Anda di halaman 1dari 2

McCarthy mendapatkan gelar sarjana matematika dari California Institute of Technology

(Caltech) pada September 1948. Dari masa kuliahnya itulah ia mulai mengembangkan
ketertarikannya pada mesin yang dapat menirukan cara berpikir manusia. McCarthy kemudian
melanjutkan pendidikan ke program doktoral di Princeton University.

Sedari sekolah, ia memang dikenal memiliki kepintaran diatas rata-rata. Berdasarkan ulasan dari
The Guardian , diketahui bahwa saat remaja McCarthy bahkan bisa menguasai pelajaran
kalkulus tanpa bimbingan dari guru.

McCarthy kemudian mendirikan dua lembaga penelitian kecerdasan buatan. Kedua lembaga AI
itu adalah Stanford Artificial Intelligence Laboratory dan MIT Artificial Inteligence Laboratory.
McCarthy juga merupakan dosen di kedua universitas ternama tingkat internasional tersebut. Di
lembaga-lembaga inilah bermunculan inovasi pengembangan AI yang meliputi bidang human
skill, vision, listening, reasoning dan movement of limbs. Bahkan Salah satu lembaga yang
didirikan itu, Stanford Artificial Intelligence pernah mendapat bantuan dana dari Pentagon untuk
membuat teknologi-teknologi luar angkasa.

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Walaupun belum ada ilmuwan Indonesia menghasilkan
temuan kecerdasan buatan yang benar-benar diakui di mata dunia, anak-anak muda semacam
Digital Nativ ini terus berinovasi dengan teknologi, bahkan memadukannya dengan unsur seni
dan alam. Ingin tahu siapa mereka dan apa saja yang mereka lakukan? Simak video berikut!

https://youtu.be/j_cUWUwv1BQ

Apakah AI Dapat Mengambil Alih Dunia?


Di bulan Juli tahun 2017 lalu, berita teknologi cukup dihebohkan dengan kabar bahwa Facebook
memberhentikan eksperimennya setelah salah satu staf menemukan dua buah program AI
mereka saling berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa ciptaan mereka sendiri yang tak
dimengerti manusia. Hanya kedua program itulah yang saling mengerti pesan yang disampaikan
ke satu sama lain.

Kengerian bahwa pengembangan AI mungkin akan setara dengan kecerdasan manusia, bahkan
melebihi kecerdasan manusia itu sendiri, juga bahwa ada implikasi negatif AI terhadap
kemanusiaan di masa depan ⎼ sebenarnya tak hanya disuarakan orang awam. Ilmuwan yang
diakui di dunia seperti Stephen Hawking juga sempat berpendapat sama . Jadi, problematik dari
AI ini tak sekadar ide bikinan dalam film-film fiksi sains semacam The Matrix.

Euforia AI di Sektor industri dan Nasib Tenaga Kerja

Seperti yang telah penulis sampaikan di pengantar artikel, sektor industri akhir-akhir ini diwarnai
dengan euforia menyambut AI. Berita-berita bisnis lumayan banyak diwarnai kebanggan
berbagai industri dalam memanfaatkan teknologi canggih AI. Kalangan pekerja ikut bereaksi
terhadapnya, ada yang optimis AI tidak akan mengambil alih lahan pekerjaan mereka, ada juga
yang pesimis dan cenderung panik.
Mengapa para pekerja sampai panik? Contoh sederhananya pabrik roti yang dahulu memakai
tenaga manusia dalam mengemas roti, kini sudah tentu bila produksi dalam jumlah besar
memakai tenaga mesin. Tujuan teknologi otomasi semacam itu memanglah akurasi dan efisiensi.
Tapi tak sampai di situ, dengan adanya pengembangan AI, robot-robot pintar mungkin
menggantikan pekerja di berbagai bidang pekerjaan.

Lalu kenapa? Ya dengan demikian, mata pencaharian manusia berkurang, sumber penghasilan
manusia juga berkurang. Tetapi, memang bisa saja manusia-manusia pekerja mengerjakan hal-
hal lain untuk mendapat penghasilan. Sayangnya, kemungkinan besar, pekerjaan penggantinya
bakal membosankan dan upahnya rendah. Begitulah skema yang tergambar sekilas.

Anda mungkin juga menyukai