DI SUSUN OLEH :
MARDAYANTI (1801015143)
Kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah; kepadatan
penduduknya tinggi; sebagian besar wilayah merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu
lintas dan transportasi; serta merupakan kegiatan perekonomian non pertanian (Richardson,
1978).
Galion (1986) menyatakan bahwa kota merupakan konsentrasi manusia dalam suatu
wilayah geografis tertentu dengan mengadakan kegiatan ekonomi. Dickinson dalam Jayadinata
(1992) mengungkapkan bahwa kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat
dan penduduknya bernafkah bukan dari hasil pertanian. Kota-kota di Indonesia pada umumnya
berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-
kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung
pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek (Budihardjo dan
Hardjohubodjo, 1993).
Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif adalah melalui
manajemen lahan. Selanjutnya Rahardjo (2003) mengemukakan kesalahan dalam manajemen
lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, berakibat tanah berubah menjadi
marjinal yang tidak dapat ditanami, dan rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong
degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang
mengekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan Djayadiningrat (2001)
mengungkapkan pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup alami dan
lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap awal krisis lingkungan
akibat manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat
kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, dewasa ini dapat
dilihat pada berbagai kota besar di Indonesia.
Kesemrawutan tata ruang kota dapat diamati dari aras (level) yang paling ringan hingga
yang paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam
fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana
umum lainnya. Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu
faktor eksogen yang mempengaruhi keputusan para pengembang. Tujuan kebijakan lahan
perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan
memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh dana masyarakat. Di
negara-negara berkembang yang pengendaliannya ditegakkan secara keras, ketersediaan lahan
bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket (Winarso,2002).
Kota merupakan daerah yang memiliki mobilitas yang tinggi. Daerah perkotaan menjadi
pusat dalam setiap daerah. Ketersediaan akses sangat mudah didapatkan di daerah perkotaan.
Kota sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan sendirinya juga
mempunyai warna tertentu atas kegiatan-kegiatan tersebut.
Permasalahan perkotaan yang dihadapi saat ini semakin sulit untuk diselesaikan seperti
kemacetan, perkumuhan, banjir, longsor, kurangnya kesehatan masyarakat dan semakin
hilangnya ruang terbuka hijau. Hal itu disebabkan karena padatnya pembangunan yang
mengakibatkan pemanfaatan ruang masih belum sesuai seperti kondisi yang aman, nyaman dan
berkelanjutan.Bentuk ruang terbuka seperti jalan, trotoar, taman, hutan kota dan lain
sebagainya sengaja dibentuk agar masyarakat dapat mengakses secara langsung ataupun tidak
langsung (Rustam, 2014).
BAB II
PEMBAHASAN
Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan perkotaan yang besar dengan jumlah penduduk di atas satu juta orang dan
berdekatan dengan kota satelit disebut sebagai metropolitan. Dalam Pasal 1 sub 10 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa kawasan perkotaan
adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Umumnya kota-kota besar banyak mengalami permasalahan tata ruang, tidak saja
karena kota sejak awal telah dibangun dan bertumbuh secara alami, akan tetapi kota mengalami
pertumbuhan lebih pesat, yang biasanya selalu lebih cepat dari konsep tata ruang yang
diundangkan karena cepatnya laju pembangunan di perkotaan. Jumlah penduduk yang
bertambah setiap tahunnya akan berakibat pada padatnya penduduk di suatu wilayah yang akan
berimbas pada meningkatnya kebutuhan tempat tinggal.
Selain akan terjadi kepadatan dan ketidak teraturan bangunan, akan berdampak buruk juga pada
sisi lainnya, antara lain :
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa akan banyak dampak buruk yang ditimbulkan
akibat tidak adanya perencanaan penataan dalam sebuah wilayah permukiman, terlebih lagi
pada permukiman padat dengan jumlah penduduk yang padat pula. Dalam hal ini perlu adanya
intervensi dari pemerintah untuk melakukan pengawasan dalam setiap pembangunan di
wilayahnya. Meskipun pada umumnya kota telah dilengkapi dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW), bahkan dengan perencanaan yang lebih detail dalam bentuk Rencana Detail
Tata Ruang Kota (RDTR) serta perencanaannya yang kedalamannya sudah sampai pada
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dan Zoning Regulation. Namun, pengalaman
membuktikan bahwa rencana yang telah diundangkan tidak dijadikan sebagai rujukan dalam
pemanfaatan ruang berupa pembangunan sarana gedung, perumahan maupun pembangunan
sarana dan prasana kota lainnya.
Masalah Kemiskinan
Sebagai hasil dari berbagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, khususnya
di perkotaan, menjelang terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, pada dasarnya
telah cukup menunjukkan hasilnya dalam mengurangi kemiskinan. Sungguhpun jumlah
penduduk perkotaan yang selalu cenderung bertambah dari tahun ke tahun, tapi jumlah
penduduk miskin di perkotaan tidak meningkat secara proporsional yang jika pada tahun 1976
sebanyak 10,5 juta, ternyata kemudian menurun menjadi 8,3 juta (1978); 9,5 juta (1980) dan
seterusnya tetap berada di bawah 10 juta, yaitu rata-rata 8,9 juta per tahun hingga pada tahun
1996. Bahkan jika ditinjau menurut proporsinya secara persentase, penduduk miskin itu telah
cenderung menurun dari 38,8% (1976); menjadi 30,8% (1980); 23,1% (1984); 16,8% (1990)
dan seterusnya hingga mencapai 9,7% pada tahun 1996 menurut standar perhitungan lama atau
13,6% menurut standar perhitungan baru 1998.
Dampak krisis moneter sangatlah terasa di antara penduduk miskin dan semakin
meluasnya kemiskinan. PHK yang terjadi di mana-mana membuat ribuan pekerja formal dari
golongan masyarakat berpendapatan rendah dan menengah di kota-kota menjadi penganggur
atau pekerja di sektor informal, dan banyak pula diantaranya kembali ke desa masing-masing.
Dalam peristiwa meningkat-nya kemiskinan secara nasional sejak Februari 1996 hingga
Februari 1999, terlihat bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan yang semula kurang dari
seperempatnya telah meningkat menjadi sekitar sepertiganya dari jumlah kemiskinan di
pedesaan (World Bank, 2003). Hal yang dikemukakan di atas dapat diuraikan lebih lanjut
secara jelas dengan menggunakan data-data Badan Pusat Statistik (BPS, 2004).
Perkembangan kemiskinan perkotaan yang diakibatkan oleh krisis moneter
sebagaimana yang dikemukakan di atas tampak dengan jelas berupa terjadinya lonjakan
kemiskinan yang sangat tinggi, dari sebanyak 7,2 juta (9,7%) pada tahun 1996 meningkat
menjadi 17,2 juta (21,9%) pada tahun 1998. Dan dengan berbagai upaya dan tindakan
sebagaimana yang dikemukakan di atas, jumlah penduduk miskin itu pada tahun 1999 sudah
agak sedikit menurun, yaitu menjadi 15,7 juta atau 19,5% dari jumlah penduduk perkotaan
keseluruhannya (lihat Tabel 2 sebelumnya). Namun jumlah maupun persentase penduduk
miskin perkotaan ini masih lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 1996 sebelum
terjadinya krisis moneter. Tahun-tahun selanjutnya, yaitu mulai tahun 2000 telah terjadi sedikit
penurunan jumlah penduduk miskin perkotaan ini, namun dari sudut jumlah tetap masih jauh
lebih tinggi dari pada tahun 1976. Hanya secara persentase terhadap jumlah penduduk
perkotaan keseluruhannya, posisinya sudah jauh lebih baik, dimana pada tahun 2003 persentase
penduduk miskin perkotaan (13,6) sudah dalam kondisi yang hampir sama dengan yang dicapai
pada tahun 1993 (13,4%), namun belum mencapai kondisi yang dicapai pada tahun 1996
(9,7%), menurut metode perhitungan yang lama atau juga persis sama dengan kondisi tahun
1996 (13,6) dengan menggunakan metode perhitungan 1998. III. Karakteristik Dan Fenomena
Kemiskinan PerkotaanMenurut Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen
1995 (Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002) kemiskinan dalam arti luas di negara-
negara berkembang memiliki wujud yang multidimensi yang meliputi sangat rendahnya tingkat
pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan;
kelaparan dan kekurangan gizi; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan
layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus
meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang jauh dari memadai; lingkungan
yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Wujud kemiskinan sebagaimana
yang dikemukakan di atas tercermin pada rumah tangga miskin yang terdapat di Indonesia,
baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Dalam hubungan ini Badan Pusat Statistik (BPS, 1992) mengemukakan karakteristik
rumahtangga miskin dapat dilihat dari jumlah pekerja dan tempat tinggal, pemilikan dan
penguasaan tanah (pertanian), tingkat pendidikan dan jam kerja kepala rumah tangga, serta
jenis dan status pekerjaan rumah tangga. Dikemukakan pertama-tama bahwa rumah tangga
miskin hanya mempunyai satu orang pekerja yang menghasilkan pendapatan. Sebagian besar
kondisi tempat tinggal mereka belum memenuhi persyaratan kesehatan yang memadai. Rumah
tangga miskin hanya memiliki lahan (pertanian) yang sangat kecil atau bahkan banyak
diantaranya tidak memilikinya sama sekali. Tingkat pendidikan kepala rumah tangganya
sangat rendah. Jam kerja mereka rata-rata per minggu relatif jauh lebih lama. Disamping itu
jenis dan status pekerjaan kepala rumah tangga di pedesaan sebagian besar adalah petani kecil
atau buruh tani dan di perkotaan berupa usaha atau kegiatan sendiri kecil-kecilan, terutama
sektor informal baik yang legal maupun yang ilegal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Keith Hart (1973), sebagai ilustrasi, sektor informal yang legal itu adalah berupa tukang
kayu/batu, pedagang kecil eceran dan asongan, tukang ojek/becak, tukang cukur, tukang
sol/semir sepatu, dan sebagainya. Sedangkan sektor informal yang ilegal adalah seperti
pencopet, pencuri, penadah barang curian, prostitusi, penyelundup, dan lain-lain. Sehubungan
dengan itu, dari data statistik yang dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS, 1992) dapat
disimpulkan antara lain bahwa rumah tangga miskin di perkotaan yang kepala rumah
tangganya berpendidikan SD dan Tidak Tamat SD sebanyak 88,86% yang hampir sama saja
dengan yang terdapat di pedesaan yaitu sebanyak 96,12%. Selanjutnya mengenai rumah tangga
miskin menurut sumber penghasilan utama adalah di perkotaan sebanyak 23,71% pada sektor
pertanian dan 76,29% pada sektor industri, bangunan dan jasa. Sedangkan di pedesaan rumah
tangga miskin yang berpenghasilan utama pertanian sebanyak 81,97% dan pada sektor industri
dan jasa sebanyak 18,03%. Bank Dunia dalam suatu Dissemination Paper-nya (The World
Bank, 2003) tetang “Kota-kota Dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan Pada Era
Desentralisasi di Indonesia”, antara lain mengemukakan tentang kondisi kemiskinan perkotaan
di Indonesia.
Kepemilikan dan Akses Terhadap Tanah yang Sulit dan Sangat Terbatas Penataan tanah
perkotaan yang tidak jelas dan harga tanah yang tinggi sangatlah menekan sehingga masyarakat
miskin perkotaan menderita. Apalagi sistem hak atas tanah yang kompleks dengan tujuh
macam hak atas tanah dari hak milik hingga hak guna sementara, serta biaya mendapatkan
sertifikat tanah yang relatif tinggi. Kesemuanya berakibat masyarakat miskin pada umumnya
tinggal di tempat yang ilegal atau pada lahan milik negara atau lainnya. Kebanyakan keluarga
miskin yang memiliki tanah hanya mempunyai hak tradisional atas tanah, tidak mempunyai
hak yang resmi. Sehingga mudah bagi pemerintah atau proyek-proyek besar untuk menggusur
mereka tanpa kompensasi yang wajar atau memadai. Ditambah lagi dengan derasnya arus
urbanisasi, ketiadaan pekerjaan dan tekanan penghidupan menimbulkan terjadinya pemakaian
tanah untuk membangun rumah spontan dan gubuk secara liar, dan memunculkan daerah
kumuh untuk kehidupan dari keluarga miskin. Kesemuanya itu merupakan potret yang umum
terjadi di daerah pekotaan, terutama pada kota-kota besar. 2.Rumah Berfungsi Ganda serta
Kepemilikannya Sangat Berisiko dan Kebanyakannya Ilegal Perumahan bagi masyarakat
miskin, khususnya di perkotaan, bukan hanya sebagai tempat berlindung tetapi juga merupakan
aset, tempat berusaha/bekerja dan sumber berpijak untuk memperoleh penghasilan yang
tercermin antara lain berupa bertumpuknya barang-barang bekas yang akan dijual. Namun
demikian terdapat keterbatasan mereka dalam melakukan pilihan lokasi atas rumah atau tempat
tinggalnya tersebut. Sehubungan dengan itu mereka terpaksa memilih diantara beberapa
alternatif lokasi yang terbatas dimana terdapat hambatan akses untuk bekerja dan
ketidakpastian dalam kepemilikan ditambah dengan kondisi lingkungan bekerja yang tidak
aman, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, keselamatan dan keamanan mereka. Seringkali
terjadi bahwa kaum miskin itu membangun penampungan dan gubuk di lahan kosong secara
liar yang bukan di atas lahan miliknya. Dan terhadap bangunan rumah/gubuk liar tersebut
seringkali terjadi penertiban dan penggusuran, sehingga berakibat keluarga miskin tersebut
semakin menderita. 3.Tingkat Pendidikan Keluarga Sangat Rendah dan Ketergantungan Hidup
Keluarga yang Besar Sungguhpun tingkat pendidikan mereka sangat rendah, namun rumah
tangga perkotaan rata-rata berpendidikan relatif lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga
pedesaan, disamping itu terdapat perbedaan yang tajam dalam tingkat pendidikan antara
keluarga kaya dengan keluarga miskin perkotaan. Tingkat partisipasi sekolah dan kemampuan
membaca masyarakat miskin lebih tinggi di perkotaan (tertinggi di Jakarta) dibandingkan
dengan yang terdapat di pedesaan, namun tingkatan ini tidak otomatis ditentukan berdasarkan
jenis dan kondisi hunian. Dan, warga buta huruf lebih banyak terjadi pada masyarakat miskin
di beberapa kota tertentu dibandingkan dengan di daerah pedesaan.
1. Kondisi Lingkungan Buruk Yang Berisiko Penyakit dan Akses/Tingkat
Kesehatan Yang Sangat Rendah Secara umum, masyarakat perkotaan memiliki akses
yang relatif lebih besar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Namun tingkat
kesehatan mereka belum tentu lebih baik karena terdapatnya gizi yang buruk, tekanan
lingkungan sanitasi yang buruk, dan perilaku hidup yang tidak sehat. Dan bahkan
seringkali pelayanan dan tingkat kesehatan di wilayah miskin perkotaan tidak lebih
baik, dan terkadang lebih buruk daripada daerah pedesaan. Dibandingkan dengan
populasi keseluruhan secara umum dapat dikatakan penghuni kawasan kumuh di
perkotaan memiliki harapan hidup yang lebih pendek, serta tingkat kematian ibu dan
bayi yang lebih tinggi. Tambahan pula disini terdapat berbagai masalah kesehatan
seperti penyakit diare/disentri, kekurangan gizi dan gangguan mental. 5.Status
Pekerjaan Tidak Menentu dan Bekerja Seadanya Sebisa Mungkin Serta Tingkat
Pengangguran Yang Tinggi Dari hasil survei dikemukakan bahwa status dan jenis
pekerjaan penduduk (miskin) tidaklah otomatis merupakan indikasi sesungguhnya dari
keadaan kemiskinan di perkotaan. Di sini status pekerjaan secara independen tidak bisa
serta merta dijadikan ukuran tingkat pendapatan yang rendah atau ukuran kriteria
kemiskinan. Dan ini lebih nyata tampak bahwa nereka yang bekerja di sektor informal
tertentu selama masa krisis moneter tahun 1997 dapat bertahan dan bahkan lebih baik
kondisinya daripada sektor formal, terutama pada bidang manufaktur tertentu, yang
bahkan banyak terjadi PHK terhadap para pekerjanya.
Dalam kaitan dengan status dan jenis pekerjaan tersebut pada berbagai sektor
lapangan kerja dilaporkan bahwa pengangguran di daerah perkotaan relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Dan tingkat pengangguran-nya cenderung
meningkat untuk kaum miskin (dan non miskin) dengan peningkatan yang berhubungan
dengan kondisi dan fasilitas pemukiman buruk yang tidak menguntungkan. 6.Sangat
Terbatasnya Akses ke Fasilitas Dasar Perkotaan Kaum miskin perkotaan sangat kurang
tercukupi kebutuhannya atas pelayanan kebutuhan dasar mereka seperti air bersih,
sanitasi, saluran air dan jalan akses. Kondisi ini terjadi antara lain karena kurangnya
bantuan dan penanganan pemerintah, baik berupa pemeliharaan maupun investasi baru
atas infrastruktur lingkungan yang diperlukan masyarakat setempat. Menurut hasil
survai ternyata relatif lebih banyak rumah tangga di perkotaan yang tidak memiliki
akses air bersih dibandingkan rumah tangga di pedesaan. Banyak di antara kaum miskin
perkotaan yang terpaksa membeli air bersih, dan bahkan mereka tergantung pada
fasilitas air minum “swasta” yang lebih mahal. Demikian pula dalam hal fasilitas toilet,
kondisinya serba kurang dan menyedihkan, meskipun tidak banyak bedanya antara di
perkotaan dan di pedesaan. Dalam hal pembuangan sampah, kebanyakan masyarakat
miskin dan pemukiman miskin menggunakan lahan terbuka, lubang-lubang atau
saluran air. Ini menyebabkan risiko kontaminasi terhadap air permukaan dan air tanah
di daerah perkotaan yang penduduknya padat. Selain menimbulkan polusi terhadap
lingkungan hidup, hal ini juga merusak keindahan kota dan menimbulkan bahaya banjir
yang selalu melanda pemukiman mereka sewaktu musim penghujan. Kepemilikan dan
Akses Terhadap Tanah yang Sulit dan Sangat Terbatas Penataan tanah perkotaan yang
tidak jelas dan harga tanah yang tinggi sangatlah menekan sehingga masyarakat miskin
perkotaan menderita. Apalagi sistem hak atas tanah yang kompleks dengan tujuh
macam hak atas tanah dari hak milik hingga hak guna sementara, serta biaya
mendapatkan sertifikat tanah yang relatif tinggi. Kesemuanya berakibat masyarakat
miskin pada umumnya tinggal di tempat yang ilegal atau pada lahan milik negara atau
lainnya. Kebanyakan keluarga miskin yang memiliki tanah hanya mempunyai hak
tradisional atas tanah, tidak mempunyai hak yang resmi. Sehingga mudah bagi
pemerintah atau proyek-proyek besar untuk menggusur mereka tanpa kompensasi yang
wajar atau memadai. Ditambah lagi dengan derasnya arus urbanisasi, ketiadaan
pekerjaan dan tekanan penghidupan menimbulkan terjadinya pemakaian tanah untuk
membangun rumah spontan dan gubuk secara liar, dan memunculkan daerah kumuh
untuk kehidupan dari keluarga miskin. Kesemuanya itu merupakan potret yang umum
terjadi di daerah pekotaan, terutama pada kota-kota besar.
2. Rumah Berfungsi Ganda serta Kepemilikannya Sangat Berisiko dan
Kebanyakannya Ilegal Perumahan bagi masyarakat miskin, khususnya di perkotaan,
bukan hanya sebagai tempat berlindung tetapi juga merupakan aset, tempat
berusaha/bekerja dan sumber berpijak untuk memperoleh penghasilan yang tercermin
antara lain berupa bertumpuknya barang-barang bekas yang akan dijual. Namun
demikian terdapat keterbatasan mereka dalam melakukan pilihan lokasi atas rumah atau
tempat tinggalnya tersebut. Sehubungan dengan itu mereka terpaksa memilih diantara
beberapa alternatif lokasi yang terbatas dimana terdapat hambatan akses untuk bekerja
dan ketidakpastian dalam kepemilikan ditambah dengan kondisi lingkungan bekerja
yang tidak aman, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, keselamatan dan keamanan
mereka. Seringkali terjadi bahwa kaum miskin itu membangun penampungan dan
gubuk di lahan kosong secara liar yang bukan di atas lahan miliknya. Dan terhadap
bangunan rumah/gubuk liar tersebut seringkali terjadi penertiban dan penggusuran,
sehingga berakibat keluarga miskin tersebut semakin menderita.
3. Tingkat Pendidikan Keluarga Sangat Rendah dan Ketergantungan Hidup
Keluarga yang Besar Sungguhpun tingkat pendidikan mereka sangat rendah, namun
rumah tangga perkotaan rata-rata berpendidikan relatif lebih baik dibandingkan dengan
rumah tangga pedesaan, disamping itu terdapat perbedaan yang tajam dalam tingkat
pendidikan antara keluarga kaya dengan keluarga miskin perkotaan. Tingkat partisipasi
sekolah dan kemampuan membaca masyarakat miskin lebih tinggi di perkotaan
(tertinggi di Jakarta) dibandingkan dengan yang terdapat di pedesaan, namun tingkatan
ini tidak otomatis ditentukan berdasarkan jenis dan kondisi hunian. Dan, warga buta
huruf lebih banyak terjadi pada masyarakat miskin di beberapa kota tertentu
dibandingkan dengan di daerah pedesaan.