pemberian ASI yang panjang berkaitan dengan penurunan adipositas pada masa kanak-
kanak kemudian (Mistry dan Puthussery, 2015)

Orang tua yang memiliki berat badan berlebih overweight maupun obesitas
merupakan prediktor terjadinya obesitas pada anak. Bila kedua orang tua obesitas sekitar
80% anaknya akan mengalami obesitas, dan bila kedua orang tua tidak obesitas maka
kejadian obesitas pada anak sekitar 40% (Budiyati, dkk 2013). Mekanisme kerentanan
genetik terhadap obesitas melalui efek resting metabolik rate (RMR), proses pembakaran
dalam tubuh di luar kegiatan olah raga, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan
yang jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik
sedangkan lingkungan menentukan ekspresi fenotip (Fachrunnisa, dkk 2016).

Peningkatan risiko menjadi obesitas disebabkan oleh pengaruh gen atau faktor
lingkungan dalam keluarga. Gen Leptin adalah salah satu faktor yang menyebabkan
kegemukan. Leptin adalah protein yang dihasilkan oleh sel adipose. Setelah leptin dihasilkan
lalu dialirkan dalam darah menuju hipotalamus untuk mengontrol penyimpanan lemak
(Pasanea, 2011). Menurut D’Adamo (2009), seseorang yang mengalami kelebihan berat
badan kadar leptin dalam tubuhnya meningkat. Leptin melalui sirkulasi darah mengalir ke
hipotalamus untuk berikatan dengan reseptor leptin. Interaksi ini menghasilkan pembentukan
ɑ-MSH dan CART, oleh nucleus arkuatus hipotalami. Fungsi dari pembentukan ɑ-MSH dan
CART menekan rasa lapar di hipotalami (Shufian, dkk 2014).

Pada penderita obesitas kadar leptin meningkat seiring dengan meningkatnya kadar
insulin, hal inilah yang membuat para peneliti percaya bahwa resistensi leptin merupakan
pemicu resistensi insulin. Leptin merupakan hormon yang berhubungan dengan gen obesitas.
Leptin mempengaruhi kerja hipotalamus dalam mengatur jumlah lemak tubuh, kemampuan
membakar lemak menjadi energi dan rasa kenyang (rasa setelah cukup makan). Keadaan
resisten leptin , tubuh akan menjadi tidak optimal sehingga akan terjadi obesitas dan
gangguan metabolisme tubuh lain. Leptin juga turut membantu kerja hormon insulin yaitu
hormon yang berfungsi merangsang sel-sel tubuh untuk menurunkan gula darah (D’Adamo
2009).

Faktor keturunan ikut campur dalam menentukkan jumlah sel lemak dalam tubuh,
karena pada saat ibu yang obesitas hamil, unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi
ukuran normal secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi secara otomatis (Cahyono,
2008). Penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Task Force (IOTF) dari badan
WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak menyebutkan hasil yang berbeda,
bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak sedangkan
99% disebabkan faktor lingkungan (Anggraeni, 2008).Peran faktor keturunan dapat
dibuktikan oleh peningkatan prevalensi obesitas dua kali lipat dalam tiga dekade terakhir
pada individu dengan riwayat obesitas. Penelitian Sartika, 2011 menyatakan anak yang
memiliki ayah obesitas memiliki peluang obesitas sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan anak
yang memiliki ayah tidak obesitas. Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan
genetik/hereditas anak dalam mengalami obesitas. Hasil penelitian Anggraeni, 2008
menyatakan kecenderungan obesitas terjadi pada anak yang memiliki ayah obesitas, terdapat
72,4% ayah yang memiliki anak obesitas.

B. Penentuan obesitas pada anak

Anak obesitas memiliki berat badan lebih yang lebih tinggi dari anak seusianya. Anak
obesitas akan mencapai masa pubertas lebih capat. Hal ini menyebabkan tidak hanya memiiki
berat badan yang lebih tinggi tetapi juga pematangan tulang anak obesitas lebih cepat dari
anak seusianya. Pertumbuhan anak obesitas lebih cepat dari anak seusianya dan pertumbuhan
tingginya lebih 8 cepat selesai. Ini menyebabkan anak obesitas relatif lebih tinggi pada masa
remaja awal dan akhirnya memiliki tinggi badan yang relatif lebih pendek dari anak
sebayanya (Soetjiningsih, 1995). Anak obesitas memiliki bentuk muka yang tidak
proporsional, hidung dan mulut relatif kecil dan memiliki dagu ganda. Terdapat timbunan
lamak pada daerah lengan atas, payudara, perut, dan paha. Timbunan lemak ini menyebabkan
payudara anak obesitas laki-laki terlihat tumbuh, penis terlihat kecil, dan jari-jari terlihat kecil
dan runcing. Pada beberapa bagian tubuh terdapat striae (Soetjiningsih, 1995).

Penilaian status Gizi Obesitas atau peningkatan adipositas didefinisikan menggunakan


indeks massa tubuh (IMT), yang merupakan indikator yang sangat baik untuk pengukuran
lebih langsung dari lemak tubuh. IMT = berat badan dalam kg / (tinggi dalam meter) 2. Orang
dewasa dengan IMT ≥30 memenuhi kriteria untuk obesitas, dan orang-orang dengan IMT 25-
30 jatuh di kisaran kelebihan berat badan (Kliegman, n.d.). Menurut WHO, kriteria IMT
untuk Asia IMT = 23-24,9 termasuk dalam kriteria kelebihan berat badan, IMT = 25-29,9
termasuk dalam kriteria obesitas tipe 1 dan IMT ≥ 30 termasuk kriteriadalam kriteria obesitas
tipe 2 (Lancet, 2004). Selama masa kanak-kanak, tingkat perubahan lemak tubuh dimulai
dengan adipositas tinggi selama masa bayi. Kadar lemak tubuh menurun sekitar 5,5 tahun
sampai periode yang disebut adipositas Rebound, ketika lemak tubuh biasanya pada tingkat
terendah. Adipositas kemudian meningkat sampai awal masa dewasa (Kliegman, n.d.).
Obesitas dan kelebihan berat badan pada anak umur 5-19 tahun 9 dapat menggunakan indeks
masa Tubuh menurut umur (BB/U). Anak dikatakann obesitas badan bila IMT/U > +2 SD
anak dikatakan kelebihan berat bila IMT/U > +1SD, anak dikatakan kurus IMT/U < -2 SD,
dan anak dikatakan sangat kurus bila IMT/U < -3 SD (Who.int, 2016). Menurut Supariasa
dkk, 2012 pengukuran status gizi dapat dilakukan dengan metode antropometri. Metode ini
menggunakan pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, dan tebal lapisan kulit.
Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan kebutuhan gizi. Antropometri dapat
memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau. Tingkat obesitas dapat dihitung
menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai berikut :

𝐼𝑀𝑇 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔) 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)2

Keterangan : IMT : Indeks Massa Tubuh

BB : Berat Badan

TB : Tinggi Badan Sumber: Supariasa, dkk (2012)

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Indeks
Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-score)

Berat Badan menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0-60 Bulan Gizi Buruk <-3SD Gizi
Kurang -3 SD sampai dengan 2 SD Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurt Umur (TB/U) atau Anak
Umur 0-60 Bulan Sangat Pendek <-3SD Pendek -3 SD sampai dengan 2 SD Normal -2 SD
sampai dengan 2 SD Tinggi >2 SD Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat
Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 0-60 Bulan Sangat Kurus <-3 SD Kurus -
3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Gemuk >2 SD
repository.unimus.ac.id Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 0-60
Bulan Sangat Kurus <-3 SD Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai
dengan 2 SD Gemuk >2 SD Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18
Tahun Sangat Kurus <-3 SD Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai
dengan 1 SD Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD Obesitas >2 SD Sumber :Kemenkes RI,
2010 Jika nilai IMT telah diketahui, kemudian dihitung menggunakan baku antropometri
WHO 2007 nilaiz-score IMT/U dengan rumus sebagai berikut: 𝑍 − 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 = 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
𝑠𝑢𝑏𝑗𝑒𝑘 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑟𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎n
C. Pencegahan terjadinya gizi lebih dan obesitas

Pencegahan terjadinya gizi lebih dan obesitas terdiri dari 3 tahap, pencegahan primer
dengan menerapkan pola makan dan aktivitas fisis yang benar sejak bayi, pencegahan
sekunder dengan mendeteksi early adiposity rebound, dan pencegahan tersier dengan
mencegah terjadinya komorbiditas

Pencegahan Primer Pencegahan primer dilakukan menggunakan dua strategi


pendekatan yaitu strategi pendekatan populasi untuk mempromosikan cara hidup sehat pada
semua anak dan remaja beserta orang tuanya, serta strategi pendekatan pada kelompok yang
berisiko tinggi mengalami obesitas. Anak yang berisiko mengalami obesitas adalah seorang
anak yang salah satu atau kedua orangtuanya menderita obesitas dan anak yang memiliki
kelebihan berat badan semenjak masa kanak-kanak. Usaha pencegahan dimulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan di Pusat Kesehatan Masyarakat.85 Dokter
harus mendiskusikan risiko jangka panjang yang potensial dan mendorong orangtua untuk
menerapkan strategi pencegahan obesitas. Pada bayi 0-12 bulan, peran dokter anak adalah:

1. Mendorong pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sampai usia 6 bulan dan meneruskan
pemberian ASI sampai usia 12 bulan dan sesudahnya setelah pengenalan makan padat
dimulai

2. Mendorong orangtua untuk menawarkan makanan baru secara berulang serta menghindari
minuman manis dan makanan selingan (french fries dan potato chips)

3. Tidak meletakkan televisi di dalam kamar tidur anak

4. Pengasuh selain orangtua harus menerapkan strategi yang dianjurkan

Pada anak berusia 12-24 bulan, strategi pencegahan obesitas yang dianjurkan adalah:10,86

1. Menghindari minuman manis, konsumsi jus dan susu yang berlebih. Konsumsi susu >480-
720 mL/hari dapat menambah energi ekstra atau menggantikan nutrien lainnya

2. Makan bersama di meja makan dengan anggota keluarga lainnya sebanyak 3x/hari dan
televisi dimatikan selama proses makan bersama

3. Keluarga tidak membatasi jumlah makanan dan selingan yang dikonsumsi anak, tetapi
memastikan bahwa semua makanan yang tersedia sehat serta cukup buah dan sayuran

4. Selingan dapat diberikan sebanyak 2 kali, dan orangtua hanya menawarkan air putih bila anak
haus diantara selingan dan makan padat

5. Anak harus mempunyai kesempatan bermain aktif, membatasi menonton televisi atau DVD,
serta tidak meletakkan televisi di dalam kamar tidur anak
6. Orangtua dapat menjadi model untuk membantu anak belajar lebih selektif dan sehat terhadap
makanan yang dikonsumsi. Orangtua berperan aktif dalam pendidikan media anak dengan
menemani anak saat menonton program televisi dan mendiskusikan acara tersebut dengan
anak

7. Membuat jadwal penggunaan media, membatasi waktu menonton

Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendeteksi early


adiposity rebound. Anak mengalami peningkatan IMT pada tahun pertama kehidupan. Indeks
massa tubuh menurun setelah usia 9-12 bulan dan mencapai nilai terendah pada usia 5-6
tahun, dan selanjutnya meningkat kembali pada masa remaja dan dewasa. Nilai IMT paling
rendah adalah disebut sebagai adiposity rebound. Waktu terjadinya adiposity rebound
merupakan periode kritis untuk perkembangan obesitas pada masa anak. Adiposity rebound
yang terjadi lebih dini dan cepat ((<5 tahun) berhubungan dengan peningkatan risiko obesitas
dan sindrom metabolik.

Pencegahan tersier Pencegahan tersier dilakukan dengan mencegah komorbiditas yang


dilakukan dengan menata laksana obesitas pada anak dan remaja. Prinsip tata laksana
obesitas pada anak berbeda dengan orang dewasa karena faktor tumbuh kembang pada anak
harus dipertimbangkan. Tata laksana obesitas pada anak dan remaja dilakukan dengan
pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisis, mengubah pola hidup (modifikasi perilaku), dan
terutama melibatkan keluarga dalam proses terapi.10,79 Sulitnya mengatasi obesitas
menyebabkan kecenderungan untuk menggunakan jalan pintas, yaitu diet rendah lemak dan
kalori, diet golongan darah atau diet lainnya serta berbagai macam obat. Penggunaan diet
rendah kalori dan lemak dapat menghambat tumbuh kembang anak terutama di masa emas
pertumbuhan otak, sedangkan diet golongan darah ataupun diet lainnya tidak terbukti
bermanfaat untuk digunakan dalam tata laksana obesitas pada anak dan remaja. Penggunaan
obat dipertimbangkan pada anak dan remaja obes dengan penyakit penyerta yang tidak
memberikan respons pada terapi konvensional.

Obesitas dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi yang tersering pada tahun pertama
kehidupan, usia 5-6 tahun, dan pada masa remaja. Anak-anak yang obesitas tidak hanya lebih
berat dari anak-anak seusianya, tetapi juga lebih cepat matang pertumbuhan tulangnya. Anak-
anak yang obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal, tetapi pertumbuhan
memanjangnya selesai lebih cepat, sehingga hasil akhirnya memunyai tinggi badan relatif
lebih pendek dari anak sebayanya. 21 Bentuk muka anak-anak yang obesitas tidak
proporsional, hidung dan mulut relatif kecil, dagu ganda. Terdapat timbunan lemakpada
daerah payudara, dimana pada anak-anaklaki sering merasa malu karena payudaranyaseolah-
olah tumbuh. Alat kelamin pada anakanak laki seolah-olah kecil, karena adanyatimbunan
lemak pada daerah pangkal paha. Paha dan lengan atas jauh lebih besar, jari-jaritangan relatif
kecil dan runcing. Pada penderita obesitas sering terjadi gangguan psikologis, baik sebagai
penyebab ataupun sebagai akibat dari obesitasnya. Anak juga lebih cepat mencapai masa
pubertas dimana kematangan seksual lebih cepat seperti pertumbuhan payudara, pertumbuhan
rambut pada kelamin dan ketiak.

Hidup sehat dimulai dari keluarga. Inilah yang harus diingat setiap kali memberikan
asupan pada anak. Masa tumbuh kembang anak dimulai dari usia 0 – 13 tahun, sehingga usia
ini menjadi penentu kesehatan mereka di masa yang akan datang. Di usia ini pula mereka
akan lebih cepat tumbuh dibandingkan usia remaja dan faktor hormonalnya mudah berubah.
Oleh karena itu wajib menyediakan menu sayuran dan buah-buahan di rumah, serta kurangi
asupan makanan berlemak tinggi. 22 Atur Pola Makan Pola makan yang teratur dapat
menghindari obesitas pada anak. Sebaiknya menerapkan pola makan 3 kali sehari dalam porsi
yang cukup. Porsi makan anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Kurangi jumlah
karbohidrat yang terlalu tinggi dan perbanyak asupan proteinnya. “Children's portion sizes
should be smaller than those for adults. Cutting back on portion size will help you balance
energy in and energy in,” ungkap sebuah penelitian dari National Heart, Lung, and Blood
Institute, Four Institutes from the National Institutes of Health. Pintar Memilih Camilan
Jangan asal memilih camilan untukanak. Sebaiknya pilihlah snack yang rendah MSG atau
bahan pengawet lainnya, karena makanan ini tidak sehat untuk perkembangan otak. Jatah
makanan yang memiliki rasa manis dan kadar lemak tinggi, seperti permen, minuman ringan
bersoda, dan cokelat. Bukan tidak boleh, namun batasi agar tak berlebihan. Sebagai
penyeimbang, ganti camilan dengan buah, sayuran yang telah diolah, roti gandum, kentang,
dan sebagainya. Buat kreasi makanan unik yang lezat namun menyehatkan agar anak tidak
bosan dengan menu yangsama. Beraktivitas Bersama Jangan biasakan anak ketergantungan
dengan kemajuan teknologi yang ada. Hal ini berpotensi besar membuat mereka malas,
karena dibiasakan fokus pada layar smartphone atau laptop saja di kesehariannya. Perlu
memberikan 23 aktivitas fisik padanya, seperti rutin mengajak mereka berolahraga lari pagi
keliling perumahan atau menemani belanja ke swalayan. Saat weekend ajak mereka bermain
sepeda, berenang, atau bermain di playground intinya kegiatan di luar ruangan. Edukasi Anak
Berikan pengertian dan teguran kepada anak. Jelaskan dengan gaya bahasa yang mudah
mereka mengerti tentang bahaya yang bisa terjadi jika terus-menerus makan tanpa kontrol
yang baik. Berikan contoh penyebab serta penyakit yang bisa saja mereka alami tanpa
terkesan menakut-nakuti. Hal ini baik untuk meningkatkan kesadaran dari dalam dirinya dan
membuat mereka paham akan tujuan dari pola hidup sehat. Batasi waktu bermain Tanpa
bermaksud melarang anak bermain, Glitzy Moms sebaiknya membuatkannya jam khusus
untuk waktu bermain termasuk jenis permainan yang boleh dan tidak dilakukan. Ajak mereka
melakukan permainan yang mampu melatih motoriknya sekaligus membuatnya tetap aktif
bergerak. Hindari membiasakan anak untuk duduk manis di layar kaca untuk menonton atau
bermain games sepanjang hari. 24 Bersikap Lebih Tegas Anak yang di usia 5 tahun ke atas
semakin sulit dikontrol khususnya saat memilih makanan di saat tidak ada di sampingnya.
Sikap tegas perlu diterapkan saat melihat adanya perubahan bentuk badan yang signikan pada
anak. apalagi jika dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Ajarkan agar lebih disiplin
menjalani hidup sehat, jangan lupa berikan edukasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Ariani, A. and Tembiring, T. (2007). Prevalensi Obesitas pada Anak Sekolah

Dasar di Kota Medan. Majalah Kedokteran Nusantara, 40(2), pp.86-89.

Bhuiyan, M., Zaman, S. and Ahmed, T. (2013). Risk factors associated with

overweight and obesity among urban school children and adolescents in

Bangladesh: a case–control study. BMC Pediatrics, 13(1), p.72.

Carlson, J., Crespo, N., Sallis, J., Patterson, R. and Elder, J. (2012). Dietary- Related and
Physical Activity-Related Predictors of Obesity in Children: A

2-Year Prospective Study. childhood Obesity, 8(2), pp.110-115.

Chaput, J., Lambert, M., Mathieu, M., Tremblay, M., O' Loughlin, J. and

Tremblay, A. (2012). Physical activity vs. sedentary time: independent

associations with adiposity in children. Pediatric Obesity, 7(3), pp.251-258.

Chung, K., Chiou, H. and Chen, Y. (2015). Psychological and physiological

correlates of childhood obesity in Taiwan. Sci. Rep., 5, p.17439.

Cintari, L, Padmiari, I.A., and Utami, IGA. (2011). Perbedaan Kejadian Obesitas

pada Anak Sekolah Berdasarkan Jenis Sarapan dan Faktor Keturunan. Skala

Husada, 8(2), pp.102-118.

Dalla Valle, M., Laatikainen, T., Kalliokoski, T., Nykänen, P. and Jääskeläinen, J.

(2015). Childhood obesity in specialist care – searching for a healthy obese

child. Annals of Medicine, 47(8), pp.639-654.

Hanandita, W. and Tampubolon, G. (2015). The double burden of malnutrition in


Indonesia: Social determinants and geographical variations. SSM - Population Health, 1, pp.16-
25.

Hapsari IA, Putu YA, Luh SA, (2011).Gambaran Status Gizi Siswa SD Negeri 3

Peliatan Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Denpasar: Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana. Available at:

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6695/5104. [Diakses

30 Desember 2015]

Hidayati S, Irawan R, Hidayat B, (2006). Obesitas Pada Anak. Surabaya : Divisi

Nutrisi Dan Penyakit Metabolic Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

Unair

Juonala, M., Magnussen, C., Berenson, G., Venn, A., Burns, T., Sabin, M.,

Srinivasan, S., Daniels, S., Davis, P., Chen, W., Sun, C., Cheung, M.,

Viikari, J., Dwyer, T. and Raitakari, O. (2011). Childhood Adiposity, Adult

16

Adiposity, and Cardiovascular Risk Factors. New England Journal of

Medicine, 365(20), pp.1876-1885.

KKRI, (2012). Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan

Obesitas pada Anak Sekolah. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kliegman, R. (n.d.). Nelson textbook of pediatrics. Lakshman, R., Elks, C. and Ong, K. (2012).
Childhood Obesity. Circulation, 126(14), pp.1770-1779.

Lancet (2004). Appropriate body-mass index for Asian populations and its

implications for policy and intervention strategies. The Lancet, 363(9403),

Mistry, S. and Puthussery, S. (2015). Risk factors of overweight and obesity in

childhood and adolescence in South Asian countries: a systematic review of

the evidence. Public Health, 129(3), pp.200-209.


Payab, M., Kelishadi, R., Qorbani, M., Motlagh, M., Ranjbar, S., Ardalan, G.,

Zahedi, H., Chinian, M., Asayesh, H., Larijani, B. and Heshmat, R. (2015).

Association of junk food consumption with high blood pressure and obesity

in Iranian children and adolescents: the CASPIAN-IV Study. Jornal de

Pediatria, 91(2), pp.196-205.

Prentice-Dunn, H. and Prentice-Dunn, S. (2012). Physical activity, sedentary

behavior, and childhood obesity: A review of cross-sectional studies.

Psychology, Health & Medicine, 17(3), pp.255-273.

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S.(2011). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta:


Sagung Seto.

sihadi, (2012). Kelebihan Berat Badan pada Balita. CDK-196, 39(8).

Soetjiningsih,(1995), Tumbuh Kembang Anak, Jakarta :ECG.

Sugondo,S. (2009) Obesitas. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk

(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-V. Jakarta: Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. P 439

Who.int, (2015). WHO | Obesity and overweight.

Anda mungkin juga menyukai