Anda di halaman 1dari 2

keberadaan penyakit, keluaran status kesehatan, atau akses untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan" dhejwjsjs dkdkdkdd mendistorsi diagnosis. Stereotip dan skema


menciptakan ekspektasi tentang gejala “khas” dari kelompok etnis tertentu. Riset
Li-Repac (1980; dalam Shiraev dan Levy, 2012) mengafirmasi temuan bahwa skema
sangat mempengaruhi apa yang kita pahami dan bagaimana kita memahaminya. Terapis
beda budaya mempunyai konsepsi umum yang sama mengenai abnormalitas psikologis,
namun meraka berbeda jauh dalam penilaiannya terhadap klien yang sama. Li-Repac
menambahkan, saya bahwapersentase yang menyebabkan stereotip kultural berjalan dua
arah: treapis-klien, klien-terapis. Intinya, terapis sbd ini nomor menyaring
perilaku klien melalui skema sosiokulturnya sendiri dan akibatnya samvshdhddjsjspai
pada penilaian yang berbeda.
dalam Shiraev dan Levy cenderung pada pendapat bahwa sudjdjdhddklien dan terapis
berasal dari budaya yang sama. Menurut mereka, terapi berkultur sama akan melihat
lebih sedikit patologi pada kliennya ketimbang terapis dari budaya yang
bersbsjdjddbeda karena latar belakang kesamaan budaya mengurangi resiko kesalashs
Shahab JKT48han diagnosis. Beberapa peneliti memperkuat bahwa secara umum. Konteks
terapi harus konsisten dengan budaya klien (Bemak & Chung, 2004; Tanaka-Matsumi,
1989; dalam dalam Shiraev dan Levy, 2012).
Demikian, walaupun kesesuaian budaya klien-terapis menjadi preferensi, namun tidak
menutup kemungkinan terjadinya terapi dengan perbedaaan latar belakang budaya
terapis-klien. Kleinmann (1978; dalam Shiraev dan Levy, 2012) menawarkan kerangka
diagnosis pada terapis-pasien yang beda budaya (1978; dalam Shiraev dan Levy,
2012):
1. Terapis meminta klien menceritakan dan menginterpretasikan problemnya
2. Terapis memberikan penjelasan atas problem itu
3. Dua macam penjelasan itu dibandingkan fhhyg
4. Terapis-Klien menyusun konsep bersama, sehingga mereka berkomunikasi dengan
bahasa yang sama, dan mendiskusikan terapi dan kemungkinan hasilnya.

Snacken (1991; dalam Shiraev dan Levy, 2012) membagi tipe–tipe terapi lintas budaya
sebagai berikut:
1. Terapi interkultural: Terapis tahu bahasa dan kultur klien
2. Terapi Bikultural: Terdiri dari dua terapis yaitu Barat dan lokal yang bekerja
sama
3. Terapi Polikultural: Mempertemukan klien dengan beberapa terapis yang berbeda–
beda budaya

SIMPULAN
1. Isu budaya terkait gangguan mental sangat mempengaruhi diagnosis, prognosis,
hingga psikoterapi yang digunakan
2. Variasi–variasi gangguan mental dalam berbagai budaya disatukan dalam gejala
sentral yang menarik benang merah dan meletakkan kategori pada gangguan mental
terkait budaya.

Senin Pahing, 13 Mei 2013 8


3. Gangguan yang secara universal terjadi di berbagai budaya yang berbeda adalah
gangguan mood, gangguan depresi, gangguan kepribadian, dan skizofrenia.
4. DSM IV dan IDC 10 menjadi standard atau rujukan “utama” gejala–gejala sentral
5. Diagnosa yang ditegakkan dengan mempertimbangkan variasi–variasi kultural yang
menyertai, namun benang merah diagnostic yang berlaku universal kuncinya adalah
mengidentifikasi gejala distress dan maladaptive secara tepat dan dalam konteks
kulturalnya.
6. Psikoterapi perlu memperhatikan latar belakang budaya agar dapat memberikan
intervensi yang sesuai dengan gangguan yang dialami klien.

EVALUASI & KRITIK


1. Psikologi, psikoterapi, DSM IV ICD 10 yang berkembang di AS dan Barat menjadi
“standar” atas penentuan gangguan mental. Adapun perbedaan sindrom gangguan mental
yag terjadi pada budaya-budaya yang lain diposisikan sebagai variasi–variasi
(gejala peripheral) dari “standar” gangguan mental yang “universal”. Pendapat yang
mendukung ini, bisa jadi karena budaya lain belum memiliki ilmu pengetahuan yang
ilmiah-obyektif untuk menyelesaikan persoalan –persoalan gangguan mental (hanya AS
dan Barat saja yang punya).
2. Variasi–variasi gangguan mental yang muncul dalam berbagai kebudayaan hanya
berfungsi untuk menegakkan diagnosa. Setelah diketahui secara obyektif gangguannya,
maka prognosis dan diagnosis tetap kembali pada “standard” AS dan Barat. Sedangkan
bentuk–bentuk “psikoterapi” yang muncul secara kultural hanya dijadikan alternative
–bukan yang utama.
3. Preferensi kesesuaian terapis-klien secara latar belakang budaya, berfungsi
supaya terapi “standar” tetap dapat dilakukan dengan penyesuaian–penyesuaian
kultural dan bahasa. Hal ini menutup kemungkinan berkembangnya psikoterapi
indigenous untuk tampil sejajar dengan psikoterapi “standar”.
4. Idiom trans-kultural ataupun lintas-budaya, dalam hal gangguan mental, lebih
tampak sebagai perluasan psikologi dan psikoterapi yang berbasis budaya AS dan
Barat kepada budaya–budaya lain. Dengan tetap menempatkan budaya asal sebagai
“standar”, kemudian penelitian psikologi lintas-budaya mencari benang–benang
merahnya pada budaya lain yang sesuai dengan “gejala sentral” atau “standar”nya.
Sedangkan sindrom–sindrom yang tidak dikenali dalam kategori “standar” disebut
sebagai gejala peripheral yang melengkapi gejala sentral. Dengan menjadi sentral,
lebih jauh, secara kebudayaan, AS dan Barat mempunyai pretensi untuk menjadi kiblat
psikologi, psikoterapi, dan –tentu saja- budaya yang lebih superior dibanding
budaya lain.
5. Tujuan akhir dari psikologi trans-kultur/ Psikologi lintas budaya, supaya
Psikologi dan psikoterapi Barat dapat dipraktikkan dengan nyaman pada klien dari
berbagai budaya yang berbeda.

Senin Pahing, 13 Mei 2013 9


REFERENSI BACAAN
Dayakisni, Tri & Yuniardi, Salis. 2008. Psikologi Lintas Budaya. Edisi Revisi. UMM
Press: Malang Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta Shiraev, Eric B. & Levy, David A. 2012. Psikologi Lintas
kultural (Pemikiran Kritis dan Terapan
Modern) edisi keempat. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Susetyo, D.P. Budi. 2008. Psikologi Lintas Budaya. Hand Out. Tidak diterbitkan.
Univeristas
Katolik Soegijapranata. Semarang

Anda mungkin juga menyukai