Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

URBAN PROBLEM AND POLICY

DI SUSUN OLEH :
MARDAYANTI (1801015143)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah; kepadatan
penduduknya tinggi; sebagian besar wilayah merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu
lintas dan transportasi; serta merupakan kegiatan perekonomian non pertanian (Richardson,
1978).

Galion (1986) menyatakan bahwa kota merupakan konsentrasi manusia dalam suatu
wilayah geografis tertentu dengan mengadakan kegiatan ekonomi. Dickinson dalam Jayadinata
(1992) mengungkapkan bahwa kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat
dan penduduknya bernafkah bukan dari hasil pertanian. Kota-kota di Indonesia pada umumnya
berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-
kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung
pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek (Budihardjo dan
Hardjohubodjo, 1993).

Djayadiningrat (2001) mengungkapkan pada abad kedua puluh satu keseimbangan


lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang
dianggap awal krisis lingkungan akibat manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.
Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam
penataan ruangnya, dewasa ini dapat dilihat pada berbagai kota besar di Indonesia.
Kesemrawutantataruang kota dapat diamati dari aras (level) yang paling ringan hingga yang
paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam
fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana
umum lainnya. Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu
faktor eksogen yang mempengaruhi keputusan para pengembang. Tujuan kebijakan lahan
perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan
memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh dana masyarakat.

Di negara-negara berkembang yang pengendaliannya ditegakkan secara keras,


ketersediaan lahan bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket
(Winarso,2002).

Rahardjo (2003) dalam penelitiannya mengenai upaya pengendalian lahan diperkotaan


mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan
yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya
sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu
lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah tidak baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan.
Untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan maka diperlukan adanya suatu
penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan
itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta.

Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif adalah melalui
manajemen lahan. Selanjutnya Rahardjo (2003) mengemukakan kesalahan dalam manajemen
lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, berakibat tanah berubah menjadi
marjinal yang tidak dapat ditanami, dan rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong
degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang
mengekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan Djayadiningrat (2001)
mengungkapkan pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup alami dan
lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap awal krisis lingkungan
akibat manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat
kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, dewasa ini dapat
dilihat pada berbagai kota besar di Indonesia.

Kesemrawutan tata ruang kota dapat diamati dari aras (level) yang paling ringan hingga
yang paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam
fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana
umum lainnya. Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu
faktor eksogen yang mempengaruhi keputusan para pengembang. Tujuan kebijakan lahan
perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan
memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh dana masyarakat. Di
negara-negara berkembang yang pengendaliannya ditegakkan secara keras, ketersediaan lahan
bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket (Winarso,2002).

Rahardjo (2003) dalam penelitiannya mengenai upaya pengendalian lahan diperkotaan


mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan
yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya
sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu
lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah tidak baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan.
Untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan maka diperlukan adanya suatu
penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan
itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan
mengurangi dampak negatif adalah melalui manajemen lahan. Selanjutnya Rahardjo (2003)
mengemukakan kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi
lahan, berakibat tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, dan rusaknya
ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya
pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengekploitasi sumber daya alam secara
berlebihan

Kota merupakan daerah yang memiliki mobilitas yang tinggi. Daerah perkotaan menjadi
pusat dalam setiap daerah. Ketersediaan akses sangat mudah didapatkan di daerah perkotaan.
Kota sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan sendirinya juga
mempunyai warna tertentu atas kegiatan-kegiatan tersebut.

Permasalahan perkotaan yang dihadapi saat ini semakin sulit untuk diselesaikan seperti
kemacetan, perkumuhan, banjir, longsor, kurangnya kesehatan masyarakat dan semakin
hilangnya ruang terbuka hijau. Hal itu disebabkan karena padatnya pembangunan yang
mengakibatkan pemanfaatan ruang masih belum sesuai seperti kondisi yang aman, nyaman dan
berkelanjutan.Bentuk ruang terbuka seperti jalan, trotoar, taman, hutan kota dan lain
sebagainya sengaja dibentuk agar masyarakat dapat mengakses secara langsung ataupun tidak
langsung (Rustam, 2014).

BAB II
PEMBAHASAN
Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Kawasan perkotaan yang besar dengan jumlah penduduk di atas satu juta orang dan
berdekatan dengan kota satelit disebut sebagai metropolitan. Dalam Pasal 1 sub 10 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa kawasan perkotaan
adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Pemerintah Republik Indonesia telah mencanangkan bahwa pembangunan nasional


dilaksanakan secara terencana, komprehenshif, terpadu, terarah, bertahap, dan berkelanjutan
dengan mengembangkan tata ruang dalam suatu tata lingkungan yang dinamis serta tetap
memelihara kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan perkotaan, merupakan bagian dari
pembangunan nasional, harus berlandaskan keseimbangan antara berbagai kepentingan, yaitu
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan dunia dan akhirat, materil dan
spiritual, jiwa dan raga serta individu dan masyarakat. Kota sebagai pusat perekonomian
wilayah memiliki peran yang sangat besar bagi pembangunan, dimana konstribusinya terhadap
pemenuhan kebutuhan hidup warganya melahirkan berbagai permasalahan. Jumlah penduduk
yang terus bertambah dan dikaitkan dengan implikasinya pada ruang kota, bagi para pakar dan
pemerhati lingkungan sangatlah menakutkan. Apalagi ada banyak kejadian terutama di negara
berkembang, kota-kota tersebut berkembang tanpa pengendalian. Jumlah penduduk terus
bertambah, ruang kota semakin padat dan berkualitas rendah, lalu lintas semrawut, penghijauan
sangat kurang, terjadi banjir dan sebagainya. Kondisi kota-kota di negara berkembang, semakin
hari semakin terpuruk. Meskipun, ada gejala ekonomi kota meningkat, padahal di balik itu
tingkat stres warga sangatlah tinggi, jumlah orang yang sakit terus saja bertambah, jumlah
penduduk dengankualitas tinggi terus menurun, dan pada akhirnya, kota yang katanya
mengalami kemajuan ekonomi itu mengalami kemunduran dalam berbagai hal.

Umumnya kota-kota besar banyak mengalami permasalahan tata ruang, tidak saja
karena kota sejak awal telah dibangun dan bertumbuh secara alami, akan tetapi kota mengalami
pertumbuhan lebih pesat, yang biasanya selalu lebih cepat dari konsep tata ruang yang
diundangkan karena cepatnya laju pembangunan di perkotaan. Jumlah penduduk yang
bertambah setiap tahunnya akan berakibat pada padatnya penduduk di suatu wilayah yang akan
berimbas pada meningkatnya kebutuhan tempat tinggal.

Selain akan terjadi kepadatan dan ketidak teraturan bangunan, akan berdampak buruk juga pada
sisi lainnya, antara lain :

➢ kepadatan bangunan dengan tata letak yang tidak teratur


➢ tidak adanya ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan hujan dan pengurang polusi
udara,
➢ akses jalan yang sulit dilewati oleh kendaraan besar (mobil) pada pemukiman padat
penduduk,
➢ kecilnya jalan akses menuju daerah tertentu karena banyak dijadikan pemukiman,
➢ akses untuk mendapatkan air bersih dan air minum sulit didapat,
➢ tidak adanya drainase yang baik dapat menyebabkan banjir pada saat musim penghujan,
➢ kepadatan penduduk membuat banyak sampah rumah tangga menumpuk,
➢ banyak penyakit yang timbul karena lingkungan yang tidak bersih,
➢ buruknya instalasi kelistrikan di daerah tersebut,
➢ banyaknya kejadian kebakaran yang terjadi di permukiman padat karena hubungan arus
pendek listrik,
➢ banyaknya sungai atau drainase yang tercemar oleh limbah rumah tangga.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa akan banyak dampak buruk yang ditimbulkan
akibat tidak adanya perencanaan penataan dalam sebuah wilayah permukiman, terlebih lagi
pada permukiman padat dengan jumlah penduduk yang padat pula. Dalam hal ini perlu adanya
intervensi dari pemerintah untuk melakukan pengawasan dalam setiap pembangunan di
wilayahnya. Meskipun pada umumnya kota telah dilengkapi dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW), bahkan dengan perencanaan yang lebih detail dalam bentuk Rencana Detail
Tata Ruang Kota (RDTR) serta perencanaannya yang kedalamannya sudah sampai pada
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dan Zoning Regulation. Namun, pengalaman
membuktikan bahwa rencana yang telah diundangkan tidak dijadikan sebagai rujukan dalam
pemanfaatan ruang berupa pembangunan sarana gedung, perumahan maupun pembangunan
sarana dan prasana kota lainnya.
Masalah Kemiskinan

Sebagai hasil dari berbagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, khususnya
di perkotaan, menjelang terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, pada dasarnya
telah cukup menunjukkan hasilnya dalam mengurangi kemiskinan. Sungguhpun jumlah
penduduk perkotaan yang selalu cenderung bertambah dari tahun ke tahun, tapi jumlah
penduduk miskin di perkotaan tidak meningkat secara proporsional yang jika pada tahun 1976
sebanyak 10,5 juta, ternyata kemudian menurun menjadi 8,3 juta (1978); 9,5 juta (1980) dan
seterusnya tetap berada di bawah 10 juta, yaitu rata-rata 8,9 juta per tahun hingga pada tahun
1996. Bahkan jika ditinjau menurut proporsinya secara persentase, penduduk miskin itu telah
cenderung menurun dari 38,8% (1976); menjadi 30,8% (1980); 23,1% (1984); 16,8% (1990)
dan seterusnya hingga mencapai 9,7% pada tahun 1996 menurut standar perhitungan lama atau
13,6% menurut standar perhitungan baru 1998.
Dampak krisis moneter sangatlah terasa di antara penduduk miskin dan semakin
meluasnya kemiskinan. PHK yang terjadi di mana-mana membuat ribuan pekerja formal dari
golongan masyarakat berpendapatan rendah dan menengah di kota-kota menjadi penganggur
atau pekerja di sektor informal, dan banyak pula diantaranya kembali ke desa masing-masing.
Dalam peristiwa meningkat-nya kemiskinan secara nasional sejak Februari 1996 hingga
Februari 1999, terlihat bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan yang semula kurang dari
seperempatnya telah meningkat menjadi sekitar sepertiganya dari jumlah kemiskinan di
pedesaan (World Bank, 2003). Hal yang dikemukakan di atas dapat diuraikan lebih lanjut
secara jelas dengan menggunakan data-data Badan Pusat Statistik (BPS, 2004).
Perkembangan kemiskinan perkotaan yang diakibatkan oleh krisis moneter
sebagaimana yang dikemukakan di atas tampak dengan jelas berupa terjadinya lonjakan
kemiskinan yang sangat tinggi, dari sebanyak 7,2 juta (9,7%) pada tahun 1996 meningkat
menjadi 17,2 juta (21,9%) pada tahun 1998. Dan dengan berbagai upaya dan tindakan
sebagaimana yang dikemukakan di atas, jumlah penduduk miskin itu pada tahun 1999 sudah
agak sedikit menurun, yaitu menjadi 15,7 juta atau 19,5% dari jumlah penduduk perkotaan
keseluruhannya (lihat Tabel 2 sebelumnya). Namun jumlah maupun persentase penduduk
miskin perkotaan ini masih lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 1996 sebelum
terjadinya krisis moneter. Tahun-tahun selanjutnya, yaitu mulai tahun 2000 telah terjadi sedikit
penurunan jumlah penduduk miskin perkotaan ini, namun dari sudut jumlah tetap masih jauh
lebih tinggi dari pada tahun 1976. Hanya secara persentase terhadap jumlah penduduk
perkotaan keseluruhannya, posisinya sudah jauh lebih baik, dimana pada tahun 2003 persentase
penduduk miskin perkotaan (13,6) sudah dalam kondisi yang hampir sama dengan yang dicapai
pada tahun 1993 (13,4%), namun belum mencapai kondisi yang dicapai pada tahun 1996
(9,7%), menurut metode perhitungan yang lama atau juga persis sama dengan kondisi tahun
1996 (13,6) dengan menggunakan metode perhitungan 1998. III. Karakteristik Dan Fenomena
Kemiskinan PerkotaanMenurut Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen
1995 (Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002) kemiskinan dalam arti luas di negara-
negara berkembang memiliki wujud yang multidimensi yang meliputi sangat rendahnya tingkat
pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan;
kelaparan dan kekurangan gizi; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan
layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus
meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang jauh dari memadai; lingkungan
yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Wujud kemiskinan sebagaimana
yang dikemukakan di atas tercermin pada rumah tangga miskin yang terdapat di Indonesia,
baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Dalam hubungan ini Badan Pusat Statistik (BPS, 1992) mengemukakan karakteristik
rumahtangga miskin dapat dilihat dari jumlah pekerja dan tempat tinggal, pemilikan dan
penguasaan tanah (pertanian), tingkat pendidikan dan jam kerja kepala rumah tangga, serta
jenis dan status pekerjaan rumah tangga. Dikemukakan pertama-tama bahwa rumah tangga
miskin hanya mempunyai satu orang pekerja yang menghasilkan pendapatan. Sebagian besar
kondisi tempat tinggal mereka belum memenuhi persyaratan kesehatan yang memadai. Rumah
tangga miskin hanya memiliki lahan (pertanian) yang sangat kecil atau bahkan banyak
diantaranya tidak memilikinya sama sekali. Tingkat pendidikan kepala rumah tangganya
sangat rendah. Jam kerja mereka rata-rata per minggu relatif jauh lebih lama. Disamping itu
jenis dan status pekerjaan kepala rumah tangga di pedesaan sebagian besar adalah petani kecil
atau buruh tani dan di perkotaan berupa usaha atau kegiatan sendiri kecil-kecilan, terutama
sektor informal baik yang legal maupun yang ilegal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Keith Hart (1973), sebagai ilustrasi, sektor informal yang legal itu adalah berupa tukang
kayu/batu, pedagang kecil eceran dan asongan, tukang ojek/becak, tukang cukur, tukang
sol/semir sepatu, dan sebagainya. Sedangkan sektor informal yang ilegal adalah seperti
pencopet, pencuri, penadah barang curian, prostitusi, penyelundup, dan lain-lain. Sehubungan
dengan itu, dari data statistik yang dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS, 1992) dapat
disimpulkan antara lain bahwa rumah tangga miskin di perkotaan yang kepala rumah
tangganya berpendidikan SD dan Tidak Tamat SD sebanyak 88,86% yang hampir sama saja
dengan yang terdapat di pedesaan yaitu sebanyak 96,12%. Selanjutnya mengenai rumah tangga
miskin menurut sumber penghasilan utama adalah di perkotaan sebanyak 23,71% pada sektor
pertanian dan 76,29% pada sektor industri, bangunan dan jasa. Sedangkan di pedesaan rumah
tangga miskin yang berpenghasilan utama pertanian sebanyak 81,97% dan pada sektor industri
dan jasa sebanyak 18,03%. Bank Dunia dalam suatu Dissemination Paper-nya (The World
Bank, 2003) tetang “Kota-kota Dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan Pada Era
Desentralisasi di Indonesia”, antara lain mengemukakan tentang kondisi kemiskinan perkotaan
di Indonesia.
Kepemilikan dan Akses Terhadap Tanah yang Sulit dan Sangat Terbatas Penataan tanah
perkotaan yang tidak jelas dan harga tanah yang tinggi sangatlah menekan sehingga masyarakat
miskin perkotaan menderita. Apalagi sistem hak atas tanah yang kompleks dengan tujuh
macam hak atas tanah dari hak milik hingga hak guna sementara, serta biaya mendapatkan
sertifikat tanah yang relatif tinggi. Kesemuanya berakibat masyarakat miskin pada umumnya
tinggal di tempat yang ilegal atau pada lahan milik negara atau lainnya. Kebanyakan keluarga
miskin yang memiliki tanah hanya mempunyai hak tradisional atas tanah, tidak mempunyai
hak yang resmi. Sehingga mudah bagi pemerintah atau proyek-proyek besar untuk menggusur
mereka tanpa kompensasi yang wajar atau memadai. Ditambah lagi dengan derasnya arus
urbanisasi, ketiadaan pekerjaan dan tekanan penghidupan menimbulkan terjadinya pemakaian
tanah untuk membangun rumah spontan dan gubuk secara liar, dan memunculkan daerah
kumuh untuk kehidupan dari keluarga miskin. Kesemuanya itu merupakan potret yang umum
terjadi di daerah pekotaan, terutama pada kota-kota besar. 2.Rumah Berfungsi Ganda serta
Kepemilikannya Sangat Berisiko dan Kebanyakannya Ilegal Perumahan bagi masyarakat
miskin, khususnya di perkotaan, bukan hanya sebagai tempat berlindung tetapi juga merupakan
aset, tempat berusaha/bekerja dan sumber berpijak untuk memperoleh penghasilan yang
tercermin antara lain berupa bertumpuknya barang-barang bekas yang akan dijual. Namun
demikian terdapat keterbatasan mereka dalam melakukan pilihan lokasi atas rumah atau tempat
tinggalnya tersebut. Sehubungan dengan itu mereka terpaksa memilih diantara beberapa
alternatif lokasi yang terbatas dimana terdapat hambatan akses untuk bekerja dan
ketidakpastian dalam kepemilikan ditambah dengan kondisi lingkungan bekerja yang tidak
aman, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, keselamatan dan keamanan mereka. Seringkali
terjadi bahwa kaum miskin itu membangun penampungan dan gubuk di lahan kosong secara
liar yang bukan di atas lahan miliknya. Dan terhadap bangunan rumah/gubuk liar tersebut
seringkali terjadi penertiban dan penggusuran, sehingga berakibat keluarga miskin tersebut
semakin menderita. 3.Tingkat Pendidikan Keluarga Sangat Rendah dan Ketergantungan Hidup
Keluarga yang Besar Sungguhpun tingkat pendidikan mereka sangat rendah, namun rumah
tangga perkotaan rata-rata berpendidikan relatif lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga
pedesaan, disamping itu terdapat perbedaan yang tajam dalam tingkat pendidikan antara
keluarga kaya dengan keluarga miskin perkotaan. Tingkat partisipasi sekolah dan kemampuan
membaca masyarakat miskin lebih tinggi di perkotaan (tertinggi di Jakarta) dibandingkan
dengan yang terdapat di pedesaan, namun tingkatan ini tidak otomatis ditentukan berdasarkan
jenis dan kondisi hunian. Dan, warga buta huruf lebih banyak terjadi pada masyarakat miskin
di beberapa kota tertentu dibandingkan dengan di daerah pedesaan.
1. Kondisi Lingkungan Buruk Yang Berisiko Penyakit dan Akses/Tingkat
Kesehatan Yang Sangat Rendah Secara umum, masyarakat perkotaan memiliki akses
yang relatif lebih besar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Namun tingkat
kesehatan mereka belum tentu lebih baik karena terdapatnya gizi yang buruk, tekanan
lingkungan sanitasi yang buruk, dan perilaku hidup yang tidak sehat. Dan bahkan
seringkali pelayanan dan tingkat kesehatan di wilayah miskin perkotaan tidak lebih
baik, dan terkadang lebih buruk daripada daerah pedesaan. Dibandingkan dengan
populasi keseluruhan secara umum dapat dikatakan penghuni kawasan kumuh di
perkotaan memiliki harapan hidup yang lebih pendek, serta tingkat kematian ibu dan
bayi yang lebih tinggi. Tambahan pula disini terdapat berbagai masalah kesehatan
seperti penyakit diare/disentri, kekurangan gizi dan gangguan mental. 5.Status
Pekerjaan Tidak Menentu dan Bekerja Seadanya Sebisa Mungkin Serta Tingkat
Pengangguran Yang Tinggi Dari hasil survei dikemukakan bahwa status dan jenis
pekerjaan penduduk (miskin) tidaklah otomatis merupakan indikasi sesungguhnya dari
keadaan kemiskinan di perkotaan. Di sini status pekerjaan secara independen tidak bisa
serta merta dijadikan ukuran tingkat pendapatan yang rendah atau ukuran kriteria
kemiskinan. Dan ini lebih nyata tampak bahwa nereka yang bekerja di sektor informal
tertentu selama masa krisis moneter tahun 1997 dapat bertahan dan bahkan lebih baik
kondisinya daripada sektor formal, terutama pada bidang manufaktur tertentu, yang
bahkan banyak terjadi PHK terhadap para pekerjanya.
Dalam kaitan dengan status dan jenis pekerjaan tersebut pada berbagai sektor
lapangan kerja dilaporkan bahwa pengangguran di daerah perkotaan relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Dan tingkat pengangguran-nya cenderung
meningkat untuk kaum miskin (dan non miskin) dengan peningkatan yang berhubungan
dengan kondisi dan fasilitas pemukiman buruk yang tidak menguntungkan. 6.Sangat
Terbatasnya Akses ke Fasilitas Dasar Perkotaan Kaum miskin perkotaan sangat kurang
tercukupi kebutuhannya atas pelayanan kebutuhan dasar mereka seperti air bersih,
sanitasi, saluran air dan jalan akses. Kondisi ini terjadi antara lain karena kurangnya
bantuan dan penanganan pemerintah, baik berupa pemeliharaan maupun investasi baru
atas infrastruktur lingkungan yang diperlukan masyarakat setempat. Menurut hasil
survai ternyata relatif lebih banyak rumah tangga di perkotaan yang tidak memiliki
akses air bersih dibandingkan rumah tangga di pedesaan. Banyak di antara kaum miskin
perkotaan yang terpaksa membeli air bersih, dan bahkan mereka tergantung pada
fasilitas air minum “swasta” yang lebih mahal. Demikian pula dalam hal fasilitas toilet,
kondisinya serba kurang dan menyedihkan, meskipun tidak banyak bedanya antara di
perkotaan dan di pedesaan. Dalam hal pembuangan sampah, kebanyakan masyarakat
miskin dan pemukiman miskin menggunakan lahan terbuka, lubang-lubang atau
saluran air. Ini menyebabkan risiko kontaminasi terhadap air permukaan dan air tanah
di daerah perkotaan yang penduduknya padat. Selain menimbulkan polusi terhadap
lingkungan hidup, hal ini juga merusak keindahan kota dan menimbulkan bahaya banjir
yang selalu melanda pemukiman mereka sewaktu musim penghujan. Kepemilikan dan
Akses Terhadap Tanah yang Sulit dan Sangat Terbatas Penataan tanah perkotaan yang
tidak jelas dan harga tanah yang tinggi sangatlah menekan sehingga masyarakat miskin
perkotaan menderita. Apalagi sistem hak atas tanah yang kompleks dengan tujuh
macam hak atas tanah dari hak milik hingga hak guna sementara, serta biaya
mendapatkan sertifikat tanah yang relatif tinggi. Kesemuanya berakibat masyarakat
miskin pada umumnya tinggal di tempat yang ilegal atau pada lahan milik negara atau
lainnya. Kebanyakan keluarga miskin yang memiliki tanah hanya mempunyai hak
tradisional atas tanah, tidak mempunyai hak yang resmi. Sehingga mudah bagi
pemerintah atau proyek-proyek besar untuk menggusur mereka tanpa kompensasi yang
wajar atau memadai. Ditambah lagi dengan derasnya arus urbanisasi, ketiadaan
pekerjaan dan tekanan penghidupan menimbulkan terjadinya pemakaian tanah untuk
membangun rumah spontan dan gubuk secara liar, dan memunculkan daerah kumuh
untuk kehidupan dari keluarga miskin. Kesemuanya itu merupakan potret yang umum
terjadi di daerah pekotaan, terutama pada kota-kota besar.
2. Rumah Berfungsi Ganda serta Kepemilikannya Sangat Berisiko dan
Kebanyakannya Ilegal Perumahan bagi masyarakat miskin, khususnya di perkotaan,
bukan hanya sebagai tempat berlindung tetapi juga merupakan aset, tempat
berusaha/bekerja dan sumber berpijak untuk memperoleh penghasilan yang tercermin
antara lain berupa bertumpuknya barang-barang bekas yang akan dijual. Namun
demikian terdapat keterbatasan mereka dalam melakukan pilihan lokasi atas rumah atau
tempat tinggalnya tersebut. Sehubungan dengan itu mereka terpaksa memilih diantara
beberapa alternatif lokasi yang terbatas dimana terdapat hambatan akses untuk bekerja
dan ketidakpastian dalam kepemilikan ditambah dengan kondisi lingkungan bekerja
yang tidak aman, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, keselamatan dan keamanan
mereka. Seringkali terjadi bahwa kaum miskin itu membangun penampungan dan
gubuk di lahan kosong secara liar yang bukan di atas lahan miliknya. Dan terhadap
bangunan rumah/gubuk liar tersebut seringkali terjadi penertiban dan penggusuran,
sehingga berakibat keluarga miskin tersebut semakin menderita.
3. Tingkat Pendidikan Keluarga Sangat Rendah dan Ketergantungan Hidup
Keluarga yang Besar Sungguhpun tingkat pendidikan mereka sangat rendah, namun
rumah tangga perkotaan rata-rata berpendidikan relatif lebih baik dibandingkan dengan
rumah tangga pedesaan, disamping itu terdapat perbedaan yang tajam dalam tingkat
pendidikan antara keluarga kaya dengan keluarga miskin perkotaan. Tingkat partisipasi
sekolah dan kemampuan membaca masyarakat miskin lebih tinggi di perkotaan
(tertinggi di Jakarta) dibandingkan dengan yang terdapat di pedesaan, namun tingkatan
ini tidak otomatis ditentukan berdasarkan jenis dan kondisi hunian. Dan, warga buta
huruf lebih banyak terjadi pada masyarakat miskin di beberapa kota tertentu
dibandingkan dengan di daerah pedesaan.

Upaya penanggulangan kemiskinan dan kebijakannya


Upaya Penanggulangan Kemiskinan Sesungguhnya tidak banyak bedanya upaya
penanggulangan kemiskinan di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Namun karena
cakupan, kondisi dan tingkatnya yang agak berbeda satu sama lain, maka focus, sasaran dan
penekanan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dapat berbeda antara untuk daerah
perkotaan dan daerah pedesaan. Pada awal-awal proses pembangunan bahkan hingga lima
tahun Pelita Kelima dimana penduduk miskin lebih terkonsentrasi di daerah pedesaan yang
hidup dari pertanian, maka program pembagunan pemerintah dalam upaya penanggulangan
kemiskinan di Indonesia lebih berorientasi dan terfokus kearah pedesaan tersebut. Hal ini
dilakukan dengan berbagai program dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut yang
secara garis besar dapat disimpulkan menurut kelompok yang dibedakan dalam empat hal
(BPS, 1992), yaitu:
Pertama, Program Peningkatan Produksi Pertanian. Program ini dilakukan antara lain
dengan intensifikasi pemanfaatan lahan, penyaluran pupuk dan obat-obatan, kebijakan
penetapan harga gabah, dan sebagainya. Kedua, Program Pembangunan Prasarana dan Sarana
Fisik. Program ini meliputi pembangunan jalan penghubung antar desa dan jalan lingkungan
desa/kampung, sistem pembuangan sampah dan air kotor, sistem drainase, distribusi listrik,
instalasi air bersih, hidran umum, sarana MCK, dan sebagainya.
Kedua, Program Pengembangan SDM bagi Penduduk Miskin. Program ini antara lain
berupa kesempatan memperoleh pendidikan dasar (melalui program Inpres SD) dan akses pada
pelayanan kesehatan (melalui Puskesmas). Dalam program pendidikan bagi kelompok miskin
ini juga didukung dengan pengangkatan dan penataran guru, pengadaan buku sekolah, dan lain-
lain. Dan sejalan dengan itu juga diselenggarakan pelatihan ketrampilan terhadap tenaga kerja.
Sedangkan pengadaan kemudahan akses pelayanan kesehatan terutama ditujukan pada upaya
pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan, dan pelayanan pengobatan, terutama bagi
masyarakat miskin.
Ketiga, Berbagai Program Lainnya. Berbagai program lainnya dalam upaya
penanggulangan kemiskinan ini antara lain program transmigrasi, program padat karya dan
program pengembangan kawasan terpadu. Program kawasan terpadu ini kemudian
diintegrasikan ke dalam program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Oleh Kementrian Koordinasi
Kesra dalam Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan (2002) semua upaya
pemerintah melalui program-program yang dikemukakan diatas disebutnya sebagai kebijakan
dan program untuk menanggulangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan dasar , yang
meliputi: (a) pangan, (b) pelayanan kesehatan dan pendidikan, (c) perluasan kesempatan kerja,
(d) bantuan sarana dan prasarana pertanian, (e) bantuan kredit usaha bagi masyarakat miskin,
dan (f) bantuan prasarana pemukiman kumuh di perkotaan. Selanjutnya dapat dikemukakan
bahwa upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan tersebut telah lebih diintensifkan
sejak tahun 1994 melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana
Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembagan Kecamatan (PPK), Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan pada saat krisis ekonomi telah diluncurkan
pula program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sebagaimana terlihat pada Tabel 2 tersebut
dimuka ternyata bahwa berbagai upaya pemerintah yang dikemukakan di atas pada dasarnya
sudah dapat menurunkan jumlah penduduk miskinsecara nasional, termasuk di perkotaan,
terutama hingga tahun 1996. Namun penurunan angka kemiskinan itu ternyata masih sangat
rentan terhadap perkembangan ekonomi makro, dimana yang terjadi bahkan peningkatan
kemiskinan kembali pada tahun 1998 dan tahun 1999 akibat krisis moneter dan ekonomi
tersebut. Dan sungguhpun tahun-tahun berikutnya angkanya agak menurun kembali tapi masih
tetap cukup tinggi dan berfluktuasi, baik dalam jumlah maupun dalam persentasenya terhadap
total. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan, baik di perkotaan
maupun di pedesaan perlu tetap mendapat perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh,
baik dengan kebijakan dan program lama yang membuktikan keberhasilannya maupun dengan
tambahan upaya dan kebijakan baru yang perlu dikaji dan ditetapkan yang akan dapat mencapai
tujuan dan hasil sebagaimana yang diharapkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas,
dikemukakan oleh Bank Dunia dalam makalahnya (2003) bahwa sesungguhnya tanggapan
keluarga pada masyarakat miskin terhadap masalah dan krisis multidimensi yang terjadi di
lingkungan mereka tergantung pada aset-tenaga kerja, sumber daya manusia dan sumber daya
sosial yang mereka dapat gunakan. Karena itu upaya, tindakan dan kebijakan pemerintah secara
umum, khususnya untuk daerah perkotaan, perlu mencakup terutama antara lain yang terkait
dengan hal-hal yang diringkaskan dan dimodifikasikan sebagaimana dikemukakan berikut ini
:
1. Kelanjutan kebijakan dan upaya yang cukup berhasil dalam pengentasan
kemiskinan. Dalam hal ini masyarakat miskin harus mempunyai akses yang sama dan
hak yang adil atas aset serta hasil produksi mereka. Kebijakan mengenai tenaga kerja,
kapital (finansial, simpanan), tanah dan sumber daya alam harus dapat akses kepada
mereka dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat miskin tersebut.
2. Desentralisasi untuk memperbaiki kepemerintahan yang pro-miskin Desentralisasi
menjanjikan perubahan hubungan antara masyarakat miskin dan pemerintah serta
membuat pemerintah lebih mudah diakses. Dalam hubungan ini hal-hal yang penting
dalam agenda pemerintah daerah dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah dengan
pertukara danperputaran informasi yang bebas akan terjadi peningkatan pengertian dan
kesadaran masyarakat miskin, tersalurnya suara dan aspirasi masyarakat miskin dalam
pengambilan kebijakan serta tercipta dan berkembangnya transparansi dan
akuntabilitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program-programnya.
3. Investasi dan pengeluaran Pemerintah yang terfokus kepada pengentasan kemiskinan
Pengalokasian pengeluaran pemerintah yang mempertahankan perimbangan fiskal dan
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi selain diarahkan kepada sasaran yang
menguntungkan masyarakat miskin, juga harus menjadi elemen kunci dalam kebijakan
ekonomi yang sehat, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Sejalan dengan itu perlu
ditemukan dan dikembangkan pengukuran dan penilaian kemiskinan yang lebih tepat
serta peningkatan kapasitas daerah untuk penanggulangan kemiskinan, desentralisasi
fiskal yang pro-miskin melalui alokasi DAU dan DAK yang sehat, pemberian subsidi
dan kredit secara efektif dan efisien, dan sebagainya.
4. Pembuatan jaring pengaman untuk golongan termiskin Meskipun upaya
penanggulangan kemiskinan di daerah perkotaan dilaksanakan dan disukseskan melalui
dan oleh individual, keluarga dan masyarakat miskin sendiri, namun tetap ada
kelompok orang miskin yang memerlukan perhatian/bantuan khusus, seperti mereka
yang sangat miskin, yang terisolasi secara fisik dan sosial yaitu yatim piatu, cacat fisik-
mental, kena musibah banjir-kebakaran, dan sebagainya. Kepada orang-orang miskin
yang demikian itu perlu diberikan bantuan darurat dalam mengatasi kesusahan dan
penderitaannya.
5. Kemudahan akses terhadap tanah dan perumahan yang terjangkau Reformasi
pertanahan perlu dilakukan meliputi proses registrasi, sistem informasi tanah,
perencanaan dan pengelolaan tata guna lahan perkotaan dan mekanisme penyediaan
lahan. Dan tentu saja reformasi ini perlu mempertimbangkan dan mengikutsertakan
pemilik dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, di perkotaan.
6. Penyediaan infrastruktur untuk peningkatan mobilitas, akses dan lingkungan Tingkat
aksesibilitas dan kualitas infrastruktur yang terjangkau untuk masyarakat miskin masih
serba kurang dan terbelakang. Untuk mengatasinya perlu perhatian dan dukungan yang
lebih besar dari pemerintah, pusat dan daerah, dengan berbagai upaya dan programnya.
Upaya tersebut antara lain dengan penguatan kapasitas daerah/lokal dan ketersediaan
finansial, penarikan iyuran kepada pengguna pelayanan, pemberian subsidi silang,
membangun kerja sama LSM atau organisasi masyarakat. Disamping itu juga
mengurangi kecenderungan anti- miskin dalam pengambilan kebijakan infrastruktur
kota, serta penyediaan fasilitas pelayanan masyarakat umum dalam penyediaan air,
sanitasi, drainase, dan sebagainya.
7. Kesempatan untuk pemberdayaan ekonomi melalui akses terhadap kredit dan
permodalan Kebijakan ekonomi makro yang berhasil memang secara tidak langsung
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk keluarga miskin, sehingga
perlu tetap dipertahankan dan dikembangkan. Namun demikian hal itu tidaklah cukup
untuk menanggulangi kemiskinan, hendaknya perlu pula memfasilitasi masyarakat
miskin dengan menguatkan institusi mikro ekonomi daripada hanya pada
pengembangan sektoral, mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi dalam usaha
masyarakat, memperbaiki akses terhadap permodalan dan informasi, dan sebagainya.
8. Peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan yang lebih baik
Rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berakibat rendahnya produktivitas,
produksi dan pendapatan masyarakat, khususnya rumah-tangga miskin, perlu diatasi
pertama-tama melalui pendidikan luar sekolah, pelatihan-pelatihan tenaga kerja, dan
sebagainya. Dan dalam rangka peningkatan SDM itu, perlu pula adanya program dan
penanganan di bidang kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat miskin. Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam penentuan program dan kebijakan intervensi yang efektif
perlu mengikutsertakan aspirasi, kebutuhan dan kapasitas lokal. Dalam penentuan
target dan sasaran dalam pelaksanaannya agar lebih banyak diserahkan kepada LSM
dan organisasi masyarakat setempat. Dapat ditambahkan bahwa sungguhpun
kebanyakan upaya dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dikemukakan
diatas sudah dan diharapkan akan dilaksanakan dan dikembangkan pada masa-masa
mendatang, namun banyak pula diantaranya yang berjalan sendiri-sendiri serta kurang
keterkaitan dan keterpaduan satu sama lainnya. Oleh karena itu, sebagaimana yang
dikemukkan oleh Tim Koordinasi Menko Kesra (2002), bahwa dalam rangka
pendekatan mengurangi beban biaya bagi penduduk miskin serta meningkatkan
pendapatan atau daya beli mereka, kebijakan dan upaya untuk itu perlu dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu. Sehubungan dengan itu, perlu diambil kebijakan
pembangunan yang berpihak pada penanggulangan kemiskinan, yang antara lain
meliputi:
(a) optimalisasi pemanfaatan APBN dan APBD
(b)penajaman program-program,
(c) pengarahan dana pinjaman dan hibah,
(d) sinkronisasi kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta
(e) pelibatan LSM dan perguruan tinggi dan lain-lain dalam pemantauan.
Kesemuanya itu dilakukan dengan memperhitungkan dan mempertimbangkan
pencapaian tujuan dan sasaran penanggulangan kemiskinan. Sehingga dengan demikian pada
dasarnya upaya penanggulangan kemiskinan itu haruslah bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkelanjutan.
BAB III
KESIMPULAN

Sebagaimana halnya dengan negara-negara berkembang lainnya yang bertumbuh,


negara Indonesia mengalami proses urbanisasi antara peningkatan jumlah dan persentase
penduduk perkotaan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kecenderungan peningkatan
penduduk ini telah sampai pada tingkat dimana penduduk perkotaan sudah mencapai 42,2%
(SP 2000), 46,3% (proyeksi 2003) dan 50,8% (proyeksi 2006). Dengan demikian sejak tahun
2006 jumlah penduduk perkotaan akan melebihi jumlah penduduk pedesaan. Dan ini akan
cenderung meningkat terus pada tahun-tahun mendatang. Jumlah dan persentase penduduk
perkotaan yang semakin meningkat dan berkepadatan semakin tinggi akan berakibat semakin
beratnya “beban” kehidupan perkotaan dan semakin meningkat dan meluasnya berbagai
permasalahan yang muncul, terjadi dan berkembang di daerah perkotaan, yang salah satu
diantaranya masalah kemiskinan perkotaan, dengan segala latar belakang dan aspeknya.
Sungguhpun telah dilakukan berbagai upaya dan kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan,
namun jumlah penduduk miskin perkotaan tetap saja tinggi. Memang telah terjadi
penurunannya selama empat tahun terakhir sesudah krisis moneter, namun jumlahnya tetap
saja tinggi, bahkan masih jauh lebih tinggi dari pada tahun 1976 sejak upaya penanggulangan
kemiskinan tersebut telah mulai digalakkan. Secara persentase terhadap total penduduk miskin
Indonesia, ternyata bahwa yang sebelum tahun 1981 penduduk miskin perkotaan selalu kurang
dari 25%, maka sejak tahun 1987 (kecuali tahun 2001) selalu lebih besar dari pada 30% dari
total penduduk miskin. Artinya pada umumnya sejak tahun tersebut jumah penduduk miskin
rata-rata sepertiganya terdapat di daerah perkotaan. Wujud karakteristik kemiskinan dan rumah
tangga miskin pertama-tama tercermin pada keluarganya yang bekerja hanya seorang pekerja
yang berpendapatan minim, tempat tinggalnya sangat sederhana dan jauh dari persyaratan
kesehatan yang memadai bahkan banyak diantaranya hanya berupa gubuk dan bangunan liar,
tingkat pendidikan kepala keluarganya sangat rendah, mereka hampir tidak memiliki aset dan
fasilitas kehidupan maupun akses untuk mendapatkannya, untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimalnya mereka terpaksa bekerja keras apa saja yang memakan waktu yang jauh lebih
lama, di pedesaan umumnya mereka bekerja sebagai petani kecil dan buruh tani, sedangkan di
perkotaan kebanyakannya bekerja pada sektor-sektor informal dan pekerjaan-pekerjaan lepas
yang tidak menentu dan tidak stabil. Berhubung karena pada awal-awalnya kebanyakan
penduduk miskin di Indonesia hidup di daerah pedesaan, maka upaya penanggulangan
kemiskinan itu semula lebih terfokus ke pedesaan dan pertanian. Hal ini diwujudkan mula-
mula berupa program peningkatan produksi pertanian, program pembangunan parsarana dan
sarana fisik yang menyentuh kemiskinan, program pengembangan SDM bagi penduduk
miskin, dan berbagai program lainnya seperti program transmigrasi, program padat karya, dan
sebagainya. Kemudian sejak tahun 1994 upaya pengentasan kemiskinan tersebut lebih
diintensifkan melalui program Inpres Desa Tertinggal, program Pembangunan Prasarana Desa
Tertinggal, program Pengembangan Kecamatan, program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan dan program Jaring Pengaman Sosial. Upaya dan kebijakan pemerintah dalam
penanggulangan kemiskinan, khususnya di perkotaan, yang menyangkut tenaga kerja, akses
pada permodalan tanah dan sumber daya, akses atas pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan,
dan lain-lain bagi masyarakat miskin perlu dilanjutkan, dibina dan dikembangkan. Sehubungan
dengan itu untuk mengatasi kemiskinan di pekotaan, antara lain pertama-tama perlu
pelaksanaan desentralisasi untuk memperbaiki kepemerintahan yang pro- miskin, investasi dan
pengeluaran pemerintah (pusat dan daerah) tertentu yang terfokus pada pengentasan
kemiskinan serta penyediaan infrastruktur untuk peningkatan mobilitas, aksesibilitas dan
lingkungan bagi masyarakat. Selanjutnya perlu keberlanjutan jaringan pengaman sosial bagi
masyarakat khususnya yang termiskin, serta akses terhadap penyediaan tanah dan perumahan
bagi golongan miskin. Sejalan dengan itu dalam rangka peningkatan produktivitas, produksi
dan pendapatan mereka perlu kelanjutan dan pengembangan pemberdayaan ekonomi mereka
melalui akses terhadap kredit dan permodalan serta peningkatan sumber daya manusia melalui
pendidikan, pelatihan dan kesehatan yang lebih baik dan terjangkau oleh keluarga miskin
tersebut. Sehubungan dengan itu, segala upaya, kebijakan dan tindakan yang dilakukan
pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan, khususnya di perkotaan tersebut, haruslah
bersifat menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan. Penanggulangan kemiskinan itu pertama-tama
harus meliputi seluruh masyarakat miskin atas semua kelompok sasaran, semua sektor dan
bidang kehidupan serta pada seluruh wilayah tanah air. Bersifat terintegrasi berarti bahwa
kebijakan dan penanganannya pada setiap bidang dan sektor perekonomian tidaklah berdiri
atau berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi dilaksanakan dan dijalankan secara terpadu antar
depertemen/instansi terkait satu sama lainnya sehingga dapat dicapai hasil yang optimal.
Sedangkan dalam sifat berkelanjutan berarti upaya pengentasan kemiskinan itu dilakukan terus
menerus, baik terhadap kemiskinan yang masih ada maupun terhadap masyarakat tertentu yang
berpotensi miskin, seperti mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Sehingga
kemiskinan tersebut dapat diatasi secara mantap, merata dan berkesinambungan untuk masa-
masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Dalam Negeri, Pedoman


Program Inpres Desa Tertinggal, Jakarta, 1993.
Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2000 (Seri: RBL
1.1), Jakarta 2000, dan tahun-tahun sebelumnya.
Badan Pusat Statistik, Profil Penduduk Indonesia Tahun 2000 (atau SP sebelumnya),
Jakarta, 2002.
Badan Pusat Statistik, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003, Jakarta, 2003.
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2003, Jakarta 2004. Biro Pusat Statistik,
Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 1976-1990, Jakarta, 1992

Anda mungkin juga menyukai