Anda di halaman 1dari 7

Kelompok 1

Nama : Agung Noordiansyah, S.T.


NIP : 19790905 200502 1 002

PERAN KEPEMIMPINAN PANCASILA


DALAM PENCEGAHAN KORUPSI DI INSTANSI PEMERINTAH

I. PENDAHULUAN
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya menjadi pembicaraan umum untuk
menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara.
Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun
bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bias
merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari
kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral,
kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi
memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa
Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi (Inggris : Corrupt,
Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie). Dan akhirnya dari bahasa Belanda
terjadi penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi “Korupsi”.
Kumorotomo (1992:175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan
tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan,
kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi
mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence)
dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan
penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus
operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau
upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang
diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam
pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk
menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana public yang mereka urus untuk
kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi jauh
lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi
merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Dimana norma sosial, norma hukum
maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang
buruk. Oleh sebab itu, keberadaan sistem dan kebijakan di sebuah organisasi pemerintah
sangatlah penting, untuk memutus rantai potensi tindak pidana korupsi dengan unsur
gratifikasi ataupu non gratifikasi.
Sebenarnya apa penyebab terjadinya korupsi? Ada beberapa teori penyebab terjadinya
korupsi yang pada intinya terbagi atas faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
merupakan penyebab orang melakukan korupsi atas dorongan (pengaruh) pihak luar atau
lingkungan. Faktor internal penyebab korupsi datangnya dari diri pribadi atau individu.
Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam
diri setiap individu. Di bawah ini adalah faktor-faktor penyebab korupsi di lingkungan
Instansi Pemerintah :
A. Faktor penyebab korupsi dari aspek internal :
1. Sifat selalu merasa kurang;
2. Moral lemah;
3. Malas bekerja;
4. Gaya hidup konsumtif;
5. Jauh dari nilai-nilai agama;
B. Faktor penyebab korupsi dari aspek Eksternal :
1. Kurangnya sikap keteladanan pimpinan;
2. Tidak ada kultur organisasi (budaya organisasi) yang benar;
3. Kurangnya sistem akuntabilitas yang benar;
4. Lemahnya sistem pengendalian manajemen;
5. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi;
6. Nilai atau budaya di masyarakat yang memungkinkan terjadinya korupsi;
7. Masyarakat kurang sadar jika dirinya menjadi korban korupsi;
8. Masyarakat kurang sadar jika dirinya justru terlibat korupsi;
9. Masyarakat kurang sadar jika korupsi bias dicegah dan diberantas;
10. Adanya kelemahan atau celah didalam peraturan perundang-undangan yang bisa
digunakan untuk membuka peluang korupsi.

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan akibat korupsi sistemik di lingkungan Instansi
Pemerintah terhadap proses demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah sebagai
berikut :
1. Korupsi mendelegetimasi (membatalkan/mengabaikan) proses demokrasi dengan
mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang;
2. Korupsi mendistorsi (mempengaruhi penyimpangan) pengambilan keputusan pada
kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menolak the rule of
law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal;
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena
hubungan patron-client dan nepotisme;
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu
rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu
pembangunan yang berkelanjutan;
5. Korupsi mengakibatkan hancursnya sistem ekonomi karena produk yang tidak
kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Sedangkan korupsi yang sistimatik akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga public; dan
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak
semestinya.
Sejak dulu, upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah
cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak saja sejak akhir
tahun 1997 saat Negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan
yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Gerakan reformasi menuntut ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan
korupsi, kolusi & nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari KKN.
Kenyataan bahwa masih besarnya angka data statistik perkara Tindak Pidana Korupsi
yang dilakukan oleh Pimpinan Daerah, Anggota Dewan, Eselon IV hingga I adalah bukti
hilangnya esensi kepemimpinan nasional yang komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila.
Apabila kita masih ingat quote yang cukup extreme dari salah satu tokoh bangsa, H Agus
Salim, “Leiden is Lijden”, yang artinya “Pemimpin itu Menderita”, pastinya tidak dimiliki
oleh mereka yang sudah terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi.
Kepemimpinan birokrasi pasca reformasi yang merupakan kepemimpinan dalam sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh aparatur negara, dan tidak dapat dipisahkan dengan
kekuasaan, dimana biasanya kekuasaan merupakan sarana bagi pemimpin untuk
mempengaruhi perilaku pengikutnya, dituntut memiliki karakter yang baik, memiliki
keunggulan mental dan akhlak yang dapat diteladani oleh semua anggota, warga/masyarakat
disekitarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Era reformasi dan proses demokratisasi yang terjadi menuntut wujud kepemimpinan yang
mampu mengatasi setiap persoalan yang terus berubah, termasuk mengatasi persoalan
korupsi yang dewasa ini masih tumbuh dengan subur, khususnya di kalangan aparat instansi
pemerintah. Untuk itulah, dibutuhkan pemimpin-pemimpin di instansi pemerintah yang
komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila didalam menjalankan kepemimpinannya yang
disebut dengan kepemimpinan pancasila.

II. PEMBAHASAN (ANALISIS MASALAH)


Posisi pemimpin dalam suatu birokrasi pemerintahan mempunyai pengaruh penting bagi
bawahannya maupun masyarakat sekitarnya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan
yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar
bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya. Oleh karena itu dalam
upaya pemberantasan korupsi peran kepemimpinan dapat diwujudkan melalui penerapan
Kepemimpinan Pancasila yaitu suatu kepemimpinan yang memiliki jiwa/semangat Pancasila
dengan sikap yang konsisten dan konsekwen dalam pengamalan nilai-nilai/norma-norma
Pancasila sehari-hari yang berdasarkan tata demokrasi.
Prinsip-prinsip dasar Kepemimpinan Pancasila yaitu kesadaran akan dirinya sebagai
Insan Hamba Tuhan Yang Maha Esa, Insan Politik Pancasila, Insan Ekonomi Pancasila,
Insan Sosial Budaya Pancasila dan Sebagai Insan Warga Negara Pancasila.
Bila mengacu pada sila-sila yang ada pada Pancasila, Kepemimpinan Pancasila memiliki
makna seperti yang dijelaskan dibawah ini :
1. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, akan menciptakan pemimpin yang
memiliki sifat relijiusitas yang baik. Keberadaannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan
akan tunduk dengan aturan dan pedoman yang diyakininya. Keberadaan Tuhan cukup
menjadikan dirinya sadar bahwa setiap tindak tanduknya akan diawasi secara melekat
di mana pun dan kapan pun. Pemimpin yang takut di awasi Tuhannya, bukan takut di
awasi oleh aparat penegak hukum atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, akan menciptakan pemimpin yang
sadar betul artinya keadilan bagi seluruh unsur masyarakat di negeri ini. Tidak ada
satupun yang memiliki keistimewaan di mata hukum. Hak asasi semua unsur manusia
di negeri ini harus di lindungi dan dibela. Sikap ini juga merupakan cerminan dari
manusia yang relijius.
3. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, akan menciptakan pemimpin yang mementingkan
kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Semua
keputusannya akan mencerminkan kepentingan persatuan negeri ini.
4. Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan
permusyawaratan/perwakilan, akan menciptakan pemimpin yang memiliki jiwa
kerakyatan yang tinggi. Dalam ko0nteks ASN, apa yang dilakukan harus dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya kepada masyarakat sebagai pemberi
kepercayaan. Pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat akan menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam sudut pandang kepentingan rakyat secara luas.
5. Sila Kelima, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, akan menciptakan
pemimpin yang adil secara inklusif kepada siapapun. Sikap ini harus berlandaskan
moral yang cukup kuat, berintegritas, dalam artian mampu adil dari dalam hati,
ucapan hingga tindakan.
Jika dilihat dari penjelasan diatas, maka seorang pemimpin yang menerapkan
kepemimpinan pancasila didalam pelaksanaan tugasnya, akan membenci prilaku korupsi dan
berusaha untuk memberantas atau bahkan mencegah perbuatan tindak pidana korupsi terjadi
di instansi tempat dia memimpin. Adapun usaha-usaha atau peran serta kepemimpinan
pancasila didalam mencegah korupsi di lingkungan instansi pemerintah adalah sebagai
berikut :
1. Menciptakan Budaya Organisasi Anti Korupsi di Instansi Pemerintah,
Budaya organisasi adalah suatu karakteristik yang ada di suatu kelompok dan digunakan
sebagai tuntunan mereka dalam berperilaku serta membedakannya dengan kelompok lain.
Artinya, budaya organisasi merupakan suatu normal dan nilai-nilai perilaku yang harus
dipahami dan dipatuhi oleh kelompok orang yang menganutnya. Jadi, budaya organisasi
adalah sebuah normal dan nilai yang akan membentuk perilaku anggota organisasi tersebut.
Adanya budaya organisasi ini juga bertindak sebagai kode etik bagi para anggotanya ketika
berperilaku di luar lingkungan organisasinya.
Salah satu fungsi budaya organisasi adalah untuk meningkatkan kekuatan nilai suatu
organisasi. Maksudnya, meningkatkan kualitas suatu organisasi melalui nilai-nilai dan
norma-norma yang ada dalam budaya organisasi tersebut. Fungsi budaya organisasi juga
sebagai mekanisme dalam mengontrol perilaku setiap anggota di dalam maupun di luar
lingkungan organisasi. Nilai-nilai dan norma dalam budaya organisasi bisa memandu dan
membentuk sikap serta perilaku pegawainya.
Untuk itulah, dengan menciptakan budaya organisasi anti korupsi yang berfokus pada
membentuk perilaku individu-individu anti korupsi di instansi pemerintah diharapkan mampu
mencegah atau meminimalisasi kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan
instansi pemerintah.
2. Secara Rutin Melakukan Pembinaan Mental dan Moral Pegawai,
Pembinaan mental dan moral pegawai di lingkungan instansi pemerintah dapat dilakukan
melalui khotbah - khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
Karena bagaimanapun juga baiknya sebuah sistem, jika memang individu-individu di
dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, maka sistem
tersebut akan dapat disalahgunakan/diselewengkan atau di korup.
3. Memiliki Integritas Dan Akuntabilitas Yang Dapat Dijadikan Teladan,
Pimpinan yang berintegritas dan akuntabel (tanggung jawab dalam melaksanakan tugas)
secara tidak langsung akan memberikan teladan bagi lingkungan kerja di mana dia berada.
Bila pimpinan tidak memiliki integritas dan akuntabilitas yang baik, akan berdampak
sebaliknya. Dari sudut pandang stakeholder dan pengguna layanan, seorang pemipin yang
berintegritas tinggi akan lebih mudah merespon kekhawatiran stakeholder dan pengguna
layanan dengan keputusan yang baik,kebijakan yang sehat, dan keinginan untuk selalu
mempertahankan kualitas layanan terbaik ((Litz, 1996; Driscoll and Hoffmann, 1999, dalam
Petric, Joseph A, and Quinn, John F, 2001).
Akuntabilitas dan Integritas adalah dua konsep yang diakui oleh banyak pihak menjadi
landasan dasar dari sebuah Administrasi sebuah negara (Matsiliza dan Zonke, 2017). Kedua
prinsip tersebut harus dipegang teguh oleh semua unsur pemerintahan dalam memberikan
layanang kepada masyarakat.
Aulich (2011) bahkan mengatakan bahwa sebuah sistem yang memiliki integritas yang
baik akan mendorong terciptanya Akuntabilitas, Integritas itu sendiri, dan Transparansi.
Bahkan, Ann Everett (2016), yang berprofesi sebagai Professional Development Manager at
Forsyth Technical Community College mempublikasikan pendapatnya pada platform digital
LinkedIn bahwa, walaupun Akuntabilitas dan Integritas adalah faktor yang sangat penting
dimiliki dalam kepimpinan, Integritas menjadi hal yang pertama harus dimiliki oleh seorang
pemimpin ataupun pegawai negara yang kemudian diikuti oleh Akuntabilitas.
4. Memperkuat Sistem Pengendalian Manajemen Dengan Mengoptimalisasikan
Fungsi Pengawasan atau Kontrol,
Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut
betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis. Dengan melakukan
optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol didalam internal instansi pemerintah adalah
sebagai upaya awal untuk mendeteksi adanya penyimpangan terkait pencegahan korupsi.
Kelemahan pengendalian yang dapat mengakibatkan korupsi antara lain sikap atasan tidak
memberikan keteladanan, langkanya pengawasan internal dan lemahnya pengendalian
internal.
5. Memberlakukan Sistem Reward and Punishment,
Reward dan punishment sangat penting untuk menecegah tindak pidana korupsi. Dengan
sistim reward dan punishment yang jelas akan memacu karyawan atau pegawai untuk
mengejar keinginannya dalam karir pekerjaan tanpa harus melakukan korupsi. Jadi dengan
Reward dan punishment ini seorang pimpinan bisa menilai secara fair (adil) kalau yang salah
harus di hukum dan yang berhasil bekinerja baik diberi penghargaan. Dengan sistim ini kita
bersikap terbuka tidak ada lagi asal bapak senang asal ibu senang, yang dinilai itu kinerjanya
bukan kedekatan. Yang dinilai pimpinan itu kinerja,” ujarnya
Dengan sistim antara reward dan punishment yang terlaksana dengan baik dilingkungan
kerja akan meminimalisir motivasi dan keinginan menyimpang dari aturan yang pada
akhirnya memicu terjadinya prilaku korup.
6. Memfasilitasi Pengaduan Masyarakat Secara Online Maupun Secara Offline,
Prinsip dasar peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi adalah bagaimana
masyarakat diberikan kebebasan dalam berperan aktif melakukan pemberantasan korupsi,
khususnya dalam melaporkan dugaan korupsi. Kepemimpinan pancasila seharusnya
menyediakan secara khusus fasilitas pengaduan masyarakat terkait tindak korupsi yang
terjadi di lingkungan Instansi pemerintah yang dipimpinnya baik secara offlaine / manual
dengan menyediakan kotak pengaduan atau secara online dengan membuat aplikasi
Whistleblowing System (WBS) di Website Instansi yang dipimpin.

III.KESIMPULAN
Dari uraian tentang peranan Kepemimpinan Pancasila dalam pemberantasan korupsi di
instansi pemerintah tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Korupsi sebagai perilaku yang negatif untuk menyejahterakan diri atau kelompoknya
dengan cara melanggar aturan ataupun nilai-nilai normatif, pengaruhnya dapat
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara;
2. Komitmen seluruh komponen bangsa untuk memberantas korupsi secara tuntas, pada
pemerintahan pasca reformasi ini masih belum dapat terlaksana dengan baik, salah
satu faktor penyebabnyaa adalah masalah kepemimpinan;
3. Kepemimpinan sebagai aktivitas untuk mempengaruhi orang agar diarahkan untuk
mencapai tujuan, tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan, bahkan kekuasaan
merupakan sarana bagi pemimpin untuk mempengaruhi perilaku pengikutnya, maka
dari itu kepemimpinan dalam birokrasi mempunyai peran yang sangat menentukan
dalam keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia;
4. Melalui penerapan Kepemimpinan Pancasila yang didukung oleh sifat-sifat
kepemimpinan yang berwibawa, disiplin dan ketauladanan, diharapkan mampu
menjadi panutan dalam mengatasi persoalan bangsa yaitu untuk pemberantasan
korupsi.

Anda mungkin juga menyukai