I. PENDAHULUAN
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya menjadi pembicaraan umum untuk
menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara.
Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun
bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bias
merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari
kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral,
kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi
memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa
Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi (Inggris : Corrupt,
Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie). Dan akhirnya dari bahasa Belanda
terjadi penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi “Korupsi”.
Kumorotomo (1992:175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan
tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan,
kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi
mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence)
dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan
penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus
operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau
upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang
diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam
pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk
menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana public yang mereka urus untuk
kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi jauh
lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi
merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Dimana norma sosial, norma hukum
maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang
buruk. Oleh sebab itu, keberadaan sistem dan kebijakan di sebuah organisasi pemerintah
sangatlah penting, untuk memutus rantai potensi tindak pidana korupsi dengan unsur
gratifikasi ataupu non gratifikasi.
Sebenarnya apa penyebab terjadinya korupsi? Ada beberapa teori penyebab terjadinya
korupsi yang pada intinya terbagi atas faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
merupakan penyebab orang melakukan korupsi atas dorongan (pengaruh) pihak luar atau
lingkungan. Faktor internal penyebab korupsi datangnya dari diri pribadi atau individu.
Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam
diri setiap individu. Di bawah ini adalah faktor-faktor penyebab korupsi di lingkungan
Instansi Pemerintah :
A. Faktor penyebab korupsi dari aspek internal :
1. Sifat selalu merasa kurang;
2. Moral lemah;
3. Malas bekerja;
4. Gaya hidup konsumtif;
5. Jauh dari nilai-nilai agama;
B. Faktor penyebab korupsi dari aspek Eksternal :
1. Kurangnya sikap keteladanan pimpinan;
2. Tidak ada kultur organisasi (budaya organisasi) yang benar;
3. Kurangnya sistem akuntabilitas yang benar;
4. Lemahnya sistem pengendalian manajemen;
5. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi;
6. Nilai atau budaya di masyarakat yang memungkinkan terjadinya korupsi;
7. Masyarakat kurang sadar jika dirinya menjadi korban korupsi;
8. Masyarakat kurang sadar jika dirinya justru terlibat korupsi;
9. Masyarakat kurang sadar jika korupsi bias dicegah dan diberantas;
10. Adanya kelemahan atau celah didalam peraturan perundang-undangan yang bisa
digunakan untuk membuka peluang korupsi.
Adapun dampak negatif yang ditimbulkan akibat korupsi sistemik di lingkungan Instansi
Pemerintah terhadap proses demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah sebagai
berikut :
1. Korupsi mendelegetimasi (membatalkan/mengabaikan) proses demokrasi dengan
mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang;
2. Korupsi mendistorsi (mempengaruhi penyimpangan) pengambilan keputusan pada
kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menolak the rule of
law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal;
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena
hubungan patron-client dan nepotisme;
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu
rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu
pembangunan yang berkelanjutan;
5. Korupsi mengakibatkan hancursnya sistem ekonomi karena produk yang tidak
kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Sedangkan korupsi yang sistimatik akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga public; dan
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak
semestinya.
Sejak dulu, upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah
cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak saja sejak akhir
tahun 1997 saat Negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan
yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Gerakan reformasi menuntut ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan
korupsi, kolusi & nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari KKN.
Kenyataan bahwa masih besarnya angka data statistik perkara Tindak Pidana Korupsi
yang dilakukan oleh Pimpinan Daerah, Anggota Dewan, Eselon IV hingga I adalah bukti
hilangnya esensi kepemimpinan nasional yang komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila.
Apabila kita masih ingat quote yang cukup extreme dari salah satu tokoh bangsa, H Agus
Salim, “Leiden is Lijden”, yang artinya “Pemimpin itu Menderita”, pastinya tidak dimiliki
oleh mereka yang sudah terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi.
Kepemimpinan birokrasi pasca reformasi yang merupakan kepemimpinan dalam sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh aparatur negara, dan tidak dapat dipisahkan dengan
kekuasaan, dimana biasanya kekuasaan merupakan sarana bagi pemimpin untuk
mempengaruhi perilaku pengikutnya, dituntut memiliki karakter yang baik, memiliki
keunggulan mental dan akhlak yang dapat diteladani oleh semua anggota, warga/masyarakat
disekitarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Era reformasi dan proses demokratisasi yang terjadi menuntut wujud kepemimpinan yang
mampu mengatasi setiap persoalan yang terus berubah, termasuk mengatasi persoalan
korupsi yang dewasa ini masih tumbuh dengan subur, khususnya di kalangan aparat instansi
pemerintah. Untuk itulah, dibutuhkan pemimpin-pemimpin di instansi pemerintah yang
komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila didalam menjalankan kepemimpinannya yang
disebut dengan kepemimpinan pancasila.
III.KESIMPULAN
Dari uraian tentang peranan Kepemimpinan Pancasila dalam pemberantasan korupsi di
instansi pemerintah tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Korupsi sebagai perilaku yang negatif untuk menyejahterakan diri atau kelompoknya
dengan cara melanggar aturan ataupun nilai-nilai normatif, pengaruhnya dapat
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara;
2. Komitmen seluruh komponen bangsa untuk memberantas korupsi secara tuntas, pada
pemerintahan pasca reformasi ini masih belum dapat terlaksana dengan baik, salah
satu faktor penyebabnyaa adalah masalah kepemimpinan;
3. Kepemimpinan sebagai aktivitas untuk mempengaruhi orang agar diarahkan untuk
mencapai tujuan, tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan, bahkan kekuasaan
merupakan sarana bagi pemimpin untuk mempengaruhi perilaku pengikutnya, maka
dari itu kepemimpinan dalam birokrasi mempunyai peran yang sangat menentukan
dalam keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia;
4. Melalui penerapan Kepemimpinan Pancasila yang didukung oleh sifat-sifat
kepemimpinan yang berwibawa, disiplin dan ketauladanan, diharapkan mampu
menjadi panutan dalam mengatasi persoalan bangsa yaitu untuk pemberantasan
korupsi.