Anda di halaman 1dari 5

Tugas.

3
1. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara resmi menggugat Izin Lingkungan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 & 10. Gugatan tersebut dilayangkan karena
pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dan
kesehatan masyarakat di sekitar PLTU Jawa 9 & 10 dan gagal mematuhi standar emisi
terbaru yang telah berlaku sejak 2019.
     a. Analisalah apakah WALHI memiliki legal standing untuk melakukan gugatan
terhadap izin lingkungan yang telah dikeluarkan! Berikan dasar hukumnya
jawaban ;
Legal standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi
syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA mengajukan permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan
Mahmakah Konstitusi. Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab di
bidang lingkungan hidup juga dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Organisasi lingkungan yang dapat mengajukan gugatan adalah organisasi yang memenuhi
syarat: berbentuk badan hukum; menegaskan di dalam Anggaran Dasarnya bahwa organisasi
itu didirikan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup; dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai anggaran dasarnya paling singkat dua tahun.
Walhi sama sekali tidak memiliki legal standing dalam perkara ini. Alasannya, mengacu pada
Pasal 38 Ayat (1) UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
Lingkungan Hidup), Walhi selaku penggugat seharusnya melakukan pola kemitraan terlebih
dahulu dengan masyarakat untuk mengelola lingkungan.
     b. Apa syarat hak gugat organisasi lingkungan hidup?
Jawaban ;
Organisasi lingkungan yang dapat mengajukan gugatan adalah organisasi yang memenuhi
syarat: berbentuk badan hukum; menegaskan di dalam Anggaran Dasarnya bahwa organisasi
itu didirikan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup; dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai anggaran dasarnya paling singkat dua tahun.
2.  Bacalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lalu
carilah ketentuan tentang tanggung jawab mutlak .
Tugas anda:
Bandingkanlah ketentuan mengenai tanggung jawab mutlak dalam UU No 32 Tahun
2009 dengan tanggung jawab mutlak dalam UU No 11 Tahun 2020! Berikan analisis
saudara!
Jawaban ;
Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (Strict Liability) merupakan gagasan yang
disampaikan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan
Lingkungan Hidup Pasal 88 “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Didalam penjelasan Pasal 88 “Yang
dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi”.
Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya. Dalam lapangan Hukum Perdata, asas tanggung jawab mutlak (Strict
Liability) merupakan salah satu jenis pertanggungjawaban Perdata (Civil Liability).
Pertanggungjawaban perdata dalam konteks penegakan hukum lingkungan merupakan
instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan
lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Pertanggungjawaban perdata
tersebut mengenal 2 (dua) jenis pertanggungjawaban yaitu pertanggungjawaban yang
mensyaratkan adanya pembuktian terhadap unsur kesalahan yang menimbulkan kerugian
(fault based liability); dan pertanggungjawaban mutlak/ketat (Strict Liability), suatu
pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan, dimana
pertanggungjawaban dan ganti kerugian seketika muncul setelah perbuatan dilakukan.
Konsep pertama tersebut dikenal sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 1365
KUH Perdata, yaitu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum berdasarkan
Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan.
Mengandalkan unsur kesalahan dalam konteks pesatnya perkembangan keilmuan dan
teknologi seringkali menimbulkan kesulitan dalam memprediksi risiko yang timbul dari suatu
kegiatan industri.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan pasal-pasal yang cukup
kontroversial memperparah hal ini. UU Cipta Kerja menghapus pasal yang bisa menjerat
perusahaan sebagai pelaku kejahatan lingkungan atau yang disebut sebagai “strict liability”.
Dengan pasal ini, sebuah pabrik yang membuang limbah melebihi batas yang ditentukan ke
sungai, walaupun tidak disengaja, akan bisa tetap dikenakan pasal-pasal pidana.
Hilangnya pasal dalam UU Cipta Kerja akan memperbesar peluang korporasi lolos dalam
upaya hukum atas kejahatan lingkungan yang mereka lakukan dan menambah beban bagi
para korban.
di dalam Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32
Tahun 2009, prinsip ini semakin tegas tercantum. UU tahun 2009 tersebut menegaskan
bahwa selama ada tindakan yang menimbulkan dampak kerusakan, maka pelaku harus
bertanggung jawab atas restitusi atau ganti rugi kerusakan pada korban tanpa perlu adanya
bukti yang mendukung. Prinsip ini terbukti efektif memerintahkan korporasi untuk
melakukan ganti rugi materiil (rehabilitasi ekosistem dan kompensasi pada korban) serta
imateriil (misalnya, bantuan konseling pada korban yang kehilangan mata pencaharian karena
kerusakan lingkungan). Efektivitas UU ini terbukti pada kasus gugatan kelompok (class
action) Desa Mandalawangi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kepada Perum Perhutani dan
pemerintah pada tahun 2003 yang terbukti bertanggung jawab atas tanah longsor yang
menewaskan sedikitnya 21 orang dan kasus gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) atas kebakaran lahan oleh PT Waringin Agro Jaya pada tahun 2016.
Dalam kedua kasus tersebut, pihak tergugat keberatan dan mengajukan upaya hukum Kasasi
dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung yang akhirnya tetap memenangkan pihak
penggugat atas dasar prinsip tanggung jawab mutlak untuk para pelaku.
Namun, UU Cipta Kerja 2020 telah menghilangkan klausul “… tanpa perlu pembuktian
unsur kesalahan” yang memihak korban dengan menyiratkan bahwa setiap kasus kejahatan
lingkungan harus disertai bukti yang kuat.
Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah resmi ditandatangan Presiden
Joko Widodo, semalam. Salah satu poin yang sempat mendapat sorotan adalah isu dampak
lingkungan hidup dari keberadaan UU Cipta Kerja. Pada pasal 21 yang tercantum dalam Bab
III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, ada beberapa poin dalam
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPLH) yang diubah, dihapus dan ditetapkan pengaturan baru terkait perizinan usaha.
Ini dilakukan dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk memperoleh
persetujuan lingkungan.
Beberapa poin yang diubah:
1. Izin lingkungan
Pasal 40 UU PPLH
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan
Pasal 40 dalam UU Cipta Kerja dihapus
2. Pelibatan penyusunan Amdal
Pada UU Cipta Kerja penyusunan dokumen Amdal hanya melibatkan masyarakat yang
terdampak. Sementara, pada UU PPLH sebelumnya dilibatkan juga pemerhati lingkungan.
Pasal 26 UU PPLH
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan
melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang
transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap
dokumen amdal.
UU Cipta Kerja
(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan
melibatkan masyarakat.
(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena
dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan pemerintah.
3. Tanggungjawab Limbah B3
Pada pasal 88 UU Cipta Kerja dihapus bagian bertanggung jawab mutlak atas kerugian
terjadi tanpa pembuktian unsur kesalahan.
Pasal 88 UU PPLH
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.
UU Cipta Kerja
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha
dan/atau kegiatannya.
4. Pembekuan atau Pencabutan Izin
Pasal yang mengatur soal pembekuan dan pencabutan izin lingkungan, dihapus di UU Cipta
Kerja Omnibus Law.
Pasal 79 UU PPLH
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 79 dihapus di UU Cipta Kerja

Anda mungkin juga menyukai