Anda di halaman 1dari 2

(ANDAI) DEMOKRASI TANPA OLIGARKI

Oleh: Siti Farida)

Kontestasi elektoral (pemilu maupun pilkada) sudah usai, tapi isu oligarki masih mengemuka.
Persekongkolan antara oligarki ekonomi dan politik menyebabkan terjadinya pemusatan
kekuasaan dan monopoli ekonomi. Modus oligarki masuk melalui fase pre hingga post
electoral, dari fasilitasi rekrutmen politik, koalisi, pemberian suara, pembentukan
pemerintahan hingga pembuatan kebijakan publik. Proses demokratisasi tidak serta merta
menghilangkan perilaku predator para oligarki dan elite politik dalam struktur kekuasaan
melalui pola-pola transaksional.

Demokrasi Produktif: Restrukturisasi Pelayanan Publik


Agar tidak dibajak oligarki, demokrasi harus mewujudkan struktur penguasaan produksi yang
adil, dikenal dengan demokrasi produktif. Semangat ini juga disuarakan oleh Public Services
International. Dalam konteks Indonesia, perjuangan untuk membongkar hegemoni negara era
ORBA dan melakukan restrukturisasi layanan publik yang demokratis dan adil, adalah salah
satu cita reformasi. Perjuangan akar rumput tidaklah patut mengabaikan capaian ini.
Sebagaimana gerakan South African Municipal Workers' Union menggaungkan kembali
perjuangan setelah tumbangnya politik apharteid.

Amartya Sen dalam buku yang berjudul Demokrasi (Tidak) Bisa Memberantas Kemiskinan,
mengemukakan pemikiran reflektif untuk terus mendengar suara kaum papa yang sering
diabaikan. Kemiskinan akibat ketidakadilan ekonomi telah mencegah orang mengambil
tempat dalam keputusan dalam kebijakan publik. Keadilan ekonomi menjadi hal penting yang
merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang menjalankan pelbagai fungsi dalam
hidupnya (functionings). Dalam konteks yang luas, functioning dapat mewujud dalam berapa
bentuk, seperti mengakses layanan pendidikan, fasilitas kesehatan, sumber pendapatan, atau
kebebasan berpendapat. Sebaliknya, ketidakmerdekaan atau nir-demokrasi bisa berupa
kemiskinan, tirani, kesempatan ekonomi yang terbatas, fasilitas publik yang buruk,
intoleransi, negara yang represif, ketakutan massal dalam menyuarakan kebenaran, ketiadaan
kanal untuk menyalurkan aspirasi.

Kata Sen, “Development as freedom, pembangunan adalah kebebasan.” Termasuk bebas dari
kemiskinan. Maka, demokrasi harus melampaui prosedural, fokus pada pemerataan ekonomi,
kesejahteraan, serta pengentasan kemiskinan. Di mana salah satu pengungkit yang kuat
adalah pelayanan publik. Rakyat sadar sebagai warga negara, sehingga memperjuangkan
aspirasinya agar tercipta restrukturisasi sumber daya yang adil. Antara lain dengan membela
dan mendorong demokratisasi layanan publik, melakukan “commonifing” atau
menjadikannya sumber daya bersama, daripada “commodifying” atau komodifikasi. Di Paris
Pada tahun 2010, terjadi remunisipalisasi, atau pengambilalihan kembali layanan dari tangan
swasta, terhadap layanan air Paris. “Remunisipalisasi” bisa memberikan lebih banyak kontrol
dan pengawasan pada otoritas yang dipilih masyarakat dan perwakilan dari pengguna air,
yang mendorong peningkatan kualitas air dan tarif yang lebih rendah. Di Italia pada tahun
2011, 96 % dari warganya memberikan suara dalam referendum untuk mempertahankan
layanan air tetap di tangan publik. Restrukturisasi pelayanan publik merupakan respon
terhadap privatisasi dan bentuk lain komodifikasi. Hal ini juga menjadi kontrol demokratis,
termasuk aksesibilitas dan kualitas layanan itu sendiri.  Dengan cara ini, kemakmuran bangsa
dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Penyebab dari
langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan salah satunya adalah

Penulis adalah Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah
persoalan aksesibilitas. Demokrasi memberi kesempatan bagi masyarakat untuk saling
mempelajari dan membangun nilai-nilai serta prioritas bersama.

Demokrasi (Yang) Melawan Korupsi


Ketiadaan demokrasi akar rumput berakibat pada absennya transparansi, juga lemahnya bagi
publik untuk menilai implikasi kronis KKN para oligarki. KPK menjadikan kegiatan
pelayanan publik sebagai salah satu sektor yang rawan praktik korupsi. Antara lain
disebabkan penyalahgunaan kewenangan dan birokrasi berbelit-belit. Kualitas pelayanan
publik yang buruk menjadi pemicu munculnya keresahan dan kesadaran bahwa sumber daya
publik sedang digelapkan, uang rakyat telah disalahgunakan. Korupsi pelayanan publik yang
endemik menyebabkan sumber daya tidak teralokasikan untuk rakyat, tetapi masuk ke
aparatur negara dan kroninya. Itu sebabnya skor tata kelola pelayanan publik kita belum baik.
Berdasarkan data Worldwide Governance Indicators dari 220 negara, menempatkan
Singapura paling baik dengan skor 2,21. Skor Indonesia hanya 0,04 karena tingginya perilaku
korupsi. Maka, setiap pihak yang berjuang untuk pelayanan publik mesti melawan korupsi
dan maladministrasi, menggaungkan soliditas dan kapasitas bersama serta kendali kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai